Oleh
Bambang Rustanto
Abstraks
Keberadaan perempuan sebagai anak
jalanan dan pekerja seks jalananan tidak bias dilepaskan dari keberadaan kota
besar seperti Jakarta dan pertumbuhan ekonomi yang menyertainya. Kecendrungan
keberadaan anak perempuan di Jalanan
semakin meningkat seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota. Pada kenyataannya
di jalanan mereka mengalami perubahan hidup yang cukup signifikan, sesuai
dengan latar balakang mereka pertama kali turun ke jalanan dan tantangan yang
dihadapai di jalanan. Pada suatu saat mereka mengalami titik jenuh untuk tetap
berada di jalanan sebagai anak jalanan atau memilih profesi lain namun tetap dijalanan yaitu
sebagai pekerja seks jalanan.
A. Pendahuluan
Sejak tahun 1990, kemunculan
perempuan sebagai anak jalanan di Indonesia mulai meningkatkan. Peningkatan
tersebut ditandai dengan gejala-gejala munculnya anak-anak yang hidup di
tempat-tempat umum baik sebagai pengamen, tukar semir, tukang Koran, pedagang
asongan, pengemis dan lain sebagainya. Banyak para ilmuwan social baik dari
disiplin antropologi, psikologi, maupun pekerjaan social dan yang lainnya telah
melakukan penelitian terhadap keberadaan anak jalanan. Hasil penelitian
–penelitian trsebut ada yang dipublikasikan maupun tidak. Hasil penelitian
tersebut juga menjadi dasar dalam menemukan model-model penangangan anak
jalanan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.
Hasil penelitian kerap kali hanya
menunjukkan suatu pengulangan (repetition)
dimana ada kecenderungan orang menganggap kondisi kehidupan perempuan sebagai
anak jalanan begitu saja dari sananya (given).
Hal ini juga berdampak pada penanganan perempuan sebagai anak jalanan yang terlihat menjadi sifat
rutinitas, dan dilakukan untuk sekedar kewajiban saja. Akibatnya muncul kritik
terhadap penanganan anak jalanan yang dari hari ke hari tidak bias mengurangi
jumlah perempuan sebagai anak jalanan yang turun ke jalan. Salah satu kritik
yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa program-program penanganan yang ada
justru semakin banyak membuat perempuan turun menjadi anak jalanan untuk
mendapatkan bantuan pemerintah.Lalu kenapa program-program penanganan anak
jalanan yang ditawarkan seringkali kurang berhasil melakukan perubahan yang
signifikan terhadap perempuan sebagai anak jalanan.
Tulisan ini berusaha menyingkapkan tabir
lain yang selama ini luput dari perhatian kita semua, yaitu mengenai adanya
metamorphosis social dalam kehidupan perempuan sebagai anak jalanan. Pengungkapan
fenomena ini nantinya secara subtansial dapat digunakan sebagai
alternative dalam penyusunan konsep
penanganan perempuan sebagai anak jalanan.
B. Pengertian Perempuan Sebagai Anak Jalanan
Sangat susah memberikan definisi yang
tepat dan sama untuk perempuan sebagai anak jalanan. Hal ini dikarekan cara
pandang dari masing-masing ilmuwan yang ada, yang dipengaruhi oleh latar
belakang disiplin keilmuan yang berbeda. Tidak mengherankan, jika Unicef
memasukkan anak jalanan ke dalam katagori anak yang berada dalam situasi yang
sulit. Kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh anak jalanan termasuk dalam
kehidupan yang membahayakan masa depannya.
Definisi yang lebih operasional untuk menjelaskan
perempuan sebagai anak jalanan dikemukakan oleh Kartika (1997) yang
mengungkapkan bahwa perempuan sebagai anak jalanan dibedakan menjadi dua
katagori, Pertama perempuan sebagai anak yang bekerja dijalanan dan Kedua
perempuan sebagai anak yang hidup di jalanan. Perbedaan didasarkan atas kontak dengan keluarga. Tipe pertama
perempuan sebagai anak jalanan masih memiliki kontak dengan keluarganya,
sedangkan tipe kedua perempuan sebagai anak jalanan sudah putus hubungan dengan
keluarganya. Anak-anak ini terlalu cepat masuk dalam kehidupan orang dewasa.
Bekerja untuk waktu yang lama untuk mendapatkan uang di bawah kondisi yang
berbahaya untuk kesehatan dan perkembangan fisiknya. Mereka kadang terpisah
jauh dengan keluarga dan sering kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan.
Selain batasan pengertian yang berbeda
karena dimensi keilmuan dan cara pandang yang berbeda, definiasi lainnya lebih
pada batasan umur atau usia perempuan itu sendiri sebagai anak jalan. Hal ini
dikarenakan penepatan angka dibawah 18 tahun oleh PBB, namun masing-masing
Negara masih berhak nenentukan berdasarkan undang-undang masing-masing.
Dari definiasi-definisi yang banyak
dikemukakan oleh para ahli ilmu social tersebut terdapat tiga cirri yaitu (1)
Memandang perempuan sebagai anak jalanan sebagai gejala bagian dari gejala dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam
bidang ini , gejala perempuan sebagai anak jalanan sering dikaitkan dengan alas an ekonomi keluarga dan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kecilnya pendapatan orang tua sehingga
tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga memaksa terjadinya pengerahan
anak-anak (2) Memandang gejala anak jalanan sebagai permasalahan social.
Anak-anak jalanan dipandang sebagai pelakon-pelakon yang menjalankan tindakan
negative. Kehadiran perempuan sebagai anak jalanan merupakan bukti dari para
delikuen atau deviant yang akan mengancam ketentraman para penghuni kota
lainnya (3) Menempatkan perempuan
sebagai anak jalan dalam katagori anak-anak yang diperlukan sebagai orang
dewasa. Akibatnya ia memiliki resiko yang sangat besar untuk dieksploitasi atau
menghadapi masa depan yang suram (Putra,1998).
C. Perekonomian Kota Menjadikan Perempuan
Sebagai Anak Jalanan
Pertumbuhan ekonomi yang dirasakan Orde
Baru sejak 1966-an telah membawa perubahan-perubahan yang sifnifikan. Revolusi
hijau yang dilaksanakan di daerah-daerah pedesaan telah meningkatkan produksi
beras secara tajam. Namun disisi lain prubahan ini membuat pada buruh tani
harus menyingkir dari desa karena kehilangan pekerjaan atau tanahnya sempit.
Akibatnya hidupnya tergantung pada system upah atau migrasi ke kota dengan
bekerja di luar sector pertanian yang tentu saja berbeda dengan sector yang
selama ini mereka geluti di desa (Sayogyo, 1996).
Kota sendiri pada saat itu, membutuhkan
tenaga-tenaga murah untuk mengembangkan wilayahnya dan pembangunan faslitas
pemukimanan dan perkantoran. Pertumbuhan kota menciptakan berbagai peluang
kerja. Tidaklah mengherankan bila para buruh tani berusaha mengadu nasibnya
dalam alih profesi dengan sumber mata pencaharian lainnya. Kota yang sedang
tumbuh besar menjadi pusat ekonomi dan menjadi pusat penampungan tenaga kerja
tidak terampil dan murah dari wilayah pedesaaan.
Adanya kesenjangan kota dan desa
mengakibatkan kota harus menampung arus orang yang berasal dari desa-desa.
Akibatnya tingkat kepadatan penduduk menjadi melonjak. Kehadiran orang-orang
miskin diperkotaan antara lian ditandai oleh berkembangnya pmukiman pemukiman
liar. Suparlan (1996) menyebutkan bahwa pemukiman liar pada gilirannya akan
menghasilkan para pemukim liar. Sebagian dari pemukim liar ini kemudian bias
menjadi warga kota yang sah, melalui kepemilikian KTP, karena kedudukan social
–ekonomi memungkinkan mereka dapat menjadi warga kota. Sementara itu sebagian
kecil diantranya menjadi gelandangan dan warga kota yang tidak syah. Karena
kedudukan social-ekonomi yang sangat rendah. Jika kemiskinan kota dapat
diasosiakan dengan pemukiman liar yang menghasilkan perempuan sebagai anak
jalanan , hal ini terjadi karena keterbatasan ruang hidup di rumah tangga
mereka.
Di sisi lain perempuan sebagai anak
jalanan adalah produk dari kesenjangan pembangunan antar daerah. Pendapat ini
mengisyarakatkan bahwa perempuan sebagai anak jalanan bukanlah semata-mata
produk dari perkembangan kota tetapi juga disebabkan adanya tekanan politik
ekonomi dan rasa tidak aman warga dari desa-desa sekitarnya. Akibatnya warga
desa yang ditekan oleh berbagai kekuatan tersebut terpaksa pergi mencari tempat
untuk kehidupan yang lebih baik di kota. Pada satu segi, kota memiliki
kapasistas untuk menampung para pendatang dari desa-desa. Struktur social ,
ekonomi dan administrasi yang berkembang di kota lebih kompleks disbandingkan
didesa, oleh karena itu kota bias menampung bukan hanya mereka yang kaya tetapi
juga mereka yang miskin. Kota juga membutuhkan tenaga-tenaga yang tidak
terampil atau tenaga kasar untuk menjalankan roda kehidupan ekonominya.
D.Stigmanisasi Perempuan Sebagai Anak
lanan.
Perdebatan
mengenai anak jalanan merebak terkait dengan argument menolak adanya Child Labour . Di Indonesia secara budaya, khususnya di desa-desa banyak
anak dididik terutama perempuan untuk terbiasa membantu orang tua. Dengan
demikian mereka dianggap mengabdi kepada orang tua. Argumen itu ditentang oleh
ILO dan Unicef sebagai lembaga internasional yang mendalami kondisi anak dan
pekerja anak.
Berdasarkan laporan bahwa ada 250 juta
anak-anak berusia antara 5 sampai 15 tahun yang harus bekerja dalam kondisi
yang membahayakan dirinya. Dari jumlah tersebut 120 juta diantaranya bekerja
secara penuh dan 130 juta lainnya bekerja paruh waktu. Sebagian besar yaitu 63%
atau 153 juta anak berada di Asia, sementara itu di Afrika 32% atau 80 juta
anak dan sisanya sekitar 17,5 juta anak berada di wilayah Amerika Latin
(Kompas,1997) Kondisi tersebut cukup memperihatinkan dan merupakan pelanggaran
akan hak-hak anak.
Potret muram anak yang bekerja digambarkan
dengan harus bekerja dengan jam kerja panjang dan perlindungan yang tidak
memadai, membuat banyak aktivis social memandang pekerja anak berada dalam
situasi yang terekploitasi. Bahkan mereka mencurigai pandangan bahwa anak
bekerja untuk membantu orang tua sebagai adat kebiasaan justru dapat
menyesatkan dan menjadi topeng yang menutupi situasi yang sesungguhnya. Dua
pandangan di atas menunjukkan adanya benturan dalam mendefinisikan anak jalanan
(Sudrajat, 1999)
Laporan Murray (1994) mengenai sangsi
kepada pedagang dan pelacur jalanan di
Jakarta dapat dijadikan contoh (re) aksi aparat pemerintah daerah terhadap
mereka yang digolongkan menyimpang. Selanjutnya dinyatakan bahwa menurut sikap
pemerintah daerah pekerjaan informal bukanlah merupakan personal ekonomi-sosial
melainkan persoalan ketertiban dan keamanan.
E. Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Anak
Jalanan Di Kota Metropolitan.
Secara
eksplisit citra sebagai Kota Metropilitan sering digunakan oleh Pemda Jakarta
dimasa lalu, Kota Metropolitan sendiri tidak
pernah didefinisikan secara jelas. Secara umum ia
diartikan sebuah kota yang bersih dan teratur, tertata secara baik untuk mobil
dan menarik bagi orang-orang asing, karena menjadi pintu masuk untuk hubungan internasional. Penerapan
kebijakan dilaksanakan melalui operasi-operasi tertib social yang kadang
bersifat semi militer. Tim penertiban melakukan razia tanpa penringatan
terlebih darhulu. Para petugas operasi tertib social dating untuk mengambil dan
menyita barang-barang dagangan milik
perempuan sebagai anak jalanan yang tertangkap. Sering kali dalam melakukan
operasi tertib social dibarengi dengan tindak kekeraran terhadap perempuan sebagai
anak jalanan. Bahkan dibeberapa kota menunjukkan beragam katagori kekerasan
yang dilakukan oleh aparat penertiban terhadap perempuan sebagai anak jalanan
antara lain cubit, digusur bahkan ada yang ditendang.
Putra (1998) mengungkpakan bahwa dalam
menerima perlakukan tindak kekerasan yang dilakukan oleh para petugas, baik
yang melakukan operasi tertib social maupun satpam sebagai penjaga keamanan
wilayah tertentu, anak-anak jalanan tidak mampu berbuat banyak. Anak-anak
jalanan selalu ditempatkan pada pihak yang selalu salah bila berhdapan dengan
petugas. Ketidakberdayaan tersebut antara lain diakibatkan oleh kedudukan para
petugas sebagai bagian dari mesin untuk menjalankan berbagai keputusan yang
mengikat masyarakatnya, seperti keputusan yang diambil pemerintah, pengelola
pertokoan dan sebagainya. Oleh karena itu mereka memiliki otoritas untuk
membatasi keinginan alternative dari warga lainnya dan bila perlu dengan
paksaan. Tindak kekerasan yang ditimpakan langsung ke tubuh anak jalanan
seseunggungnya merupakan pengakuan terhadap dua kekalahan secara hokum dan
secara fisik.
F. Penanganan Perempuan Sebagai Anak Jalanan.
Selama ini
program-program pemerintah yang diperuntukkan bagi perempuan sebagai anak
jalanan lebih banyak menyangkut perbaikan kesejahteraan anak secara umum,
sedangkan program-program yang secara khusus dirancang untuk perempuan sebagai
anak jalanan dan pekerja anak sedikit sekali. Program-program tersebut
diantaranya meliputi 4 program utama yaitu (1) program penyelamatan (child survival programs) meliputi
perbaikan status gizi, pemeriksaan kesehatan ibu dan anak dan keluarga
berencana (KB). (2) Program perkembangan anak (Child Development Programs) meliputi pemeliharaan lingkungan,
perbaikan keluarga, pendidikan formal dan non formal, pendidikan khusus
keagamaan dan pengajaran moralitas (3) program perlindungan anak (chilid protection program) untuk
melindungi anak-anak terlantar, pekerja anak dan penanggulangan obat-obatan,
dan (4) program-program untuk meningkatkan kesejahteraan anak melalui pelatihan
dan pendidikan. (ILO,1996).
Komplesitas permasalahan yang dihadapi
perempuan sebagai anak jalanan ini membutuhkan berbagai strategi pendekatan
yang sesuai dan efektif untuk menjangkau akar permasalahannya. Pendekatan yang
selama ini dipakai oleh LSM-LSM untuk
menjangkau kelompok sasaran antara lain : Community
based, street based, centre based, dan family based atau kombinasi dari
pendekatan-pendekatan tersebut.Masing-masing pendekatan mewakili sifat
penanganan perempuan sebagai anak jalanan. Seperti community based yang lebih bersifat preventif, street based yang bersifat kuratif dan centre based dapat bersifat rehabilitative dan family based dapat bersigat ketiga-tiganya (Kartika, 1997)
Berkaitan dengan program penanganan
perempuan sebagai anak jalanan dan pekerja anak kegiatan pendampingan dengan metode
pendekatan top-down seperti program-program pemerintah, seringkali tidak
menampakan hasil nyata. Beberapa kegiatan yang semula dianggap dapat member
manfaat bagi peremapuan sebagai anak jalanan dan pekerja anak ternyata jurstru
mereka tolak karena dipandang kurang relevan dengan kenyataan yang mereka
hadapi sehari-hari. Misalnya pendidikan keterampilan kerja seperti menjahir,
pertukangan dan lain-lain. Anak-anak yang sudah jenuh dengan kehidupan kerja
menganggap kegiatan tersebut tidak menarik. Oleh karena itu program-program
yang berisi pendidikan formal maupun keterampilan kurang diminati oleh mereka.
G. Metamorfosis Perempuan Dari Anak Jalanan Ke Pekerja Seks Jalanan.
Sebagaimana
yang telah diungkapkan di muka, bahwa masalah social lahir dari hasil interaksi
individu dengan lingkungan sosialnya. Pengalaman-pengalaman hidup dari hasil
interaksi tersebut yang akan dijadikan pedoman untuk melangkah ke kehidupan
mereka selanjutnya. Demikian halnya dengan perempuan sebagai anak jalanan
dengan berbagai motivasi seperti membatu orang tua, ikut-ikutan. Maupun karena
minggat dari rumah (keterpaksaan) Mereka turun ke jalan ini akan dihadapkan
kepada suatu budaya yang baru yang barang tentu berbeda dengan pengalaman
hidupnya sebelumnya (Rustanto,2004)
Berdasarkan
kajian (Rustanto,2010) Perempuan sebagai anak jalanan yang kemudian mengeluti
dunia baru dengan budaya baru (budaya jalanan) dengan profesi baru terutama
sebagai pengamen akhirnya mengalami suatu proses pembelajaran. Di Prumpung
Jakarta Timur terdapat tidak kurang dari 150 anak jalanan dan hamper 65 orang
diantaranya perempuan yang berusia dibawah 18 tahun, mereka pada umumnya
bekerja sebagai pengamen dan anak jalanan.. Mereka menganggap kehidupan mereka
sebagai dunia yang bebas, mengasikkan karena hidup semau gue dan dapat uang
serta banyak teman bermain. Namun dibalik itu terdapat resiko yang mengancam
resiko yang mereka hadapi cukup banyak terutama kekerasan dan pelecehan seksual
yang dilakukan oleh temannya sendiri, para awak angkutan umum, para pengguna
jasa angkutan bahkan masyarakat pada umumnya
Aspek yang banyak mengiktui mereka untuk
tetap berada dijalanan adalah kemudahan untuk memperoleh uang dan penghasilan mereka
peroleh yang rata-rata cukup tinggi bias mencapai 70 ribu bahkan ada yang
mencapai 100 ribu perharinya. Hal ini sekiranya bias menjawab pertanyaan
mengapa mereka tidak berminat lagi bersekolah atau ikut pendidikan
keterampilan, dikarenakan bekerja sebagai buruh di Jakarta hanya sedikit
gajinya dan sulit serta membutuhkan ketekunan dan keterampilan khusus, sehingga
mereka enggan untuk melakukakannya.
Inilah persoalan pokok mengapa program pemerintah gagal, dimana anak
setelah mendapat pelatihan kembali turun
ke jalan, dan lebih menggelitik lagi rata-rata dari mereka pernah mendapatkan
pelatihan lebiih dari satu kali. Adapun yang lebih membuat para pelaksana
program kesal adalah ketika mereka sudah didaftarkan dalam suatu pelatihan ,
mereka justru tidak pernah dating. Ini adalah suatu pemborosan yang perlu
segera mencermati dan dicarikan solusi.
.Beberapa kurun waktu sekarang ini,
berdasarkan hasil suatu kajian (Rustanto.2010) erlihat adanya perubahan dalam
bekerja yang dilakukan perempuan sebagai anak jalanan Wialayah prumpung Jakarta
Timur. setelah mereka bosan di jalanan Perubahan
atau metamorphosis ini sebagai berikut:
1.
Untuk mereka yang turun ke jalan karena
ikut-ikutan ternyata mengalami kejenuhan di jalan dan akhirnya kembali ke
tempat asalnya tau keluargannya.
2.
Untuk mereka yang turun ke Jalanan karena membatu orang tuanya ternyata berupaya
untuk lebih mendapatkan uang yang lebih banyak lagi, yaitu dengan masuk ke
tempat-tempat hiburan malam bahkan terjun ke dunia hitam sebagai pelacur jalanan,
bahkan mereka ada yang terjurus menjadi pekerja seks komersial di jalanan atau
di pinggir rel kereta api.
3.
Mereka juga ada yang beralih profesi sebagai
pembantu, pekerja salon kecantikan, pekerja swasta, berjulanan atau bakan
berdagang membatu orang tuanya.
4.
Untuk mereka yang turun ke jalan karena
minggat dari rumah mereka cenderung melakukan aksi criminal dengan bercirikan
minum-minuman , mabuk bahkan menggunakan narkotika.
Metamorfosis ini terjadi di setiap
tahapan perkembangan umur, namun paling banyak terjadi saat mereka menginjak
usia 18 tahun sampai dengan 21 tahun. Artinya pada umur-umur inilah secara
social, mereka sudah berpikir untuk menikah dan menjalankan peranan sebagai
orang dewasa dan meninggalkan dunia perempuan sebagai anak jalanan.
Rasionalitas mereka sudah mulai tumbuh dan mereka dihadapkan pada dua pilihan
pokok yaitu mau jadi orang baik atau tetap berada dijalanan menadi orang
jalanan.
H. Kesimpulan.
Berpijak
dari kenyataan ini, maka pemberdayaan perempuan sebagai anak jalanan sendiri
ternyata baru memungkinkan ketika mereka sudah menginjak dewasa. Pada saat
mereka berumur 18 tahun sampai 21 tahun. Inilah mereka sudah mulai memiliki
kesadaran akan dirinya dan lingkunganya dan bias berpartisipasi aktif untuk
meraih keberdayaaannya sendiri.Namun demikian tetap saja diperlukan tiga
kondisi yang harus dipenuhi yaitu:
pertemenan, kesadaran dan partisipasi. Prinsip kesetaraan sangat penting karena
dengan sendirinya dapat membebaskan perempuan sebagai anak jalanan dari
dominasi orang dewasa yang mereka alamai didunia kerja dan jalanan
I. Rekomendasi.
Perwujudan prinsip kesetaraan melalui
pertemuan ini terbukti efektif untuk menarik perempuan sebagai anak jalanan
agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ada, Pentingnya advokasi melalui
program pendampingan langsung terhadap perempuan sebagai anak jalanan untuk
anak yang relative kecil. Upaya tersebut menunjukkan keberpihakan kepada mereka
pendamping dan pemberdayaan keluarga dan keluarga anak jalanan juga perlu
dilakukan untuk mencegah perempuan sebagai anak jalanan tetap dijalanan seumur
hidupnya.
Biografi Penulis : Bambang Rustanto saat ini sebagai dosen STKS Bandung
PUSTAKA ACUAN
Bambang Rustanto & Tuti Kartika. Metode
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Partisipatif (MP3L). STKS Depok : tidak dipublikasikan.
Bambang Rustanto, 2002, Metode
Partisipatori Assesment dan Rencana Tindak Dalam Pengembangan Masyarakat,
STKS Depok : tidak dipublikasikan
Burkey
Stan, 1993, People First A guide to
Self-Reliant, Participatory Rural Development, London : New Jersey
Dubois
Brenda & Milley. 1997. Social
Work An Empowering Profession . Boston : Allyn &
Bacon
Elison, Kenneth ,1997 : Technology of Participation (TOP) basic Group Fasilitation Methods
Manual, Manila : ARD/Gold
.Ife Jim. 2002. Community Development Community-Based Alternatives in an Age of
Globalisation. Australia : Person Education Australia
Ilham
Cendekia. 2002. Metode Fasilitasi
Pembuatan Keputusan Partisipatif. Jakarta : PATTIRO
Jenkins Marry Bricker, dkk. 1991. Feminist Social Work Practice in Clinical
Settings. New Delhi : Sage Publication.
Moleong Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Depok : Remaja Rosdakarya.
Mukerje Nilanjana, 1999: Methodology Particiapatory Assesment (MPA) for Rurat
Development, New Delhi : New
Era
Prijono S. Ony, 1996, Pemberdayaan,
Konsep, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic
and International Studies
Sarantakos S. 1993. Social Research. Melbourne : Macmillan Education Australia.
Schwandt A. Thomas. 1997. Dictionary of Qualitative inquiry.
London : Sage Publications
Suharto Edi. 2005. Analisis Kebijakan
Publik. Depok : ALPABETA.
Zastrow Charles. 1982. Introduction to Social
Welfare Institutions Social Problems, Services, and Current Issues. USA : The
Dorsey Press.
Wadsworth Yoland. 1991. Everyday Evaluation On The Run. Melbourne : Action Research Issues
Association (Incorporated)
No comments:
Post a Comment