Search This Blog

Search This Blog

Thursday, January 8, 2015

HAK AZASI SOSIAL-POLITIK PEREMPUAN


Oleh: Carolina Nitimihardjo

ABSTRAKS
Peran kaum perempuan dalam dunia politik di Indonesia sudah ada sejak lama, sejak masa kolonialisme sampai kemerdekaan, dengan memperlihatkan pasang surut yang cukup dinamis.  Pada saat sebelum kemerdekaan, yaitu pada saat pembetukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang terdiri dari 68 orang, dua orang diantaranya adalah perempuan, yaitu Ny.Maria Ulfah Santoso dan Ny.RSS Soenarjo Mangoenpoespito.

A. PENDAHULUAN

Demikian pula halnya  dalam jabatan publik, pada tahun 1946 di masa pemerintahan kabinet Syahrir, untuk pertamakalinya dalam sejarah jabatan publik,  seorang perempuan bernama Ny.Maria Ulfah Santoso diangkat menjadi Menteri Sosial.  Pada tahun 1947 di masa pemerintahan kabinet Amir Syarifudin, Ny.SK Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan.

Pada era reformasi sekarang ini, globalisasi memberi peluang yang lebih luas dan lebih baik terhadap perempuan untuk berperan sejajar dan bermitra dengan kaum laki-laki, baik dalam konteks isu hak asasi manusia, demokratisasi maupun keadilan dan kesetaraan gender.  Telah banyak perundang-undangan maupun peraturan lain yang mendorong kaum perempuan untuk berkiprah lebih luas dalam berbagai sektor kehidupan termasuk dalam kehidupan berpolitik. 

Oleh karena itu, kaum perempuan hendaknya pandai-pandai melihat dan memanfaatkan peluang emas ini secara maksimal untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan itu sendiri. Peran perempuan yang telah masuk ranah publik hendaknya tetap memperhatikan peran dan fungsi perempuan sebagai seorang ibu dan sebagai seorang istri. 

Peran, fungsi, dan kedudukan perempuan mendapat peluang besar untuk berkarya di dalam berbagai bidang kehidupan, walaupun di dalam implementasinya mengalami berbagai hambatan struktural maupun non struktural, internal maupun eksternal perempuan.  Seiring dengan perkembangan kehidupan dan permasalahannya, berbagai masalah perempuan mulai diakomodir oleh pemerintah dengan menerbitkan kebijakan dalam bentuk perlindungan kepada kaum perempuan.

Walaupun kaum perempuan telah diberi peluang untuk berkecimpung di bidang politik, termasuk menjadi calon legislatif, namun kesempatan tersebut tetap sangat bergantung pada keputusan pimpinan partai yang pada kenyataannya lebih didominasi kaum laki-laki yang sebagian besar masih melihat dan berpandangan bahwa kaum perempuan tempatnya di rumah bukan di ranah publik. Iklim organisasi yang demikian tentunya sangat tidak kondusif bagi kaum perempuan.  Aktivis perempuan akan mundur dari kancah politik, ketika hati nurani tidak bisa menyesuaikan diri dengan  intrik internal partai politik yang cenderung tajam.  Ditambah lagi apabila kaum perempuan tersebut menyadari bahwa berpolitik itu bukan habitat mereka.       

Kaum perempuan bukan tidak memahami dunia politik, namun kematangannya di dunia politik belum merupakan representasi wajah perempuan sesungguhnya.  Masih ada waktu bagi perempuan untuk mempersiapkan diri agar lebih matang memasuki dunia politik. 



B.   KOMITMEN PEMERINTAH
       Kaum perempuan di Indonesia dewasa ini berpeluang besar untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di ranah publik. Dengan semakin besarnya partisipasi perempuan diharapkan akan menjamin penghapusan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, secara individu atau  kelompok, tanpa ada yang terpinggirkan.

       Peluang besar untuk berpartisipasi bagi perempuan tersebut merupakan hasil dari upaya-upaya pemerintah di bidang kebijakan. Pemerintah telah meratifikasi beberapa konvensi PBB dan menetapkan beberapa kebijakan untuk menunjukkan komitmennya dalam melindungi hak perempuan. Adapun produk kebijakan yang berkenaan dengan komitmen pemerintah tersebut diantaranya :
1.   Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Kovensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi  terhadap Perempuan (CEDAW).
2 . Undang-Undang  Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3.  Undang-Undang  Nomor  26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
4.  Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2003 tentang Partai Politik.
5.  Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
6.  Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.
7.  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia  Nomor  87  Tahun  2002  tentang
     Rencana  Aksi Nasional  Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
8.  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia Nomor 88  Tahun 2002 tentang  Rencana
     Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
9.  Keputusan  Menteri  Dalam  Negeri  Nomor 132  tahun 2003  tentang Pedoman
     Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah.

       Selain itu pemerintah juga telah menetapkan strategi khusus yang dikenal dengan istilah pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) atau disingkat dengan PUG, yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Selanjutnya Instruksi Presiden tersebut ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri dalam Negeri tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah. Kesungguhan  pemerintah semakin nyata dengan dirancangnya program strategis untuk pengarusutamaan gender melalui Surat Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor  27 Tahun 2005 tentang Penetapan Rencana Strategis Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 – 2009.

       Strategi ini dibangun untuk menjadikan gender sebagai suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan, sehingga setiap kebijakan berdampak pada keadilan gender. Selain itu juga strategi ini merupakan alat untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan agar mereka dapat menjadi warga negara yang berperan secara utuh dalam setiap proses pembangunan.

       Kegiatan-kegiatan yang menyuarakan kepentingan perempuan dalam kebijakan publik, baik nasional maupun lokal, seharusnya dimaknai sebagai tindakan yang juga relevan bagi kepentingan masyarakat secara umum. Perlindungan terhadap perempuan  merupakan bentuk pemenuhan hak asasi manusia untuk menghilangkan hambatan terhadap individu dan kelompok manapun dalam menjaga martabatnya.

      Oleh karena itu, perlu disadari bahwa memperjuangkan perempuan tidak sama dengan perjuangan perempuan melawan laki-laki. Persoalan penindasan terhadap perempuan bukanlah persoalan laki-laki, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan ketidakadilan gender.  Gerakan kaum perempuan adalah gerakan transformasi sosial dan bukan gerakan untuk membalas dendam kepada laki-laki. Jika demikian, gerakan transformasi perempuan adalah gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia yang secara fundamental lebih baik, yang meliputi hubungan ekonomi, politik, kultural, ideologi, lingkungan, dan termasuk di dalamnya hubungan laki-laki dan perempuan.

       Berdasarkan pada besarnya peluang perempuan untuk berkiprah di ranah publik dan mengingat secara kuantitas jumlah perempuan adalah kurang lebih setengahnya dari jumlah penduduk Indonesia, dan apabila peluang  yang ada dimanfaatkan sepenuhnya, maka keterlibatan perempuan dalam proses sosial-politik akan menjadi semakin banyak.  Dengan semakin banyaknya perempuan yang terlibat aktif dalam proses sosial politik, menjadikan  perempuan sebagai subyek pengambil keputusan di ranah publik dan subyek pembangunan, tidak lagi sebagai beban negara.

       Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan bukanlah semata-mata  dilihat sebagai syarat penting agar kepentingan kaum perempuan dapat diperhitungkan, namun dapat dilihat juga sebagai  sebuah tuntutan akan keadilan demokrasi.  Oleh karena itu, hendaknya keterlibatan perempuan dalam proses sosial-politik  memiliki  efek nyata  dalam perbaikan  sistem demokrasi  dan  berdampak pula pada kebijakan-kebijakan negara yang lebih adil terhadap perempuan. Upaya legal formal melalui kebijakan negara merupakan bagian dari upaya transformasi sosial untuk menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadilan.

       Tanpa partisipasi perempuan yang memadai banyak kebijakan yang kurang berpihak pada kepentingan perempuan dan anak perempuan yang selanjutnya  dapat berdampak pada kepentingan manusia pada umumnya. Kepentingan perempuan dan anak tersebut berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus yang masih kurang tajam diperhitungkan dalam perumusan kebijakan publik.

Adapun kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan tersebut diantaranya meliputi :
1.  Penghapusan kekerasan terhadap perempuan, termasuk perdagangan perempuan.
2.  Persamaan  hak  untuk  memperoleh  pekerjaan dan  akses  pada  sumber  daya,
     termasuk   bagi  perempuan kepala keluarga yang menjadi tulang punggung ekonomi
     keluarga.
3.  Peningkatan  keterwakilan  perempuan  dalam  lembaga-lembaga   strategis  sebagai
     pengambil keputusan.
4.   Pemenuhan kesehatan reproduksi, seperti cara ber-KB yang aman, kesehatan ibu hamil, kematian  ibu/anak saat melahirkan, dan semacamnya.
5.  Pemberian rasa aman bagi perempuan di wilayah konflik.
6.  Penanggulangan  bencana alam  yang  peka gender, termasuk pelibatan perempuan
     dalam tahap-tahap tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

    Mengenai  pemenuhan kebutuhan perempuan akan peningkatan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga strategis sebagai pengambil keputusan dipandang belum sesuai dengan harapan.  Meskipun sudah  banyak  produk  peraturan  dari  Undang-Undang  Dasar,  Undang-Undang,  sampai keputusan menteri yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan dan meningkatkan  partisipasi mereka di wilayah publik, namun kenyataan menunjukkan bahwa posisi perempuan belumlah seperti yang diharapkan.  Hal tersebut nampak dari partisipasi dan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik dan lembaga strategis penentu kebijakan publik, di tingkat nasional maupun lokal, masih sangat rendah. Pada tahun 1997 jumlah anggota DPR perempuan 11,2%, pada tahun 1999  hanya  8,8% dan pada tahun 2004 jumlah anggota DPR perempuan meningkat menjadi 11%.  Pada tahun 1999 jumlah pejabat perempuan eselon I hanya 12%, jumlah PNS perempuan bergolongan empat hanya 28%.  Hanya ada 1 perempuan yang menjadi Ketua Pengadilan Tinggi dari 26 pengadilan tinggi, dan hingga kini tidak ada satu pun perempuan yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama. (Sumber : Ani Soetjipto, Buku Politik Perempuan Bukan Gerhana, data diolah).

       Masih rendahnya partisipasi perempuan juga nampak dalam proses demokrasi, misalnya dalam pemilihan bupati/walikota, gubernur, dan juga presiden.  Langkanya calon perempuan dalam pemilihan pejabat publik menunjukkan bahwa perempuan belum memiliki akses maksimal dalam bidang politik. Keterbatasan akses ini kemungkinan karena perempuan tidak diberikan kesempatan untuk menjadi berpartisipasi dalam wilayah publik, atau juga dapat disebabkan oleh kualitas perempuan yang dianggap belum sesuai dengan  kriteria kualitas  yang dipersyaratkan.

       Dari berbagai pemilihan pejabat publik ada kesan bahwa keterlibatan perempuan tidak didasarkan pada kapasitas dan kapabilitas sebagai warga negara, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa para calon perempuan adalah vote getter.  Kenyataan ini menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik belum didasarkan pada pertimbangan yang menganggap perempuan merupakan bagian penting dan mampu berpartisipasi dalam wilayah publik, namun hanyalah merupakan perpanjangan tangan dari upaya politisasi terhadap perempuan. Artinya, perempuan dilibatkan sebagai lips service semata, bukan merupakan upaya substantif untuk memberdayakan dan melibatkan perempuan dalam politik.
       
       Berdasarkan pada kenyataan tersebut,  apakah politik perempuan Indonesia benar-benar diarahkan untuk memberi kesempatan kepada perempuan agar berpartisipasi dalam proses sosial-politik negara ataukah sebagai upaya politisasi terhadap perempuan? Apakah kebijakan negara terhadap perempuan dapat mempengaruhi mindset masyarakat dalam memandang dan memosisikan perempuan agar setara dengan laki-laki?

C. TINDAKAN AFIRMATIF

       Secara teoritik yang tercermin  dalam kebijakan publik, pemerintah dan masyarakat sudah menunjukkan adanya political will  untuk memberikan kesempatan dan akses yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam proses sosial politik.

       Seiring dengan perkembangan isu, konsep dan gerakan perjuangan kesetaraan gender dalam masyarakat Indonesia, maka partisipasi kaum perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dianggap semakin signifikan. Hal ini ditandai dengan disepakatinya beberapa affirmative action yang berupa pemberian kesempatan kepada kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia.  Tindakan afirmatif adalah tindakan khusus koreksi dan kompensasi dari negara dalam hal ini atas ketidakadilan gender terhadap perempuan. Pasal 4 CEDAW PBB berbunyi “tindakan afirmatif adalah langkah-langkah khusus sementara yang dilakukan untuk mencapai persamaan kesempatan dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan”.  Tindakan ini termasuk tindakan diskriminatif yang bersifat positif. Melalui tindakan afirmatif nampak ada upaya untuk melibatkan perempuan dalam sistem dan struktur demokrasi di Indonesia.

       Upaya melibatkan perempuan dalam sistem dan struktur demokrasi merupakan bagian dari upaya untuk melaksanakan sistem demokrasi secara utuh dan menyeluruh. Cita-cita Indonesia di dalam mewujudkan diri sebagai negara demokrasi dapat dicapai dengan melakukan reformasi  dalam wilayah sistem nilai dan kerangka dasar bernegara, struktur yang dibentuk dan juga dalam wilayah budaya politik yang hendaknya dilakukan secara sistematis dan simultan. Di dalamnya termasuk juga upaya  untuk memperbaiki posisi dan partisipasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

      Salah satu bentuk untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan agar memiliki keseimbangan dengan laki-laki adalah gagasan tentang affirmative action dalam bentuk kuota perempuan di bidang politik. Masalah kuota ini menjadi perdebatan luas, sejak tahun 2001, sejak munculnya gagasan bahwa untuk meningkatkan posisi perempuan dan menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, perlu diterapkan sistem kuota baik di bidang pendidikan, kerja, maupun bidang politik.

       Affirmative action dalam bentuk kuota perempuan di bidang politik tertuang di dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.   Dalam undang-undang  tersebut dinyatakan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Tindakan afirmatif dalam bentuk kuota perempuan di bidang politik ini menunjukkan kesadaran terhadap tindakan afirmatif yang mewujudkan meningkatnya demokrasi politik perempuan.  Kebijakan mengenai kuota perempuan diharapkan dapat memberi kemudahan untuk mengarungi rintangan kultural dan struktural.

       Peningkatan demokrasi politik perempuan mengandung makna: (1) penghargaan terhadap kedaulatan yang melekat pada setiap insan, (2) penghargaan terhadap kesetaraan yang dalam demokrasi ditandai dengan prinsip hak pilih universal, (3) perluasan partisipasi politik, baik sebagai pemilih maupun politisi.   

       Undang-undang yang mengadopsi affirmative action dalam bentuk kuota perempuan di bidang politik ini hanya mengatur proses pencalonan/nominasi, bukan dalam kuota kursi di lembaga perwakilan, atau kursi gratis 30%. Agar terpilih, perempuan harus berkompetisi sehingga dinominasikan dalam daftar tetap urutan calon legislatif oleh partai politik.  Dengan demikian, walaupun sudah ada kuota perempuan di bidang politik, tetap saja harus ada perjuangan bagi peningkatan jumlah perempuan di bidang politik.  Perjuangan tersebut merupakan strategi dalam upaya meningkatkan kualitas pribadi, komitmen kerakyatan, dan profesionalitas.  Peningkatan kualitas pribadi perempuan tetap harus menjadi perhatian karena kuota dalam undang-undang pemilu ini bersifat sukarela, tidak ada sanksi bagi parpol yang gagal menominasikan 30% perempuan dalam daftar calon tetap legislatifnya untuk pemilu.      

       Jaminan terhadap partisipasi perempuan di bidang politik  juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12Ttahun 2005 tentang Pengesahan Hak Sipil dan Politik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang memastikan agar pemerintah mendorong serta memberikan perlakuan khusus bagi perempuan dalam partisipasi politik. Disamping itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mendorong adanya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Pemberdayaan di semua sektor kehidupan perempuan sebetulnya sudah dipikirkan oleh pemerintah dengan mengeluarkan berbagai bentuk kebijakan dan program.

D. DISKRIMINASI PEREMPUAN

       Permasalahan lain yang menghambat terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender adalah isu diskriminasi kelompok masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Pihak yang dianggap menjadi korban diskriminasi berdasarkan jenis kelamin adalah kaum perempuan.  Masalah HAM bagi perempuan yang termasuk isu diskriminasi gender dan menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang akhir-akhir ini sering muncul adalah perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Pada umumnya masalah tersebut timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, diantaranya dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.

      Pemerintah Republik Indonesia melalui pengesahan ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) mewujudkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi CEDAW .  Pasal-pasalnya memuat penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang-bidang antara lain hukum, mekanisme institutional, tenaga kerja, kesehatan, pendidikan, trafiking, kerjasama internasional, hak sosial dan ekonomi, perempuan perdesaan, perkawinan, dan politik. 

       Norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya  serta agama hendaknya tidak menjadi alasan di dalam pelanggengan diskriminasi yang dihadapi perempuan.  Tidak ada lagi alasan untuk tidak peduli terhadap penegakan HAM di Indonesia, terutama penegakan HAM perempuan secara nyata.    

       Lahirnya Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menunjukkan  banyaknya tindak kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan cara pandang yang menggambarkan sikap diskriminasi terhadap kaum  perempuan. Dalam hubungan  suami-istri, kaum perempuan cenderung diperlakukan tidak sejajar dan dalam posisi tawar  yang lemah sehingga dominasi dan ego kaum laki-laki seolah-olah mendapatkan tempat yang lebih baik. Kekerasaan rumah tangga sering menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Kaum perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari kaum laki-laki.

     Pelaksanaan peraturan yang mewajibkan keterlibatan perempuan dalam proses sosial politik menemukan berbagai kendala. Apabila ditelaah, kendala tersebut terjadi karena masih adanya sikap diskriminasi terhadap kaum perempuan yang bersumber dari keyakinan dan nilai-nilai budaya patriarkhis.  Perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, yaitu dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun kenegaraan. Konstruksi dan sosialisasi terhadap peran-peran gender yang sangat panjang dan dibentuk oleh masyarakat itulah yang merupakan peran-peran gender yang sebenarnya.  Namun, di dalam kenyataannya peran gender bentukan (konstruksi) masyarakat tersebut dianggap sebagai ketentuan alamiah dengan sebutan kodrat dan memang begitu adanya (taken for granted).

     Pandangan baru yang mempertanyakan, dan bahkan menggugat peran-peran gender yang kebanyakan merugikan perempuan dianggap sebagai upaya yang “menyalahi hukum alam”, atau dalam bahasa agama “menyalahi kodrat Tuhan”. Akibatnya, resistensi terhadap perjuangan kesetaraan dan keadilan gender tidak hanya datang dari kaum laki-laki, namun juga kaum perempuan. Namun demikian, upaya untuk merekonstruksi peran-peran gender yang lebih adil bagi perempuan terus-menerus dilakukan, bahkan sekarang banyak melibatkan “pejuang” keadilan gender dari kaum laki-laki. Perjuangan kesetaraan gender tidak lagi identik dengan perjuangan perempuan mendapatkan haknya, melainkan dianggap sebagai perjuangan kemanusiaan untuk melawan ketidakadilan.

       Upaya memerangi ketidakadilan gender, sebagai akibat dari sikap diskriminasi terhadap kaum perempuan, terus dilakukan melalui upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam wilayah publik. Keterlibatan perempuan di wilayah publik tidak semata-mata untuk “mengeluarkan perempuan dari rumahnya”, melainkan merupakan bentuk penghargaan dan apresiasi atas potensi besar yang dimiliki oleh perempuan. Perempuan  diyakini memiliki potensi dan kemampuan yang setara dengan laki-laki.

       Persoalan yang kemudian muncul di masyarakat adalah masalah akses dan kesempatan yang tidak diberikan atau sengaja dihambat. Upaya keterlibatan perempuan dalam wilayah publik masih menemukan berbagai kendala. Adapun kendala itu muncul antara lain karena: (1) Masih ada citra di dalam masyarakat bahwa kepemimpinan perempuan tidak akan lebih baik dari laki-laki karena adanya keyakinan yang mendarah daging bahwa perempuan memang tidak sepantasnya memiliki jabatan publik melebihi laki-laki. (2) Adanya perasaan “terancam” dari kaum laki-laki bahwa keterlibatan perempuan dalam wilayah publik merupakan “saingan” terhadap eksistensi kaum laki-laki. (3) Kendala tersebut bersumber pada kualitas sumber daya perempuan yang masih rendah. Artinya, kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitas perempuan sebagai pemimpin atau insan yang berkiprah di ranah publik belum sesuai dengan harapan. Akibatnya, keterlibatan perempuan dalam proses sosial-politik terkesan asal “pasang” untuk memenuhi kewajiban melibatkan perempuan. (4)  Para perempuan yang sudah mendapatkan jabatan publik dan politik seringkali tidak merepresentasikan kepentingan dan aspirasi perempuan. Sensitivitas mereka terhadap berbagai kebijakan yang tidak adil terhadap perempuan masih kurang menggembirakan.   

       Kendala yang sering muncul di masyarakat tersebut seringkali berupa kompetisi tidak fair yang menyebabkan ada upaya-upaya melakukan penjegalan terhadap keterlibatan perempuan dalam wilayah publik yang dipandang merupakan “saingan” terhadap eksistensi kaum laki-laki. Kewajiban imperatif dalam produk hukum untuk memberikan kesempatan terhadap partisipasi perempuan ternyata belum mampu untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap posisi perempuan. Artinya, berbagai kebijakan hukum yang secara teoretik berpihak kepada perempuan tidak serta merta dapat mempengaruhi aspek fundamental yang ada dalam masyarakat, dalam memandang dan menempatkan perempuan.

       Dengan demikian, dalam konteks kepentingan perempuan, budaya politik Indonesia belum sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan. Pemberdayaan perempuan melalui produk hukum secara legal formal tidak serta merta membawa perubahan pada kebijakan yang berperspektif keadilan bagi perempuan. Problem sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang diskriminatif terhadap perempuan masih banyak terjadi. 

       Profesi politik bagi perempuan dapat menimbulkan semangat untuk memperjuangkan partisipasi aktif perempuan dalam memberikan “warna” terhadap proses decision making yang menyangkut kepentingan perempuan. Namun, masih banyak perempuan yang merasa tidak siap untuk terjun di wilayah politik karena merasa terbebani oleh berbagai problem psikologis dan reproduksi yang selama ini diembannya. Selain itu,  kemampuan perempuan yang dibangun dari kondisi sosial, tingkat pendidikan, pengalaman berinteraksi sosial, membangun jaringan, membangun basis massa, sampai dukungan dana, jauh tertinggal dari laki-laki yang antara lain disebabkan oleh pengaruh kultur dan adat istiadat selangkah lebih maju. Laki-laki umumnya lebih diutamakan untuk berkiprah dalam kehidupan publik.

       Dengan demikian, dapat disimpulkan adanya beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi dan keterwakilan perempuan di bidang sosial politik diantaranya:

1.   Adanya tafsir agama yang melarang perempuan berkecimpung di ruang publik.
2.   Kondisi sosial budaya dan psikologis yang masih sangat kuat menganggap perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga dengan ideologi pembagian peran publik dan domestik.  Mayoritas masyarakat Indonesia masih didominasi oleh cara pandang dan sikap yang cenderung mempersepsi serta memperlakukan kaum perempuan sebagai pelengkap kaum laki-laki. Perempuan masih sering diposisikan sebagai pihak yang harus bersikap “menerima” tanpa perlawanan sehingga pada akhirnya kaum perempuan lebih dilihat sebagai objek dari pada sebagai subjek yang menjadi mitra kaum laki-laki. Persepsi ini pada akhirnya melihat dan menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap kaum   laki-laki, bahkan  dalam  situasi tertentu dilihat sebagai objek semata. Secara kultural dimana  sudut  pandang patrinial  (laki-laki dilihat lebih superior)  menjadi  acuan  utama  dalam  melihat dan
     menempatkan   perempuan,  telah   menyebabkan   peranan   perempuan   selalu
     dikonotasikan dengan hal-hal yang bersifat pelengkap kaum laki-laki, bukan sebagai
     mitra yang mempunyai kedudukan sejajar sehingga berhak mendapatkan peluang
     yang sama diberbagai bidang sendi kehidupan. Hambatan kultural tersebut
     merupakan hambatan yang cukup fundamental karena kultur/budaya akan
     membentuk persepsi yang dapat mempengaruhi pola perilaku dalam kehidupan
     sehari-hari.
3.   Persoalan keterbatasan waktu yang sering dirasakan oleh kader perempuan seperti kesulitan membagi  waktu dan memilih untuk dapat mengikuti antara kegiatan partai dan rumah tangga atau keluarga.

4.    Faktor internal perempuan terkait dengan kualitas, pendidikan, pengetahuan, kecakapan berorganisasi, skap mental, dan pemahaman tentang hak-hak politik yang masih rendah.
5.   Kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan aspirasi dan kepentingan perempuan.  Kalaupun ada, terkesan tidak menyeluruh dan bulat serta masih sangat lemah dalam  implementasinya.
6.   Kurangnya penyajian dan promosi aktivitas perempuan di bidang politik dibandingkan dengan penyajian dan promosi aktivitas politik laki-laki.
7.   Birokrat partai didominasi oleh laki-laki yang cenderung tidak memberi peluang kepada perempuan, misalnya dalam penetapan nomor urut caleg.
8.   Kurang disadarinya baik oleh masyarakat maupun perempuan itu sendiri bahwa  kekuatan perempuan sebagai kelompok  sebenarnya dapat membuat gerakan-gerakan perubahan dalam masyarakat. 

       Kondisi inilah yang memberikan makna perlunya tindakan afirmatif dengan memberikan dorongan nyata serta komitmen politik bagi perempuan untuk mengejar titik awal yang tidak sama tersebut. Tindakan afirmatif 30% ini pun hanya dalam pencalonan, bukan dalam kuota lokasi kursi di lembaga perwakilan. Perempuan yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif juga harus berjuang untuk memenangkan pemilihan, bukan berarti hanya duduk diam lalu mendapatkan “berkah” kursi.    Pemahaman mengenai kuota di bidang politik bagi perempuan seringkali disalahartikan oleh masyarakat. Sebagian dari mereka ada yang memahaminya bahwa perempuan meminta jatah 30% kursi di DPR, tanpa melakukan perjuangan apapun. Oleh karena itu, muncul kontroversi di tengah masyarakat dan pandangan negatif pun bermunculan.

       Sebaiknya harus ada timbal balik yang saling menguntungkan antara kepentingan perempuan dengan kepentingan partai politik. Kaum perempuan telah menyediakan diri untuk dijadikan persyaratan berdirinya sebuah partai politik.  Oleh karena itu  partai politik hendaknya memenuhi komitmen untuk terwujudnya peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif  dengan menempatkan perempuan pada urutan yang strategis sehingga memiliki kemungkinan besar untuk terpilih.  Partai politik hendaknya membuka diri terhadap munculnya para calon perempuan yang berkualitas dan berkemampuan memenangkan pemilu.  Jangan penetapan nomor urut caleg dalam daftar calon tetap lebih dikendalikan oleh kepentingan kekuasaan laki-laki semata. Dengan memperhatikan kepentingan perempuan dan laki-laki secara proposional dan adil, diharapkan peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif dapat terwujud.

      Berbicara mengenai politik adalah berbicara mengenai naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Politik dalam arti luas adalah dimensi kekuasaan yang  mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial.  Berpolitik adalah perjuangan untuk memperebutkan hak mengatur dan hak  memerintah masyarakat.  Berpolitik adalah berebut pengaruh, berebut kekuasaan. Persoalan yang selalu muncul dalam kehidupan sosial adalah “siapa yang berhak mengatur atau mengarahkannya, dan bagaimana pengaturan dan pengarahan itu dilaksanakan”.

       Dalam masalah karir,kaum perempuan masih mengalami diskriminasi diberbagai hal sehingga kaum perempuan tidak jarang diberlakukan kurang adil dan tidak proporsional. Begitu pula dalam penetapan standar gaji, tidak jarang kaum perempuan tidak mendapatkan haknya secara proporsional.

       Kebijakan politik tentang perempuan yang memberikan apresiasi atas keterlibatan perempuan diharapkan tidak  menjadi alat “politisasi” terhadap perempuan.  Upaya melibatan perempuan dalam proses sosial-politik hendaknya bukan berdasarkan pada pertimbangan memenuhi kewajiban kuota agar tidak dianggap melanggar peraturan. Atau sekadar untuk memenuhi tuntutan dan “trend” yang berkembang di masyarakat.

       Keterlibatan perempuan dalam politik juga masih berindikasi sebagai “pemanis” untuk menarik simpati dan empati dari masyarakat pemilih. Jadi, keterlibatan perempuan baru sekadar sebagai vote getter semata. Setelah itu, proses pengambilan keputusan dalam wilayah publik dan politik tidak melibatkan perempuan atau tidak berperspektif perempuan. Adanya keinginan untuk melibatkan partisipasi perempuan dalam wilayah politik (publik) justru berakibat pada “politisasi perempuan”, yaitu menjadikan perempuan sebagai kendaraan politik saja.

       Dengan demikian, posisi perempuan dalam bidang politik di Indonesia bersifat ambigu. Di satu sisi, ada keinginan dari pemerintah dan masyarakat untuk menempatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki; memiliki hak yang sama dalam mengakses kekuasaan negara. Akan tetapi, di sisi yang lain masih ada keraguan mengenai kemampuan dan kesiapan perempuan untuk melakukan tugas politik tersebut.

       Dampak dari rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal dan arena pembuat serta pengambil kebijakan ini adalah langkanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam segala level yang berpihak pada perempuan sehingga kepentingan-kepentingan perempuan tidak dapat diartikulasikan. Kebijakan-kebijakan yang ada selain diskriminatif terhadap perempuan juga tidak merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai warga negara, sehingga terkesan tidak tuntas. Kebijakan negara yang bersifat bias jender selalu menyebabkan kepentingan perempuan terabaikan.

       Kesan tidak tuntas ini dapat dilihat, misalnya pada tindakan afirmatif bagi perempuan di bidang politik. Apabila dikaji lebih jauh lagi, tidak ada sanksi bagi partai politik yang tidak menerapkan kuota 30% bagi perempuan. Tentu saja aplikasi pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 ini masih sangat lemah. Rekrutmen calon pada partai politik belum optimal, banyak calon legislatif perempuan yang belum mendapat tempat maupun posisi strategis dan kebanyakan ditempatkan dalam nomor urut belakang atau yang sering disebut “nomor urut sepatu” dalam daftar penetapan nama calon legislatif. Pada setiap partai yang melibatkan perempuan,  kebanyakan dari mereka hanya sampai pada proses daftar pencalegan nama.

       Ketertinggalan perempuan dari laki-laki yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan, dapat berawal pada masalah kontruksi sosial masyarakat yang sudah membudaya, depolitisasi kepentingan negara yang tidak adil terhadap kaum perempuan, interpretasi agama yang tidak benar, atau dapat juga karena kurangnya akses perempuan terhadap pengambilan kebijakan dan keputusan publik.  Sebenarnya apabila dikaji lebih jauh, perpolitikan nasional yang banyak didominasi oleh pria tidaklah mampu menciptakan bangunan politik yang sehat (stabil). Sementara itu pada sisi lain, nampak bahwa sumbangan terpenting perempuan di dunia politik adalah mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dari pada memperluas ruang lingkup kekuasan mereka sendiri.

F. KESIMPULAN
   Kiprah perempuan dalam dunia politik di era reformasi mulai berubah kearah yang lebih positif setelah berbagai kebijakan berkenaan dengan pemberdayaan perempuan diterbitkan pemerintah.  Kesempatan ini jelas merupakan peluang emas, setelah sekian lama perempuan ada dalam bayang–bayang superioritas politik dikotomi perempuan versus laki–laki. Secara teoritis, kebijakan telah berpihak kepada perempuan, namun secara praktis, implementasinya masih belum optimal. 

       Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi perempuan di bidang politik masih rendah, walaupun secara perlahan ada kemajuan.  Kaum perempuan belum merasa at home di dalam partai politik, yang oleh sebagian masyarakat masih dianggap sebagai dunia mencari pengaruh dan kekuasaan serta identik dengan dunia maskulin atau dunia laki-laki.  Sikap ambivalensi partai yang cenderung mendua dalam melihat perempuan adalah gambaran dari sikap masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya melihat perempuan sebagai kekuatan perubahan dalam masyarakat.

      Paradigma lama yang menyatakan bahwa perempuan sebagai kaum yang lemah dan terbatas serta hanya berfungsi sebagai pelengkap kaum laki-laki, masih cukup dominan menghinggapi cara berpikir mayoritas masyarakat Indonesia terutama kaum laki-laki.  Di Era Globalisasi ini, seharusnya kaum perempuan tidak  lagi diposisikan sebagai warga negara kelas dua, di bawah bayang-bayang kekuasaan kaum laki-laki, tetapi harus diposisikan dan dijadikan sebagai mitra yang mempunyai harkat, martabat serta derajat yang sama.

      Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai terlihat adanya keberpihakan dan pengakuan akan perlunya peranan kaum perempuan dalam politik, namun kebijakan-kebijakan tersebut masih diberlakukan “setengah hati” dan belum maksimal. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila jumlah perempuan yang terjun dalam dunia politik yang selalu di identikan dengan dunia laki-laki ini, masih sangat terbatas. Begitu pula jumlah perempuan yang dapat mencapai posisi puncak dalam jenjang birokrasi di pemerintahan, masih jauh dari harapan apabila melihat komposisi jenis kelamin warga negara Indonesia tidak kurang dari 51%nya adalah kaum perempuan. Sedikitnya wakil perempuan di legislatif menjadikan perempuan kurang dapat bergerak lebih leluasa untuk memperjuangkan aspirasi kaum perempuan secara keseluruhan.

G. REKOMENDASI
       Tidak terlalu menggembirakannya jumlah kaum perempuan di kancah politik, diantaranya karena bentuk model politik maskulin yang tidak sesuai dengan perilaku dan pandangan kaum perempuan.  Model politik maskulin adalah sistem politik dan partai-partai politik yang tidak peka gender, laki-laki mendominasi arena politik, kompetisi dan konfrontasi bukan atas dasar saling menghormati, kolaborasi dan penciptaan konsensus politik. 

       Seandainya partisipasi dan representasi perempuan di bidang politik, termasuk legislatif, meningkat, diharapkan dapat mengubah wajah politik yang maskulin selama ini sehingga dunia politik akan semakin sejuk, nyaman, adem, penuh cinta kasih, saling menghargai dan menghormati, meminimalkan adanya tindak kekerasan, konsensus akan tercapai dengan mudah, dan adanya kolaborasi yang harmonis. Semoga.



PUSTAKA ACUAN

Sumiarti, 2008, Quo Vadis’Politik Perempuan. Jurnal Yin Yang Studi Gender dan Anak,
                Vol.3. No.2 Juli-Desember 2008.

Wijaksana, M.B. dan Jaorana Amiruddin, 2005, Mendorong Inisiatif Lokal. Menghapus
               Kekerasan terhadap Perempuan di Era Otonomi Daerah.

Hendri Koeswara, 2005, Partisipasi Politik Kader Perempuan dan Parpol. Studi tentang
               Kendala Partisipasi Politik Kader Perempuan dalam Kegiatan Parpol pada
               Pelaksanaan Pilkada di Provinsi Jambi Tahun 2005.

Angelina Sondakh, 2007, Perempuan dan Politik.    




BIOGRAFI PENULIS
Carolina Nitimihardjo saat ini bekerja sebagai dosen STKS Bandung







No comments:

Post a Comment