Oleh: Aan Zainal Hafid
ABSTRAKS
.
Kelompok perempuan rentan yang kurang memiliki
keberdayaan untuk menolong dirinya ini cenderung
kurang memiliki kemampuan dalam melakukan keberfungsian sosialnya secara
optimal. Mereka menghadapi kesulitan dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupan, memecahkan permasalahan yang
dihadapi, dan dalam hal memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Mereka berada dalam
kondisi kekurangmampuan dalam melaksanakan peranan sosial yang dituntut oleh
lingkungannya.
A. PENDAHULUAN
Meningkatnya
jumlah perempuan yang dapat dikategorikan dalam kelompok perempuan rentan,
merupakan sebuah fenomena yang menunjukkan adanya masalah-masalah yang sangat
mendasar. Perempuan golongan ini sangat rentan dalam masalah ekonomi, sosial, kesehatan, psikologis,
pendidikan, dan tindak kekerasan. Bebagai data menunjukkan adanya peningkatan
yang signifikan dengan tingginya kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang didominasi oleh kekerasan
seksual dan kekerasan psikis, tingginya
angka kematian ibu, tingginya kasus aborsi, tingginya kasus perdagangan
perempuan, dan lain-lain
Dalam keadaan seperti itulah kelompok perempuan rentan
mempunyai kecenderungan mengalami masalah berperilaku apabila tidak mendapatkan
penanganan yang memadai. Kenyataan ini menjelaskan kian
diperlukannya model-model penanganan yang memperhatikan tingkat keragaman latar
belakang kelompok perempuan rentan. Dengan pijakan itulah kita akan dibukakan
pada sebuah perspektif bahwa tidaklah mungkin satu pendekatan penanganan akan
bisa cocok untuk semua persoalan yang dihadapi perempuan kelompok rentan.
Krisis ekonomi
global pada tahun 2008 telah menyebabkan dampak besar terhadap berbagai sektor
di negara-negara berkembang. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia
diperkirakan sekitar 5,6% pada tahun 2010 dan sekitar 6,5% untuk tahun 2011,
namun keputusan beberapa kebijakan tampaknya masih mencerminkan kecemasan (M. Firdaus dkk, 2010). Dengan mengutip hasil studi Lembaga
Penelitian Smeru, dikemukakan berbagai dampak pada tahun 2009 terutama terhadap
orang dengan pendapatan rendah. Terjadi instabilitas di pasar tenaga kerja yang menyebabkan penurunan
tingkat upah. Dalam hal ini, perempuan merupakan pihak yang paling menderita karena
terjadinya penurunan pendapatan atau kehilangan pekerjaan.
Faktor ekonomi memang kerap kali menjadi variabel paling
signifikan bagi munculnya
masalah-masalah yang lain. Bagi sebagian perempuan yang karena kondisi
tertentu kemudian menjadi pihak yang berada dalam kelompok rentan. Kerentanan
yang dialami perempuan bisa dilihat dalam banyak wujud. Di samping rentan dalam
masalah ekonomi dan sosial, juga dalam aspek kesehatan, psikologis dan
pendidikan. Perempuan golongan ini juga sangat rentan terhadap terjadinya
tindak kekerasan.
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
menunjukkan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2009 mencapai
143.586 kasus, atau bertambah hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2008
dengan 54.425 kasus KDRT (Primair Online, 2010). Artinya,
kenaikan kasus KDRT di Indonesia mencapai 263%. Dijelaskan bahwa sebagian besar
(96%) kasus kekerasan di dalam rumah tangga adalah kekerasan terhadap istri. Ada
pun bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan seksual dan kekerasan
psikis yang masing-masingnya mencapai 48%. Usia korban terbanyak adalah dalam
rentang 13-18 tahun.Kerentanan perempuan juga bisa dilihat dari masih tingginya
angka kematian ibu pada saat ini yang mencapai 228 kasus dari setiap 100.000
kelahiran. Di samping itu, di Indonesia setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta
kasus aborsi. Ini berarti, setiap jam terjadi 300 tindakan pengguguran janin
dengan risiko kematian ibu.
Orang yang berada dalam kelompok rentan adalah mereka
yang berada dalam posisi lemah, mudah dipengaruhi dan diasumsikan kurang
memiliki keberdayaan untuk menolong
dirinya sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Dalam banyak kasus
terlihat bahwa perempuan menjadi pihak
yang sangat dirugikan. Kian tingginya kasus perdagangan perempuan atau
penyiksaan terhadap tenaga kerja perempuan, merupakan hal lain yang membuat
kita sangat miris.
Kenyataan seperti itu tentu saja sangat berdampak terhadap
kemampuan keberfungsian sosial mereka. Dalam keadaan ketidakberdayaan, mereka
menjadi kesulitan melakukan fungsi sosialnya secara efektif, menyangkut
kemampuannya dalam melaksanakan peranan sosial dalam kehidupan, kemampuan
menjalin relasi positif dengan orang lain, termasuk kemampuannya dalam
menghargai diri sendiri.
Atas dasar itulah tulisan ini
diarahkan pada gambaran kondisi kelompok perempuan rentan dalam berbagai
dimensinya, tingkat keberfungsian sosial mereka serta beberapa model pelayanan
yang bisa diterapkan.
B, KERENTANAN HIDUP
Dalam
sebuah rilisnya, Department of Families,
Housing, Community Services and Indigenous Affairs (FaHCSIA), Australia
(2009), menyatakan bahwa perempuan bukanlah kelompok yang
homogen, sehingga tidaklah mungkin satu pendekatan penanganan bisa cocok untuk
semua. Namun persoalannya,
bagaimana rencana penanganan berfokus untuk
membantu para wanita dalam berbagai keadaan dan dari berbagai latar
belakang. Perempuan dari kelompok tertentu dalam masyarakat lebih rentan
mengalami kekerasan dari orang lain. Persoalan lain adalah sejauh mana mereka
memiliki akses pada layanan yang mereka
butuhkan. Adapun kelompok
perempuan rentan terutama adalah:
a.
Perempuan yang mengalami pelecehan seksual.
b.
Anak-anak perempuan yang menyaksikan dan hidup dalam kekerasan.
c.
Perempuan penyandang cacat yang lebih mungkin mengalami kekerasan seksual lebih parah dibanding yang lain.
d.
Perempuan yang tinggal di daerah pedesaan dan terpencil, lebih mungkin
mengalami kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
e.
Imigran dan pengungsi perempuan lebih mungkin mengalami kekerasan.
f.
Perempuan yang sedang hamil yang mengalami kekerasan dari pasangannya
selama kehamilan.
g.
Perempuan yang mengalami kesulitan ekonomi dan kemiskinan.
h.
Perempuan tunawisma yang sangat
rentan terhadap kekerasan.
i.
Perempuan yang terkena HIV / AIDS.
j.
Perempuan yang telah mengalami situasi
konflik.
k. Perempuan dengan kondisi kehidupan yang keras dan
kumuh.
Semua
kelompok-kelompok ini dianggap sebagai kelompok
rentan yang mudah terkena risiko dan guncangan. Semua kelompok ini
memiliki kesamaan, yaitu kelangkaan aset
atau kesulitan dalam mengakses aset, sehingga membuat mereka lebih rentan.
Namun dengan berbedanya jenis risiko
yang dihadapi, mereka membutuhkan solusi yang berbeda pula.
Hasil penelitian LSM APT Enterprise Development, memperlihatkan masih banyaknya orang yang mengaburkan makna kerentanan
dengan kemiskinan. Padahal kedua istilah memiliki substansi yang berbeda. Kemiskinan sangat terkait
dengan kondisi kekurangan, sedangkan kerentanan berkaitan
dengan kondisi ketidakberdayaan terhadap risiko dan guncangan.
Dengan demikian konsep kerentanan dapat didefinisikan sebagai kondisi ketidakberdayaan yang
membuat orang lebih rentan terhadap risiko dan mengalami guncangan tanpa
mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Bahkan orang rentan yang hidup dalam
kemiskinan menghadapi kendala untuk mengatasi kekurangan mereka, karena
kelemahan dalam memanfaatkan peluang yang menguntungkan.
Kerentanan dan kelompok rentan adalah konsep penting dalam sistem perawatan
kesehatan saat ini. Kelompok rentan adalah kelompok sosial yang mengalami
kesenjangan kesehatan sebagai akibat dari kurangnya sumber daya dan
meningkatnya risiko. Beragam kelompok rentan yang paling banyak adalah
perempuan yang hidup dalam kemiskinan, mereka yang terpinggirkan oleh
preferensi seksual, dan mereka yang berstatus imigran. Kelompok rentan juga
termasuk ibu yang berisiko tinggi, orang-orang dengan penyakit AIDS, dan
perempuan tunawisma.
Banyak perempuan
menjadi rentan akibat keadaan keuangan mereka atau tempat tinggal, kesehatan,
usia, karakteristik pribadi, kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, dan
diidapnya penyakit kronis atau
kecacatan. Populasi rentan dipandang
kurang mampu merawat diri sendiri di tengah kondisi kesehatannya yang
terus berubah. Institut Kesehatan Nasional di Amerika mendefinisikan populasi
rentan adalah mereka yang mengalami perbedaan yang signifikan dengan tingkat
keseluruhan kejadian penyakit, prevalensi, morbiditas, mortalitas, dan tingkat
kelangsungan hidup antara kelompok-kelompok populasi tertentu dibandingkan
dengan status kesehatan dari populasi umum.
Sebuah tinjauan
evolusi pengetahuan tentang populasi rentan di tahun 1990-an menunjukkan bahwa
tingginya eskalasi biaya yang berkaitan dengan penyediaan layanan kesehatan dan
semakin banyaknya penduduk tanpa akses pada perawatan kesehatan. Dengan
demikian, kesejahteraan penduduk yang
rentan sangat terkait dengan kesehatan bangsa.
Untuk itu, sumber daya populasi rentan
merupakan fokus dari program layanan
kesehatan. Karena populasi yang rentan memiliki sedikit sumber daya untuk
memperbaiki kondisinya, mereka mempunyai risiko yang sangat besar untuk dapat
mengembangkan masalah dan berhadapan dengan penderitaan.
Banyak perempuan
yang juga menderita efek dari penyakit kronis. Mereka melaporkan bahwa dengan
keadaan itu terasa mengganggu pekerjaan atau kehadiran mereka di sekolah. Hal tersebut
mengakibatkan terganggunya rencana karir dan bertambahnya pengangguran, yang pada akhirnya menimbulkan situasi keuangan yang
tidak stabil dan atau kehilangan pekerjaan. Kenyataan ini menjelaskan adanya
faktor penting untuk meningkatkan status kesehatan dan kualitas hidup pada kelompok
rentan.
C. KEBERFUNGSIAN SOSIAL
Keberfungsian sosial merupakan ekspresi interaksi antara orang dengan
lingkungan sosialnya. Keberfungsian sosial merupakan hasil atau produk dari
aktivitas orang dalam berelasi dengan sekelilingnya. Jadi keberfungsian sosial
berkaitan dengan hasil interaksi orang dengan lingkungan sosial (De Gusman,
1982). Dijelaskan oleh Zastrow (1982) bahwa manusia senantiasa hidup dalam
berbagai sistem, seperti sistem keluarga, pelayanan sosial, politik, pekerjaan,
keagamaan, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Interaksi orang dengan
sistem-sistem tersebut mempengaruhi tingkat keberfungsian sosial mereka. Dalam
hal ini interaksi yang kondusif akan menyebabkan orang mampu memenuhi
kebutuhan, melaksanakan tugas, dan mencapai tujuan hidup. Namun sebaliknya,
jika interaksinya kurang baik akan menyebabkan orang tersebut mengalami
masalah.
Sedangkan Siporin (1975) menyatakan bahwa keberfungsian sosial merupakan
suatu cara yang menggambarkan perilaku orang. Cara atau perilaku tersebut dilakukan oleh individu, keluarga, organisasi
maupun masyarakat. Dalam konteks yang demikian,
kelompok perempuan rentan merupakan orang yang mengalami masalah dalam
melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Konsep keberfungsian sosial mencakup empat tingkatan, yakni tingkatan
individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Bila perempuan rentan dipandang
sebagai individu yang mengalami masalah dalam interaksi sosialnya, maka
karakteristik keberfungsian sosialnya akan berkisar pada masalah:
a.
Kemampuan dalam
melaksanakan peranan sosial dalam kehidupan.
b.
Kemampuan menjalin
relasi positif dengan orang lain.
c.
Kemampuan dalam
menghargai diri sendiri.
Namun bila para perempuan rentan tersebut telah
bersatu dalam sebuah kelompok yang secara relatif mempunyai permasalahan yang
sama, maka soal karakteristik keberfungsian sosialnya akan berkisar pada
bagaimana kemampuan mereka dalam hal:
a.
Merumuskan tujuan
dan aktivitas kelompok.
b.
Interaksi positif di
antara anggota kelompok.
c.
Rasa memiliki terhadap
kelompok.
d.
Kohesivitas kelompok.
e.
Identitas, norma, dan
nilai kelompok.
Pada tingkatan organisasi, karakteristik keberfungsian sosial mencakup:
a.
Adanya visi dan misi
organisasi beserta tujuannya.
b.
Adanya program kerja
organisasi.
c.
Tersedianya sumber daya yang memadai.
d.
Terlaksananya prinsip-prinsip organisasi.
e.
Terlaksananya fungsi-fungsi administrasi
dalam organisasi.
Sedangkan
pada tingkatan masyarakat, karakteristik keberfungsian sosial tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Adanya
identitas masyarakat yang menyangkut lokasi, nama, sejarah, dan sebagainya.
b. Kondisi
kependudukan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan sebagainya.
c. Adanya
program pembangunan masyarakat.
d. Tersedianya
sumber daya masyarakat.
e. Terwujudnya jaringan kerja masyarakat, baik secara internal maupun
eksternal.
Dalam kaitan ini, terdapat tiga dimensi keberfungsian sosial yang
senantiasa akan mewarnai kehidupannya sehari-hari, yakni:
a.
Kepuasan berperan dalam kehidupan.
b.
Relasi positif dengan orang lain.
c.
Perasaan menyukai atau
menghargai.
Dengan berlandaskan pada perspektif pemikiran Sukoco (1991), bahwa
keberfungsian sosial orang sangat berkaitan dengan cara pandang orang tersebut
dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, kemampuan memecahkan masalah, dan
kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, soal keberfungsian
sosial tidak lepas dari soal peranan sosial dan status sosial. Pada kelompok
perempuan rentan dapat dipandang adanya kekurangmampuan dalam melaksanakan peranan
sosial yang dituntut oleh lingkungannya. Ketidakmampuan dalam melakukan peranan
sosial ini dimungkinkan karena mereka menghadapi masalah dalam dirinya.
Di samping itu, mereka juga mempunyai pikiran yang khas tentang status
sosialnya. Padahal status sosial berkaitan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban. Kelompok perempuan rentan ini biasanya mengalami permasalahan yang
dicirikan dengan adanya ketimpangan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya.
Dari pespektif pemikiran tersebut kemudian dapat dielaborasi tentang
keberfungsian sosial kelompok perempuan rentan sebagai berikut:
a. Keberfungsian sosial sebagai wujud kemampuan dalam melaksanakan peranan
sosial.
Peranan sosial merupakan peranan yang diharapkan dapat ditampilkan oleh
orang yang berada dalam suatu kelompok masyarakat. Bagi kelompok perempuan rentan
terdapat masalah sehingga mereka tidak dapat memenuhi peranan sebagaimana yang
diharapkan lingkungan sosialnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek
sebagai berikut:
1). Setiap orang mempunyai status sosial yang bersifat multidimensional.
Hal ini mengandung pengertian bahwa pada diri setiap orang sesungguhnya memiliki
banyak status sosial. Namun kelompok
perempuan rentan mengalami kesulitan dalam menjalankan berbagai
statusnya yang dimilikinya.
b). Kelompok perempuan rentan cenderung mengalami gangguan interaksi dengan
orang yang terdekat dengan mereka.
c). Kelompok perempuan rentan kurang dapat memenuhi tuntutan tingkah laku
yang harus dilaksanakannya.
d). Kelompok perempuan rentan kurang dapat memaknai situasi sosial yang
dihadapinya. Siporin (1975) menyebutkan bahwa situasi sosial dapat dikatakan fungsional
apabila dicirikan dengan hal-hal sebagai berikut:
(1). Situasi sosial yang
secara struktural memadai dengan ciri-ciri:
(a). Menyediakan materi dan tenaga yang cukup.
(b). Kondisi ekologis yang memadai.
(c). Relasi yang baik dan wajar.
(2). Situasi sosial yang secara struktural memadai dengan ciri-ciri:
(a). Mempunyai nilai, norma, dan sanksi.
(b). Mempunyai tertib moral.
(c). Mempunyai identitas yang efektif.
(3). Proses-proses yang ada dalam situasi sosial dapat berjalan secara
efisien dan terarah kepada pencapaian tujuan.
(4). Situasi sosial secara menyeluruh dapat terlihat dengan jelas,
konsisten dan relatif stabil walaupun situasi sosial tersebut memberikan
kemungkinan untuk mengadakan penyesuaian dan perubahan.
(5). Situasi sosial tersebut menyediakan kesempatan, sumber, dan pelayanan
yang dibutuhkan.
(6). Situasi sosial tersebut memberikan dorongan dan
tuntutan serta memberikan sanksi dan imbalan yang wajar. Artinya tidak terlalu
berat dan juga tidak terlalu ringan serta memungkinkan adanya kreativitas.
(7). Situasi sosial tersebut menyediakan imbalan atau
meningkatkan identitas, harga diri dan kesadaran akan kompetensi individu maupun
kelompok sebagai kesatuan.
(8). Situasi sosial tersebut mendorong kesadaran akan
adanya kenyataan kehidupan yang menuntut dan perlu dihadapi dengan keterampilan
yang dimiliki.
(9). Situasi sosial tersebut memberikan kemungkinan
kepada anggotanya untuk berhubungan dengan orang lain.
b. Keberfungsian
sosial sebagai wujud kemampuan dalam memenuhi kebutuhan.
Semua orang mempunyai kebutuhan dalam kehidupannya.
Ada orang yang dapat memenuhi kebutuhannya itu dengan baik, tetapi sebagian yang lain mempunyai permasalahan dalam memenuhinya. Karena faktor
kemampuan atau situasi, kelompok perempuan rentan tak cukup memiliki kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar. Dalam hal ini Sukoco (1991)
menjelaskan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi
kebutuhan manusia, yakni:
1). Bahwa kebutuhan manusia pada prinsipnya bersifat jamak, artinya
kebutuhan manusia itu lebih dari satu. Kebutuhan manusia tersebut merupakan
sekumpulan dari kebutuhan dasarnya.
2). Terdapat beberapa kebutuhan manusia yang sebenarnya merupakan
karakteristik dari konteks kebudayaan yang dimilikinya. Manusia yang berada
dalam masyarakat tertentu akan dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat tersebut.
Dengan demikian kebutuhan manusia juga dipengaruhi oleh kebudayaannya.
3). Sistem kebutuhan setiap individu sangat tergantung dari
perkembangannya. Selain perkembangan fisik, jenis kebutuhan juga
dipengaruhi oleh perkembangan psikis.
c. Keberfungsian sosial sebagai
wujud kemampuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari, sudah pasti setiap orang pernah
dihadapkan pada sebuah permasalahan. Kesuksesan
seseorang dalam mengatasi permasalahan mengandung makna kesuksesan pula dalam
perjalanan hidupnya. Namun bagi kelompok perempuan rentan terdapat persoalan
yang menunjukkan adanya keterbatasan dalam mengatasi permasalahan yang
dihadapinya.
D. PELAYANAN SOSIAL BAGI PEREMPUAN
Sebagai bahan telaahan, di bawah ini disajikan model
pelayanan terhadap beberapa kelompok perempuan rentan:
a. Model Pelayanan Bagi Perempuan yang Rentan Masalah Kesehatan
Secara tradisional, kerentanan telah ditangani dengan
sumber daya eksternal atau materi, yang berorientasi pada bantuan keuangan. Namun penelitian yang
berkaitan dengan model pelayanan terhadap kelompok rentan memperlihatkan bahwa
terdapat keterkaitan antara ketersediaan sumber daya relatif dan risiko relatif
terhadap status kesehatan dengan berfokus pada penyediaan sumber daya ekonomi
dan sosial yang diperlukan untuk memberdayakan individu-individu yang rentan.
Ketersediaan sumber daya dianggap mendasar agar mereka
dapat berpartisipasi dalam pencegahan,
kebersihan, dan pengobatan. Risiko relatif didefinisikan sebagai perbedaan
risiko kelompok sosial dalam kesehatan. Dengan kata lain, risiko relatif adalah
rasio kesehatan buruk pada kelompok berisiko yang tidak memiliki sumber daya
dibandingkan dengan kelompok berisiko yang memiliki sumber daya. Status
kesehatan dilihat pada sebuah kontinum dari kesehatan yang baik sampai mereka
meninggal.
Model lain dalam perspektif teoretis kerentanan adalah
model stres-diatesis. Model ini
diperoleh dalam upaya untuk mencari jalan terbaik dari berbagai
kompleksitas gejala dan hasil dialami oleh mereka yang terkena dampak
skizofrenia. Model ini menggambarkan interaksi antara faktor fisik, psikologis,
dan lingkungan. Perspektif teoretis kerentanan berasal dari penelitian
Dohrenwend & Dohrenwend (1978) yang menyatakan bahwa proses mediasi
memainkan peran untuk mengurangi dampak
dari peristiwa stres dalam kehidupan.
Baik model populasi rentan maupun model stres-diatesis
mempertimbangkan kualitas hidup sebagai suatu hasil. Dari beberapa kajian tentang kelompok perempuan rentan, diperlukan
penerapan teori self
manajemen untuk yang berfokus pada peningkatan status kesehatan dan kualitas
hidup.. Model ini menjelaskan faktor penting yang dapat memprediksi status
kesehatan dan kualitas hidup dalam
kelompok rentan. Teori Self-Manajemen untuk kelompok rentan
menggabungkan konsep-konsep dari kedua teori serta pengaruh-pengaruh lain pada
status kesehatan dan kualitas hidup.
Teori self-manajemen untuk kelompok rentan menyarankan
pendekatan alternatif untuk menangani
kerentanan dengan menangani manajemen perawatan diri dan faktor-faktor
intra-pribadi ganda untuk memainkan peran penting yang berpengaruh pada
kemampuan seseorang untuk mengelola penyakit. Konsep utama dalam model ini
adalah faktor-faktor kontekstual, kerentanan, faktor intrapersonal, manajemen
perawatan diri, status kesehatan, dan kualitas hidup. Faktor intra-personal
memediasi hubungan antara kerentanan dan manajemen perawatan diri termasuk
menghadapi perilaku, pengetahuan, dan dukungan sosial.
Meskipun teori self-manajemen untuk kelompok rentan
menekankan peran individu dalam manajemen diri, tetapi manajemen perawatan diri
dipengaruhi oleh faktor kontekstual, termasuk nilai-nilai masyarakat dan sumber
daya masyarakat.
Teori ini mengasumsikan bahwa orang-orang dengan penyakit kronis merupakan pertemuan dua faktor yang dimodifikasi dan non-modifikasi yang dapat meningkatkan kerentanan mereka. Kerentanan didefinisikan sebagai kombinasi dari kedua faktor tersebut yang dapat meningkatkan risiko terhadap kesehatan yang buruk dan mempengaruhi kemampuan individu untuk mengelola penyakit mereka. Faktor yang dimodifikasi meliputi situasi ekonomi (misalnya, pendapatan tahunan dari semua sumber), pendidikan, dan kondisi kehidupan (termasuk tempat tinggal). Sedangkan faktor-faktor non-modifikasi meliputi umur, ras/latar belakang etnis, penyakit kronis, dan gender.
Teori ini mengasumsikan bahwa orang-orang dengan penyakit kronis merupakan pertemuan dua faktor yang dimodifikasi dan non-modifikasi yang dapat meningkatkan kerentanan mereka. Kerentanan didefinisikan sebagai kombinasi dari kedua faktor tersebut yang dapat meningkatkan risiko terhadap kesehatan yang buruk dan mempengaruhi kemampuan individu untuk mengelola penyakit mereka. Faktor yang dimodifikasi meliputi situasi ekonomi (misalnya, pendapatan tahunan dari semua sumber), pendidikan, dan kondisi kehidupan (termasuk tempat tinggal). Sedangkan faktor-faktor non-modifikasi meliputi umur, ras/latar belakang etnis, penyakit kronis, dan gender.
Kerentanan merupakan hasil dari hubungan antara lingkungan dan sumber daya pribadi. Orang
yang sering dirawat di rumah sakit mungkin menunjukkan kepasifan atau justru
agresivitas saat berinteraksi. Perilaku ini tidak memfasilitasi manajemen
perawatan diri atau meningkatkan kualitas hidup. Di sinilah diperlukan adanya
ketegasan sikap.Ketegasan didefinisikan sebagai satu teknik perilaku yang
memungkinkan individu untuk mandiri atas hak-hak mereka tanpa melanggar hak
orang lain. Ketegasan sikap seperti ini mungkin berguna untuk orang yang
menghadapi perjuangan seumur hidup dengan penyakit kronis. Pada individu dengan
penyakit serius, pelatihan ketegasan dianggap bermanfaat untuk meningkatkan
ketegasan, kontrol internal, dan
cara-cara yang positif untuk mengatasi penyakit yang serius.
Selain itu, kelompok rentan juga dituntut untuk dapat
mengatasi perilaku.
Mengatasi perilaku didefinisikan sebagai strategi kognitif yang digunakan untuk menguasai kondisi bahaya, ancaman, atau tantangan ketika respon normal atau rutin tidak tersedia. Pada gilirannya, ketidakberdayaan dan rendahnya kemampuan dalam mengelola diri akan berakibat pada kekuatan fisik dan stamina psikologis.
Mengatasi perilaku didefinisikan sebagai strategi kognitif yang digunakan untuk menguasai kondisi bahaya, ancaman, atau tantangan ketika respon normal atau rutin tidak tersedia. Pada gilirannya, ketidakberdayaan dan rendahnya kemampuan dalam mengelola diri akan berakibat pada kekuatan fisik dan stamina psikologis.
Pelatihan keterampilan coping kognitif telah terbukti
dapat meningkatkan upaya mengatasi dan mengurangi berpikir negatif. Strategi penanganan dapat berbentuk
relaksasi, penumbuhan citra, menenangkan diri, atau reinterpretasi dari sensasi
sakit. Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang memungkinkan seseorang dapat
mengambil keputusan perawatan diri. Mengetahui implikasi dan efek dari penyakit
kronis adalah unsur penting bagi individu untuk memikul tanggung jawab utama
dalam mengelola kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, orang yang mengerti
situasi krisis, akan dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau
mengurangi krisis tersebut. Kualitas hidup kelompok rentan dapat diperbaiki
ketika mereka memiliki pengetahuan.
Di samping itu, diperlukan keyakinan individu tentang
kemampuan mereka untuk mencapai hasil kesehatan yang diinginkan. Fokus keyakinan
adalah bahwa mereka dapat menjalankan
kontrol atas motivasi, perilaku, dan lingkungan sosial. Hal itu dapat menjadi
penentu penyesuaian terhadap penyakit kronis. Bersamaan dengan itu, diperlukan
adanya dukungan sosial. Dukungan sosial
mengacu pada pemberian, bantuan simbolik atau bahan yang diperlukan.
Harga diri, ketegasan, dan dukungan sosial adalah faktor signifikan dari fungsi sosial, kesehatan
mental, dan persepsi kesehatan.
Meskipun penelitian tentang peranan dukungan sosial dalam
kesehatan orang kelompok rentan ini masih terbatas, tetapi kenyataan
memperlihatkan bahwa sangat dibutuhkan dukungan sosial yang terus menerus. Dukungan yang diperlukan dari penyedia layanan keluarga
dan kesehatan. Dukungan dari keluarga dapat meningkatkan kepatuhan dan
berkurangnya depresi. Ada pun dukungan dari penyedia layanan kesehatan dapat
meningkatkan kepuasan dengan sistem pelayanan kesehatan.
b. Model Pelayanan Bagi Perempuan yang Rentan Masalah Psikologis
The Refugee Council’s
Vulnerable Women’s Project melaporkan tentang
perempuan pengungsi yang dieksploitasi seksual dan berada dalam ketakutan. Bahkan sebagian besar
dari mereka mengatakan mungkin melakukan bunuh diri. Data yang
diperoleh bahwa di antara mereka sebanyak
76% telah diperkosa, 15% hamil,
5% punya anak akibat diperkosa, 35% mengalami beberapa bentuk
kekerasan, 22% telah mengalami pelecehan
seksual, 9% pernah diancam perkosaan, 27% memiliki luka fisik, 76% mengalami trauma psikologis, dan
sebanyak 20% memiliki masalah
ginekologi.
Dengan demikian jelas bahwa perkosaan merupakan peristiwa yang sangat menghancurkan dan
berdampak tidak saja pada aspek fisik, psikologis, dan
kesehatan korban, tetapi juga terhadap
keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Sifat dari perkosaan dan kekerasan seksual dapat
menyebabkan kerusakan fisik. Korban mungkin sangat cemas ketika berbicara
tentang kesehatannya.
2). Secara psikologis, segera setelah serangan
pemerkosaan, akan merasa shock, dan merasa bahwa mereka telah kehilangan
kontrol atas hidup. Dalam jangka panjang, berbagai macam reaksi yang berbeda
dapat diamati, seperti gelisah, sakit kepala, depresi, berkurangnya harga diri dan rasa bersalah.Dampak
perkosaan, memunculkan rasa putus asa tentang masa depan dapat menyebabkan
beberapa perempuan untuk berpikir tentang bunuh diri.
Terhadap kasus seperti ini perlu dilakukan asesmen dengan penanganan yang
yang hati-hati, karena sulit bagi seorang wanita untuk membahas
perkosaan. Asesmen ini mungkin perlu
berlangsung selama beberapa sesi. Mereka seyogianya ditanya tentang perkosaan ketika mereka telah memiliki kepercayaan. Semakin merasa aman, akan
semakin besar kemungkinannya untuk dapat
mengungkapkan perasaannya. Dua hal esensial dalam proses ini adalah:
1). Menciptakan lingkungan yang aman dan hubungan
kepercayaan
2). Tidak menghakimi dan menunjukkan empati terhadap
klien.
Banyak pengungsi perempuan akan mengungkapkan sejarah
peristiwa traumatis di tempat asal mereka,termasuk periode penahanan yang
melibatkan penyiksaan dan pemerkosaan. Namun, perkosaan dan kekerasan seksual
dapat terjadi di banyak konteks yang berbeda. Hal ini penting untuk memberi
kesempatan kepada klien untuk menceritakan kisahnya dengan caranya sendiri
karena hal tersebut dapat membawa kenangan menyakitkan dan emosi. Beberapa
klien dapat kembali trauma ketika harus
berbicara tentang penderitaan mereka. Maka mereka perlu diberikan waktu agar perasaan klien menjadi
pulih di akhir wawancara. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah:
1). Berbicara dengan tenang, bergerak perlahan dan lembut.
2). Memberitahu klien tentang apa yang akan dilakukan dan berapa lama kemungkinan
waktu penanganan.• Mulailah dengan menanyakan tentang hal umum terlebih dahulu,
dan kemudian bergerak menuju pertanyaan tentang pemerkosaan ketika klien telah merasa
siap untuk diwawancarai.
3). Biarkan klien untuk memutuskan kapan untuk memulai
wawancara dan kapan dia membutuhkan
istirahat. Pekerja sosial harus
mengeksplorasi persepsi klien tentang bagaimana budayanya akan melihat kejadian
itu. Bagaimana perasaan klien
tentang dirinya sendiri dan keluarganya. Dia mungkin berbicara tentang mimpi buruk, ketakutan,
kilas balik, gangguan pikiran, kesedihan, perasaan kehilangan atau khawatir.
Soal pola tidur, nafsu makan dan perawatan diri juga harus dipertimbangkan. Hal
lain juga perlu dicatat, misalnya
ekspresi klien (marah, bingung, dan menangis). Apakah ada perbedaan antara yang dia katakan dengan
ekspresi muka yang tampak? Apabila pekerja sosial tidak
yakin atau merasa kurang pengetahuan
dan pengalaman untuk membuat semacam
penilaian, maka rujukan harus dibuat kepada pihak lain seperti psikiater.
Dalam kaitan inilah dukungan keluarga diperlukan. Klien
kadang-kadang tidak dapat melaporkan atau
mengungkapkan perkosaan kepada keluarga atau teman mereka karena takut
disalahkan atau diasingkan. Hal seperti itu adalah stigma yang melekat pada kasus pemerkosaan di beberapa kebudayaan. Hal ini
dapat menyebabkan masalah di mana seorang perempuan menunjukkan
tanda-tanda yang berbahaya secara
psikologis, seperti berteriak di malam hari.
Beberapa perempuan melaporkan harus meninggalkan
anak-anak mereka di tempat asal ketika
mereka pergi, karena mereka berpikir akan lebih aman. Namun hal ini dapat
menambah perasaan kecemasan dan rasa bersalah, terutama jika dia telah pergi
selama beberapa tahun. Klien juga mungkin khawatir tentang anggota keluarga
yang masih di tempat asal atau sedang
melakukan perjalanan. Mereka mungkin telah kehilangan kontak dengan keluarga
mereka dan khawatir untuk keselamatan mereka.
Oleh karena itu, dengan memiliki jaringan dukungan
yang kuat dapat menjadi faktor pelindung
bagi perempuan. Tetapi perlu dipahami bahwa betapa penting dukungan
jaringan tersebut. Namun apakah dia merasa dapat mengakses dukungan tersebut?
Keluarga sangat penting untuk memberi dukungan.
Tetapi dalam situasi yang sebaliknya bisa uga menambah masalah, misalnya
dengan menyalahkan perempuan korban pemerkosaan itu atau dengan tidak mempercayai kisahnya.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah memperhatikan
apa yang dilakukan klien di siang hari. Dengan begitu diharapkan dapat
mengungkapkan lebih jauh tentang bagaimana mereka dipengaruhi oleh pengalamannya. Seorang perempuan yang sangat
jarang pergi keluar dan menghabiskan sepanjang hari di tempat tidur mungkin
merasa tertekan dan cemas diserang rasa traumatis lagi. Namun seorang wanita
yang suka mengalami tidur dengan mimpi
buruk, dengan masih mampu mengikuti
kursus bahasa Inggris setiap hari misalnya, mungkin akan menghadapi hal
yang lebih baik dan menunjukkan
tanda-tanda ketahanan atau kapasitas kepribadian yang tidak terlalu
terpengaruh oleh kejadian traumatik.
Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mendorong klien
agar lebih aktif setiap
hari dan melaksanakan apa yang ingin mereka lakukan, misalnya dengan belajar atau menjadi sukarelawan. Hal ini dapat memupuk ketahanan dan pemulihan dengan mengarahkan klien pada kegiatan yang positif agar aspek kepribadian mereka terselamatkan dari trauma perkosaan. Diharapkan pula dapat mendorong mereka untuk berpikir ke masa depan, tidak kembali ke masa lalu, dan dapat membantu pemulihan dari dampak peristiwa itu sendiri. Membangun kembali rutinitas normal dengan sendirinya akan menjadi terapi yang menguntungkan.
hari dan melaksanakan apa yang ingin mereka lakukan, misalnya dengan belajar atau menjadi sukarelawan. Hal ini dapat memupuk ketahanan dan pemulihan dengan mengarahkan klien pada kegiatan yang positif agar aspek kepribadian mereka terselamatkan dari trauma perkosaan. Diharapkan pula dapat mendorong mereka untuk berpikir ke masa depan, tidak kembali ke masa lalu, dan dapat membantu pemulihan dari dampak peristiwa itu sendiri. Membangun kembali rutinitas normal dengan sendirinya akan menjadi terapi yang menguntungkan.
D. PENANGANAN PEREMPUAN RENTAN
Kemiskinan dapat menempatkan wanita pada risiko dan
kerentanan. Perumahan yang buruk atau kurangnya perumahan, dapat mempengaruhi tingkat ketahanan mental seseorang. Banyak perempuan
tinggal dalam keluarga dengan rumah yang tidak memadai dan penuh sesak oleh
para penghuninya. Di titik inilah terasa penting menyediakan ruang dalam rumah yang
lebih nyaman dan aman melalui berbagai layanan.
Banyak kita saksikan kelompok perempuan yang mengalami
kondisi seperti ini tanpa memiliki akses pada sistem sumber yang ada. Mereka
tidak mempunyai tempat tinggal yang permanen. Mereka terkadang tinggal bersama
orang yang mereka kenal di masyarakat, atau bertemu tunawisma untuk menghabiskan
beberapa malam di berbagai tempat. Hal seperti itu dikenal sebagai "sofa-surfing".
Dalam kondisi seperti inilah perempuan menjadi sangat rentan, misalnya
melakukan seks bebas dengan laki-laki asing dengan imbalan tempat tinggal. Mereka juga bisa menjadi korban perkosaan dengan cara
ditipu dengan berpura-pura menawarkan tempat tinggal.
Kondisi ini pun mempunyai hubungan kuat dengan kondisi psikologisnya. Apabila keinginan untuk
mendapatkan perlindungannya ditolak akan
mengakibatkan kesedihan dan kecemasan yang pada tahapan tertentu dapat menjadi stres.
Bagi para pekerja sosial, sangat penting memahami kondisi klien dan
mengupayakan mereka untuk mendapatkan perlindungan. Sebab kalau tidak, bisa
saja kelompok perempuan rentan ini mengambil keputusan negatif yang kemudian akan
memperburuk kecemasan yang telah dialaminya.
Pekerja sosial harus selalu mengeksplorasi perasaan
klien, apakah dia memiliki akses ke segala bentuk dukungan keuangan? Jika tidak,
apakah mereka berhak menerima bantuan? Dengan upaya-upaya yang terencana, diharapkan klien akan dapat menerima dukungan
keuangan dan akomodasi melalui program-program yang ada.
Klien disediakan ruang yang nyaman untuk mengeksplorasi perasaan mereka.
Pekerja sosial berupaya menjadi pendengar yang baik, penuh empati, dan
menggunakan segala keterampilannya untuk membangun kepercayaan klien. Pekerja
sosial juga berupaya melakukan advokasi untuk
mendapatkan hak-hak mereka.
Dengan upaya itulah diharapkan akan tereksplorasi tentang
potensi kemampuan klien untuk mengatasi dan mencari jalan keluar. Bagaimana misalnya melihat klien dari
diri sebagai (misalnya) "tidak berdaya" menjadi ”berdaya”. Namun
teknik tersebut harus digunakan dengan tepat dan meletakkan persoalan pada realitas
aktual.
E.
KESIMPULAN
Dewasa ini terdapat kecenderungan kian meningkatnya kelompok perempuan
rentan dalam hal ekonomi, sosial, kesehatan,
psikologis, pendidikan, maupun kekerasan. Kerentanan
merupakan kondisi ketidakberdayaan yang
membuat orang lebih rentan terhadap risiko dan mengalami guncangan tanpa
mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Kondisi kerentanan ini sangat
berdampak terhadap kemampuan keberfungsian sosial mereka.
Dalam keadaan ketidakberdayaan, tentu saja mereka menjadi kesulitan
melakukan fungsi sosialnya secara efektif, menyangkut kemampuannya dalam
melaksanakan peranan sosial dalam kehidupan, kemampuan menjalin relasi positif
dengan orang lain, termasuk kemampuannya dalam menghargai diri sendiri.
Karena itu diperlukan model-model pendekatan yang tepat agar mereka dapat
melakukan keberfungsian sosial berupa
kemampuan dalam melaksanakan peranan sosial, kemampuan memenuhi kebutuhan, serta kemampuan dalam memecahkan permasalahan.
Dengan demikian diharapkan, mereka yang berada dalam kelompok rentan ini dapat
keluar dari lingkaran ketidakberdayaannya menuju kemampuan yang diperlukan
dalam menjalani kehidupan.
F. REKOMENDASI
Dalam upaya meningkatkan keberfungsian sosial kelompok rentan, terutama
dalam hubungannnya dengan peningkatan kemampuan dalam melaksanakan peranan
sosial, memenuhi kebutuhan, dan memecahkan permasalahan yang dihadapinya, direkomendasikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Bagi kelompok perempuan
yang rentan terhadap masalah kesehatan, diperlukan penerapan teori
self manajemen yang berfokus pada
peningkatan status kesehatan dan kualitas hidup.
b. Bagi kelompok perempuan yang rentan
terhadap masalah psikologis, diperlukan upaya untuk mendorong
mereka agar lebih aktif setiap hari dan
melaksanakan apa yang ingin dilakukan, misalnya dengan belajar keterampilan atau
menjadi sukarelawan.
c. Bagi kelompok perempuan yang rentan terhadap masalah sosial dan ekonomi, diupayakan
dengan membukakan akses pada sistem sumber dan mengakomodasikannya
dalam program-program yang relevan.
PUSTAKA
ACUAN
Firdaus,
M. dkk, 2010, More is needed (Social Watch Report 2010), New York .
http://www.facs.gov.au/Pages/default.aspx
http://www.refugeecouncil.org.uk/Resources/Refugee%20Council/downloads/researchreports/RC%20Vulnerable%20Women%20GPG%20%20v2b.pdf
Primair Online, 2010
Serafica,
Leonora-Guzman, de., 1983, Fundamentals
of Social Work, Schools of Social Work Association of the Philipines, Manila .
Siporin, Max, 1975, Introduction
to Social Work Practice, Macmillan Publishing Co, Inc, New York.
Sukoco, Dwi Heru, 1991, Profesi Pekerjaan Sosial, STKS, Bandung.
Zastrow,
Charles, 1982, Introduction to Social
Welfare Institutions; Social Problems, Services and Social Issues. The
Dorsey Press, Illinois .
BIODATA
No comments:
Post a Comment