Oleh:
Carolina Nitimihardjo
ABSTRAKS
Peran
kaum perempuan dalam dunia politik di Indonesia sudah ada sejak lama, sejak
masa kolonialisme sampai kemerdekaan, dengan memperlihatkan pasang surut yang
cukup dinamis. Pada saat sebelum
kemerdekaan, yaitu pada saat pembetukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang terdiri dari 68 orang, dua orang diantaranya
adalah perempuan, yaitu Ny.Maria Ulfah Santoso dan Ny.RSS Soenarjo
Mangoenpoespito.
A.
PENDAHULUAN
Demikian
pula halnya dalam jabatan publik, pada
tahun 1946 di masa pemerintahan kabinet Syahrir, untuk pertamakalinya dalam
sejarah jabatan publik, seorang
perempuan bernama Ny.Maria Ulfah Santoso diangkat menjadi Menteri Sosial. Pada tahun 1947 di masa pemerintahan kabinet
Amir Syarifudin, Ny.SK Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan.
Pada era
reformasi sekarang ini, globalisasi memberi peluang yang lebih luas dan lebih baik
terhadap perempuan untuk berperan sejajar dan bermitra dengan kaum laki-laki,
baik dalam konteks isu hak asasi manusia, demokratisasi maupun keadilan dan
kesetaraan gender. Telah banyak
perundang-undangan maupun peraturan lain yang mendorong kaum perempuan untuk
berkiprah lebih luas dalam berbagai sektor kehidupan termasuk dalam kehidupan berpolitik.
Oleh
karena itu, kaum perempuan hendaknya pandai-pandai melihat dan memanfaatkan
peluang emas ini secara maksimal untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum
perempuan itu sendiri. Peran perempuan yang telah masuk ranah publik hendaknya
tetap memperhatikan peran dan fungsi perempuan sebagai seorang ibu dan sebagai
seorang istri.
Peran,
fungsi, dan kedudukan perempuan mendapat peluang besar untuk berkarya di dalam
berbagai bidang kehidupan, walaupun di dalam implementasinya mengalami berbagai
hambatan struktural maupun non struktural, internal maupun eksternal
perempuan. Seiring dengan perkembangan
kehidupan dan permasalahannya, berbagai masalah perempuan mulai diakomodir oleh
pemerintah dengan menerbitkan kebijakan dalam bentuk perlindungan kepada kaum
perempuan.
Walaupun
kaum perempuan telah diberi peluang untuk berkecimpung di bidang politik,
termasuk menjadi calon legislatif, namun kesempatan tersebut tetap sangat
bergantung pada keputusan pimpinan partai yang pada kenyataannya lebih
didominasi kaum laki-laki yang sebagian besar masih melihat dan berpandangan
bahwa kaum perempuan tempatnya di rumah bukan di ranah publik. Iklim organisasi
yang demikian tentunya sangat tidak kondusif bagi kaum perempuan. Aktivis perempuan akan mundur dari kancah
politik, ketika hati nurani tidak bisa menyesuaikan diri dengan intrik internal partai politik yang cenderung
tajam. Ditambah lagi apabila kaum perempuan
tersebut menyadari bahwa berpolitik itu bukan habitat mereka.
Kaum
perempuan bukan tidak memahami dunia politik, namun kematangannya di dunia
politik belum merupakan representasi wajah perempuan sesungguhnya. Masih ada waktu bagi perempuan untuk
mempersiapkan diri agar lebih matang memasuki dunia politik.
B. KOMITMEN
PEMERINTAH
Kaum perempuan di Indonesia dewasa ini berpeluang
besar untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di ranah publik. Dengan
semakin besarnya partisipasi perempuan diharapkan akan menjamin penghapusan ketimpangan
antara laki-laki dan perempuan, secara individu atau kelompok, tanpa ada yang terpinggirkan.
Peluang besar untuk berpartisipasi bagi
perempuan tersebut merupakan hasil dari upaya-upaya pemerintah di bidang
kebijakan. Pemerintah telah meratifikasi beberapa konvensi PBB dan menetapkan
beberapa kebijakan untuk menunjukkan komitmennya dalam melindungi hak
perempuan. Adapun produk kebijakan yang berkenaan dengan komitmen pemerintah
tersebut diantaranya :
1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Kovensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW).
2 . Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Partai Politik.
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilu.
7. Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor
87 Tahun 2002
tentang
Rencana
Aksi Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
8. Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi
Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
9. Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah.
Selain itu pemerintah juga
telah menetapkan strategi khusus yang dikenal dengan istilah pengarusutamaan
gender (gender mainstreaming) atau disingkat
dengan PUG, yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Selanjutnya Instruksi
Presiden tersebut ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri dalam Negeri tahun
2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Daerah. Kesungguhan pemerintah semakin
nyata dengan dirancangnya program strategis untuk pengarusutamaan gender
melalui Surat Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 27 Tahun 2005 tentang Penetapan Rencana
Strategis Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 – 2009.
Strategi ini dibangun untuk
menjadikan gender sebagai suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan, sehingga
setiap kebijakan berdampak pada keadilan gender. Selain itu juga strategi ini
merupakan alat untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan agar mereka dapat
menjadi warga negara yang berperan secara utuh dalam setiap proses pembangunan.
Kegiatan-kegiatan yang menyuarakan kepentingan perempuan dalam kebijakan
publik, baik nasional maupun lokal, seharusnya dimaknai sebagai tindakan yang
juga relevan bagi kepentingan masyarakat secara umum. Perlindungan terhadap
perempuan merupakan bentuk pemenuhan hak
asasi manusia untuk menghilangkan hambatan terhadap individu dan kelompok
manapun dalam menjaga martabatnya.
Oleh karena itu, perlu disadari bahwa memperjuangkan perempuan tidak
sama dengan perjuangan perempuan melawan laki-laki. Persoalan penindasan
terhadap perempuan bukanlah persoalan laki-laki, melainkan persoalan sistem dan
struktur ketidakadilan masyarakat dan ketidakadilan gender. Gerakan kaum perempuan adalah gerakan
transformasi sosial dan bukan gerakan untuk membalas dendam kepada laki-laki.
Jika demikian, gerakan transformasi perempuan adalah gerakan untuk menciptakan
hubungan antara sesama manusia yang secara fundamental lebih baik, yang
meliputi hubungan ekonomi, politik, kultural, ideologi, lingkungan, dan termasuk
di dalamnya hubungan laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan
pada besarnya peluang perempuan untuk berkiprah di ranah publik dan mengingat
secara kuantitas jumlah perempuan adalah kurang lebih
setengahnya dari jumlah penduduk Indonesia, dan apabila peluang yang ada dimanfaatkan sepenuhnya, maka
keterlibatan perempuan dalam proses sosial-politik akan menjadi semakin
banyak. Dengan semakin banyaknya
perempuan yang terlibat aktif dalam proses sosial politik, menjadikan perempuan sebagai subyek pengambil keputusan
di ranah publik dan subyek pembangunan, tidak lagi sebagai beban negara.
Partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan bukanlah semata-mata dilihat sebagai syarat penting agar
kepentingan kaum perempuan dapat diperhitungkan, namun dapat dilihat juga
sebagai sebuah tuntutan akan keadilan
demokrasi. Oleh karena itu, hendaknya
keterlibatan perempuan dalam proses sosial-politik memiliki efek nyata dalam perbaikan sistem demokrasi dan berdampak pula pada kebijakan-kebijakan negara
yang lebih adil terhadap perempuan. Upaya legal formal melalui kebijakan negara
merupakan bagian dari upaya transformasi sosial untuk menciptakan tatanan
masyarakat yang berkeadilan.
Tanpa
partisipasi perempuan yang memadai banyak kebijakan yang kurang berpihak pada
kepentingan perempuan dan anak perempuan yang selanjutnya dapat berdampak pada kepentingan manusia pada
umumnya. Kepentingan perempuan dan anak tersebut berkenaan dengan
kebutuhan-kebutuhan khusus yang masih kurang tajam diperhitungkan dalam
perumusan kebijakan publik.
Adapun kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan tersebut
diantaranya meliputi :
1. Penghapusan
kekerasan terhadap perempuan, termasuk perdagangan perempuan.
2.
Persamaan hak untuk memperoleh
pekerjaan dan akses pada
sumber daya,
termasuk bagi perempuan kepala keluarga yang menjadi tulang
punggung ekonomi
keluarga.
3.
Peningkatan keterwakilan perempuan
dalam lembaga-lembaga strategis
sebagai
pengambil
keputusan.
4.
Pemenuhan kesehatan reproduksi,
seperti cara ber-KB yang aman, kesehatan ibu hamil, kematian ibu/anak saat melahirkan, dan semacamnya.
5. Pemberian rasa
aman bagi perempuan di wilayah konflik.
6.
Penanggulangan bencana alam yang
peka gender, termasuk pelibatan perempuan
dalam tahap-tahap tanggap
darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Mengenai pemenuhan kebutuhan perempuan akan peningkatan
keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga strategis sebagai pengambil
keputusan dipandang belum sesuai dengan harapan. Meskipun sudah
banyak produk peraturan
dari Undang-Undang Dasar,
Undang-Undang, sampai keputusan
menteri yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan dan meningkatkan partisipasi mereka di wilayah publik, namun
kenyataan menunjukkan bahwa posisi perempuan belumlah seperti yang diharapkan. Hal tersebut nampak dari partisipasi dan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga
politik dan lembaga strategis penentu kebijakan publik, di tingkat nasional maupun
lokal, masih sangat rendah. Pada tahun 1997 jumlah anggota DPR perempuan 11,2%,
pada tahun 1999 hanya 8,8% dan pada tahun 2004 jumlah anggota DPR
perempuan meningkat menjadi 11%. Pada
tahun 1999 jumlah pejabat perempuan eselon I hanya 12%, jumlah PNS perempuan
bergolongan empat hanya 28%. Hanya ada 1
perempuan yang menjadi Ketua Pengadilan Tinggi dari 26 pengadilan tinggi, dan hingga
kini tidak ada satu pun perempuan yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama.
(Sumber : Ani Soetjipto, Buku Politik Perempuan Bukan Gerhana, data
diolah).
Masih rendahnya partisipasi perempuan juga
nampak dalam proses demokrasi, misalnya dalam pemilihan bupati/walikota,
gubernur, dan juga presiden. Langkanya
calon perempuan dalam pemilihan pejabat publik menunjukkan bahwa perempuan
belum memiliki akses maksimal dalam bidang politik. Keterbatasan akses ini
kemungkinan karena perempuan tidak diberikan kesempatan untuk menjadi
berpartisipasi dalam wilayah publik, atau juga dapat disebabkan oleh kualitas
perempuan yang dianggap belum sesuai dengan kriteria kualitas yang dipersyaratkan.
Dari berbagai pemilihan pejabat publik
ada kesan bahwa keterlibatan perempuan tidak didasarkan pada kapasitas dan
kapabilitas sebagai warga negara, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan
bahwa para calon perempuan adalah vote getter. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keterlibatan
perempuan dalam politik belum didasarkan pada pertimbangan yang menganggap
perempuan merupakan bagian penting dan mampu berpartisipasi dalam wilayah
publik, namun hanyalah merupakan perpanjangan tangan dari upaya politisasi terhadap perempuan. Artinya, perempuan dilibatkan
sebagai lips service semata, bukan merupakan upaya substantif untuk
memberdayakan dan melibatkan perempuan dalam politik.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut, apakah politik perempuan Indonesia benar-benar
diarahkan untuk memberi kesempatan kepada perempuan agar berpartisipasi dalam
proses sosial-politik negara ataukah sebagai upaya politisasi terhadap perempuan?
Apakah kebijakan negara terhadap perempuan dapat mempengaruhi mindset masyarakat
dalam memandang dan memosisikan perempuan agar setara dengan laki-laki?
C.
TINDAKAN AFIRMATIF
Secara teoritik yang tercermin dalam kebijakan publik, pemerintah dan
masyarakat sudah menunjukkan adanya political will
untuk memberikan kesempatan dan akses yang sama
kepada perempuan dan laki-laki dalam proses sosial politik.
Seiring dengan perkembangan isu, konsep dan
gerakan perjuangan kesetaraan gender dalam masyarakat Indonesia , maka
partisipasi kaum perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dianggap
semakin signifikan. Hal ini ditandai dengan disepakatinya beberapa affirmative
action yang berupa pemberian kesempatan kepada kaum perempuan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia . Tindakan afirmatif adalah tindakan khusus
koreksi dan kompensasi dari negara dalam hal ini atas ketidakadilan gender
terhadap perempuan. Pasal 4 CEDAW PBB berbunyi “tindakan afirmatif adalah
langkah-langkah khusus sementara yang dilakukan untuk mencapai persamaan
kesempatan dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan”. Tindakan ini termasuk tindakan diskriminatif
yang bersifat positif. Melalui tindakan afirmatif nampak ada upaya untuk
melibatkan perempuan dalam sistem dan struktur demokrasi di Indonesia .
Upaya melibatkan perempuan dalam sistem
dan struktur demokrasi merupakan bagian dari upaya untuk melaksanakan sistem
demokrasi secara utuh dan menyeluruh. Cita-cita
Indonesia di
dalam mewujudkan diri sebagai negara demokrasi dapat dicapai dengan melakukan
reformasi dalam wilayah sistem nilai dan
kerangka dasar bernegara, struktur yang dibentuk dan juga dalam wilayah budaya
politik yang hendaknya dilakukan secara sistematis dan simultan. Di dalamnya
termasuk juga upaya untuk memperbaiki
posisi dan partisipasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Salah satu bentuk untuk meningkatkan
partisipasi dan representasi perempuan agar memiliki keseimbangan dengan
laki-laki adalah gagasan tentang affirmative action dalam bentuk kuota
perempuan di bidang politik. Masalah kuota ini menjadi perdebatan luas, sejak
tahun 2001, sejak munculnya gagasan bahwa untuk meningkatkan posisi perempuan
dan menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, perlu diterapkan sistem kuota
baik di bidang pendidikan, kerja, maupun bidang politik.
Affirmative
action dalam bentuk kuota perempuan di bidang politik tertuang di dalam
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD
Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Tindakan afirmatif
dalam bentuk kuota perempuan di bidang politik ini menunjukkan kesadaran
terhadap tindakan afirmatif yang mewujudkan meningkatnya demokrasi politik
perempuan. Kebijakan mengenai kuota
perempuan diharapkan dapat memberi kemudahan untuk mengarungi rintangan
kultural dan struktural.
Peningkatan demokrasi politik perempuan
mengandung makna: (1) penghargaan terhadap kedaulatan yang melekat pada setiap
insan, (2) penghargaan terhadap kesetaraan yang dalam demokrasi ditandai dengan
prinsip hak pilih universal, (3) perluasan partisipasi politik, baik sebagai
pemilih maupun politisi.
Undang-undang yang mengadopsi affirmative action dalam bentuk kuota
perempuan di bidang politik ini hanya mengatur proses pencalonan/nominasi,
bukan dalam kuota kursi di lembaga perwakilan, atau kursi gratis 30%. Agar terpilih,
perempuan harus berkompetisi sehingga dinominasikan dalam daftar tetap urutan calon
legislatif oleh partai politik. Dengan
demikian, walaupun sudah ada kuota perempuan di bidang politik, tetap saja
harus ada perjuangan bagi peningkatan jumlah perempuan di bidang politik. Perjuangan tersebut
merupakan strategi dalam upaya meningkatkan kualitas pribadi, komitmen
kerakyatan, dan profesionalitas. Peningkatan
kualitas pribadi perempuan tetap harus menjadi perhatian karena kuota dalam
undang-undang pemilu ini bersifat sukarela, tidak ada sanksi bagi parpol yang
gagal menominasikan 30% perempuan dalam daftar calon tetap legislatifnya untuk
pemilu.
Jaminan terhadap partisipasi
perempuan di bidang politik juga
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12Ttahun 2005 tentang Pengesahan Hak Sipil
dan Politik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang memastikan agar
pemerintah mendorong serta memberikan perlakuan khusus bagi perempuan dalam
partisipasi politik. Disamping itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia yang mendorong adanya keterwakilan perempuan dalam
pemerintahan. Pemberdayaan di semua sektor kehidupan perempuan sebetulnya sudah
dipikirkan oleh pemerintah dengan mengeluarkan berbagai bentuk kebijakan dan
program.
D.
DISKRIMINASI PEREMPUAN
Permasalahan
lain yang menghambat terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender adalah isu
diskriminasi kelompok masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Pihak yang dianggap
menjadi korban diskriminasi berdasarkan jenis kelamin adalah kaum perempuan. Masalah HAM bagi
perempuan yang
termasuk isu diskriminasi gender dan menuntut perhatian khusus adalah masalah
penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga,
masyarakat, dan negara. Masalah yang akhir-akhir ini sering muncul adalah
perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Pada umumnya masalah tersebut timbul
dari berbagai faktor yang saling terkait, diantaranya dampak negatif dari
proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta
rendahnya tingkat pendidikan.
Pemerintah Republik Indonesia
melalui pengesahan ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW) mewujudkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Ratifikasi Konvensi CEDAW .
Pasal-pasalnya memuat penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam
bidang-bidang antara lain hukum, mekanisme institutional, tenaga kerja,
kesehatan, pendidikan, trafiking, kerjasama internasional, hak sosial dan
ekonomi, perempuan perdesaan, perkawinan, dan politik.
Norma-norma dan nilai-nilai sosial
budaya serta agama hendaknya tidak
menjadi alasan di dalam pelanggengan diskriminasi yang dihadapi perempuan. Tidak ada lagi alasan untuk tidak peduli
terhadap penegakan HAM di Indonesia, terutama penegakan HAM perempuan secara
nyata.
Lahirnya Undang-Undang tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) menunjukkan banyaknya
tindak kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan cara pandang yang
menggambarkan sikap diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dalam hubungan suami-istri, kaum perempuan cenderung
diperlakukan tidak sejajar dan dalam posisi tawar yang lemah sehingga dominasi dan ego kaum
laki-laki seolah-olah mendapatkan tempat yang lebih baik. Kekerasaan rumah tangga sering menempatkan perempuan pada posisi yang
lemah. Kaum perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan dari kaum laki-laki.
Pelaksanaan peraturan yang
mewajibkan keterlibatan perempuan dalam proses sosial politik menemukan
berbagai kendala. Apabila ditelaah, kendala tersebut terjadi karena masih
adanya sikap diskriminasi terhadap kaum perempuan yang bersumber dari keyakinan
dan nilai-nilai budaya patriarkhis. Perbedaan
gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan terjadi
melalui proses yang sangat panjang, yaitu dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran
keagamaan maupun kenegaraan. Konstruksi dan sosialisasi terhadap peran-peran gender
yang sangat panjang dan dibentuk oleh masyarakat itulah yang merupakan peran-peran
gender yang sebenarnya. Namun, di dalam
kenyataannya peran gender bentukan (konstruksi) masyarakat tersebut dianggap
sebagai ketentuan alamiah dengan sebutan kodrat dan memang begitu adanya (taken
for granted).
Pandangan baru yang
mempertanyakan, dan bahkan menggugat peran-peran gender yang kebanyakan
merugikan perempuan dianggap sebagai upaya yang “menyalahi hukum alam”, atau
dalam bahasa agama “menyalahi kodrat Tuhan”. Akibatnya, resistensi terhadap
perjuangan kesetaraan dan keadilan gender tidak hanya datang dari kaum
laki-laki, namun juga kaum perempuan. Namun demikian, upaya untuk
merekonstruksi peran-peran gender yang lebih adil bagi perempuan terus-menerus
dilakukan, bahkan sekarang banyak melibatkan “pejuang” keadilan gender dari
kaum laki-laki. Perjuangan kesetaraan gender tidak lagi identik dengan
perjuangan perempuan mendapatkan haknya, melainkan dianggap sebagai perjuangan
kemanusiaan untuk melawan ketidakadilan.
Upaya memerangi ketidakadilan
gender, sebagai akibat dari sikap diskriminasi terhadap kaum perempuan, terus
dilakukan melalui upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam wilayah publik.
Keterlibatan perempuan di wilayah publik tidak semata-mata untuk “mengeluarkan
perempuan dari rumahnya”, melainkan merupakan bentuk penghargaan dan apresiasi
atas potensi besar yang dimiliki oleh perempuan. Perempuan diyakini memiliki potensi dan kemampuan yang
setara dengan laki-laki.
Persoalan yang kemudian muncul di masyarakat adalah masalah akses dan
kesempatan yang tidak diberikan atau sengaja dihambat. Upaya keterlibatan perempuan
dalam wilayah publik masih menemukan berbagai kendala. Adapun kendala itu muncul
antara lain karena: (1) Masih
ada citra di dalam masyarakat bahwa kepemimpinan perempuan tidak akan lebih
baik dari laki-laki karena adanya keyakinan yang mendarah daging bahwa
perempuan memang tidak sepantasnya memiliki jabatan publik melebihi laki-laki.
(2) Adanya perasaan
“terancam” dari kaum laki-laki bahwa keterlibatan perempuan dalam wilayah
publik merupakan “saingan” terhadap eksistensi kaum laki-laki. (3) Kendala tersebut
bersumber pada kualitas sumber daya perempuan yang masih rendah. Artinya,
kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitas perempuan sebagai pemimpin atau insan
yang berkiprah di ranah publik belum sesuai dengan harapan. Akibatnya, keterlibatan
perempuan dalam proses sosial-politik terkesan asal “pasang” untuk memenuhi
kewajiban melibatkan perempuan. (4) Para perempuan yang sudah mendapatkan
jabatan publik dan politik seringkali tidak merepresentasikan kepentingan dan
aspirasi perempuan. Sensitivitas mereka terhadap berbagai kebijakan yang tidak adil
terhadap perempuan masih kurang menggembirakan.
Kendala yang sering muncul di masyarakat tersebut seringkali berupa kompetisi
tidak fair yang menyebabkan ada
upaya-upaya melakukan penjegalan terhadap keterlibatan perempuan dalam wilayah
publik yang dipandang merupakan “saingan” terhadap eksistensi kaum laki-laki.
Kewajiban imperatif dalam produk hukum untuk memberikan kesempatan terhadap
partisipasi perempuan ternyata belum mampu untuk mengubah pandangan masyarakat
terhadap posisi perempuan. Artinya, berbagai kebijakan hukum yang secara
teoretik berpihak kepada perempuan tidak serta merta dapat mempengaruhi aspek
fundamental yang ada dalam masyarakat, dalam memandang dan menempatkan
perempuan.
Dengan demikian, dalam konteks
kepentingan perempuan, budaya politik Indonesia belum sepenuhnya berpihak
kepada kaum perempuan. Pemberdayaan perempuan melalui produk hukum secara legal
formal tidak serta merta membawa perubahan pada kebijakan yang berperspektif
keadilan bagi perempuan. Problem sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang
diskriminatif terhadap perempuan masih banyak terjadi.
Profesi politik bagi perempuan
dapat menimbulkan semangat untuk memperjuangkan partisipasi aktif perempuan dalam
memberikan “warna” terhadap proses decision making yang menyangkut
kepentingan perempuan. Namun, masih banyak perempuan yang merasa tidak siap
untuk terjun di wilayah politik karena merasa terbebani oleh berbagai problem
psikologis dan reproduksi yang selama ini diembannya. Selain itu, kemampuan perempuan yang dibangun dari kondisi
sosial, tingkat pendidikan, pengalaman berinteraksi sosial, membangun jaringan,
membangun basis massa, sampai dukungan dana, jauh tertinggal dari laki-laki
yang antara lain disebabkan oleh pengaruh kultur dan adat istiadat selangkah
lebih maju. Laki-laki umumnya lebih diutamakan untuk berkiprah dalam kehidupan
publik.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan adanya beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi dan
keterwakilan perempuan di bidang sosial politik diantaranya:
1. Adanya tafsir agama yang melarang perempuan berkecimpung di ruang publik.
2. Kondisi sosial budaya dan psikologis yang masih sangat kuat menganggap
perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga dengan ideologi pembagian peran publik
dan domestik. Mayoritas masyarakat Indonesia masih
didominasi oleh cara pandang dan sikap yang cenderung mempersepsi serta
memperlakukan kaum perempuan sebagai pelengkap kaum laki-laki. Perempuan masih
sering diposisikan sebagai pihak yang harus bersikap “menerima” tanpa perlawanan
sehingga pada akhirnya kaum perempuan lebih dilihat sebagai objek dari pada
sebagai subjek yang menjadi mitra kaum laki-laki. Persepsi ini pada akhirnya melihat dan menempatkan kaum perempuan sebagai
pelengkap kaum laki-laki, bahkan dalam situasi
tertentu dilihat sebagai objek semata. Secara kultural dimana sudut pandang patrinial (laki-laki dilihat lebih superior) menjadi acuan utama dalam melihat
dan
menempatkan perempuan,
telah menyebabkan peranan
perempuan selalu
dikonotasikan dengan hal-hal
yang bersifat pelengkap kaum laki-laki, bukan sebagai
mitra
yang mempunyai kedudukan sejajar sehingga berhak mendapatkan peluang
yang sama diberbagai bidang
sendi kehidupan. Hambatan kultural tersebut
merupakan hambatan yang cukup fundamental karena kultur/budaya akan
membentuk persepsi yang dapat
mempengaruhi pola perilaku dalam kehidupan
sehari-hari.
3.
Persoalan keterbatasan waktu yang sering
dirasakan oleh kader perempuan seperti kesulitan membagi waktu dan memilih untuk dapat mengikuti antara
kegiatan partai dan rumah tangga atau keluarga.
4.
Faktor
internal perempuan terkait dengan kualitas, pendidikan, pengetahuan, kecakapan
berorganisasi, skap mental, dan pemahaman tentang hak-hak politik yang masih
rendah.
5.
Kebijakan pemerintah yang kurang
memperhatikan aspirasi dan kepentingan perempuan. Kalaupun ada, terkesan tidak menyeluruh dan
bulat serta masih sangat lemah dalam
implementasinya.
6.
Kurangnya penyajian dan promosi aktivitas
perempuan di bidang politik dibandingkan dengan penyajian dan promosi aktivitas
politik laki-laki.
7.
Birokrat partai didominasi oleh laki-laki
yang cenderung tidak memberi peluang kepada perempuan, misalnya dalam penetapan
nomor urut caleg.
8.
Kurang disadarinya baik oleh masyarakat
maupun perempuan itu sendiri bahwa kekuatan
perempuan sebagai kelompok sebenarnya
dapat membuat gerakan-gerakan perubahan dalam masyarakat.
Kondisi inilah yang memberikan makna perlunya
tindakan afirmatif dengan memberikan dorongan nyata serta komitmen politik bagi
perempuan untuk mengejar titik awal yang tidak sama tersebut. Tindakan
afirmatif 30% ini pun hanya dalam pencalonan, bukan dalam kuota lokasi kursi di
lembaga perwakilan. Perempuan yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
juga harus berjuang untuk memenangkan pemilihan, bukan berarti hanya duduk diam
lalu mendapatkan “berkah” kursi. Pemahaman
mengenai kuota di bidang politik bagi perempuan seringkali disalahartikan oleh
masyarakat. Sebagian dari mereka ada yang memahaminya bahwa perempuan meminta
jatah 30% kursi di DPR, tanpa melakukan perjuangan apapun. Oleh karena itu, muncul kontroversi di tengah masyarakat dan pandangan
negatif pun bermunculan.
Sebaiknya harus ada timbal
balik yang saling menguntungkan antara kepentingan perempuan dengan kepentingan
partai politik. Kaum perempuan telah menyediakan diri untuk dijadikan
persyaratan berdirinya sebuah partai politik.
Oleh karena itu partai politik hendaknya
memenuhi komitmen untuk terwujudnya peningkatan keterwakilan perempuan di
legislatif dengan menempatkan perempuan
pada urutan yang strategis sehingga memiliki kemungkinan besar untuk terpilih. Partai politik hendaknya membuka diri
terhadap munculnya para calon perempuan yang berkualitas dan berkemampuan
memenangkan pemilu. Jangan penetapan
nomor urut caleg dalam daftar calon tetap lebih dikendalikan oleh kepentingan
kekuasaan laki-laki semata. Dengan memperhatikan kepentingan perempuan dan
laki-laki secara proposional dan adil, diharapkan peningkatan keterwakilan
perempuan di legislatif dapat terwujud.
Berbicara mengenai politik
adalah berbicara mengenai naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial.
Politik dalam arti luas adalah dimensi kekuasaan yang mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial. Berpolitik adalah perjuangan untuk
memperebutkan hak mengatur dan hak
memerintah masyarakat. Berpolitik
adalah berebut pengaruh, berebut kekuasaan. Persoalan yang selalu muncul dalam
kehidupan sosial adalah “siapa yang berhak mengatur atau mengarahkannya, dan
bagaimana pengaturan dan pengarahan itu dilaksanakan”.
Dalam masalah karir,kaum
perempuan masih mengalami diskriminasi diberbagai hal sehingga kaum perempuan
tidak jarang diberlakukan kurang adil dan tidak proporsional. Begitu pula dalam
penetapan standar gaji, tidak jarang kaum perempuan tidak mendapatkan haknya
secara proporsional.
Kebijakan politik tentang
perempuan yang memberikan apresiasi atas keterlibatan perempuan diharapkan
tidak menjadi alat “politisasi” terhadap
perempuan. Upaya melibatan perempuan
dalam proses sosial-politik hendaknya bukan berdasarkan pada pertimbangan
memenuhi kewajiban kuota agar tidak dianggap melanggar peraturan. Atau sekadar
untuk memenuhi tuntutan dan “trend” yang berkembang di masyarakat.
Keterlibatan perempuan dalam
politik juga masih berindikasi sebagai “pemanis” untuk menarik simpati dan
empati dari masyarakat pemilih. Jadi, keterlibatan perempuan baru sekadar
sebagai vote getter semata. Setelah itu, proses pengambilan keputusan
dalam wilayah publik dan politik tidak melibatkan perempuan atau tidak
berperspektif perempuan. Adanya keinginan untuk melibatkan partisipasi
perempuan dalam wilayah politik (publik) justru berakibat pada “politisasi perempuan”,
yaitu menjadikan perempuan sebagai kendaraan politik saja.
Dengan demikian, posisi
perempuan dalam bidang politik di Indonesia bersifat ambigu. Di satu sisi, ada keinginan dari pemerintah dan masyarakat untuk menempatkan
posisi perempuan setara dengan laki-laki; memiliki hak yang sama dalam
mengakses kekuasaan negara. Akan tetapi, di sisi yang lain masih ada keraguan
mengenai kemampuan dan kesiapan perempuan untuk melakukan tugas politik
tersebut.
Dampak dari rendahnya
representasi perempuan dalam struktur politik formal dan arena pembuat serta
pengambil kebijakan ini adalah langkanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
segala level yang berpihak pada perempuan sehingga kepentingan-kepentingan
perempuan tidak dapat diartikulasikan. Kebijakan-kebijakan yang ada selain
diskriminatif terhadap perempuan juga tidak merepresentasikan kepentingan
perempuan sebagai warga negara, sehingga terkesan tidak tuntas. Kebijakan
negara yang bersifat bias jender selalu menyebabkan kepentingan perempuan
terabaikan.
Kesan tidak tuntas ini dapat dilihat, misalnya pada tindakan afirmatif bagi
perempuan di bidang politik. Apabila dikaji lebih jauh lagi, tidak ada sanksi bagi partai politik yang tidak
menerapkan kuota 30% bagi perempuan. Tentu saja aplikasi pasal 65 ayat 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 ini masih sangat lemah. Rekrutmen calon pada
partai politik belum optimal, banyak calon legislatif perempuan yang belum
mendapat tempat maupun posisi strategis dan kebanyakan ditempatkan dalam nomor
urut belakang atau yang sering disebut “nomor urut sepatu” dalam daftar
penetapan nama calon legislatif. Pada setiap partai yang melibatkan perempuan, kebanyakan dari mereka hanya sampai pada
proses daftar pencalegan nama.
Ketertinggalan perempuan dari
laki-laki yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan, dapat berawal
pada masalah kontruksi sosial masyarakat yang sudah membudaya, depolitisasi
kepentingan negara yang tidak adil terhadap kaum perempuan, interpretasi agama
yang tidak benar, atau dapat juga karena kurangnya akses perempuan terhadap
pengambilan kebijakan dan keputusan publik. Sebenarnya apabila dikaji lebih jauh,
perpolitikan nasional yang banyak didominasi oleh pria tidaklah mampu
menciptakan bangunan politik yang sehat (stabil). Sementara itu pada sisi lain,
nampak bahwa sumbangan terpenting perempuan di dunia politik adalah mereka
lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dari pada
memperluas ruang lingkup kekuasan mereka sendiri.
F. KESIMPULAN
Kiprah perempuan dalam dunia
politik di era reformasi mulai berubah kearah yang lebih positif setelah
berbagai kebijakan berkenaan dengan pemberdayaan perempuan diterbitkan
pemerintah. Kesempatan ini jelas merupakan peluang
emas, setelah sekian lama perempuan ada dalam bayang–bayang superioritas politik
dikotomi perempuan versus laki–laki. Secara teoritis, kebijakan telah
berpihak kepada perempuan, namun secara praktis, implementasinya masih belum
optimal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
partisipasi perempuan di bidang politik masih rendah, walaupun secara perlahan
ada kemajuan. Kaum perempuan belum
merasa at home di dalam partai
politik, yang oleh sebagian masyarakat masih dianggap sebagai dunia mencari
pengaruh dan kekuasaan serta identik dengan dunia maskulin atau dunia laki-laki. Sikap ambivalensi partai yang cenderung
mendua dalam melihat perempuan adalah gambaran dari sikap masyarakat Indonesia yang
belum sepenuhnya melihat perempuan sebagai kekuatan perubahan dalam masyarakat.
Paradigma lama yang menyatakan bahwa
perempuan sebagai kaum yang lemah dan terbatas serta hanya berfungsi sebagai
pelengkap kaum laki-laki, masih cukup dominan menghinggapi cara berpikir
mayoritas masyarakat Indonesia
terutama kaum laki-laki. Di Era
Globalisasi ini, seharusnya kaum perempuan tidak lagi diposisikan sebagai warga negara kelas
dua, di bawah bayang-bayang kekuasaan kaum laki-laki, tetapi harus diposisikan
dan dijadikan sebagai mitra yang mempunyai harkat, martabat serta derajat yang
sama.
Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai terlihat
adanya keberpihakan dan pengakuan akan perlunya peranan kaum perempuan dalam
politik, namun kebijakan-kebijakan tersebut masih diberlakukan “setengah hati”
dan belum maksimal. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila jumlah
perempuan yang terjun dalam dunia politik yang selalu di identikan dengan dunia
laki-laki ini, masih sangat terbatas. Begitu pula jumlah perempuan yang dapat
mencapai posisi puncak dalam jenjang birokrasi di pemerintahan, masih jauh dari
harapan apabila melihat komposisi jenis kelamin warga negara Indonesia tidak
kurang dari 51%nya adalah kaum perempuan. Sedikitnya wakil perempuan di
legislatif menjadikan perempuan kurang dapat bergerak lebih leluasa untuk
memperjuangkan aspirasi kaum perempuan secara keseluruhan.
G. REKOMENDASI
Tidak terlalu
menggembirakannya jumlah kaum perempuan di kancah politik, diantaranya karena
bentuk model politik maskulin yang tidak sesuai dengan perilaku dan pandangan
kaum perempuan. Model politik maskulin
adalah sistem politik dan partai-partai politik yang tidak peka gender,
laki-laki mendominasi arena politik, kompetisi dan konfrontasi bukan atas dasar
saling menghormati, kolaborasi dan penciptaan konsensus politik.
Seandainya partisipasi dan
representasi perempuan di bidang politik, termasuk legislatif, meningkat,
diharapkan dapat mengubah wajah politik yang maskulin selama ini sehingga dunia
politik akan semakin sejuk, nyaman, adem, penuh cinta kasih, saling menghargai
dan menghormati, meminimalkan adanya tindak kekerasan, konsensus akan tercapai
dengan mudah, dan adanya kolaborasi yang harmonis. Semoga.
PUSTAKA
ACUAN
Sumiarti, 2008, Quo Vadis’Politik Perempuan. Jurnal Yin Yang Studi Gender
dan Anak,
Vol.3. No.2
Juli-Desember 2008.
Wijaksana, M.B. dan Jaorana Amiruddin, 2005, Mendorong Inisiatif Lokal.
Menghapus
Kekerasan terhadap
Perempuan di Era Otonomi Daerah.
Hendri Koeswara, 2005, Partisipasi Politik Kader Perempuan dan Parpol.
Studi tentang
Kendala Partisipasi
Politik Kader Perempuan dalam Kegiatan Parpol pada
Pelaksanaan Pilkada
di Provinsi Jambi Tahun 2005.
Angelina Sondakh, 2007,
Perempuan dan Politik.
BIOGRAFI PENULIS
Carolina Nitimihardjo saat ini bekerja sebagai dosen STKS
Bandung
No comments:
Post a Comment