Search This Blog

Search This Blog

Saturday, September 8, 2018

PEKERJA SOSIAL DAN LISENSI PRAKTIK: BAHAN PERMENUNGAN

“Nothing is permanent but change.”  Heraclitus (c.500 BC)

“Diibaratkan petinju, kini banyak lembaga pendidikan pekerjaan sosial yang sempoyongan dan bahkan tidak sedikit yang sudah pingsan. Bukan karena dipukul lawan mainnya. Melainkan karena kurang gizi dan motivasi, akibat sudah sekian lama ditinggalkan penontonnya.”

Perdebatan mengenai perlu tidaknya pekerja sosial memiliki lisensi untuk praktik telah lama berlangsung. Bila dipetakan, kelompok orang yang setuju dengan lisensi praktik membayangkan pekerjaan sosial sebagai profesi pertolongan kemanusiaan yang mirip dengan dokter, psikolog, perawat, dll. Sementara itu, kelompok yang kurang setuju, melihat pekerjaan sosial dalam konteks yang lebih luas, seperti perencana sosial, atau  analis kebijakan pembangunan (bukan kebijakan sosial).

Bila diruntut, tampaknya kelompok pertama melihat kesejahteraan sosial dalam kacamata yang spesifik, yakni sebagai arena atau aktifitas pertolongan terhadap vulnerable groups. Sedangkan kelompok kedua, melihat kesejahteraan sosial sebagai bidang ilmu atau studi yang luas yang menjangkau segala bentuk pembangunan sosial. Generalisasi sederhana memberi petunjuk bahwa “mazhab Depsos” berada pada kubu pertama. Sedangkan, “Mazhab Diknas” berada pada kubu kedua. Masing-masing mazhab mewariskan paradigmanya kepada generasi berikutnya. Sehingga, seakan-akan, generasi penerus perlu merasa berdosa jika berbeda dengan mainstream pemikiran para seniornya.

Kontroversi mengenai soal ini ternyata juga masih berlangsung di negara-negara maju, khususnya di AS. Eileen Gambrill dan Robert Pruger (1992) mendokumentasikannya dalam buku Controversial Issues in Social Work. Dalam salah satu babnya yang berjudul Should Social Workers be Licensed? dipaparkan dua kubu yang berbeda antara James M. Karls yang setuju dan Thaddeus P. Mathis yang sebaliknya.

Sebelum membahas perdebatan dua kubu ini, ada baiknya kita diskusikan terlebih dahulu mengenai sertifikasi dan perijinan.

Setifikat dan Lisensi

Perkembangan mengenai lisensi pekerjaan sosial, adalah bagian dari gerakan evolusi “sertifikasi ke perijinan.” Sertifikasi adalah proses dengan mana pemerintah memberikan pengakuan terhadap seorang individu yang telah memenuhi kualifikasi tertentu. Sertifikasi berkaitan dengan pemberian ijazah yang menyatakan bahwa seseorang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dan karenanya layak menyandang, misalnya, gelar sarjana pekerjaan sosial. Dengan demikian, sertifikasi menyangkut “pengontrolan gelar”, tetapi tidak secara otomatis memberi wewenang kepada yang bersangkutan untuk melakukan praktik mandiri dalam pekerjaan atau profesinya. Lantas, apa itu lisensi?

Dalam novel-novel Ian Fleming, agen rahasia James Bond diberi “lisensi untuk membunuh” (licensed to kill). Ia diberi ijin oleh masyarakat untuk mengakhiri hidup orang lain dalam kondisi tertentu. Ia tidak akan dipersalahkan dan dituntut peradilan sebagaimana jika orang lain melakukan hal serupa. Meskipun analogi ini merupakan contoh dramatis, lisensi pada intinya menyangkut soal seperti ini. Lisensi adalah ijin yang diberikan kepada orang tertentu dalam masyarakat untuk melakukan sesuatu; sesuatu yang tidak diijinkan dilakukan oleh orang lain. Seorang dokter bedah diberi ijin untuk menyayat tubuh manusia, perawat diperbolehkan melayani proses pengobatan, guru memiliki hak untuk mengajar.

Secara formal lisensi atau perijinan adalah proses dengan mana sebuah lembaga pemerintah memberikan ijin kepada seseorang untuk terlibat dalam pekerjaan tertentu berdasarkan pengujian bahwa yang bersangkutan telah memiliki tingkat  kompetensi yang diperlukan untuk menjamin bahwa kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat dapat dilindungi dengan baik.

Pro

Menurut Karls, pertanyaan mengenai perlu atau tidaknya pekerja sosial memiliki lisensi praktik pada intinya mengarah pada pertanyaan: (1) apakah para pekerja sosial memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus, serta karakteristik sebagai sebuah profesi, dan (2) apakah kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat akan terlindungi dengan adanya lisensi. Meskipun Karls setuju lisensi, ia menyatakan bahwa berdasarkan studinya mengenai proses profesionalisasi, ‘social work is still a “semiprofession,” that is, it does not yet have all the characteristics of a “full profession.” Menurutnya, meskipun terdapat kerangka pengetahuan, jaringan sekolah-sekolah pekerjaan sosial, asosiasi profesional nasional, kode etik, sanksi sosial, dan model pelayanan, pekerjaan sosial masih kurang memiliki a common language (kesepakatan cara dalam menjelaskan masalah klien), exclusivity (bidang praktik yang secara khusus milik pekerjaan sosial dan tidak bercampur-aduk dengan profesi lain), dan a clear acceptance dari masyarakat terhadap kemampuan pekerja sosial dalam menyembuhkan suatu masalah.

Di AS, sebelum tahun 1960 ide mengenai praktik mandiri yang bersifat mencari keuntungan masih asing bagi pekerjaan sosial. Sekarang ini, ribuan pekerja sosial membuka praktik di kantornya masing-masing dan menerima bayaran langsung dari kliennya atau dari lembaga pemberi asuransi. Gerakan perlisensian ini sedikitnya dipengaruhi oleh tiga faktor: (1) peningkatan dramatis jumlah pekerja sosial yang berpraktik dalam kurun waktu 30 tahun ini disertai dengan ketidakpastian mengenai kualifikasi para pekerja sosial tersebut, (2) semakin menjauhnya pekerjaan sosial dari greja dan lembaga-lembaga nir-laba menuju praktik mandiri, dan (3) gerakan dari para pekerja sosial sendiri untuk meningkatkan citra pekerja sosial agar dapat lebih bersaing di pasar dan mampu memperoleh bayaran langsung dari pelanggan ketimbang dari lembaga pemberi pelayanan kemanusiaan.
Kontra

Mathis berargumen bahwa demi alasan profesionalisme, politis, ideologis dan etis, pekerja sosial tidak perlu diberi lisensi oleh negara pada saat ini. Pemberian lisensi tidak akan meningkatkan kualitas barang dan jasa yang diberikan oleh para pekerja sosial. Sebaliknya, perijinan mengarah pada terbentuknya stratifikasi dan rasisme kelembagaan. Secara khusus, perijinan telah membawa akibat buruk pada penduduk “kulit hitam” (Afro-Amerika), “kulit berwarna” dan kelompok miskin.

Ada beberapa argumen yang mendasari penolakan terhadap lisensi ini: (a) lisensi pekerjaan sosial mempersempit ruang lingkup dan hakekat pelayanan bagi orang-orang “kulit berwarna” dan “kelompok tidak beruntung” lainnya, (b) lisensi membatasi kesempatan kerja orang-orang kulit berwarna, khususnya dengan skrining yang berbasis pendidikan universitas yang bias dan tidak menghargai perspektif lain di luar pekerjaan sosial, (c) lisensi dapat dianggap sebagai upaya para pemimpin NASW untuk membangun hegemoni atas praktik profesional agar keanggotaan NASW dipandang sebagai “keanggotaan yang luar biasa.”

Menurut Mathis, munculnya gagasan pemberian lisensi bagi pekerja sosial terutama didorong oleh para pekerja sosial “aliran klinis” yang ingin berpraktik mandiri dan akan memperoleh manfaat dari bayaran langsung klien-kliennya. Kelompok pekerja sosial mikro ini hanya berjumlah sekitar 20% dari keseluruhan pekerja sosial berpendidikan dan terlalih yang ada di AS. Karenanya, para praktisi pekerja sosial makro dan pendidik pekerjaan sosial tidak akan diuntungkan dengan adanya lisensi ini.

Dorongan lain terhadap gagasan ini adalah adanya keinginanan dari para pekerja sosial untuk meningkatkan pendapatannya. Mengingat, banyak pekerja sosial yang bekerja di lembaga-lembaga nir-laba dengan klien yang umumnya berasal dari kelas ekonomi rendah. Dengan adanya lisensi, selain citra pekerja sosial dapat terangkat, pekerja sosial juga memungkinkan memperoleh penghasilan tambahan. 

Penutup

Lisensi dapat melindungi masyarakat dari malparktik, sekaligus juga dapat meningkatkan kredibilitas pekerjaan sosial. Namun, bila lisensi dimaksudkan untuk mempersenjatai pekerja sosial dan dapat praktik mandiri, Karls menyarankan bahwa:’…social workers must be able to market themselves as having special competence to provide certain services that, hopefully, the client in need will buy.’ 

Yang terpenting, pertanyaan mengenai perlu tidaknya lisensi bagi pekerja sosial harus dijawab bukan hanya oleh pekerja sosial itu sendiri, melainkan pula oleh masyarakat dan para pembuat kebijakan. Agar, seperti makna ucapan Heraclitus di awal tulisan, pekerjaan sosial tetap berdenyut; bergerak dan maju bersama zaman. Dan seperti analogi dunia tinju, pekerjaan sosial masih diminati penontonnya. 

Semoga bahan ini dapat direnungkan oleh kita bersama secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

No comments:

Post a Comment