Search This Blog

Search This Blog

Monday, December 4, 2017

KONSEP REHABILITASI SOSIAL

A.  Pengertian

      Rehabilitasi mangandung maknapemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yg dahulu (semula) atau perbaikan anggota tubuh yg cacat dan sebagainya atas individu supaya menjadi manusia yg berguna dan memiliki tempat di masyarakat (KBBI, 1998:92).
Jadi apabila kata rehabilitasi dipadukan dengan kata sosial, maka rehabilitasi sosial bisa diartikan sebagai pemulihan kembali keadaan individu yang mengalamai permasalahan sosial kembali seperti semula. Rehabilitasisosial merupakan upaya yang ditujukan untuk mengintegrasikan kembali seseorang ke dalam kehidupan masyarakat dengan cara membantunya menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan. Seseorang dapat berintegrasi dengan masyarakatapabila memiliki kemampuan fisik, mental, dan sosial serta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi.Semisal terdapat seseorang yang mengalami permasalahan sosial seperti gelandangan atau pengemis, maka mereka akan dicoba untuk dikembalikan kedalam keadaan sosial yang normal seperti orang pada umumnya. Mereka diberi pelatihan atau keterampilan sehingga mereka tidak kembali lagi menjadi gelandangan atau pengemis dan bisa mencari nafkah dari keterampilan yang ia miliki tadi.
     Dijaman sekarang ini sudah banyak panti-panti rehabilitasi sosial yang banyak menampung berbagai orang yang mengalami gangguan sosial seperti panti rehabilitasi anak jalanan, gelandangan dan pengemis(gepeng), tuna wisma, tuna susila, panti rehabilitasi narkoba dll.

B.  Tujuan
Rehabilitasi sosial mempunyai beberapa tujuan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.   Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya.
2.   Memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.

C.  Fungsi Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial memiliki beberapa fungsi, adalah sebagai berikut:
1.    Pelaksanaan kebijakan teknis penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi balita, anak dan lanjut usia terlantar, serta rehabilitasi sosial bagi anak nakal, korban napza, penyandang cacat dan tuna sosial.
2.     Penyusunan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi balita, anak dan lanjut usia terlantar, serta rehabilitasi sosial bagi anak nakal, korban napza, penyandang cacat dan tuna sosial.
3.     Pemberian bimbingan teknis penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi balita, anak dan lanjut usia terlantar, serta rehabilitasi sosial bagi anak nakal, korban napza, penyandang cacat dan tuna sosial.
4.     Pelaksanaan koordinasi teknis penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi balita, anak dan lanjut usia terlantar, serta rehabilitasi sosial bagi anak nakal, korban napza, penyandang cacat dan tuna sosial.
5.   Pengawasan penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi anak nakal, korban napza, penyandang cacat dan tuna social.

D.  Model Pelayanan Rehabilitasi Sosial
Dalam rehabilitasi sosial terdapat tiga model pelayanan yang diberikan kepada klien, yaitu sebagai berikut :
1.   Institutional Based Rehabilitation (IBR),suatu sistem pelayanan rehabilitasi sosial dengan menempatkan penyandang masalah dalam suatu institusi tertentu.
2.   Extra-institusional Based Rehabilitation, suatu sistem pelayanan dengan menempatkan penyandang masalah pada keluarga dan masyarakat.
3.   Community Based Rehabilitation (CBR),suatu model tindakan yang dilakukan pada tingkatan masyarakat dengan membangkitkan kesadaran masyarakat dengan menggunakan sumber daya dan potensi yang dimilikinya.

E.  Kegiatan yang Dilakukan dalam Rehabilitasi Sosial
1.     Pencegahan; artinya mencegah timbulnya masalah sosial, baik masalah datang dari diri klien itu sendiri, maupun masalah yang datang dari lingkungan klien.
2.     Rehabilitasi; diberikan melalui bimbingan sosial dan pembinaan mental, bimbingan keterampilan.
3.     Resosialisasi; adalah segala upaya bertujuan untuk menyiapkan klien agar mampu berintegrasi dalam kehidupan masyarakat.
4.     Pembinaan tidak lanjut; diberikan agar keberhasilan klien dalam proses rehabilitasi dan telah disalurkan dapat lebih dimantapkan.

F.   Tahap-Tahap Rehabilitasi Sosial
  1. Pendekatan awal
a.      Orientasi dan konsultasi
1)   Tujuan: mendapatkan dukungan dan kemudahan
2) Kegiatan: pendataan, pengajuan rencana program, analisis kelayakan potensi dan sumber, konsultasi dan koordinasi, observasi.
b.     Identifikasi
1)   Tujuan: mengenal dan memahami masalah calon klien
2)    Kegiatan: pencatatan nama, umur, jenis kelamin, pengelompokkan permasalahan, dll.
c.      Motivasi
1)  Tujuan: menumbuhkan kesadaran calon klien dan keluarga untuk mendapatkan pelayanan.
2)    Kegiatan: memberi motivasi.
2.    Penerimaan
a.      Registrasi
1)   Tujuan: mendapatkan data/informasi calon klien secara obyektif.
2)   Kegiatan: pengecekan syarat, pemberian nomor induk, penetapan “asrama”.
b.     Pengungkapan dan pemahaman masalah (asesmen):
1)  Tujuan: memahami kondisi obyektif klien, minat, bakat, menetapkan program pelayanan yg tepat.
2)  Kegiatan: pemerikasaan kondisi fisik, psikologis, sosial, tingkat kecakapan dan pengetahuan.
c.      Penempatan dalam program
1)  Tujuan: menentukan jenis pelayanan
2)  Kegiatan: revalidasi data, penyuluhan pemilihan jabatan, asesmen vokasional, sidang kasus, dll.
3.   Bimbingan sosial dan keterampilan
a.    Bimbingan fisik dan mental
1)  Tujuan: membina ketaqwaan, mendorong kemauan dan kemampuan untuk memulihkan harga diri, kepercayaan diri serta kesetabilan emosi.
2)  Kegiatan: Bimbingan kewarganegaraan, kesehatan, olah raga, agama, mental psikologik, pendidikan, kedisiplinan, dll.
b.  Bimbingan sosial
1) Tujuan: membina kesadaran dan tanggung jawab sosial dan penyesuaian diri
2) Kegiatan:  Bimbingan sosial perorangan, kelompok, kemasyarakatan dan pembinaan hubungan orang tua dan klien.
c. Bimbingan keterampilan kerja
   1)  Tujuan: klien memiliki keterampilan kerja dan usaha.
   2) Kegiatan: menciptakan suasana kerja dan latihan keterampilan.
4.  Tahap resosialisasi
a.    Bimbingan kesiapan hidup bermasyarakat
1) Tujuan: menumbuhkan kemampuan untuk berintegrasi dengan masyarakat.
2)  Kegiatan: evaluasi terhadap perkembangan klien.
b.  Bimbingan bantuan stimulant
1)  Tujuan: memberikan peralatan
2)  Kegiatan: penyiapan bantuan permodalan/peralatan.
c.    Penyaluran
1) Tujuan: Menempatkan klien pada bidang usaha/kerja
2) Kegiatan: persiapan administrasi, kontak dengan keluarga, kontak  dengan dunia kerja.
5.       Pembinaan lanjut
a.    Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat
1) Tujuan: memantapkan kemampuan untuk berintegrasi dengan masyarakat
2)  Kegiatan: bimbingan sosial perorangan/kelompok.
b. Bantuan perkembangan usaha/keterampilan
1)  Tujuan: memantapkan usaha/kerja
2)   Kegiatan: latihan keterampilan, latihan pemasaran, dll


DAFTAR PUSTAKA
Muis, Ichwan. 2010. Rehabilitasi Sosial.Online
            http://ichwanmuis.com/?p=231 (14 Maret 2012)
Dinas Sosial Jawa Timur. 2011. Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.Online

Friday, April 14, 2017

PENTINGNYA PENDEKATAN FAMILY SUPPORT GROUP DALAM PEMULIHAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

Family Support Group mempunyai pengaruh dalam proses 
pemulihan korban penyalahgunaan NAPZA yaitu dengan adanya Family 
Support Group klien mampunyai motivasi yang kuat untuk mengikuti 
rehabilitasi sampai sembuh dan dapat diterima oleh masyarakat. 
Family Support Group mengajarkan keluarga untuk dapat memahami, 
mengerti, mengakui dan menerima anak apa adanya, sehingga orang 
tua/keluarga tahu bagaimana mereka bersikap terhadap anaknya. Dengan 
Family Support Group orang tua dapat menjaga recovery live yaitu orang tua 
mengawal kehidupan anak untuk kembali menjalani hidup sehat tanpa 
mengkonsumsi NAPZA dan orang tua dapat menjaga recovery addiction yaitu 
orang tua dapat menjaga anak supaya tidak kambuh lagi.

Tujan dari terapi keluarga?


1. Menyediakan informasi tentang adiksi dan dampak terhadap sistem keluarga.



2. Menciptakan lingkungan yang aman dan dapat diterima oleh keluarga untuk membahas masalah yang dihadapi.



3. Membantu klien dan kelurganya agar dapat lebih terbuka dalam ekspresi bermacam perasaan, seperti malu, takut, dan sedih.



4. Membimbing klien dan keluarganya untuk keluar dari perilaku disfungsional.



5. Memfasilitasi klien dan keluarganya untuk menyelesaikan masalah dan memiliki tujuan yang realistis.



6. Membantu klien dan keluarganya dalam komunikasi sehingga mereka dapat berinteraksi dengan cara lebih konstruktif dan saling membantu.



Sasaran terapi keluarga:



- Menggunakan kekuatan keluarga dan seluruh sumber daya untuk membantu atau mengembangkan  berbagai cara agar dapat hidup bebas dari penyalahgunaan narkoba.



- Memperbaiki dampak ketergantungan narkoba pada klien dan keluarga. Dalam terapi keluarga fokus terapi adalah keluarga dan para individu di antara ruang lingkup sistem keluarga tersebut.



Tahapan pemulihan keluarga dan faktor yang menunjang pemulihan:



1. Mencapai abstinen atau keadaan bebas narkoba: Sistem dalam keluarga tidak dalam keseimbangan namun masih memungkinkan ada perubahan positif.



2. Penyesuaian dengan pencapaian abstinen atau keadaan bebas narkoba: Keluarga berfungsi dengan mengembangkan dan stabilitas dari sistem yang baru terbentuk.



3. Pemeliharaan abstinen atau keadaan bebas narkoba jangka panjang: Keluarga harus seimbang dan stabil dengan gaya hidup yang baru dan lebih sehat.


Kendala-kendala dalam melaksanakan kegiatan Family Support Group yaitu 
dari klien sendiri, yaitu ketika bapak ibu klien bercerai dan masing-masing 
menikah hal ini sulit untuk dipilih siapa yang berhak datang dalam FSG, 
kemudian kendala lain adalah letak geografis, keluarga yang sudah antipati 
dan budaya malu, keluarga yang malu jika ketemu dengan keluarga yang lain.
Konsultasi dan konseling dilakukan saat pertemuan FSG. Pihak keluarga dapat 
bekonsultasi dengan psikiater, konselor atau staff ahli yang menangani anak 
mereka untuk mengetahui perkembangan yang telah dicapai, dan memberikan 
penyuluhan manakala anak merekahendak kembali pulang ke keluarga 
masing-masing. Setelah rehabilitasi hendaknya klien tetap kontrol pada dokter 
secara berkala untuk mencegah kekambuhan. Bahwa kekambuhan dapat 
terjadi apabila mereka bergaul kembali dengan teman-temannya sesama 
pemakai NAPZA/kontak dengan bandarnya. Hal ini perlu di hindari agar 
mereka tidak terpengaruh lagi untuk kembali mengkonsumsi Napza. 
Mereka tidak mampu menahan rasa rindu (“sugesti”) untuk memakai lagi 
Napza. Untuk mengatasinya disini orang tua harus mampu mengatasi masalah 
ini dengan selalu mengingatkan selalu beribadah, brdo’a dan brdzikir sehingga 
akan mampu menahan sugesti itu. Selanjutnya kekambuhan itu dapat terjadi 
apabila mereka mengalami stres atau frustasi, agar tidak “melarikan diri” ke 
NAPZA/bandarnya , orang tua /keluarga dapat menciptakan suasana yang 
tenang, damai dan tentram sehingga mereka tidak stress atau frustasi. 
Suasana rumah tangga yang religius dapat menciptakan “rumahku 
surgaku”. Semua aturan dan tata tertib dalam keluarga berdasarkan nilai-nilai 
moral dan etika agama dengan inti saling sayang menyayangi. Dengan 
terbinanya keluarga yang seperti itu akan mengurangi anak relapse (kambuh) 
atau resiko anak terlibat penyalahgunaan Napza dapat diperkecil.

Dalam beberapa dekade terakhir, sudah banyak hasil penelitian dalam bidang adiksi dan juga pengembangan upaya intervensi bagi pecandu narkoba. Namun, masih sedikit perhatian yang diberikan kepada adiksi ke dalam sistem keluarga. Tidak dapat dipungkiri bahwa pecandu narkoba nantinya akan kembali kepada keluarga. Oleh karena itu budaya di dalam keluarga harus dapat menjamin klien untuk memepertahankan pemulihannya.

Agar dapat tercapai, maka anggota keluarga pun harus berubah. terlepas dari pulih atau tidaknya seorang klien, melalui terapi keluarga sistem keluarga yang tidak efektif dapat dirubah dan dengan berubahnya sistem dalam keluarga diharapkan lingkungan keluarga berubah menjadi sebuah lingkungan yang sehat bagi semua. Khususnya bagi klien dalam proses pemulihan dari penyalahgunaan narkoba.

Mengenal Therapeutic Community

Sobat pasti bertanya-tanya apa itu Therapeutic Community (TC) itu? Namun sebelum masuk dalam pembahasan TC, alangkah baiknya kalau kamu mengenal terlebih dahulu beberapa istilah yang berkaitan dengan konsep tingkat penyalahgunaan narkoba. Sobat, ternyata pecandu itu ada tingkatannya, artinya sebelum seseorang itu betul-betul menjadi pecandu yang parah, maka sebelum itu, ada tahapan-tahapan tertentu.Berikut ini adalah tahapannya:
1.    Abstinence,yaitu periode,dimana seseorang tidak menggunakan narkoba sama sekali untuk tujuan rekreasional
2.    Social Use, periode di mana seseorang sudah mulai mencoba narkoba untuk tujuan rekreasional namun tidak berdampak pada kehidupan sosial, financial, dan juga medis si pengguna. Artinya si pengguna ini masih bisa mengendalikan kadar penggunaan narkoba tersebut.
3.    Early Problem use, artinya periode di mana individu sudah menyalahgunakan zat adiktif dan perilaku penyalahgunaan sudah menimbulkan efek dalam kehidupan social si penyalahguna seperti malas sekolah, bergaul hanya dengan orang-orang tertentu, dll.
4.    Early Addiction, adalahkondisi si pecandu  yang sudah menunjukkan perilaku ketergantungan baik fisik maupun psikologis, dan perilaku ini mengganggu kehidupan social yang bersangkutan. Si pecandu ini sangat sulit untuk menyesuaikan dengan pola kehidupan normal,   dan cenderung untuk melakukan hal-hal yang melanggar nilai dan norma yang berlaku.
5.    Severe Addiction, adalah periode seseorang yang hanya hidup untuk mempertahankan kecanduannya, dan sudah mengabaikan kehidupan social dan diri sendiri.  Pada titik ini, si pecandu sudah berani melakukan tindakan criminal demi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi narkoba.
Sobat yang budiman, masalah kecanduan narkoba, sangatlah kompleks. Seperti penjelasan di atas, jika tingkat kecanduan sudah mencapai severe addiction, maka bisa dibayangkan, bahwa kehidupan seseorang sudah sangat jauh dari normal, dan seolah sudah tak berarti, karena si pecandu hanya memikirkan ketergantungannya, tanpa berpikir panjang tentang hidupnya.
Menanggapi masalah kecanduan yang begitu parah, pemerintah dalam hal ini BNN dan juga instansi lainnya tidak tinggal diam. BNN telah menyediakan fasilitas rehabiltasi untuk memulihkan para pecandu narkoba. Nah, di negara kita, ada berbagai macam metode rehabilitasi yang diterapkan di berbagai panti rehab, ada yang bentuknya TC, religi, akupuntur dan lain sebagainya.
Kini yang akan kita bahas adalah rehab model TC. Mungkindi antara Sobat Gen Benar, ada yang pernah mendengar Therapeutic Community atau TC. TC pada awalnya diterapkan untuk pasien psikiatri dan dikembangkan sejak perang dunia kedua.
Awal mula munculnya TC ini adalah dari munculnya kelompok kecil yang saling membantu dan mendukung proses pemulihan yang pada awalnya sangat dipernagruhi oleh gerakan alcoholic anonymous. Metode TC diadopsi dari konsep Timur, namum dikembangkan di New York, AS.Konsep ini kemudian diterapkan pada awalnya di Philipina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Berdasarkan jurnal penyalahgunaan narkoba (UNDPC, 1990), metode ini memiliki tingkat keberhasilan sebesar 80%, dengan indikatornya, sipenyalahguna berhasil bertahan pada kondisi bebas zat (abstinensia) dalam waktu yang lebih lama, dengan catatan residen tersebut mengikuti seluruh tahapan hingga selesai.Oleh karena itulah metode ini dipertimbangkan oleh Depertemen Sosial, guna mengembangkan pelayanan dan rehabilitasi social.
Dalam model rehabilitasi TC, residenakanmenjalanibeberapatahapan, antara lain:
1.    Primary Stage, yaitu tahapan program rehabilitasi social, di mana residen ditempa untuk memiliki stabilitas fisik, dan emosi. Residen juga dipacu motivasinya untuk melanjutkan tahap terapi selanjutnya.
2.    Re-Entry Stage, adalah tahapan program rehabilitasi, di mana residen mulai memantapkan kondisi psikologis dalam dirinya, mendayagunakan nalarnya dan mampu mengembangkan keterampilan social dalam kehidupan bermasyarakat.
3.    Aftercare,adalahsuatu program yang terdiri dari berbagai macam intervensi, pelayanan dan asistensi yang disediakan untuk recovery, yang merupakan kelanjutan dari program primer atau primary treatment, yaitu Primary Stage, re-entry program.

1.    Primary Stage
Periode tahap ini berlangsung selama kurang lebih 6 hingga 9 bulan. Para residen akan menjalani tahapan sebagai berikut;
a.    Younger Member
Pada tahap ini, residen mengikuti program dengan proaktif. Residen wajib mengikuti aturan-aturan yang ada, dan jika melanggar maka akan mendapatkan sangsi. Pada tahapan ini, residen boleh dikunjungi oleh orang tua atau keluarga selama satu kali dalam 2 minggu. Pertemuan residen dan keluarga ini juga didampingi oleh relawan sosial, dan senior di program TC. Selain itu, residen boleh menerima telepon namun didampingi oleh residen senior atau relawan.

b.    Middle Peer
Pada tahap ini, residen sudah harus bertanggung jawab pada sebagian pelaksanaan operasional panti atau lembaga, membimbing younger member,dan residen yang masih dalam proses orientasi, menerima telepon tanpa pendamping, meninggalkan panti didampingi orang tua dan senior, secara bertahap dari mulai 4 jam hingga 12 jam.
Pada tahap ini, residen bisa berperan sebagai buddy (pendamping ) bagi residen yang baru masuk.

c.    Older Member
Pada tahap ini, tanggung jawab residen semakin besar, karena ia harus memikirkan staf dan memikirkan seluruh operasional panti, dan memiliki tanggung jawab pada residen yunior. Jika residen ini melakukan kesalahan, maka sanksi yang dikenakan padanya tanpa toleransi. Namun di sisi lainnya, residen pada tahap ini boleh meninggalkan panti selama 24 jam, dengan pendampingan keluarga dan senior.
Setelah melewati tahapan awal dan evaluasi, maka jika dinyatakan lulus residen berhak masuk ke tahap lanjutan.

Lalu, seperti apa ya Kegiatan yang dilakukan dalam tahap Primary Stage ini

·         Morning Meeting
Kegiatan ini dilakukan setiap pagi oleh para residen. Bentuk kegiatan ini adalah forum untuk membangun nilai dan sistem kehidupan yang baru berdasarkan filosofi TC. Dalam kegiatan ini, residen membacakan filisofi yang tertulis, memberikan pernyataan pribadi, mengemumakan konsep hari ini, mendapatkan nasehat atau peringatan, mendapatkan pengumuman yang berkaitan dengan kepentingan bersama, dan juga menjalani permainan. Tujuan dari kegiatan ini semua antara lain untuk mengawali agar hari tersebut jauh lebih baik, meningkatkan kepercayaan diri, melatih kejujuran, mengindentifikasi perasaan, dan menanggapi isu dalam rumah residen yang harus diselesaikan.

·         Encounter Group
Dalam sesi ini, residen diberikan kesempatan untuk mengungkapkan perasaan marah, sedih, kecewa, dan lain-lain. Setiap residen berhak menuliskan di atas secarik kertas, yang berisi ungkapan kekesalan, kekecewaan, atau kemarahan yang ditujukan pada orang tertentu.  Kegiatan ini biasanya dilaksanakan 1 kali dalam seminggu, dengan durasi 2 jam. Acara ini biasanya ditutup dengan hal-hal yang sifatnya rileks. Tujuan kegiatan ini untuk membangun komunitas yang sehat, menjadikan komunitas personal yang bertanggung jawab, berani mengungkapkan perasaan, membangun kedisiplinan, dan meningkatkan tanggung jawab.

·         Static Group
Ini adalah bentuk kelompok yang bertujuan untuk mengubah perilaku dalam TC. Kelompok ini membicarakan tentang berbagai isu dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan yang sudah lalu, yang tujuannya adalah untuk membangun kepercayaan antar sesama residen, membangkirkan percaya diri, dan mencari solusi dari permasalahan yang ada.

·         PAGE (Peer Accountabillity Group Evaluation)
Dalam segmen ini, residen mendapatkan kesempatan untuk dapat  memberikan satu penilaian positif dan negatif dalam kehidupan sehari-hari terhadap sesama residen. Dalam kelompok ini tiap residen dilatih meningkatkan kepekaan terhadap perilaku komunitas. Residen dikelompokan sesuai statusnya, yang mana setiap anggotanya terdiri dari 10 hingga 15 orang. Dalam sesi ini, setiap anggota akan membahas  baik buruk perilaku seorang residen dalam kelompok.

·         Haircut
Residen yang melakukan kesalahan secara berulang-ulang dan telah diberikan sanksi akan diberikan sanksi. Para petugas akan menunjukkan rasa kecewa akan kesalahan yang diperbuat oleh residen. Petugas mengekspresikan kekesalan ini dengan menaikkan volume suara, dan menatap dengan tajam.


·         Weekend Wrap Up
Para residen diberikan kesempatan untuk membahas apa saja yang dialami selama satu minggu. Kelompok ini terfokus pada residen yang mendapatkan kelonggaran untuk keluar bersama keluarga ataupun teman angkatannya.



·         Learning Experiences
Ini adalah bentuk sanksi yang diberikan setelah menjalani haircut, family haircut, dan general meeting. Tujuan dari fase ini adalah agar residen bisa belajar dari pengalaman sehingga mereka bisa mengubah perilaku.

2.    Re-Entry Stage
Tahap ini merupakan lanjutan dari tahap primer, yang tujuannya untuk mengembalikan residen ke dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Tahap ini dilaksanakan selama 3 hingga 6 bulan. Tahapan ini mencakup ;
·         Orientasi
Ini adalah tahap penyesuaian residen dengan lingkungan re-entry. Pada masa orientasi ini, residen didampingin oleh buddy (pendamping) yang ditunjuk oleh staf. Selama masa ini, residen tidak boleh meninggalkanpanti, dan tidak berhak mendapatkan uang jajan, bertemu orang tua, dan bisa mendapatkan sanksi berupa tugas-tugas pekerjaan rumah.
·         Fase A
Dalam fase ini, residen sudah mendapatkan hak-haknya seperti uang jajan setiap minggu, kunjungan orang tua setiap waktu, ijin pulang satu kali dalam dua minggu selama satu malam, dan boleh beraktivitas di luar panti bersama residen lainnya. Tahap ini dijalani selama kurang lebih 1,5 hingga 2 bulan. Tujuannya agar si residen terlatih untuk menghadapi masalah dalam keluarga dan memecahkannya, dan melatih kemampuan residen dalam memenej waktu dan uang.
·         Fase B
Pada fase ini, residen boleh melakukan aktivitas di luar seperti les, kuliah atau bekerja. Selain itu, residen juga berhak mendapatkan tambahan uang saku yang sesuai dengan kebutuhannya, dan memperoleh ijin untuk menginap 2 malam, dalam dua minggu, yaitu pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Tujuan fase ini adalah agar residen bisa mengimplementasikan rencana yang dibuat pada fase A, sehingga bisa mencapai karir dan tujuan kehidupan.
·         Fase C
Pada fase ini, residen boleh pulang, dengan lebih leluasa artinya ia bisa memilih hari, bukan hanya di akhir pekan seperti pada fase sebelumnya. Selain itu residen bahkan diperbolehkan pulang hingga satu pekan (tergantung dari penilaian staf).  Jika residen sudah melewati fase A hingga C, maka yang bersangkutan akan mendapatkan konseling perorangan untuk menentukan apakah residen bisa resosialisasi ke masyarakat atau tidak.
Kegiatan dalam tahap Re- Entry ;
a.    Group Re-Entry, adalah wadah untuk menempa residen menjadi pribadi yang memiliki sikap dan perilaku yang lebih baik.
b.    Treatment, terdiri dari tiga unsur antara lain;
Ø  Allowances/uang saku
Residen akan mendapatkan kepercayaan untuk memegang uang dalam jumlah tertentu untuk kepentingan sehari-hari. Di luar kepentingan, residen bisa meminta uang tambahan pada konselor.
Ø  Task
Dalam re-entry, residen yang melakukan kesalahan bisa mendapatkan sanksi, namun tidak seperti sanksi yang dikenakan pada tahap awal. Sanksi yang diterima tidak terlalu berat.
Ø  Home Leave/Business Pass
Residen bisa meninggalkan TC, dengan tujuan agar bisa lebih dekat dengan keluarga.
Ø  Spiritual
Dalam re-entry, ada kelas keagamaan setiap harinya. Bagi yang beragama islam juga ditekankan untuk selalu menjalani sholat lima waktu.
Ø  Counseling
Pada tahap ini, residen akan menemukan banyak konseling, karena para residen akan menghadapi banyak masalah baru. Karena itulah peran konselor cukup vital, karena konselor akan memberikan sudut pandangnya pada residen mengenai masalah yang dihadapi oleh si residen.
Ø  Les, Kuliah atau Bekerja
Para residen boleh melakukan tiga hal di atas, sehingga mereka bisa kembali ke dunia nyata dan bisa bersosialiasasi dengan lingkungan. Dengan kegiatan di atas, residen bisa meningkatkan kompetensi dirinya di luar sehingga bisa menjadi bekal dalam kehidupan di masa yang akan datang.
Ø  Time Management
Di dalam re-entry waktu senggang banyak sekali ditemukan. Karena itulah, residen harus bisa mengelola waktu yang ada dengan maksimal setiap harinya. Residen harus bisa menunjukan inisiatifnya diri sendiri untuk memanfaatkan waktu luang yang ada.
Ø  Request
Residen berhak meminta barang-barang yang mereka inginkan atau perlukan. Namun staf tidak bisa begitu saja mengabulkan permintaan mereka, karena tetap harus disaring.
Ø  Night entertainment
Untuk menguatkan mental residen, staf memperbolehkan residen untuk ke luar ke tempat hiburan namun dalam pengawasan staf atau keluarga.
Ø  Home Leave
Residen boleh meninggalkan tempat TC, dan pergi bersama teman, namun tetap sebelumnya ada kesepakatan dari pihak kelompok. Yang kedua, residen boleh request menelpon teman, dengan persetujuan dari staf dan orang tua.
Ø  Business Pass
Residen boleh keluar selama 1 hari tanpa menginap untuk memenuhi keperluannya, seperti mengurusi masalah les, kuliah, pesta pernikahan, atau keperluan lainnya.
Ø  Leisure Time
Waktu luang yang ada di tempat rehab, bisa dimanfaatkan untuk aktivitas positif seperti membaca koran, olahraga, menulis dan lain-lainnya.
Ø  Outdoor Sport
Kegiatan olahraga bersama-sama yang dilakukan di luar panti dan didampingi oleh staf atau residen yang senior.
Ø  Static Outing
Bersama dengan para konselor, Kelompok kecil dalam tahap re-entry (2-5 residen)  melakukan kegiatan di luar panti yang tujuannya untuk mempererat hubungan antara satu sama lain.

Sobat, setelah para residen ini lulus dari tahap di atas, maka mereka bisa melanjutkan dalam program Aftercare atau bimbingan lanjutan. Program yang ditujukan bagi para eks residen  atau alumni program ini dilaksanakan di panti dan diikuti oleh semua angkatan di bawah pengawasan dari staf re-entry. Tujuan program ini adalah agar para alumnus TC memiliki tempat atau kelompok yang sehat agar mengerti tentang dirinya serta mempunyai lingkungan yang positif. 

Sunday, March 5, 2017

Naskah Kebijakan
RENTANNYA ANAK TELANTAR TERHADAP PUTUS SEKOLAH
ABSTRAK
Permasalahan anak yang ada di Indonesia begitu banyak terjadi. Dari mulai permasalahan mengenai kekerasan hingga tindakan penelantaran pada anak. Keadaan telantar bagi anak tidak hanya mengacu pada ada atau tidaknya yang mengurus anak tersebut. Tapi apabila anak ada dalam keluarga miskin sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya baik yang jasmani, rohani maupun sosialnya itu dapat dikatakan juga anak telantar. Sebagai anak mereka memiliki banyak kebutuhan dan salah satunya yang penting adalah pendidikan. Anak yang ada dalam keadaan putus sekolah dan jauh dari sistem sekolah juga termasuk dalam kondisi telantar. Begitupun kondisi anak telantar yang ada di Desa Gunungsari, mereka mengalami kondisi telantar karena ditinggal oleh orangtuanya bekerja ke luar negeri dan ada dalam keluarga miskin. Dari situ mereka mengalami keadaan rentan putus sekolah karena tidak ada yang memperhatikan kebutuhan sekolah mereka. Adapun alternatif kebijakan yang disampaikan dalam naskah kebijakan ini adalah Untuk saat ini telah ada bantuan yang masuk ke Desa Gunungsari dan mengurusi masalah pendidikan anak dan kesehatan ibu hamil yaitu PNPM GSC dan diharapkan bantuan ini bisa juga diberikan pada anak telantar yang memang membutuhkan bantuan. Naskah kebijakan ini direkomendasikan bagi aparat desa dan pemerintah kabupaten Cianjur agar mau memberikan perhatian lebih bagi anak telantar dan semoga naskah kebijakan ini bisa digunakan dan di realisasikan.


       I.            KONTEKS DAN DESKRIPSI MASALAH
Masalah yang diangkat dalam naskah kebijakan ini adalah mengenai anak telantar. Dimana masih kurangnya perhatian masyarakat dan aparat desa maupun pemerintah mengenai masalah anak telantar. Padahal khususnya di Desa Gunungsari, terdapat beberapa anak yang mengalami keadaan telantar.
a.      Masalah Kebijakan (Masalah Sosial) yang menjadi sasaran kebijakan
Anak merupakan amanah dan karunia pemberian Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan matabat sebagai manusia seutuhnya. Anak sebagai tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara kita di masa depan.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan pasal 1 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.
Salah satu masalah yang dialami oleh anak sebagai dampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka adalah anak telantar. Anak telantar adalah anak yang karena sebab tertentu tidak terurus, tidak terpelihara, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosialnya yang kemudian akan mengakibatkan terganggu atau terhambatnya pertumbuhan jasmani dan perkembangan kepribadiannya.


Adapun indikator anak telantar adalah:
1)      Anak usia 0-21 Tahun dan belum kawin (UU No.4/1979)
2)      Telantar karena tidak mempunyai orang tua atau orang tua miskin sehingga tidak mampu mengurusnya.
3)      Telantar karena keluarganya mempunyai masalah sosial psikologis/keluarga retak.
4)      Tidak sekolah atau putus sekolah
5)      Tidak atau belum bekerja bagi yang berumur 18 tahun dan belum kawin.
6)      Yang termasuk dalam kategori anak telantar adalah anak yatim telantar, anak piatu telantar, anak yatim piatu telantar, anak putus sekolah, tidak sekolah atau diluar jangkauan sistem sekolah dan anak yang terancam kemerosotan fungsi sosialnya.
Di negara Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya dan termasuk perlindungan sosial terhadap anak yang juga memiliki hak azasi sebagai manusia. Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan sebanyak-banyaknya untuk mereka tumbuh dan berkembang secara fisik, psikologis, maupun sosial. Namun kenyataanya di lapangan, pemerintahan di Indonesia masih memiliki keterbatasan. Terlihat dari, belum optimalnya pelayanan dan perlindungan sosial bagi anak.
     Anak telantar yang ada di Desa Gunungsari ini mengalami keadaan telantar karena mereka mayoritas di tinggalkan oleh ibunya pergi bekerja ke Arab Saudi untuk  menjadi (Tenaga Kerja Wanita) TKW dan Ayahnya sibuk bekerja menjadi buruh bangunan maupun buruh tani sehingga anak-anak tersebut di titipkan pada nenek atau kakeknya atau pada paman dan bibinya dan pada kakak sepupunya. Dapat dikatakan juga bahwa anak telantar yang ada di Desa Gunungsari masuk kedalam keluarga miskin dan dalam kondisi ekonomi yang masih kekurangan.
Keadaan ini membuat anak diberikan perhatian serba terbatas. Karena orang yangdititipkan tersebut juga memiliki kesibukan dan kegiatan mereka masing-masing. Untuk makan juga, rata-rata keluarga yang diditipkan tersebut tidak selalu menyuruh anak-anak makan. Mereka hanya menyediakan saja, apakah anak-anak tersebut mau makan apa tidak, mereka tidak mau memikirkan hal tersebut. Yang terpenting mereka merasa telah memberi makan pada anak-anak itu.
Hal yang menjadi pokok permasalahan dalam naskah kebijakan ini adalah kondisi pendidikan anak-anak telantar. Mereka memiliki kesulitan dalam memenuhi kebutuhan untuk sekolah mereka seperti buku tulis, baju seragam dan alat tulis lainnya. Hal ini karena keluarga yang mengurus mereka kurang memperhatikan masalah pendidikan anak-anak tersebut. Sehingga anak tersebut juga memiliki motivasi yang rendah terhadap sekolah padahal dalam usia mereka yaitu 7 hingga 15 tahun merupakan usia untuk wajib belajar.
Pemerintah sebenarnya telah memberikan perhatian khusus bagi anak telantar karena jumlah anak telantar tiap tahunnya kian bertambah.
b.      Bukti Pendukung Masalah
Desa Gunungsari Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur memiliki 9 RW dan jumlah RT sebanyak 35. Adapun jumlah anak telantar yang tersebar di Desa Gunungsari dapat dilihat pada tabel berikut :



Tabel 1 : Lokasi Penyebaran Anak Telantar di Desa Gunungsari
No
Lokasi
(RT/RW)
Jenis Kelamin
Jumlah
1.
02/01
Laki-laki
1
2.
03/01
Perempuan
2


Perempuan
1
3.
03/02
Laki-laki
1


Perempuan
2
4.
01/06
Laki-laki
1


Perempuan
2
5.
02/06
Laki-laki
3


Perempuan
1
6.
03/06
Laki-laki
1
7.
04/06
Laki-laki
1
8.
01/07
Laki-laki
1
Jumlah
17
Sumber : Data Praktikan 2013 (RT,RW,Kader)

Dari data yang telah disebutkan diatas, dapat terlihat bahwa jumlah anak telantar yang ada di Desa Gunungsari Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur berjumlah 17 anak dengan jumlah total perempuan 8 anak dan laki-laki 9 anak. Anak telantar yang ada di Desa Gunungsari rata-rata belum mendapatkan bantuan dari aparat desa mengenai keadaannya. Hal ini karena belum adanya program maupun kebijakan yang berpihak secara khusus pada anak telantar. Bantuan yang pernah diterima hanya (Biaya Operasional Siswa) BOS dari sekolah mereka yang membantu dalam hal buku dan pembayaran iuran sekolah.
c.       Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Masalah
Terdapat beberapa faktor yang menimbulkan masalah anak Telantar yaitu :
1)      Keterbatasan pengetahuan dan kesulitan akses yang dialami oleh aparat desa mengenai program maupun kebijakan yang menangani masalah anak telantar.
2)      Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai anak telantar.
3)      Kurangnya kesadaran orang tua untuk memberikan pengasuhan dan kebutuhan yang optimal bagi anak. Jadi mereka hanya fokus pada kondisi ekonomi nya yang lemah dan memutuskan mencari pekerjaan hingga menjadi TKW tanpa memikirkan kondisi anaknya. Mereka menganggap, dengan menitipkan anaknya pada kerabat dapat memenuhi semua kebutuhan anak terutama kebutuhan kasih sayang dan pendidikan.
d.      Tataran Timbulnya Masalah Sosial
Permasalahan sosial yang timbul yaitul rentannya anak telantar terhadap putus sekolah karena belum adanya kebijakan maupun program yang menangani masalah anak telantar secara khusus yaitu dalam tataran lokal yaitu Desa Gunungsari Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. Hal ini karena masih terbatasnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat dan aparat desa mengenai permasalahan anak telantar.
    II.            EVALUASI KEBIJAKAN
Tidak adanya pelayanan sosial yang diberikan pemerintah kepada anak telantar membuat permasalahan anak telantar khususnya di Desa Gunungsari kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur belum mendapatkan pelayanan maupun jaminan yang seharusnya dapat mereka terima sebagai Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Telah disebutkan sebelumnya bahwa anak sebagai tunas penerus bangsa berhak mendapatkan penghidupan yang layak agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik. Dalam masa perkembangannya, anak membutuhkan banyak kebutuhan dan yang tentunya tak boleh terlupakan adalah masalah pendidikan mereka.
Program Wajib belajar 9 tahun (WAJAR) yang disampaikan pemerintah mengungkapkan bahwa sebagai anak, mereka memiliki kewajiban utama untuk sekolah. Hal ini karena, bagi anak yang memiliki pendidikan lebih baik atau tinggi, kecerdasan mereka akan mempengaruhi kehidupan mereka selanjutnya. Sedangkan apabila pendidikan mereka rendah, mereka akan mengalami kesulitan di masa depan. Dari rendahnya pendidikan ini jangan sampai membuat permasalahan ekonomi di Indonesia menjadi semakin meningkat.
Namun hingga saat ini memang belum ada bantuan atau pelayanan yang dikhusukan bagi anak telantar yang sampai di Desa Gunungsari. Masyarakat sekitar pun masih belum memahami makna dari anak telantar. Mereka menganggap bahwa anak yang masih memiliki orang tua atau ada yang mengurusnya bukan merupakan anak telantar. Padahal pengertian dari anak telantar tidak hanya berarti tidak ada yang mengurus tapi juga harus diperhatikan dari segi pendidikan dan kebutuhan lainnya.
a.      Alternatif Kebijakan
Untuk menyelesaikan permasalahan sosial anak telantar khusunya yang ada di Daerah Kabupaten Ciranjang, pemerintah Kabupaten Cianjur seharusnya melakukan tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bentuk keperdulian dan usaha untuk menyelesaikan permasalah anak telantar yang ada. Tindakan tersebut dilakukan agar pemerintah kabupaten tidak lagi tergantung pada pemerintah pusat yang masih memiliki keterbatasan salah satunya dalam hal pendistribusian bantuan.
Selain itu juga, pemerintah kabupaten dapat secara aktif mencari tahu cara menuntaskan masalah anak telantar dari pemerintah pusat namun dilakukan pada tingkat kabupaten, paling tidak pemerintah kabupaten mau melakukan usaha untuk membantu menyelesaikan permasalahan anak telantar yang ada.
Untuk mengatasi permasalahan anak telantar di Desa Gunungsari, alternatif-alternatif yang mungkin bisa dilakukan dengan mempertimbangkan analisis manfaat dan kerugiannya (Benefit and Cost Analysis) adalah :
1)   Melaksanakan Program Nasional Pengembangan Masyarat Generasi Sehat dan Cerdas (PNPM GSC) secara optimal dan memasukan anak telantar sebagai sasaran utama juga. Hal ini karena, PNPM GSC memberi bantuan pada ranah kesehatan dan pendidikan bagi ibu hamil dan anak dari keluarga yang tidak mampu. Bantuan tersebut bisa berupa alat tulis, buku, seragam, alat transpotasi yaitu sepeda dan lain-lain. Hal ini dikarenakan anak telantar yang ada di Desa Gunungsari rata-rata datang dari keluarga miskin dan memiliki keterbatasan dalam melaksanakan kewajiban mereka untuk sekolah. Mereka disebut telantar karena tinggal tidak bersama orang tuanya dan memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhannya. Aparat desa sebagai pemimpin desa bisa memberikan kebijakan agar bagi anak yang ditinggal orang tuanya bekerja ke luar negeri bisa mendapatkan bantuan dari PNPM GSC sebagai jaminan agar mereka dapat tetap sekolah dengan baik sehingga tidak mengalami kerentanan terhadap putus sekolah yang nantinya akan membuat permasalahan sosial yang ada di Desa Gunungsari menjadi lebih kompleks.
2)   Pembentukan Kas Desa atau Kas RW yang diambil dari warga masyarakat sekitar dengan jumlah atas kesepakatan bersama masyarakat misalnya seribu satu hari dan disetor kan pada (Tim Kerja Masyarakat) TKM yang mengurusi anak telantar untuk kebutuhan mereka. Sehingga anak telantar tidak lagi memiliki kerentanan terhadap putus sekolah.
3)   Memasukan anak telantar kedalam Panti. Alternatif Kebijakan ini bisa dikatakan alternatif kebijakan paling akhir apabila pada akhirnya anak telantar benar-benar mengalami putus sekolah. Panti tersebut yaitu Panti Sosial Bina Remaja atau bisa juga panti swasta yang menangani masalah remaja atau anak telantar. Hal ini karena, apabila mereka masuk dalam panti, kemungkinan mereka bisa meneruskan sekolahnya atau sekedar mendapatkan keterampilan atau keahlian agar anak telantar tidak berada dalam keadaan benar-benar tidak berdaya saat mereka putus sekolah.






Tabel 2 : Analisis Alternatif Kebijakan dengan Cost and Benefit
No.
Alternatif Kebijakan
Kelemahan (Cost)
Kelebihan (Benefit)
1.
Memasukan anak telantar dalam PNPM GSC yang tengah dilaksanakan di Desa Gunungsari.
·   Kurangnya sosialisasi bagi keluarga anak telantar
·   Kesulitan untuk mengakses
·  Dapat memberikan bantuan secara langsung kepada anggota yang membutuhkan.
·  Memberikan bantuan sesuai dengan hal yang dibutuhkan oleh anak
·  Memberikan bantuan secara langsung.
·  Pemberian bantuan yang telah dilakukan  dilaksanakan dengan jelas dan transparan pada aparat desa maupun masyarakat yang mendapat bantuan.
2.
Membuat Kas Desa atau Kas RW
·  Sulit dalam sosialisasi
·  Belum tentu akan ada yang setuju
·  Belum tentu akan ada yang menjadi pengurus
·  Mungkin akan banyak yang menolak
·  Partisipasi bisa saja rendah.
·  Anak mendapat bantuan uang.
·  Anak mendapat bantuan secara rutin
·  Meningkatkan kepedulian masyarakat sekitar terhadap anak telantar.
3.
Memasukan anak telantar ke Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) maupun Panti Swasta.
·  Anak belum tentu mau
·  Orang tua belum tentu mengijinkan
·  Kesulitan mencapai lokasi panti
·  Banyak nya kriteria yang dibutuhkan untuk memasukan anak dalam panti.
·  Anak mendapatkan kebutuhan untuk hidup seperti makan dll
·  Anak mungkin bisa melanjutkan sekolah
·  Anak akan mendapatkan keterampilan atau keahlian.







 III.            STRATEGI ADVOKASI
Dalam pelaksanaanya, kebijakan yang telah dirumuskan akan membuat pro kontra dari berbagai pihak. Berikut pemaparannya :
a.       Stake holder yang mendukung : dari pihak aparat desa ada yang mau memberikan perhatian bagi anak telantar, anggota tim PNPM GSC, orang tua angkat anak telantar maupun orang yang mengurus anak telantar.
b.      Perangkat kelembagaan yang dapat mendukung penerapan kebijakan yaitu Aparat Desa Gunungsari, TKM RW 06 dan  anggota tim GSC.
 IV.            KESIMPULAN
Dalam naskah kebijakan ini dipaparkan mengenai permasalahan yang dialami anak telantar khususnya yang ada di Desa Gunungsari. Dimana mereka mengalami ketelantaran karena orang tua mereka pergi bekerja dan meninggalkan mereka bersama pengasuh mereka tanpa memikirkan kebutuhan anak tersebut.
Permasalahan utama yang dialami anak telantar di Desa ini adalah rentannya anak telantar terhadap putus sekolah karena kurang terperhatikannya masalah pendidikan anak telantar oleh kerabat maupun anggota keluarga yang dititipkan anak telantar tersebut. Masalah ini apabila dibiarkan akan membuat anak telantar menjadi putus sekolah sehingga akan timbul masalah lainnya yang akan lebih kompleks.

Dari beberapa alternatif kebijakan yang telah disampaikan, alternatif yang memasukan anak telantar sebagai sasaran anggota GSC merupakan alternatif kebijakan yang dianggap paling baik. Sebenarnya semua alternatif kebijakan yang disampaikan adalah baik. Namun apabila dikaji dan di analisis lagi, memasukan anak telantar dalam sasaran GSC dapat membantu anak mendapatkan kebutuhannya sesuai dengan keadaannya. Apalagi PNPM GSC juga memang memberikan bantuan program pada anak di bidang pendidikan. Dan kebetulan juga memang program PNPM GSC ini sedang digalakkan di Desa Gunungsari Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur.