Search This Blog

Search This Blog

Thursday, January 8, 2015

METAMORFOSIS ANAK JALANAN


Oleh Bambang Rustanto

Abstraks
         Keberadaan perempuan sebagai anak jalanan dan pekerja seks jalananan tidak bias dilepaskan dari keberadaan kota besar seperti Jakarta dan pertumbuhan ekonomi yang menyertainya. Kecendrungan keberadaan anak perempuan  di Jalanan semakin meningkat seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota. Pada kenyataannya di jalanan mereka mengalami perubahan hidup yang cukup signifikan, sesuai dengan latar balakang mereka pertama kali turun ke jalanan dan tantangan yang dihadapai di jalanan. Pada suatu saat mereka mengalami titik jenuh untuk tetap berada di jalanan sebagai anak jalanan atau memilih  profesi lain namun tetap dijalanan yaitu sebagai pekerja seks jalanan.
A. Pendahuluan
          Sejak tahun 1990, kemunculan perempuan sebagai anak jalanan di Indonesia mulai meningkatkan. Peningkatan tersebut ditandai dengan gejala-gejala munculnya anak-anak yang hidup di tempat-tempat umum baik sebagai pengamen, tukar semir, tukang Koran, pedagang asongan, pengemis dan lain sebagainya. Banyak para ilmuwan social baik dari disiplin antropologi, psikologi, maupun pekerjaan social dan yang lainnya telah melakukan penelitian terhadap keberadaan anak jalanan. Hasil penelitian –penelitian trsebut ada yang dipublikasikan maupun tidak. Hasil penelitian tersebut juga menjadi dasar dalam menemukan model-model penangangan anak jalanan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.
        Hasil penelitian kerap kali hanya menunjukkan suatu pengulangan (repetition) dimana ada kecenderungan orang menganggap kondisi kehidupan perempuan sebagai anak jalanan begitu saja dari sananya (given). Hal ini juga berdampak pada penanganan perempuan sebagai  anak jalanan yang terlihat menjadi sifat rutinitas, dan dilakukan untuk sekedar kewajiban saja. Akibatnya muncul kritik terhadap penanganan anak jalanan yang dari hari ke hari tidak bias mengurangi jumlah perempuan sebagai anak jalanan yang turun ke jalan. Salah satu kritik yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa program-program penanganan yang ada justru semakin banyak membuat perempuan turun menjadi anak jalanan untuk mendapatkan bantuan pemerintah.Lalu kenapa program-program penanganan anak jalanan yang ditawarkan seringkali kurang berhasil melakukan perubahan yang signifikan terhadap perempuan sebagai anak jalanan.
      Tulisan ini berusaha menyingkapkan tabir lain yang selama ini luput dari perhatian kita semua, yaitu mengenai adanya metamorphosis social dalam kehidupan perempuan sebagai anak jalanan. Pengungkapan fenomena ini nantinya secara subtansial dapat digunakan sebagai alternative  dalam penyusunan konsep penanganan perempuan sebagai anak jalanan.


B. Pengertian Perempuan Sebagai Anak Jalanan
      Sangat susah memberikan definisi yang tepat dan sama untuk perempuan sebagai anak jalanan. Hal ini dikarekan cara pandang dari masing-masing ilmuwan yang ada, yang dipengaruhi oleh latar belakang disiplin keilmuan yang berbeda. Tidak mengherankan, jika Unicef memasukkan anak jalanan ke dalam katagori anak yang berada dalam situasi yang sulit. Kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh anak jalanan termasuk dalam kehidupan yang membahayakan masa depannya.
     Definisi  yang lebih operasional untuk menjelaskan perempuan sebagai anak jalanan dikemukakan oleh Kartika (1997) yang mengungkapkan bahwa perempuan sebagai anak jalanan dibedakan menjadi dua katagori, Pertama perempuan sebagai anak yang bekerja dijalanan dan Kedua perempuan sebagai anak yang hidup di jalanan.  Perbedaan didasarkan  atas kontak dengan keluarga. Tipe pertama perempuan sebagai anak jalanan masih memiliki kontak dengan keluarganya, sedangkan tipe kedua perempuan sebagai anak jalanan sudah putus hubungan dengan keluarganya. Anak-anak ini terlalu cepat masuk dalam kehidupan orang dewasa. Bekerja untuk waktu yang lama untuk mendapatkan uang di bawah kondisi yang berbahaya untuk kesehatan dan perkembangan fisiknya. Mereka kadang terpisah jauh dengan keluarga dan sering kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
    Selain batasan pengertian yang berbeda karena dimensi keilmuan dan cara pandang yang berbeda, definiasi lainnya lebih pada batasan umur atau usia perempuan itu sendiri sebagai anak jalan. Hal ini dikarenakan penepatan angka dibawah 18 tahun oleh PBB, namun masing-masing Negara masih berhak nenentukan berdasarkan undang-undang masing-masing.
     Dari definiasi-definisi yang banyak dikemukakan oleh para ahli ilmu social tersebut terdapat tiga cirri yaitu (1) Memandang perempuan sebagai anak jalanan sebagai gejala bagian dari  gejala dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam bidang ini , gejala perempuan sebagai anak jalanan sering dikaitkan  dengan alas an ekonomi keluarga dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kecilnya pendapatan orang tua sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga memaksa terjadinya pengerahan anak-anak (2) Memandang gejala anak jalanan sebagai permasalahan social. Anak-anak jalanan dipandang sebagai pelakon-pelakon yang menjalankan tindakan negative. Kehadiran perempuan sebagai anak jalanan merupakan bukti dari para delikuen atau deviant yang akan mengancam ketentraman para penghuni kota lainnya (3) Menempatkan  perempuan sebagai anak jalan dalam katagori anak-anak yang diperlukan sebagai orang dewasa. Akibatnya ia memiliki resiko yang sangat besar untuk dieksploitasi atau menghadapi masa depan yang suram (Putra,1998).
C. Perekonomian Kota Menjadikan Perempuan Sebagai Anak Jalanan
     Pertumbuhan ekonomi yang dirasakan Orde Baru sejak 1966-an telah membawa perubahan-perubahan yang sifnifikan. Revolusi hijau yang dilaksanakan di daerah-daerah pedesaan telah meningkatkan produksi beras secara tajam. Namun disisi lain prubahan ini membuat pada buruh tani harus menyingkir dari desa karena kehilangan pekerjaan atau tanahnya sempit. Akibatnya hidupnya tergantung pada system upah atau migrasi ke kota dengan bekerja di luar sector pertanian yang tentu saja berbeda dengan sector yang selama ini mereka geluti di desa (Sayogyo, 1996).
     Kota sendiri pada saat itu, membutuhkan tenaga-tenaga murah untuk mengembangkan wilayahnya dan pembangunan faslitas pemukimanan dan perkantoran. Pertumbuhan kota menciptakan berbagai peluang kerja. Tidaklah mengherankan bila para buruh tani berusaha mengadu nasibnya dalam alih profesi dengan sumber mata pencaharian lainnya. Kota yang sedang tumbuh besar menjadi pusat ekonomi dan menjadi pusat penampungan tenaga kerja tidak terampil dan murah dari wilayah pedesaaan.
      Adanya kesenjangan kota dan desa mengakibatkan kota harus menampung arus orang yang berasal dari desa-desa. Akibatnya tingkat kepadatan penduduk menjadi melonjak. Kehadiran orang-orang miskin diperkotaan antara lian ditandai oleh berkembangnya pmukiman pemukiman liar. Suparlan (1996) menyebutkan bahwa pemukiman liar pada gilirannya akan menghasilkan para pemukim liar. Sebagian dari pemukim liar ini kemudian bias menjadi warga kota yang sah, melalui kepemilikian KTP, karena kedudukan social –ekonomi memungkinkan mereka dapat menjadi warga kota. Sementara itu sebagian kecil diantranya menjadi gelandangan dan warga kota yang tidak syah. Karena kedudukan social-ekonomi yang sangat rendah. Jika kemiskinan kota dapat diasosiakan dengan pemukiman liar yang menghasilkan perempuan sebagai anak jalanan , hal ini terjadi karena keterbatasan ruang hidup di rumah tangga mereka.
      Di sisi lain perempuan sebagai anak jalanan adalah produk dari kesenjangan pembangunan antar daerah. Pendapat ini mengisyarakatkan bahwa perempuan sebagai anak jalanan bukanlah semata-mata produk dari perkembangan kota tetapi juga disebabkan adanya tekanan politik ekonomi dan rasa tidak aman warga dari desa-desa sekitarnya. Akibatnya warga desa yang ditekan oleh berbagai kekuatan tersebut terpaksa pergi mencari tempat untuk kehidupan yang lebih baik di kota. Pada satu segi, kota memiliki kapasistas untuk menampung para pendatang dari desa-desa. Struktur social , ekonomi dan administrasi yang berkembang di kota lebih kompleks disbandingkan didesa, oleh karena itu kota bias menampung bukan hanya mereka yang kaya tetapi juga mereka yang miskin. Kota juga membutuhkan tenaga-tenaga yang tidak terampil atau tenaga kasar untuk menjalankan roda kehidupan ekonominya.
D.Stigmanisasi Perempuan Sebagai Anak lanan. 
     Perdebatan mengenai anak jalanan merebak terkait dengan argument menolak adanya Child Labour . Di Indonesia secara budaya, khususnya di desa-desa banyak anak dididik terutama perempuan untuk terbiasa membantu orang tua. Dengan demikian mereka dianggap mengabdi kepada orang tua. Argumen itu ditentang oleh ILO dan Unicef sebagai lembaga internasional yang mendalami kondisi anak dan pekerja anak.
     Berdasarkan laporan bahwa ada 250 juta anak-anak berusia antara 5 sampai 15 tahun yang harus bekerja dalam kondisi yang membahayakan dirinya. Dari jumlah tersebut 120 juta diantaranya bekerja secara penuh dan 130 juta lainnya bekerja paruh waktu. Sebagian besar yaitu 63% atau 153 juta anak berada di Asia, sementara itu di Afrika 32% atau 80 juta anak dan sisanya sekitar 17,5 juta anak berada di wilayah Amerika Latin (Kompas,1997) Kondisi tersebut cukup memperihatinkan dan merupakan pelanggaran akan hak-hak anak.
     Potret muram anak yang bekerja digambarkan dengan harus bekerja dengan jam kerja panjang dan perlindungan yang tidak memadai, membuat banyak aktivis social memandang pekerja anak berada dalam situasi yang terekploitasi. Bahkan mereka mencurigai pandangan bahwa anak bekerja untuk membantu orang tua sebagai adat kebiasaan justru dapat menyesatkan dan menjadi topeng yang menutupi situasi yang sesungguhnya. Dua pandangan di atas menunjukkan adanya benturan dalam mendefinisikan anak jalanan (Sudrajat, 1999)
    Laporan Murray (1994) mengenai sangsi kepada pedagang dan pelacur  jalanan di Jakarta dapat dijadikan contoh (re) aksi aparat pemerintah daerah terhadap mereka yang digolongkan menyimpang. Selanjutnya dinyatakan bahwa menurut sikap pemerintah daerah pekerjaan informal bukanlah merupakan personal ekonomi-sosial melainkan persoalan ketertiban dan keamanan.
E. Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Anak Jalanan Di Kota Metropolitan.
     Secara eksplisit citra sebagai Kota Metropilitan sering digunakan oleh Pemda Jakarta dimasa lalu, Kota Metropolitan sendiri tidak  pernah didefinisikan secara jelas. Secara  umum ia diartikan sebuah kota yang bersih dan teratur, tertata secara baik untuk mobil dan menarik bagi orang-orang asing, karena menjadi pintu masuk  untuk hubungan internasional. Penerapan kebijakan dilaksanakan melalui operasi-operasi tertib social yang kadang bersifat semi militer. Tim penertiban melakukan razia tanpa penringatan terlebih darhulu. Para petugas operasi tertib social dating untuk mengambil dan menyita  barang-barang dagangan milik perempuan sebagai anak jalanan yang tertangkap. Sering kali dalam melakukan operasi tertib social dibarengi dengan tindak kekeraran terhadap perempuan sebagai anak jalanan. Bahkan dibeberapa kota menunjukkan beragam katagori kekerasan yang dilakukan oleh aparat penertiban terhadap perempuan sebagai anak jalanan antara lain cubit, digusur bahkan ada yang ditendang.
    Putra (1998) mengungkpakan bahwa dalam menerima perlakukan tindak kekerasan yang dilakukan oleh para petugas, baik yang melakukan operasi tertib social maupun satpam sebagai penjaga keamanan wilayah tertentu, anak-anak jalanan tidak mampu berbuat banyak. Anak-anak jalanan selalu ditempatkan pada pihak yang selalu salah bila berhdapan dengan petugas. Ketidakberdayaan tersebut antara lain diakibatkan oleh kedudukan para petugas sebagai bagian dari mesin untuk menjalankan berbagai keputusan yang mengikat masyarakatnya, seperti keputusan yang diambil pemerintah, pengelola pertokoan dan sebagainya. Oleh karena itu mereka memiliki otoritas untuk membatasi keinginan alternative dari warga lainnya dan bila perlu dengan paksaan. Tindak kekerasan yang ditimpakan langsung ke tubuh anak jalanan seseunggungnya merupakan pengakuan terhadap dua kekalahan secara hokum dan secara fisik.
F. Penanganan Perempuan Sebagai Anak Jalanan.
    Selama ini program-program pemerintah yang diperuntukkan bagi perempuan sebagai anak jalanan lebih banyak menyangkut perbaikan kesejahteraan anak secara umum, sedangkan program-program yang secara khusus dirancang untuk perempuan sebagai anak jalanan dan pekerja anak sedikit sekali. Program-program tersebut diantaranya meliputi 4 program utama yaitu (1) program penyelamatan (child survival programs) meliputi perbaikan status gizi, pemeriksaan kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana (KB). (2) Program perkembangan anak (Child Development Programs) meliputi pemeliharaan lingkungan, perbaikan keluarga, pendidikan formal dan non formal, pendidikan khusus keagamaan dan pengajaran moralitas (3) program perlindungan anak (chilid protection program) untuk melindungi anak-anak terlantar, pekerja anak dan penanggulangan obat-obatan, dan (4) program-program untuk meningkatkan kesejahteraan anak melalui pelatihan dan pendidikan. (ILO,1996).
    Komplesitas permasalahan yang dihadapi perempuan sebagai anak jalanan ini membutuhkan berbagai strategi pendekatan yang sesuai dan efektif untuk menjangkau akar permasalahannya. Pendekatan yang selama ini dipakai oleh LSM-LSM  untuk menjangkau kelompok sasaran antara lain : Community based, street based, centre based, dan family based atau kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut.Masing-masing pendekatan mewakili sifat penanganan perempuan sebagai anak jalanan. Seperti community based yang lebih bersifat preventif, street based yang bersifat kuratif dan centre based dapat bersifat rehabilitative dan family based dapat bersigat ketiga-tiganya (Kartika, 1997)
    Berkaitan dengan program penanganan perempuan sebagai anak jalanan dan pekerja anak kegiatan pendampingan dengan metode pendekatan top-down seperti program-program pemerintah, seringkali tidak menampakan hasil nyata. Beberapa kegiatan yang semula dianggap dapat member manfaat bagi peremapuan sebagai anak jalanan dan pekerja anak ternyata jurstru mereka tolak karena dipandang kurang relevan dengan kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya pendidikan keterampilan kerja seperti menjahir, pertukangan dan lain-lain. Anak-anak yang sudah jenuh dengan kehidupan kerja menganggap kegiatan tersebut tidak menarik. Oleh karena itu program-program yang berisi pendidikan formal maupun keterampilan kurang diminati oleh mereka.
G. Metamorfosis Perempuan Dari  Anak Jalanan Ke Pekerja Seks Jalanan.
     Sebagaimana yang telah diungkapkan di muka, bahwa masalah social lahir dari hasil interaksi individu dengan lingkungan sosialnya. Pengalaman-pengalaman hidup dari hasil interaksi tersebut yang akan dijadikan pedoman untuk melangkah ke kehidupan mereka selanjutnya. Demikian halnya dengan perempuan sebagai anak jalanan dengan berbagai motivasi seperti membatu orang tua, ikut-ikutan. Maupun karena minggat dari rumah (keterpaksaan) Mereka turun ke jalan ini akan dihadapkan kepada suatu budaya yang baru yang barang tentu berbeda dengan pengalaman hidupnya sebelumnya (Rustanto,2004)
       Berdasarkan kajian (Rustanto,2010) Perempuan sebagai anak jalanan yang kemudian mengeluti dunia baru dengan budaya baru (budaya jalanan) dengan profesi baru terutama sebagai pengamen akhirnya mengalami suatu proses pembelajaran. Di Prumpung Jakarta Timur terdapat tidak kurang dari 150 anak jalanan dan hamper 65 orang diantaranya perempuan yang berusia dibawah 18 tahun, mereka pada umumnya bekerja sebagai pengamen dan anak jalanan.. Mereka menganggap kehidupan mereka sebagai dunia yang bebas, mengasikkan karena hidup semau gue dan dapat uang serta banyak teman bermain. Namun dibalik itu terdapat resiko yang mengancam resiko yang mereka hadapi cukup banyak terutama kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh temannya sendiri, para awak angkutan umum, para pengguna jasa angkutan bahkan masyarakat pada umumnya
       Aspek yang banyak mengiktui mereka untuk tetap berada dijalanan adalah kemudahan untuk memperoleh uang dan penghasilan mereka peroleh yang rata-rata cukup tinggi bias mencapai 70 ribu bahkan ada yang mencapai 100 ribu perharinya. Hal ini sekiranya bias menjawab pertanyaan mengapa mereka tidak berminat lagi bersekolah atau ikut pendidikan keterampilan, dikarenakan bekerja sebagai buruh di Jakarta hanya sedikit gajinya dan sulit serta membutuhkan ketekunan dan keterampilan khusus, sehingga mereka enggan untuk melakukakannya.  Inilah persoalan pokok mengapa program pemerintah gagal, dimana anak setelah mendapat  pelatihan kembali turun ke jalan, dan lebih menggelitik lagi rata-rata dari mereka pernah mendapatkan pelatihan lebiih dari satu kali. Adapun yang lebih membuat para pelaksana program kesal adalah ketika mereka sudah didaftarkan dalam suatu pelatihan , mereka justru tidak pernah dating. Ini adalah suatu pemborosan yang perlu segera mencermati dan dicarikan solusi.
      .Beberapa kurun waktu sekarang ini, berdasarkan hasil suatu kajian (Rustanto.2010) erlihat adanya perubahan dalam bekerja yang dilakukan perempuan sebagai anak jalanan Wialayah prumpung Jakarta Timur. setelah mereka bosan di jalanan  Perubahan atau metamorphosis  ini sebagai berikut:
1.      Untuk mereka yang turun ke jalan karena ikut-ikutan ternyata mengalami kejenuhan di jalan dan akhirnya kembali ke tempat asalnya tau keluargannya.
2.      Untuk mereka yang turun ke Jalanan  karena membatu orang tuanya ternyata berupaya untuk lebih mendapatkan uang yang lebih banyak lagi, yaitu dengan masuk ke tempat-tempat hiburan malam bahkan terjun ke dunia hitam sebagai pelacur jalanan, bahkan mereka ada yang terjurus menjadi pekerja seks komersial di jalanan atau di pinggir rel kereta api.
3.      Mereka juga ada yang beralih profesi sebagai pembantu, pekerja salon kecantikan, pekerja swasta, berjulanan atau bakan berdagang membatu orang tuanya.
4.      Untuk mereka yang turun ke jalan karena minggat dari rumah mereka cenderung melakukan aksi criminal dengan bercirikan minum-minuman , mabuk bahkan menggunakan narkotika.
        Metamorfosis ini terjadi di setiap tahapan perkembangan umur, namun paling banyak terjadi saat mereka menginjak usia 18 tahun sampai dengan 21 tahun. Artinya pada umur-umur inilah secara social, mereka sudah berpikir untuk menikah dan menjalankan peranan sebagai orang dewasa dan meninggalkan dunia perempuan sebagai anak jalanan. Rasionalitas mereka sudah mulai tumbuh dan mereka dihadapkan pada dua pilihan pokok yaitu mau jadi orang baik atau tetap berada dijalanan menadi orang jalanan.
H. Kesimpulan.
     Berpijak dari kenyataan ini, maka pemberdayaan perempuan sebagai anak jalanan sendiri ternyata baru memungkinkan ketika mereka sudah menginjak dewasa. Pada saat mereka berumur 18 tahun sampai 21 tahun. Inilah mereka sudah mulai memiliki kesadaran akan dirinya dan lingkunganya dan bias berpartisipasi aktif untuk meraih keberdayaaannya sendiri.Namun demikian tetap saja diperlukan tiga kondisi yang  harus dipenuhi yaitu: pertemenan, kesadaran dan partisipasi. Prinsip kesetaraan sangat penting karena dengan sendirinya dapat membebaskan perempuan sebagai anak jalanan dari dominasi orang dewasa yang mereka alamai didunia kerja dan jalanan
I. Rekomendasi.
    Perwujudan prinsip kesetaraan melalui pertemuan ini terbukti efektif untuk menarik perempuan sebagai anak jalanan agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ada, Pentingnya advokasi melalui program pendampingan langsung terhadap perempuan sebagai anak jalanan untuk anak yang relative kecil. Upaya tersebut menunjukkan keberpihakan kepada mereka pendamping dan pemberdayaan keluarga dan keluarga anak jalanan juga perlu dilakukan untuk mencegah perempuan sebagai anak jalanan tetap dijalanan seumur hidupnya.

Biografi Penulis : Bambang Rustanto saat ini sebagai dosen STKS Bandung

PUSTAKA ACUAN
Bambang Rustanto & Tuti Kartika. Metode Musyawarah Perencanaan Pembangunan Partisipatif (MP3L). STKS Depok : tidak dipublikasikan.
Bambang Rustanto, 2002, Metode Partisipatori Assesment dan Rencana Tindak Dalam Pengembangan Masyarakat, STKS Depok : tidak dipublikasikan
Burkey Stan, 1993, People First A guide to Self-Reliant, Participatory Rural Development, London : New Jersey
Dubois Brenda & Milley. 1997. Social Work An Empowering Profession . Boston : Allyn & Bacon 
Elison, Kenneth ,1997 : Technology of Participation (TOP) basic Group Fasilitation Methods Manual, Manila  : ARD/Gold
.Ife Jim. 2002. Community Development Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Australia : Person Education Australia
Ilham Cendekia. 2002. Metode Fasilitasi Pembuatan Keputusan Partisipatif. Jakarta : PATTIRO
Jenkins Marry Bricker, dkk. 1991. Feminist Social Work Practice in Clinical Settings. New Delhi : Sage Publication.
Moleong Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Depok : Remaja Rosdakarya.
Mukerje Nilanjana, 1999: Methodology Particiapatory Assesment (MPA)  for Rurat   Development, New Delhi  : New Era  
Prijono S. Ony, 1996, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic and International Studies
Sarantakos S. 1993. Social Research. Melbourne : Macmillan Education Australia.
Schwandt A. Thomas. 1997. Dictionary of Qualitative inquiry. London : Sage Publications
Suharto Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Depok : ALPABETA.
Zastrow Charles. 1982. Introduction to Social Welfare Institutions Social Problems, Services, and Current Issues. USA : The Dorsey Press.

Wadsworth Yoland. 1991. Everyday Evaluation On The Run. Melbourne : Action Research Issues Association (Incorporated)







No comments:

Post a Comment