PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di
tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Kemiskinan
senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para
praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan
untuk menyibak tirai dan mungkin “misteri” mengenai kemiskinan ini. Dalam
konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial
yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Ini bukan saja
karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena masalah
ini masih hadir di tengah-tengah kita dan bahkan kini gejalanya semakin
meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh
Bangsa Indonesia. Meskipun pembahasan kemiskinan pernah mengalami tahap
kejenuhan sejak pertengahan 1980-an, upaya pengentasan kemiskinan kini semakin
mendesak kembali untuk dikaji ulang. Beberapa alasan yang mendasari pendapat
ini antara lain adalah:
Pertama, konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal,
yakni “kemiskinan pendapatan” atau “income-poverty” (Chambers, 1997).
Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan
yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan
seakan-akan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan
seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua, jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa menunjukkan angka
yang tinggi, baik secara absolut maupun relatif, di pedesaan maupun perkotaan
Meskipun Indonesia pernah dicatat sebagai salah satu negara berkembang yang
sukses dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali
menjadi isu sentral di Tanah Air karena bukan saja jumlahnya yang kembali
meningkat, melainkan dimensinya pun semakin kompleks seiring dengan menurunnya
kualitas hidup masyarakaat akibat terpaan krisis ekonomi sejak tahun 1997.
Ketiga, kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar
(multiplier effects) terhadap tatanan kemasyarakatan secara menyeluruh.
Berbagai peristiwa konflik di Tanah Air yang terjadi sepanjang krisis ekonomi,
misalnya, menunjukkan bahwa ternyata persoalan kemiskinan bukanlah semata-mata
mempengaruhi ketahanan ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli
masyarakat, melainkan pula mempengaruhi ketahanan sosial masyarakat dan
ketahanan nasional.
Sadar bahwa isu kemiskinan merupakan masalah laten yang senantiasa
aktual, pengkajian konsep kemiskinan merupakan upaya positif guna menghasilkan
pendekatan dan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah krusial yang
dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini.
KONSEP KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan konsep yang berwayuh wajah, bermatra
multidimensional. Ellis (1984:242-245), misalnya, menunjukkan bahwa dimensi
kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara
ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan
sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek
finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka
kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya
yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis
kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode
pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar
2,100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu
atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari
adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut.
Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan
(power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang
dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan
sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap
kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada
dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan
keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan
dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan
peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai
kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah
atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang
ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi
faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin
itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori
“kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya,
menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau
kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah
pada nasib, kurang memiliki etos kerja dsb. Faktor eksternal datang dari luar
kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan
resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan
model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut
pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si misikin
untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur
sosial dalam menydiakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat
bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih
tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan
merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana akan
dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga sangat
dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep
keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan
dan situasi sosialnya.
POTRET KEMISKINAN DI INDONESIA
Masalah kemiskinan merupakan isu sentral di Tanah Air, terutama setelah
Indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999.
Setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara
spektakuler dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat
kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS,
UNDP dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada periode
1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta
jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS, 1999). Sementara itu,
International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di
Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari
seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).
Data dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998,
telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin secara hampir sama di wilayah
pedesaan dan perkotaan, yaitu menjadi sebesar 62,72% untuk wilayah pedesaan dan
61,1% untuk wilayah perkotaan. Secara agregat, presentasi peningkatan penduduk
miskin terhadap total populasi memang lebih besar di wilayah pedesaan (7,78%)
dibandingkan dengan di perkotaan (4,72%). Akan tetapi, selama dua tahun
terakhir ini secara absolut jumlah orang miskin meningkat sekitar 140% atau
10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan, sedangkan di pedesaan sekitar 105% atau
16,6 juta jiwa (lihat Remi dan Tjiptoherijanto, 2002).
Data di atas mengindikasikan bahwa krisis telah membuat penderitaan
penduduk perkotaan lebih parah ketimbang penduduk pedesan. Menurut Thorbecke
(1999) setidaknya ada dua penjelasan atas hal ini: Pertama, krisis cenderung
memberi pengaruh lebih buruk pada beberapa sektor ekonomi utama di perkotaan,
seperti perdagangan, perbankan dan konstruksi. Sektor-sektor ini membawa dampak
negatif dan memperparah pengangguran di perkotaan. Kedua, pertambahan harga
bahan makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk pedesaan, karena mereka
masih dapat memenuhi kebutuhan dasarnya melalui sistem produksi subsisten yang
dihasilkan dan dikonsumsi sendiri. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat
perkotaan dimana sistem produksi subsisten, khususnya yang terkait dengan
pemenuhan kebutuhan makanan, tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.
Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori
kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini
jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan,
pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang
tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan
ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan,
kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis,
sosial dan politik.
Selain kelompok di atas, terdapat juga kecenderungan dimana krisis
ekonomi telah meningkatkan jumlah orang yang bekerja di sektor informal.
Merosotnya pertumbuhan ekonomi, dilikuidasinya sejumlah kantor swasta dan
pemerintah, dan dirampingkannya struktur industri formal telah mendorong orang
untuk memasuki sektor informal yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998)
memperkirakan bahwa selama periode krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan
hubungan kerja terhadap 5,4 juta pekerja pada sektor industri modern telah
menurunkan jumlah pekerja formal dari 35 persen menjadi 30 persen. Menurut
Tambunan (2000), sedikitnya setengah dari para penganggur baru tersebut diserap
oleh sektor informal dan industri kecil dan rumah-tangga lainnya. Pada sektor
informal perkotaan, khususnya yang menyangkut kasus pedagang kaki lima,
peningkatannya bahkan lebih dramatis lagi. Di Jakarta dan Bandung, misalnya,
pada periode akhir 1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300 persen
(Kompas, 23 November 1998; Pikiran Rakyat, 11 October 1999). Dilihat dari
jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar. Namun
demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosial ekonomi
pekerja sektor informal masih berada dalam kondisi miskin dan rentan.
Kementrian Sosial tidak pernah absen dalam mengkaji masalah kemiskinan
ini, termasuk melaksanakan program-program kesejahteraan sosial – yang dikenal
PROKESOS – yang dilaksanakan baik secara intra-Kementrian maupun
antar-Kementrian bekerjasama dengan kementrian-kementrian lain secara lintas
sektoral. Dalam garis besar, pendekatan Kemensos dalam menelaah dan menangani
kemiskinan sangat dipengaruhi oleh perspektif pekerjaan sosial (social work).
Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau
pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan
kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of knowledge), nilai-nilai
(body of value) dan keterampilan (body of skils) profesional yang umumnya
diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerjaan sosial (S1, S2 dan S3).
STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN: KONSEPSI PEKERJAAN SOSIAL
Salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia yang
senantiasa menuntut keterlibatan pekerjaan sosial dalam penanganannya adalah
masalah kemiskinan. Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan
yang fokus utamanya untuk membantu orang agar dapat membantu dirinya sendiri.
Dalam proses pertolongannya, pekerjaan sosial berpijak pada nilai, pengetahuan
dan keterampilan profesional yang mengedepankan prinsip keberfungsian sosial
(social functioning) (Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1989; Morales, 1989;
Suharto, 1997). Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada
“kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam
menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan
nilai bahwa klien adalah subyek pembangunan; bahwa klien memiliki kapabilitas
dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien
memiliki dan/atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan
sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya.
Sebagamana halnya profesi kedokteran berkaitan dengan konsepsi “kesehatan”,
psikolog dengan konsepsi “perilaku adekwat”, guru dengan konsepsi “pendidikan”,
dan pengacara dengan konsepsi “keadilan”, keberfungsian sosial merupakan
konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial karena merupakan pembeda antara
profesi pekerjaaan sosial dengan profesi lainnya. Morales dan Sheafor (1989:18)
menyatakan:
Social functioning is a helpful concept because it takes into
consideration both the environment characteristics of the person and the forces
from the environment. It suggests that a person brings to the situation a set
of behaviors, needs, and beliefs that are the result of his or her unique
experiences from birth. Yet it also recognizes that whatever is brought to the
situation must be related to the world as that person confronts it. It is in
the transactions between the person and the parts of that person’s world that
the quality of life can be enhanced or damaged. Herein lies the uniqueness of
social work.
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan
persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan
individual-struktural. Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan
yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling
miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin.
Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan
(umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki
akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor).
Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun secara relatif
memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki
sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta
hurup,).
3. Kelompok rentan
(vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemesikinan,
karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute
maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak
miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya.
Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan
“destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Secara tegas, memang sulit mengkategorikan bahwa sasaran garapan
pekerjaan sosial adalah salah satu kelompok dari ketiga kelompok di atas.
Pekerjaan sosial melihat bahwa kelompok sasaran dalam menangani kemiskinan
harus mencakup tiga kelompok miskin secara simultan. Dalam kaitan ini, maka seringkali
orang mengklasifikasikan kemiskinan berdasarkan “status” atau “profil” yang
melekat padanya yang kemudian disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS). Gelandangan, pengemis, anak jalanan, suku terasing, jompo terlantar,
penyandang cacat (tubuh, mental, sosial) dll adalah beberapa contoh PMKS yang
sering diidentikan dengan sasaran pekerjaan sosial di Indonesia. Belum ada
hasil penelitian yang komprehensif apakah mereka ini tergolong pada kelompok
destitute, poor atau vulnerable. Namun dapat diasumsikan bahwa proporsi jumlah
PMKS diantara ketiga kategori tersebut membentuk piramida kemiskinan.
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi
penanganan kemiskinan pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan
orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya.
Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan
multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran
perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang
dihadapinya. Prinsip ini dikenal dengan pendekatan “person-in-environment dan
person-in-situation”.
Pada pendekatan pertama, pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan
sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana
si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer
group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan
(institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk
PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Kemensos dapat disederhanakan
menjadi:
1. Pemberian pelayanan dan
rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial.
2. Program jaminan,
perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya,
strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan
self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah
dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan
dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. PROKESOS
penanganan kemiskinan dapat dikategorikan kedalam beberapa strategi:
1. Strategi kedaruratan.
Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam.
2. Strategi kesementaraan
atau residual. Misalnya, bantuan stimulan untuk usaha-usaha ekonomis produktif.
3. Strategi pemberdayaan.
Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan
partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
4. Strategi “penanganan
bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the
missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat
memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci
kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya.
Misalnya, pemberian kredit, program KUBE atau Kelompok Usaha Bersama.
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang
memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas profesional dan lintas lembaga. Kementrian
Sosial merupakan salah satu lembaga pemerintah yang telah lama aktif dalam
program pengentasan kemsikinan. Dalam strateginya Kemensos berpijak pada teori
dan pendekatan pekerjaan sosial.
Strategi penanganan kemiskinan dalam persepektif pekerjaan sosial
terfokus pada peningkatan keberfungsian sosial si miskin (dalam arti individu
dan kelompok) dalam kaitannya dengan konteks lingkungan dan sistuasi sosial.
Dianalogikan dengan strategi pemberian ikan dan kail, maka strategi pengentasan
kemiskinan tidak hanya bermatra individual, yakni dengan:
(a) Memberi ikan; dan
(b) Memberi kail.
Lebih jauh lagi, pekerjaan sosial berupaya untuk mengubah
struktur-struktur sosial yang tidak adil, dengan:
(c) Memberi keterampilan
memancing;
(d) Menghilangkan dominasi
kepemilikan kolam ikan; dan
(e) Mengusahakan
perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan hasil memancing
tersebut.
No comments:
Post a Comment