Search This Blog

Search This Blog

Thursday, January 8, 2015

Kondisi Perempuan: Dalam Permasalahan Kehidupan



Oleh Bambang Rustanto
  1.  Perempuan Secara Umum.
         Perempuan Indonesia mempunyai cerita yang berbeda-beda. Karena bermacam-macam keadaannya. Dimana perempuan pada umumnya memiliki kondisi fisik yang lebih lemah dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarena secara biologis perempuan dan laki-laki memiliki kelengkapan tubuh yang berbeda. Laki-laki memiliki hormone testoteron  yang lebih maskulin, menyebabkan dia lebih kuat karena perkembangan tubuhnya lebih besar, berotot dan berisi., Sedangan perempuan memiliki hormone progresteron yang mendorong ketubuhan perempuan lebih feminine yang mendorong terlihat lebih kecil, lemah lembuh.. Namun ini tidak berlaku secara khusus karena ada juga perempuan yang memiliki tubuh lebih kekar dan kuat dibandingkan tubuh laki-laki, karena factor keturunan maupun jenis makanan yang dikonsumsinya.
         Perempuan dalam kehidupan bermasyarakat mendapatkan pandangan yang berbeda-beda. Dimana  perempuan  memiliki hak yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam beberapa hal. Dalam pernikahan, dimana ketika masa kanak-kanak perempuan diibaratkan menjadi milik ayah dan ketika nikah diibaratkan menjadi milik suami. Dalam hal perceraian dimana perempuan tidak memiliki hak untuk menceraikan bahkan minta cerai dari suami, tetapi  hanya suami yang memiliki hak menceraikan istri. Dibalik itu perempuan yang diceraikan statusnya dianggap lebih rendah bahkan dicemoohkan oleh anggota masyarakat. Dalam kepemilikan asset perempuan dibawah kepentingan laki-laki, sehingga mereka tidak memiliki hak kepemilikan asset terutama asset tanah.
        Disisi lain ada beberapa suku bangsa yang kurang menghargai hak waris kepada perempuan dan bahkan perempuan sama sekali tidak memiliki hak waris. Bilamana ada yang suatu masyarakat memberi hak waris tetapi proporsinya lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki dengan alasan laki-laki adalah pencari nafkah utama dan menanggung beban kebutuhan anak dan istrinya.         Beberapa komunitas juga memberikan kekangan kepada perempuan dalam bentuk bahwa kalau dia berjenis kelamin perempuan harus mentaati hokum dan peraturan kemasyarakat. Sehingga perempuan tidak boleh melanggarnya. Sedangkan laki laki justru sebagai pembuat hokum dan aturan dalam masyarakat yang selalu melanggarnya.
       Pada beberapa kebijakan dan program pemerintah perempuan sering didiskriminasi dan sulit memperoleh akses pelayanan. Pada umumnya yang diberi mandate penerima manfaat program dan pelayanan yang diberikan pemerintah dan penanggulangan kemiskinan maupun penanganan PMKS adalah kepala keluarga yang notabene adalah laki-laki. Sehingga ketika kepala keluarganya perempuan maka perempuan didiskriminasi. Banyak kesulitan yang dialami perempuan terutama dalam mengakses kredit dan permodalan dari perbankan dikarenakan perempuan tidak memiliki jaminan berupa asset terutama asset tanah.    
        Di lingkungan keluarga, anak perempuan juga, kurang mendapatkan perhatian dan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan dibandingkan saudaranya yang laki-laki. Kondisi ini menyebabkan perempuan banyak kehilangan kesempatan dalam mengenyam bangku sekolah. Sehingga perempuan banyak yang putus sekolah dan berpendidikan  rendah, yang menyebabkan banyak anak perempuan yang buta huruf. Disisi lain, perempuan sejak usia bayi hingga menjadi perempuan dewasa mendapatkan diskriminasi dalam menikmati makanan yang bergizi dan pada umumnya hanya anak laki-laki lebih diutamakan, sedangkan anak perempuan mendapatkan makanan yang lebih sedikit atau makanan berkualitas lebih rendah. Dalam bidang penanganan kesehatan dimana anak perempuan kurang mendapatkan perhatian dalam perawatan kesehatan, dibandingkan anak laki-laki sehingga kondisi kesehatan perempuan lebih rendah dibandingkan anak laki-laki. Kondisinya, terlihat banyak anak perempuan yang sakit dibiarkan dan baru dibawa ketempat perawatan setelah kondisinya menghawatirkan atau hampir sekarat mau mati, atau anak perempuan yang dibiarkan untuk sembuh sendiri.
         Cerita perempuan yang lain dalam dunia kerja. Pada awalnya perempuan tidak terlibat dalam dunia kerja, Namun setelah ada pembagian kerja secara seksual dalam masyarakat tradisional, maka perempuan dilibatkan dalam berbagai jenis pekerjaan. Padahal pekerjaan utama perempuan adalah mengelola mengurus anak dan mengelola kehidupan rumah tangga. Pekerjaan utama perempuan dalam masyarakat tradisional terutama disektor pertanian  adalah mengelola produksi dan hasil produksi pertanian sub sisten. Sistem pertanian sub system merupakan pengelolaan pertanian dimana  hasilnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri terutama dibidang pangan.. Pekerjaan perempuan dalam bidang pertanian sub sisten ini dapat dilihat besar kontribusinya bagi masyarakat, dimana bagian terbesar dari pertanian sub sisten didunia dapat memberikan sumbangan produksi 50% sampai 60% pangan terutama kebutuhan bahan -bahan makanan..
        Bahkan lebih hebatnya, pekerjaan yang dilakukan perempun meliputi seluruh area kehidupan baik di dalam rumah maupun diluar rumah. Bahkan perempuan  melakukan 67% dari waktu kerja dunia, ini berarti jam kerja dan produktivitas  perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan mempunyai pekerjaan ganda yaitu mengurus rumah tangga dan juga bekerja diluar rumah tangga, dan ini dilakukan secara simultan terus menerus dari pada dini hari hingga tengah malam. Besarnya jam kerja perempuan ini, kurang mendapatkan penghargaan yang sebanding karena ternyata perempuan hanya akan mendapatkan 10% dari income dunia dan 90%nya didalam genggaman laki-laki. Bahkan.sering kali perempuan menduduki, status yang  terendah dalam dunia kerja. Dimana perempuan hanya sebagai tenaga kerja intensif. Selain itu perempuan terlibat dalam hampir seluruh pekerjaan domestic yang tidak berpengahsilan bahkan dalam pekerjaan di sector formal  sekalipun perempuan sering dibayar lebih rendah untuk pekerjaan yang bernilai sama dengan pekerjaan laki-laki.
  1. Perempuan Dalam Angka.
        Masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah konvensional, namun masih relevan untuk didiskusikan karena permasalahannya yang terus meningkat dan semakin kompleks.  Data terakhir tentang keluarga miskin di Indonesia yang  digunakan Pemerintah untuk menyalurkan Subsidi Langsung Tunai (SLT) berjumlah  15,8 juta kepala keluarga miskin. Atau kurang lebih  62,8 juta jiwa. Jumlah ini baru yang  memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Boleh jadi jumlah ini masih terus bertambah, karena masih banyak penduduk miskin tidak terdata karena tidak mampu membuat KK dan KTP karena biayanya mahal. Dari total jumlah tersebut, sepertiganya atau 20 juta lebih berada pada kondisi yang sangat miskin (Pikiran Rakyat 15 Maret 2009).
      Salah satu kelompok yang termasuk dalam kemiskinan adalah perempuan. Dalam sektor ekonomi Pusdatin Departemen Sosial, mencatat data tentang jumlah Perempuan kepala keluarga (peka) terus bertambah. Pada tahun 2005 sebanyak 1.360.263 dan  pada tahun 2008 berjumlah 1.449.203, bertambah sekitar 6.53 % dalam kurun waktu 3 tahun. .Perempuan secara statiskik di Indonesia jumlahnya lebih tinggi dari pada jumlah pria, akan tetapi akses dan kesempatan untuk menerima pembangunan berbeda. Dalam sektor pendidikan jumlah perempuan buta huruf dua kali lipat lebih besar  dibanding dengan laki-laki. Angka yang paling menyolok terlihat pada jenjang pendidikan SMU ke atas, yaitu 20,5 % laki-laki bisa mencapai pendidikan tersebut, sedangkan perempuan 14,9 %. Pada sektor kesehatan, perempuan jauh lebih rentan karena memiliki fungsi reproduksi yang berhubungan dengan hamil dan melahirkan dari pada laki-laki. Dalam sektor pekerjaan, tenaga kerja perempuan yang terserap di dunia kerja 45,6 %, sedangkan pria 73,5 % (Kementrian Pemberdayaan Perempuan : 2009)
          Permasalahan yang dihadapi perempuan miskin bukan hanya bukan hanya ketidakadilan dalam mengakses sistem sumber pada tatanan mezzo dan makro, akan tetapi perlakuan ketidakadilan yang diperoleh dalam keluarganya sendiri. Tidak sedikit kasus yang dialami perempuan karena kemiskinan yang dialami keluarganya, dia yang lebih menderita. Banyak kasus yang bersumber dari kemiskinan keluarga berdampak pada kekerasan terhadap perempuan. Pada tahun 2009 terdapat 10.392 kasus, tahun 2002 meningkat menjadi 28.562, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat bahwa sekitar 24 juta perempuan terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dalam keluarganya.         Komisi Nasional (Komnas) perempuan mencacat pada tahun 2001 terdapat 3.100 kasus dan tahun 2002 menjadi 5.163 kasus meningkat lagi menjadi 5.034 kasus pada tahun 2003. Selain kekerasan di dalam rumah tangga, akibat kemiskinan juga menyebabkan terjadi perdagangan manusia khusunya perempuan melonjak 884% yaitu 32 kasus pada tahun 2002 menjadi 283 kasus pada tahun 2004, pada umumnya ini terjadi akibat perempuan dalam mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga atau buruh pabrik dikota-kota besar dan daerah pengirim perdagangan perempun antara lain Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Jawa Timur.
        Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah lama berusaha untuk investasi dalam pembangunan manusia khususnya bagi perempuan. Untuk itu melalui Departemen dan Instansi teknis pemerintah telah banyak membuat dan mencanangkan program atau proyek yang berusaha ”memerangi” kemiskinan baik bidang pendidikan , kesehatan, ekonomi, sesuai dengan  tujuan untuk menciptakan kualitas hidup perempuan menjadi lebih baik dimasa mendatang. Hal ini dilakukakan pemerintah  untuk menyambut kesepatan global dalam pembangunan manusia yang tidak terlepas dari upaya untuk menindaklanjuti keikutsertaan Indonesia dalam menjalankan kesepatan global. Indonesia  sebagai komunitas dunia telah sepakat dan bertekad untuk berperan aktif mewujudkan upaya-upaya untuk pencepaian tujuan pembangunan milenium pada tahun 2015 atau tujuan MDG’S, sehingga pemerintah memastikan bahwa setiap orang termasuk kaum perempuan terpenuhi hak-hak dasarnya seperti hak kesehatan, pendidikan, hak ekonomi  dan hak untuk tidak didiskriminasikan dalam kehiduapan , agar  perempuan dapat lepas dari jerat kemiskinan.
        Telah banyak program dan proyek yang berusaha ”memerangi” kemiskinan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun  belum juga membuahkan hasil yang diharapkan. Sejak tahun 1948 sampai dengan sekarang (2009), tidak kurang dari 29 jenis program (Pikiran Rakyat, 6 Maret 2009) yang diluncurkan oleh Pemerintah untuk “Memerangi” Kemiskinan”. Tetapi kemiskinan tetap bertahan. Ada anggapan yang muncul, mungkin memang kemiskinan terlalu tangguh bilamana ditangani dengan ketidakseriusan, penyelewengan, dan salah pengertian. Atau mungkin juga karena yang diperangi sesungguhnya bukan kemiskinan atau si miskin. Pernyataan ini sering dikenal  dengan sebutan ”Salah Sasaran’. Program atau proyek untuk memerangi kemiskinan khususnya bagi peningkatan kualitas hidup perempuan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat di Jakarta maupun di Jawa Barat belum sepenuhnya membuahkan hasil yang diharapkan. Sejak tahun 1978 sampai dengan sekarang tidak kurang dari 29 jenis program atau proyek yang diluncurkan oleh Pemerintah untuk memerangi kemiskinan . Tetapi kemiskinan tetap bertahan dan anggpan yang muncul  mungkin memang kemiskinan yang terlalu tanggung bilamana ditangani dengan ketidakseriusan, penyelewengan dana salah pengertian. Atau mungkin juga karena yang diperangi sesunguhnya bukan kemiskinan atau si miskin. Pernyataan ini sering dikenal dengan sebutan salah sasarn, besarnya jumlah orang miskin dan terutama  perempuan miskin menunjukkan bahwa kemiskinan pada perempuan belum sepenuhnya menjadi perhatian serius pemerintah pusat dan daerah.
  1. Perempuan Di Jawa Barat
      Kemiskinan pada perempuan di Jawa Barat selain membawa dampak kepada kondisi kehidupan perempuan juga membawa dampak kepada kualitas perempuan itu sendiri. Dari laporan Pemda Jawa Barat tahun 2005 menunjukkan bahwa kapasistas perempuan lebih rendah dari laki-laki, hal ini disebabkan karena kemiskinan perempuan. Data Indeks Pembangunan Manusia jawa Barat tahun 2005 menunjukkan bahwa kapasitas perempuan lebih rendah dari laki laki, hal ini dapat dilihat bahwa angka harapan hidup perempuan adalah 61,9 tahun sedangkan laki-laki lebih tinggi yaitu 63,7 tahun. Untuk angka buta huruf ternyata perempuan 9,50% sedangkan laki-laki lebih rendah sebesar 4,07%..  Sedangkan tingkat pengangguran perempuan adalah 7,2% dan laki-laki lebih rendah sebasar 6,17%. Dari segi pendidikan untuk perempuan rata-rata 4,3% atau kelas 4 SD sedangkan  laki-laki lebih tinggi yaitu 8,1 atau kelas 2 SMP. Data ini diperparah dengan terjadinya perdagangan perempuan dan anak perempuan sebanyak 90 ribu -100 ribu pada tahun 2003 sebanyak 98 ribu menjadi 117 ribu pada tahun 2004. Disamping itu  terdapat 150 ribu buruh migran dan tidak kurang dari 62 ribu buruh perempuan bestarus buruh kontrak.
         Kemiskinan pada perempuan juga membawa dampak kepada kesehatan perempuan dan diskriminasi pelayanan kesehatan bagi perempuan khususnya di Jawa Barat. Menurut Penelitian Nenny Sebayang pada taun 2005 meskipun pemerintah  telah menyediakan pelayanan kesehatan gratis bagi perempuan, namun kemiskinan menyebabkan angka kematian ibi di Jawa Barat masih tinggi pada tahun 2005 angka kematian ibu mencapai 321 dari 100.000 persalinan ibu hidup. Penyebab kematian ibu sebagian besar 39% adalah akibat pendarahan,15% akibat kelainan kehamilan dan 6 % akibat infeksi. Penyebab kematian pada  ibu tersebut karena kemiskinan yang dialaminya. Meskipun pemerintah telah memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi ibu sejak hamil hingga anaknya berusia balita, namun mereka masih rendah dalammemanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan karena pengetahuan mereka tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan masih  rendah. Disamping itu mereka tidak memiliki biaya transportasi untuk menjangkau puskesmas yang jauh dari tempat tinggalnya. Sistem birokrasi dan pelayanan yang diskriminatif bagi perempuan turut menunjang perempuan enggan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah.
     Di Kota Bandung, kondisi perempuan miskin tidak jauh berbeda dengan kondisi perempuan miskin di Jawa Barat. Hal ini ditunjukkan bahwa  jumlah keluarga miskin sebanyak 121.219 yang terdiri dari keluarga miskin dengan kepala keluarga laki-laki sebanyak 87,7%$ dan jumlah keluarga miskin dengan kepala keluarga perempuan sebanyak 12,21 %. Di bidang kesehatan tercatat jumlah angka kematian ibu sebanyak 14 kasus dan jumlah angka kematian bayi sebanyak 35,47%. Sedangkan angka harapan hidup laki-laki pada usia 72.47% tahun dibandingkan perempuan pada usia 72,75 tahun. Di bidang pendidikan terlihat pendidikan perempuan rata-rata SD 34,38% dan angka partisipasi sekolah perempuan 19,17% dibandingkan laki-laki 25,57%. Dibidang tenaga kerja terdapat angka angkatan kerja perempuan 40.33 dibandingkan laki-laki 75,21% dan lapangan kerja bagi perempuan di Industri 80.228 atau 27,37% lapangan kerja bagi perempuan di perdagangan 110.527 atau 37,75% lapangan kerja perempuan sebagai buruh 181.160 atau 61,81 serta upah kerja perempuan terendah 163.295 – 522.798 rupiah yang masih dibawah UMR.



  1. Permasalahan Perempuan
        Permasalahan di atas muncul antara lain karena pendekatan yang digunakan tidak melibatkan orang miskin dalam proses perencanaan program maupun dalam pelaksanaannya. Orang miskin dianggap tidak memiliki potensi dan kekuatan sehingga mereka dianggap sebagai objek. Pendekatan ini secara tidak langsung  memperparah kondisi orang miskin, karena mengakibatkan ketergantungan baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Ketergantungan ekonomi, dia hanya menerima apa yang diberikan orang lain kepadanya tanpa ada upaya untuk memperolehnya.
    .  Ketergantungan sosial, menyangkut ketidakmampuan untuk mengakses sistem sumber sebagai dasar produksi. Ketergantungan politik adanya ketidakberanian dalam mengambil keputusan untuk menentukan masa depan dan nasibnya sendiri. Kondisi ini yang kemudian disebut dengan ketidakberdayaan atau powerless. Menurut Hill dalam Zastrow (1995), ketidakberdayaan tersebut terutama banyak dialami oleh kaum perempuan (Feminization of Poverty). Program penanganan masalah kemiskinan semakin gencar, namun sifatnya masih reaktif dan tidak substansial. Oleh karena itu masalah kemiskinan bukan  berkurang, tetapi semakin kompleks. Masalah tersebut semakin dirasakan terutama oleh kelompok miskin perempuan. Perempuan yang paling merasakan dampak kemiskinan keluarganya, karena selain mengalami serba kekurangan dia juga harus mengalami tindak kekerasan. Dalam  program pengentasan kemiskinan,  perempuan miskin hampir dilupakan keberadaannya, kalaupun ada hanya sebagai pelengkap  untuk memenuhi persyaratan di dalam pengarusutamaan jender.     
          Sebagai kelompok masyarakat miskin terutama perempuan juga memiliki hak untuk menjadi subjek pelaku pembangunan, terutama pembangunan yang akan berkaitan dengan kehidupannya. Pelibatan perempuan miskin dalam perencanaan dan pelaksanaan program merupakan model hipotetik  pemberdayaan perempuan   sekaligus sebagai kerangka dasar pengembangan kapasitas perempuan di tingkat lokal. Pada awal perkembangannya usaha kesejahteraan sosial tidak dapat dilepaskan dari kegiatan-kegiatan charitatif untuk menolong orang-orang miskin baik akibat korban peperangan maupun korban persaingan industrialisasi.  Pada awal abad 17, di Eropah dikeluarkan undang-undang pengentasan kemiskinan. Undang-undang tersebut dikenal dengan nama  Elizabeth Poor Law. Sejak undang-undang tersebut muncul, kegiatan pekerjaan sosial mulai dirintis walupun sifatnya masih charitas.  Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan pekerjaan sosial   terus berkembang sampai pada akhirnya muncul  kebutuhan akan pekerjaan sosial sebagai suatu profesi yang dibangun melalui pendidikan formal.   
      Sampai saat ini,   masalah kemiskinan  tetap merupakan masalah yang masih relevan untuk didiskusikan, karena walaupun program pengentasan kemiskinan sudah banyak diluncurkan, namun masalah kemiskinan bukan berkurang, melainkan terus bertambah.   Salah satu penyebab angka kemiskinan terus bertambah karena kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional. Banyak para ahli yang menyatakan bahwa kemiskinan pada dasarnya adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sedangkan faktor penyebabnya sangat kompleks, sehingga relatif sulit untuk memeranginya.  Zastrow (1982 : 94) menyatakan banyak hal yang menyebabkan kemiskinan. Masalah tersebut terkait dengan masalah-masalah sosial yang lainnya seperti tingkat pengangguran yang tinggi, kesehatan yang rendah, masalah emosional, tingkat pendidikan rendah, dan sebagainya.  Oleh karena itu Zastrow menggambarkan bahwa kemiskinan merupakan siklus, di mana orang yang sudah masuk di dalamnya sulit untuk keluar.
         

 
Menurut Chamber dalam Soetrisno (1997 : 18),  ada lima ketidakberuntungan yang melingkari kehidupan orang miskin, yaitu kemiskinan itu sendiri, fisik yang lemah, kerentanan, keterisolasian, dan ketidakberdayaan . Lima kondisi dari Chamber tersebut apabila digolongkan berdasarkan perspektif kultural dan struktural menjadi 2 besaran, yaitu kultural yang memandang kemiskianan sebagai dampak dari budaya orang miskin yang malas, tidak memiliki etos kerja, memiliki pendidikan yang rendah, dan sebagainya yang berhubungan dengan perilaku orang miskin itu sendiri. Sedangkan perspektif struktural memandang bahwa seseorang miskin disebabkan karena ketidakberdayaannya dalam menembus truktur yang tidak berpihak kepadanya. Mengingat kemiskinan bersifat multidimensional, maka penanganannya tidak hanya berorientasi pada  masalah dan bersifat reaktif, melainkan membutuhkan penanganan yang terpadu pada berbagai determinan yang mempengaruhinya. Oleh karena itu paradigma penanganan masalah kemiskinan harus mulai dirubah dari bantuan sosial yang bersifat charitas ke pemberdayaan.
           Arus globalisasi yang sangat kuat ternyata telah memperkokoh faham kapitalisme dalam berbagai pendekatan pembangunan di Indonesia. Faham ini ditandai dengan efisiensi, rasionalisasi, dan indikator-indikator ekonomi lainnya. Oleh karena itu faham ini telah melahirkan kritikan yang sangat tajam terhadap faham welfare state . Kritik tersebut memunculkan anggapan bahwa welfare state merupakan sistem yang boros, tidak mampu memberdayakan masyarakat, menimbulkan stigmatisasi dan bahkan jebakan kemiskinan (poverty trap) terhadap populasi sasarannya Edi Suharto (2005 : 37). Salah satu kritik yang sering dilontarkan kepada welfare state adalah terlalu dominannya peran pemerintah dalam merencanakan dan sekaligus melakukan intervensi terhadap penanganan masalah. Selain menimbulkan beban terhadap anggaran negara, pendekatan ini sering menimbulkan ketergantungan kepada penerima pelayanan. Dalam praktik pekerjaan sosial, pekerja sosial dipandang sebagai penolong yang serba bisa. Sementara klien dipandang sebagai penerima bantuan yang seakan-akan tidak memiliki kemampuan untuk menolong dirinya.
           Pandangan di atas saat ini mulai bergeser. Selain globalisasi yang berdampak pada faham kapitalisme,  lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata juga telah membawa atmosfir baru dalam pendekatan pembangunan termasuk pembangunan kesejahteraan sosial. Pemerintah telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri. Atmosfir ini kemudian oleh Jim Ife disebut sebagai Change from Below. Atmosfir ini telah memberi kesempatan kepada penerima pelayanan untuk mengambil keputusan dalam rangka menentukan nasibnya sendiri. Mereka  dipandang sebagai aktor yang memiliki potensi dan kemampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri.
           Pernyataan di atas sesuai dengan pandangan Jim Ife tentang pemberdayaan. Ife mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu proses pendistribusian kekuasaan dari yang ’memiliki’ kepada yang ’tidak/kurang memiliki’  baik secara individu, kelompok, maupun masyarakat. Dengan pendistribusian tersebut terkandung makna adanya   suatu keyakinan bahwa pihak yang menerima pendistribusian kekuasaan memiliki potensi dan kekuatan serta sumber-sumber untuk mengambil keputusan dalam menentukan nasibnya sendiri. Pandangan Jim Ife di atas diperkuat dengan pandangan Priyono dan Pranarka (1997), bahwa  pemberdayaan selain pendistribusian kekuasaan (Distribution of Power), juga merupakan proses perubahan  pola relasi dari subjek-objek  menjadi subjek-subjek.  Dalam pengembangan masyarakat relasi demikian dikenal dengan pendekatan partisipatif.
         Pengembangan masyarakat dengan pendekatan partisipatif dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menganalisis permasalahan yang dihadapainya dan merencanakan pemecahannya. Dengan demikian masyarakat  dengan kekuatannya sendiri mampu mengupayakan pembangunan untuk dirinya sendiri yang berkelanjutan dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan secara  otonom Pendekatan partisipatif dalam pengembangan masyarakat mengarahkan komunitas/masyarakat lokal untuk menyadari adanya prinsip hubungan kesetaraan dan kebersamaan antara dirinya dengan pihak luar seperti pemerintah, pengusaha, dan LSM. Aspek penyadaran inilah yang membedakan antara proses pendekatan pengembangan masyarakat yang mengandalkan pola hubungan subjek-objek (masyarakat pasif) dengan proses pendekatan partisipatif yang mengedepankan pola hubungan subjek-subjek (masyarakat aktif). Pendekatan tersebut akan mengurangi terjadinya proses marjinalisasi masyarakat, sehingga hubungan masyarakat dengan pihak luar (pemerintah, pengusaha, LSM) akan menjadi lebih sepadan dan egaliter, dan tidak lagi ada hubungan searah dan otoriter. Proses ini memberi kepercayaan kepada masyarakat untuk mampu mempertahankan kehidupannya sesuai dengan kemampuan, sumber daya, dan  budaya yang mereka miliki.
Proses Pendampingan sosial  tersebut mengakomodir prinsip pemberdayaan Jim Ife tentang penghargaan akan (1). Pengetahuan lokal; ( 2). Budaya lokal; (3) Sumber daya lokal; (4) Keterampilan lokal; (5) Proses lokal, dan (6) Bekerja dalam suasana kebersamaan. Melalui Pendampingan Sosial telah terjadi pendistribusian kekuasaan, di mana peka yang selama ini dianggap powerless diberi kepercayaan untuk  mengambil keputusan dalam menentukan masa depan dan nasibnya sendiri melalui kekuatannya tersebut.  Dengan demikian melalui proses penelitian peka diharapkan berdaya. Keberdayaan tersebut ditandai dengan peningkatan kemampuan yang dikemukaan oleh Lorrancaine Gitierrez dalam Jenkins Marry Bricker (1991:199) yaitu kemampun secara personal, interpersonal dan politik. Kemampuan personal adalah kemampuan individu dalam mengidentifikasi dan memahami kekuatan yang dimilikinya. Kemampuan interpersonal adalah kemampuan individu dalam mempengaruhi orang lain dengan menggunakan kekuatan sosialnya. Kekuatan politik adalah kemampuan dalam pengambilan keputusan bersama dan kemampuan dalam mengalokasikan sumber di dalam organisasi atau masyarakat, baik secara formal maupun informal.
  1. Perempuan Bagi Kehidupan:
         Penghidupan yang berkelanjutan adalah suatu gabungan antara pekerjaan yang dibayar, kegiatan sub sisten dan kegiatan yang dibayar, kegiatan sub system dan kegiatan pelayanan masyarakat. Penghidupan adalah semua cara yang dilakukan manusia untuk mengumpulan sumber daya dan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga, dan masyarakat. Perubahan dalam jenis pekerjaan yang satu mempengaruhi yang lain. Setiap jenis pekerjaan memang diperlukan. Setiap jenis pekerjaan mendukung pekerjaan lainnya. Penghidupan bersifat dinamis (selalu berubah) dan beragam (mencakup beberapa kegiatan yang berbeda. Kerangka penghidupan : berkelanjutan ini dirancang untuk mengidentifikasi kecenderungan (trens) dan isu-isu masa lalu, sekarang maupun yang akan berkembang yang berhubungan dengan pola interkasi antara manusia dengan lingkungannya dengan penekanan khsus pada jender sebagai suatu factor yang sangat berpengaruh terhadap pola-pola tersebut. Pemahaman mengenai penggunaan sumberdaya dalam hubungannya dengan kegiatan penghidupan menjadi dasar untuk menganalisa keterampilan , pengetahuan serta teknologi yang berkaitan dengan potensi/kemungkinan penghidupan yang ada maupun yang sedang dikembangkan. Pemahaman tersebut, juga berguna dalam menganalisa pola-pola partisipasi analisa pola-pola partisipasi . analisas mengenai akses sumber daya maupun penguasaan (control) atas sumber daya akan memberikan gambaran mengenai dinamika hubungan antara perempuan dan laki-laki dengan kuantitas dan kualitas sumber daya yang ada dilingkungannya, pada tingkat local serta memberikan dasar untuk menganalisa pola-pola pengambilan keputusan,secara bersama-sama. Informasi  mengenai aktivitas/pemanfaatan, akses, peluang (control) menjadi dasar untuk mengembangkan strategi efektif dalam pengelolaan sumber daya berdasarkan kondisi sekarang (kebutuhan praktis) dan kebutuah strategis maupun keinginan (prferen) baik bagi perempuan maupun laki-laki. Penejelasan secara detail mengenai kerangka kerja beserta komponen-komponen maupun alat-alat analisasnya
       Pekerjaan yang dibayar: mencakup semua kegiatan produktif yang dilakukan untuk menghasilkan pendapatan atau untuk perdagangan atau barter, contoh pekerjaan yang bergaji dan pada perusahaan. Pekerjaan sub sisten dilakukan untuk memenuhi kebutuhan barang atau jasa untuk keluarga atau anggota masyarakat. Pekerjaan itu mencakup semua pekerjaan rumah tangga dan menagusuh dan mengasuh anak dan juga produksi serta pengolahan hasil pertaninan untuk kebutuahn sendiri contoh pekerjaan rumah tangga, berkebun Pekerjaan pelayanan masyarakat mencakup kegiatan organisasi politik, agama, budaya sosial atau kegiatan pengelolaan sumber daya berbasis masyaraka contoh pekerjaan suka rela. Setiap jenis pekerjaan mendukung pekerjaan lainnya. Kualitas kehidupan masyarakat dilandasi oleh sifat hubungan antara ketiga jenis pekerjaan tersebut. Perubahan dalam satu jenis pekerjaan mempengaruhi pekerjaan tersebut. Perubahan dalam satu jenis pekerjaan mempengaruhi jenis pekerjaan lainnya. Perubahan dalam hal akses dan atau penguasaan terhadap sumber daya local mempengaruhi ketiganya. Penghidupan yang berkelanjutan berada diwilayah  yang bertumpang tindih.
       Sifaf penghidupan yang mengaruhi jender: Laki-laki dan perempuan umumnya memiliki tingkat dan tipe tanggungjawab kewajiban dan kesempatan yang berbeda dalam kegiatan penghidupannya. Misalnya laki-laki lebih sering melakukan pekerjaan yang dibayar dan aspek formal/politik dalam pekerjaan pelayanan masyarakat daripada perempuan disuatu masyarakat, seperti ditunjukkan pada diagram diatas, perempuan sering lebih banyak volume kegiatannya dan tingkat tanggungjawabnya dalam pekerjaan sub sisten dan dalam mengelola segi-segi informal dari pelayanan masyarakat. Seks adalah perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki tidak bisa dirubah dan berubah Jender adalah bentukan sosial dan budaya : apa yang kita harapkan dan mengerti tentangperberdaan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan berubah berdasarkan waktu dan tempat.
         Kemitrasejajaran adalah persamaan kedudukan, hak dan kewajiban serta kesempatan dalam keluarga dan dalam masyarakat. Visi kemitrasejajaran adalah pencapaian kemitraan yang selaras dan adil antara lelaki dan perempuan Situasi dimana harapan, sikap, kepercayaan, budaya dan praktek sosial, institusi/lembaga atau masyarakat menciptakan perbedaan (membeda-bedakan) berdasarkan jender yang dapat .KesenjanganL: ada ada perbedaan antara kelompok –kelompok perempuan dan kelompok-kelompok laki-laki dalam hal status atau kegiatan, mengapa kesenjangan ini terjadi. Pilihan apakah terbatasnya pilihan bagi perempuan atau laki-laki disebabkan oleh karakteristik yang tidak relevan . Keadilan apakah perempuan dan laki-laki mendapat kesempatan yang sama (bukan berarti laki-laki dan perempuan memperoleh perlakuaan yang sama, karena peralkukan bisa berbeda yang bpenting hasilnya adil bagi laki-laki dan perempuan. Diskriminasi sistematik apakah masalah yang timbul disebabkan adanya individu yang memiliki sikap, ide dan keyakinan yang membatasi atau menekan? Atau masalah membatasi atau menekan? Ataukan masalah structural yang menyebabkan terjadinya pembatasan atau penindatsan hokum kemasyarakatan dan perundang-undangan, antarar harapan.
Tiga jenis pekerjaan yang mencakup dalam penghidupan:
1.     Pekerjaan yang dibayar : untuk memperoleh pendapatan atau untuk barter contoh pekerjaan di perusahaan , kantor dan pabrik
2.     Pekerjaan sub sisten: untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga , domestic, contoh pekerjaan rumah, pertanian sub sisten
3.     Pekerjaan pelayanan masyarakat: untuk masyarakat yang lebih luas contoh pekerjaan sukerela dengan organisasi local atau untuk tujuan politik agama dan budaya.

       Beberapa pengertian tentang kondisi perempuan  antara lain :
1.     Partisipasi perempuan : : partisipasi perempuan dalam kegiatan mana yang dilakukan bersama-sama dan mana yang tidak
2.     Partisipasi dalam pengambilan keputusan dibedakan berdasarkan jender dan cirri utama lainnya yang relevan.
3.     Sumber daya penggunaan (kegiatan) akses (kesempatan untuk menggunakan) penguasaan (hak untuk memutuskan kepemilikan) bagi perempuan, laki-laki, keluarga /rumah tangga,
4.     Kondisi (situasi sekarang, kebutuhan praktis ontoh kayu bakar untuk memasak ) bagi perempuan laki-laki keluarga/rumah tangga.
5.     Posisi (keenderungan/perubahan jangka panjang, kepentingan strategis ontoh penghutanan kemabli, perubahan pola pemafaatan lahan) bagi perempuan , laki-laki, keluarga/rumah tangga.
6.     Manfaat dan biaya dari keenderungan sekarang/perubahan-perubahan yang direnanakan bagi perempuan , laki-laki, keluarga/tangga.
7.     Indikator kuantatif dan kuantitatif tentang perubahan kearah yang diinginkan (contoh peningkatan kelangsungan ekonomi, peningkatan keadilan sosial, peningkatan keutuhan ekologi).
8.     Penghidupan berkelanjutan jika bersifat adaptif , efektif secara ekonomi, berwawasan lingkungan dan secara sosial bersifat adil,
           Pustaka Acuan
Elmhirst Rebecca, 2003 : Gender, Lingkungan dan Pengurangan Kemiskinan, Jakarta : UI
Rustanto Bambang, 2010 : Gender Dalam Pekerjaan Sosial, Bandung :STKS
Soeharto Edi. 2010 : Pendidikan dan Praktek Pekerjaan Sosial Di Indonesia, Bandung : STKS
Wismer Susab, 2002, Pelatihan Jender dan Lingkungan, Jakarta : Cepi







1 comment:

  1. Halo, nama saya PUSPITA Damanik. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa lender online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Belinda yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari RP 700.000.000 (700 JUTA Rp) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah i diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: belindalamarloanltd@gmail.com atau aid.financial@financier.com
    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya puspitadamanik21@gmail.com.
    Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.

    ReplyDelete