Search This Blog

Search This Blog

Thursday, January 8, 2015

KEBERFUNGSIAN SOSIAL PADA PEREMPUAN RENTAN



Oleh: Aan Zainal Hafid

ABSTRAKS
.
Kelompok perempuan rentan yang kurang memiliki keberdayaan untuk  menolong dirinya ini cenderung kurang memiliki kemampuan dalam melakukan keberfungsian sosialnya secara optimal. Mereka menghadapi kesulitan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan,  memecahkan permasalahan yang dihadapi, dan dalam hal memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Mereka berada dalam kondisi kekurangmampuan dalam melaksanakan peranan sosial yang dituntut oleh lingkungannya.

       A. PENDAHULUAN
Meningkatnya jumlah perempuan yang dapat dikategorikan dalam kelompok perempuan rentan, merupakan sebuah fenomena yang menunjukkan adanya masalah-masalah yang sangat mendasar. Perempuan golongan ini sangat rentan dalam masalah  ekonomi, sosial, kesehatan, psikologis, pendidikan, dan tindak kekerasan. Bebagai data menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dengan tingginya kasus  kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang didominasi oleh kekerasan seksual dan kekerasan psikis,  tingginya angka kematian ibu, tingginya kasus aborsi, tingginya kasus perdagangan perempuan, dan lain-lain
Dalam keadaan seperti itulah kelompok perempuan rentan mempunyai kecenderungan mengalami masalah berperilaku apabila tidak mendapatkan penanganan yang memadai. Kenyataan ini menjelaskan kian diperlukannya model-model penanganan yang memperhatikan tingkat keragaman latar belakang kelompok perempuan rentan. Dengan pijakan itulah kita akan dibukakan pada sebuah perspektif bahwa tidaklah mungkin satu pendekatan penanganan akan bisa cocok untuk semua persoalan yang dihadapi perempuan kelompok rentan.
Krisis ekonomi global pada tahun 2008 telah menyebabkan dampak besar terhadap berbagai sektor di negara-negara berkembang. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan sekitar 5,6% pada tahun 2010 dan sekitar 6,5% untuk tahun 2011, namun keputusan beberapa kebijakan tampaknya masih mencerminkan kecemasan (M. Firdaus dkk, 2010).  Dengan mengutip hasil studi Lembaga Penelitian Smeru, dikemukakan berbagai dampak pada tahun 2009 terutama terhadap orang dengan pendapatan rendah. Terjadi instabilitas di pasar tenaga kerja yang menyebabkan penurunan tingkat upah. Dalam hal ini, perempuan merupakan pihak yang paling menderita karena terjadinya penurunan pendapatan atau kehilangan pekerjaan.
Faktor ekonomi memang kerap kali menjadi variabel paling signifikan bagi munculnya  masalah-masalah yang lain. Bagi sebagian perempuan yang karena kondisi tertentu kemudian menjadi pihak yang berada dalam kelompok rentan. Kerentanan yang dialami perempuan bisa dilihat dalam banyak wujud. Di samping rentan dalam masalah ekonomi dan sosial, juga dalam aspek kesehatan, psikologis dan pendidikan. Perempuan golongan ini juga sangat rentan terhadap terjadinya tindak kekerasan.
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menunjukkan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2009 mencapai 143.586 kasus, atau bertambah hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2008 dengan 54.425 kasus KDRT  (Primair Online, 2010). Artinya, kenaikan kasus KDRT di Indonesia mencapai 263%. Dijelaskan bahwa sebagian besar (96%) kasus kekerasan di dalam rumah tangga adalah kekerasan terhadap istri. Ada pun bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan seksual dan kekerasan psikis yang masing-masingnya mencapai 48%. Usia korban terbanyak adalah dalam rentang 13-18 tahun.Kerentanan perempuan juga bisa dilihat dari masih tingginya angka kematian ibu pada saat ini yang mencapai 228 kasus dari setiap 100.000 kelahiran. Di samping itu, di Indonesia setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta kasus aborsi. Ini berarti, setiap jam terjadi 300 tindakan pengguguran janin dengan risiko kematian ibu.
Orang yang berada dalam kelompok rentan adalah mereka yang berada dalam posisi lemah, mudah dipengaruhi dan diasumsikan kurang memiliki keberdayaan untuk  menolong dirinya sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Dalam banyak kasus terlihat bahwa perempuan  menjadi pihak yang sangat dirugikan. Kian tingginya kasus perdagangan perempuan atau penyiksaan terhadap tenaga kerja perempuan, merupakan hal lain yang membuat kita sangat miris.
Kenyataan seperti itu tentu saja sangat berdampak terhadap kemampuan keberfungsian sosial mereka. Dalam keadaan ketidakberdayaan, mereka menjadi kesulitan melakukan fungsi sosialnya secara efektif, menyangkut kemampuannya dalam melaksanakan peranan sosial dalam kehidupan, kemampuan menjalin relasi positif dengan orang lain, termasuk kemampuannya dalam menghargai diri sendiri.
Atas dasar itulah tulisan ini diarahkan pada gambaran kondisi kelompok perempuan rentan dalam berbagai dimensinya, tingkat keberfungsian sosial mereka serta beberapa model pelayanan yang bisa diterapkan.

        B, KERENTANAN HIDUP
Dalam sebuah rilisnya, Department of Families, Housing, Community Services and Indigenous Affairs (FaHCSIA), Australia (2009), menyatakan bahwa perempuan bukanlah kelompok yang homogen, sehingga tidaklah mungkin satu pendekatan penanganan bisa cocok untuk semua. Namun persoalannya, bagaimana rencana penanganan berfokus untuk  membantu para wanita dalam berbagai keadaan dan dari berbagai latar belakang. Perempuan dari kelompok tertentu dalam masyarakat lebih rentan mengalami kekerasan dari orang lain. Persoalan lain adalah sejauh mana mereka memiliki akses pada  layanan yang mereka butuhkan. Adapun kelompok perempuan rentan terutama adalah:
a.                 Perempuan yang mengalami pelecehan seksual.
b.                 Anak-anak perempuan yang menyaksikan dan hidup dalam  kekerasan.
c.                  Perempuan penyandang cacat yang lebih mungkin mengalami  kekerasan seksual  lebih parah dibanding yang lain.
d.                 Perempuan yang tinggal di daerah pedesaan dan terpencil, lebih mungkin mengalami kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
e.                  Imigran dan pengungsi perempuan lebih mungkin mengalami kekerasan.
f.                  Perempuan yang sedang hamil yang mengalami kekerasan dari pasangannya selama kehamilan.
g.                  Perempuan yang mengalami kesulitan ekonomi dan kemiskinan.
h.                 Perempuan  tunawisma yang sangat rentan terhadap kekerasan.
i.       Perempuan  yang terkena HIV / AIDS.
j.       Perempuan yang telah mengalami situasi  konflik.
k.     Perempuan dengan kondisi kehidupan yang keras dan  kumuh.
Semua kelompok-kelompok ini dianggap sebagai kelompok  rentan yang mudah terkena risiko dan guncangan. Semua kelompok ini memiliki kesamaan, yaitu  kelangkaan aset atau kesulitan dalam mengakses aset, sehingga membuat mereka lebih rentan. Namun dengan berbedanya jenis risiko  yang dihadapi, mereka membutuhkan solusi yang berbeda pula.
Hasil penelitian LSM  APT Enterprise Development, memperlihatkan  masih banyaknya orang yang mengaburkan makna kerentanan dengan kemiskinan. Padahal kedua istilah memiliki substansi yang berbeda. Kemiskinan sangat terkait dengan kondisi kekurangan, sedangkan kerentanan berkaitan dengan kondisi ketidakberdayaan terhadap risiko dan guncangan.
Dengan demikian konsep kerentanan dapat didefinisikan sebagai kondisi ketidakberdayaan yang membuat orang lebih rentan terhadap risiko dan mengalami guncangan tanpa mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Bahkan orang rentan yang hidup dalam kemiskinan menghadapi kendala untuk mengatasi kekurangan mereka, karena kelemahan dalam memanfaatkan peluang yang menguntungkan.
Kerentanan dan kelompok rentan adalah konsep penting dalam sistem perawatan kesehatan saat ini. Kelompok rentan adalah kelompok sosial yang mengalami kesenjangan kesehatan sebagai akibat dari kurangnya sumber daya dan meningkatnya risiko. Beragam kelompok rentan yang paling banyak adalah perempuan yang hidup dalam kemiskinan, mereka yang terpinggirkan oleh preferensi seksual, dan mereka yang berstatus imigran. Kelompok rentan juga termasuk ibu yang berisiko tinggi, orang-orang dengan penyakit AIDS, dan perempuan  tunawisma.
Banyak perempuan menjadi rentan akibat keadaan keuangan mereka atau tempat tinggal, kesehatan, usia, karakteristik pribadi, kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, dan diidapnya  penyakit kronis atau kecacatan. Populasi rentan dipandang  kurang mampu merawat diri sendiri di tengah kondisi kesehatannya yang terus berubah. Institut Kesehatan Nasional di Amerika mendefinisikan populasi rentan adalah mereka yang mengalami perbedaan yang signifikan dengan tingkat keseluruhan kejadian penyakit, prevalensi, morbiditas, mortalitas, dan tingkat kelangsungan hidup antara kelompok-kelompok populasi tertentu dibandingkan dengan status kesehatan dari populasi umum.
Sebuah tinjauan evolusi pengetahuan tentang populasi rentan di tahun 1990-an menunjukkan bahwa tingginya eskalasi biaya yang berkaitan dengan penyediaan layanan kesehatan dan semakin banyaknya penduduk tanpa akses pada perawatan kesehatan. Dengan demikian,  kesejahteraan penduduk yang rentan sangat  terkait dengan kesehatan bangsa. Untuk itu,  sumber daya populasi rentan merupakan  fokus dari program layanan kesehatan. Karena populasi yang rentan memiliki sedikit sumber daya untuk memperbaiki kondisinya, mereka mempunyai risiko yang sangat besar untuk dapat mengembangkan masalah dan berhadapan dengan penderitaan.
Banyak perempuan yang juga menderita efek dari penyakit kronis. Mereka melaporkan bahwa dengan keadaan itu terasa mengganggu pekerjaan atau  kehadiran mereka di sekolah. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya rencana karir dan bertambahnya pengangguran, yang  pada  akhirnya menimbulkan situasi keuangan yang tidak stabil dan atau kehilangan pekerjaan. Kenyataan ini menjelaskan adanya faktor penting untuk meningkatkan status kesehatan dan kualitas hidup pada kelompok rentan.

 C. KEBERFUNGSIAN SOSIAL
Keberfungsian sosial merupakan ekspresi interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya. Keberfungsian sosial merupakan hasil atau produk dari aktivitas orang dalam berelasi dengan sekelilingnya. Jadi keberfungsian sosial berkaitan dengan hasil interaksi orang dengan lingkungan sosial (De Gusman, 1982). Dijelaskan oleh Zastrow (1982) bahwa manusia senantiasa hidup dalam berbagai sistem, seperti sistem keluarga, pelayanan sosial, politik, pekerjaan, keagamaan, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Interaksi orang dengan sistem-sistem tersebut mempengaruhi tingkat keberfungsian sosial mereka. Dalam hal ini interaksi yang kondusif akan menyebabkan orang mampu memenuhi kebutuhan, melaksanakan tugas, dan mencapai tujuan hidup. Namun sebaliknya, jika interaksinya kurang baik akan menyebabkan orang tersebut mengalami masalah.
Sedangkan Siporin (1975) menyatakan bahwa keberfungsian sosial merupakan suatu cara yang menggambarkan perilaku orang. Cara atau perilaku tersebut dilakukan oleh individu, keluarga, organisasi maupun masyarakat. Dalam konteks yang demikian,  kelompok perempuan rentan merupakan orang yang mengalami masalah dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Konsep keberfungsian sosial mencakup empat tingkatan, yakni tingkatan individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Bila perempuan rentan dipandang sebagai individu yang mengalami masalah dalam interaksi sosialnya, maka karakteristik keberfungsian sosialnya akan berkisar pada masalah:
a.                 Kemampuan dalam melaksanakan peranan sosial dalam kehidupan.
b.                 Kemampuan menjalin relasi positif dengan orang lain.
c.                  Kemampuan dalam menghargai diri sendiri.
Namun bila para perempuan rentan tersebut telah bersatu dalam sebuah kelompok yang secara relatif mempunyai permasalahan yang sama, maka soal karakteristik keberfungsian sosialnya akan berkisar pada bagaimana kemampuan mereka dalam hal:
a.                 Merumuskan tujuan dan aktivitas kelompok.
b.                 Interaksi positif di antara anggota kelompok.
c.                  Rasa memiliki terhadap kelompok.
d.                 Kohesivitas kelompok.
e.                  Identitas, norma, dan nilai kelompok.
Pada tingkatan organisasi, karakteristik keberfungsian sosial mencakup:
a.                 Adanya visi dan misi organisasi beserta tujuannya.
b.                 Adanya program kerja organisasi.
c.                  Tersedianya sumber daya yang memadai.
d.                 Terlaksananya prinsip-prinsip organisasi.
e.                  Terlaksananya fungsi-fungsi administrasi dalam organisasi.
Sedangkan pada tingkatan masyarakat, karakteristik keberfungsian sosial tersebut adalah sebagai berikut:
a.     Adanya identitas masyarakat yang menyangkut lokasi, nama, sejarah, dan sebagainya.
b.     Kondisi kependudukan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan sebagainya.
c.      Adanya program pembangunan masyarakat.
d.     Tersedianya sumber daya masyarakat.
e.      Terwujudnya jaringan kerja masyarakat, baik secara internal maupun eksternal. 
Dalam kaitan ini, terdapat tiga dimensi keberfungsian sosial yang senantiasa akan mewarnai kehidupannya sehari-hari, yakni:
a.                 Kepuasan berperan dalam kehidupan.
b.                 Relasi positif dengan orang lain.
c.                  Perasaan menyukai atau menghargai.
Dengan berlandaskan pada perspektif pemikiran Sukoco (1991), bahwa keberfungsian sosial orang sangat berkaitan dengan cara pandang orang tersebut dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, soal keberfungsian sosial tidak lepas dari soal peranan sosial dan status sosial. Pada kelompok perempuan rentan dapat dipandang adanya kekurangmampuan dalam melaksanakan peranan sosial yang dituntut oleh lingkungannya. Ketidakmampuan dalam melakukan peranan sosial ini dimungkinkan karena mereka menghadapi masalah dalam dirinya.
Di samping itu, mereka juga mempunyai pikiran yang khas tentang status sosialnya. Padahal status sosial berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Kelompok perempuan rentan ini biasanya mengalami permasalahan yang dicirikan dengan adanya ketimpangan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya.
Dari pespektif pemikiran tersebut kemudian dapat dielaborasi tentang keberfungsian sosial kelompok perempuan rentan sebagai berikut:
a. Keberfungsian sosial sebagai wujud kemampuan dalam melaksanakan peranan sosial.
Peranan sosial merupakan peranan yang diharapkan dapat ditampilkan oleh orang yang berada dalam suatu kelompok masyarakat. Bagi kelompok perempuan rentan terdapat masalah sehingga mereka tidak dapat memenuhi peranan sebagaimana yang diharapkan lingkungan sosialnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut:
1). Setiap orang mempunyai status sosial yang bersifat multidimensional. Hal ini mengandung pengertian bahwa pada diri setiap orang sesungguhnya memiliki banyak status sosial. Namun kelompok  perempuan rentan mengalami kesulitan dalam menjalankan berbagai statusnya yang dimilikinya.
b). Kelompok perempuan rentan cenderung mengalami gangguan interaksi dengan orang yang terdekat dengan mereka.
c). Kelompok perempuan rentan kurang dapat memenuhi tuntutan tingkah laku yang harus dilaksanakannya.
d). Kelompok perempuan rentan kurang dapat memaknai situasi sosial yang dihadapinya. Siporin (1975) menyebutkan bahwa  situasi sosial dapat dikatakan fungsional apabila dicirikan dengan hal-hal sebagai berikut:

       (1). Situasi sosial yang secara struktural memadai dengan ciri-ciri:
(a). Menyediakan materi dan tenaga yang cukup.
(b). Kondisi ekologis yang memadai.
(c). Relasi yang baik dan wajar.
(2). Situasi sosial yang secara struktural memadai dengan ciri-ciri:
(a). Mempunyai nilai, norma, dan sanksi.
(b). Mempunyai tertib moral.
(c). Mempunyai identitas yang efektif.
(3). Proses-proses yang ada dalam situasi sosial dapat berjalan secara efisien dan terarah kepada pencapaian tujuan.
(4). Situasi sosial secara menyeluruh dapat terlihat dengan jelas, konsisten dan relatif stabil walaupun situasi sosial tersebut memberikan kemungkinan untuk mengadakan penyesuaian dan perubahan.
(5). Situasi sosial tersebut menyediakan kesempatan, sumber, dan pelayanan yang dibutuhkan.
(6). Situasi sosial tersebut memberikan dorongan dan tuntutan serta memberikan sanksi dan imbalan yang wajar. Artinya tidak terlalu berat dan juga tidak terlalu ringan serta memungkinkan adanya kreativitas.
(7). Situasi sosial tersebut menyediakan imbalan atau meningkatkan identitas, harga diri dan kesadaran akan kompetensi individu maupun kelompok sebagai kesatuan.
(8). Situasi sosial tersebut mendorong kesadaran akan adanya kenyataan kehidupan yang menuntut dan perlu dihadapi dengan keterampilan yang dimiliki.
(9). Situasi sosial tersebut memberikan kemungkinan kepada anggotanya untuk berhubungan dengan orang lain.

b.  Keberfungsian sosial sebagai wujud kemampuan dalam memenuhi kebutuhan.
Semua orang mempunyai kebutuhan dalam kehidupannya. Ada orang yang dapat memenuhi kebutuhannya itu dengan baik, tetapi sebagian yang lain mempunyai permasalahan dalam memenuhinya. Karena faktor kemampuan atau situasi, kelompok perempuan rentan tak cukup memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar. Dalam hal ini Sukoco (1991) menjelaskan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi kebutuhan manusia, yakni:
1). Bahwa kebutuhan manusia pada prinsipnya bersifat jamak, artinya kebutuhan manusia itu lebih dari satu. Kebutuhan manusia tersebut merupakan sekumpulan dari kebutuhan dasarnya.
2). Terdapat beberapa kebutuhan manusia yang sebenarnya merupakan karakteristik dari konteks kebudayaan yang dimilikinya. Manusia yang berada dalam masyarakat tertentu akan dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat tersebut. Dengan demikian kebutuhan manusia juga dipengaruhi oleh kebudayaannya.
3). Sistem kebutuhan setiap individu sangat tergantung dari perkembangannya. Selain perkembangan fisik, jenis kebutuhan juga dipengaruhi oleh perkembangan psikis.

c.  Keberfungsian sosial sebagai wujud kemampuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari, sudah pasti setiap orang pernah dihadapkan pada sebuah permasalahan. Kesuksesan seseorang dalam mengatasi permasalahan mengandung makna kesuksesan pula dalam perjalanan hidupnya. Namun bagi kelompok perempuan rentan terdapat persoalan yang menunjukkan adanya keterbatasan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya.  


      D. PELAYANAN SOSIAL BAGI PEREMPUAN
Sebagai bahan telaahan, di bawah ini disajikan model pelayanan terhadap beberapa kelompok perempuan rentan:
a. Model Pelayanan Bagi Perempuan yang Rentan Masalah Kesehatan
Secara tradisional, kerentanan telah ditangani dengan sumber daya eksternal atau materi, yang berorientasi pada  bantuan keuangan. Namun penelitian yang berkaitan dengan model pelayanan terhadap kelompok rentan memperlihatkan bahwa terdapat keterkaitan antara ketersediaan sumber daya relatif dan risiko relatif terhadap status kesehatan dengan berfokus pada penyediaan sumber daya ekonomi dan sosial yang diperlukan untuk memberdayakan individu-individu yang rentan.
Ketersediaan sumber daya dianggap mendasar agar mereka dapat  berpartisipasi dalam pencegahan, kebersihan, dan pengobatan. Risiko relatif didefinisikan sebagai perbedaan risiko kelompok sosial dalam kesehatan. Dengan kata lain, risiko relatif adalah rasio kesehatan buruk pada kelompok berisiko yang tidak memiliki sumber daya dibandingkan dengan kelompok berisiko yang memiliki sumber daya. Status kesehatan dilihat pada sebuah kontinum dari kesehatan yang baik sampai mereka meninggal.
Model lain dalam perspektif teoretis kerentanan adalah model stres-diatesis. Model ini  diperoleh dalam upaya untuk mencari jalan terbaik dari berbagai kompleksitas gejala dan hasil dialami oleh mereka yang terkena dampak skizofrenia. Model ini menggambarkan interaksi antara faktor fisik, psikologis, dan lingkungan. Perspektif teoretis kerentanan berasal dari penelitian Dohrenwend & Dohrenwend (1978) yang menyatakan bahwa proses mediasi memainkan peran untuk mengurangi  dampak dari peristiwa stres dalam kehidupan.
Baik model populasi rentan maupun model stres-diatesis mempertimbangkan kualitas hidup sebagai suatu hasil. Dari beberapa kajian tentang kelompok perempuan rentan, diperlukan penerapan teori self manajemen untuk yang berfokus pada peningkatan status kesehatan dan kualitas hidup.. Model ini menjelaskan faktor penting yang dapat memprediksi status kesehatan dan kualitas hidup  dalam kelompok rentan. Teori Self-Manajemen untuk kelompok rentan menggabungkan konsep-konsep dari kedua teori serta pengaruh-pengaruh lain pada status kesehatan dan kualitas hidup.
Teori self-manajemen untuk kelompok rentan menyarankan pendekatan alternatif untuk menangani  kerentanan dengan menangani manajemen perawatan diri dan faktor-faktor intra-pribadi ganda untuk memainkan peran penting yang berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk mengelola penyakit. Konsep utama dalam model ini adalah faktor-faktor kontekstual, kerentanan, faktor intrapersonal, manajemen perawatan diri, status kesehatan, dan kualitas hidup. Faktor intra-personal memediasi hubungan antara kerentanan dan manajemen perawatan diri termasuk menghadapi perilaku, pengetahuan, dan dukungan sosial.
Meskipun teori self-manajemen untuk kelompok rentan menekankan peran individu dalam manajemen diri, tetapi manajemen perawatan diri dipengaruhi oleh faktor kontekstual, termasuk nilai-nilai masyarakat dan sumber daya masyarakat.
Teori ini mengasumsikan bahwa orang-orang dengan penyakit kronis merupakan pertemuan dua faktor yang dimodifikasi dan non-modifikasi yang dapat meningkatkan kerentanan mereka. Kerentanan didefinisikan sebagai kombinasi dari kedua faktor tersebut  yang dapat meningkatkan risiko terhadap  kesehatan yang buruk dan mempengaruhi kemampuan individu untuk mengelola penyakit mereka. Faktor yang dimodifikasi meliputi situasi ekonomi (misalnya, pendapatan tahunan dari semua sumber), pendidikan,  dan kondisi kehidupan (termasuk tempat tinggal). Sedangkan faktor-faktor non-modifikasi meliputi umur, ras/latar belakang etnis, penyakit kronis, dan gender.
Kerentanan merupakan hasil dari hubungan antara  lingkungan dan sumber daya pribadi. Orang yang sering dirawat di rumah sakit mungkin menunjukkan kepasifan atau justru agresivitas saat berinteraksi. Perilaku ini tidak memfasilitasi manajemen perawatan diri atau meningkatkan kualitas hidup. Di sinilah diperlukan adanya ketegasan sikap.Ketegasan didefinisikan sebagai satu teknik perilaku yang memungkinkan individu untuk mandiri atas hak-hak mereka tanpa melanggar hak orang lain. Ketegasan sikap seperti ini mungkin berguna untuk orang yang menghadapi perjuangan seumur hidup dengan penyakit kronis. Pada individu dengan penyakit serius, pelatihan ketegasan dianggap bermanfaat untuk meningkatkan ketegasan, kontrol internal,  dan cara-cara yang positif untuk mengatasi penyakit yang serius.
Selain itu, kelompok rentan juga dituntut untuk dapat mengatasi perilaku.
Mengatasi perilaku didefinisikan sebagai strategi kognitif yang digunakan untuk menguasai kondisi bahaya, ancaman, atau tantangan ketika respon normal atau rutin tidak tersedia. Pada gilirannya, ketidakberdayaan dan rendahnya kemampuan dalam mengelola diri akan berakibat pada kekuatan fisik dan stamina psikologis.
Pelatihan keterampilan coping kognitif telah terbukti dapat meningkatkan upaya mengatasi dan mengurangi berpikir negatif.  Strategi penanganan dapat berbentuk relaksasi, penumbuhan citra, menenangkan diri, atau reinterpretasi dari sensasi sakit. Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang memungkinkan seseorang dapat mengambil keputusan perawatan diri. Mengetahui implikasi dan efek dari penyakit kronis adalah unsur penting bagi individu untuk memikul tanggung jawab utama dalam  mengelola kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, orang yang  mengerti situasi krisis, akan dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau mengurangi krisis tersebut. Kualitas hidup kelompok rentan dapat diperbaiki ketika mereka memiliki pengetahuan.
Di samping itu, diperlukan keyakinan individu tentang kemampuan mereka untuk mencapai hasil kesehatan yang diinginkan. Fokus keyakinan adalah  bahwa mereka dapat menjalankan kontrol atas motivasi, perilaku, dan lingkungan sosial. Hal itu dapat menjadi penentu penyesuaian terhadap penyakit kronis. Bersamaan dengan itu, diperlukan adanya dukungan sosial. Dukungan sosial  mengacu pada pemberian, bantuan simbolik atau bahan yang diperlukan. Harga diri, ketegasan, dan dukungan sosial adalah faktor  signifikan dari fungsi sosial, kesehatan mental, dan persepsi kesehatan.
Meskipun penelitian tentang peranan dukungan sosial dalam kesehatan orang kelompok rentan ini masih terbatas, tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa sangat dibutuhkan dukungan sosial yang terus menerus. Dukungan yang diperlukan dari penyedia layanan keluarga dan kesehatan. Dukungan dari keluarga dapat meningkatkan kepatuhan dan berkurangnya depresi. Ada pun dukungan dari penyedia layanan kesehatan dapat meningkatkan kepuasan dengan sistem pelayanan kesehatan.

b.  Model Pelayanan Bagi Perempuan yang Rentan Masalah Psikologis
The Refugee Council’s Vulnerable Women’s Project melaporkan tentang perempuan pengungsi yang dieksploitasi seksual dan berada dalam ketakutan. Bahkan sebagian besar dari mereka  mengatakan  mungkin melakukan bunuh diri. Data yang diperoleh bahwa di antara mereka sebanyak  76% telah diperkosa, 15% hamil,  5% punya anak akibat diperkosa, 35% mengalami beberapa bentuk kekerasan,  22% telah mengalami pelecehan seksual,  9% pernah diancam perkosaan,  27% memiliki luka fisik,  76% mengalami trauma psikologis, dan sebanyak  20% memiliki masalah ginekologi.
Dengan demikian jelas bahwa perkosaan merupakan  peristiwa yang sangat menghancurkan dan berdampak tidak saja pada aspek  fisik, psikologis, dan kesehatan korban, tetapi juga terhadap  keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Sifat dari perkosaan dan kekerasan seksual dapat menyebabkan kerusakan fisik. Korban mungkin sangat cemas ketika berbicara tentang kesehatannya.
2). Secara psikologis, segera setelah serangan pemerkosaan, akan merasa shock, dan merasa bahwa mereka telah kehilangan kontrol atas hidup. Dalam jangka panjang, berbagai macam reaksi yang berbeda dapat diamati, seperti gelisah, sakit kepala, depresi, berkurangnya harga diri dan rasa bersalah.Dampak perkosaan, memunculkan rasa putus asa tentang masa depan dapat menyebabkan beberapa perempuan untuk berpikir tentang bunuh diri.
Terhadap kasus seperti ini perlu dilakukan asesmen dengan penanganan yang yang hati-hati, karena  sulit bagi seorang wanita untuk membahas perkosaan. Asesmen  ini mungkin perlu berlangsung selama beberapa sesi. Mereka seyogianya ditanya tentang perkosaan ketika mereka telah memiliki  kepercayaan. Semakin merasa aman, akan semakin besar kemungkinannya  untuk dapat mengungkapkan perasaannya. Dua hal esensial dalam proses ini adalah:
1). Menciptakan lingkungan yang aman dan hubungan kepercayaan
2). Tidak menghakimi dan menunjukkan empati terhadap klien.
Banyak pengungsi perempuan akan mengungkapkan sejarah peristiwa traumatis di tempat asal mereka,termasuk periode penahanan yang melibatkan penyiksaan dan pemerkosaan. Namun, perkosaan dan kekerasan seksual dapat terjadi di banyak konteks yang berbeda. Hal ini penting untuk memberi kesempatan kepada klien untuk menceritakan kisahnya dengan caranya sendiri karena hal tersebut dapat membawa kenangan menyakitkan dan emosi. Beberapa klien dapat kembali trauma ketika  harus berbicara tentang penderitaan mereka. Maka mereka perlu diberikan waktu agar perasaan klien menjadi pulih di akhir wawancara. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah:
1). Berbicara dengan tenang,  bergerak perlahan dan lembut.
2). Memberitahu klien tentang apa yang  akan dilakukan dan berapa lama kemungkinan waktu penanganan.• Mulailah dengan menanyakan tentang hal umum terlebih dahulu, dan kemudian bergerak menuju pertanyaan tentang pemerkosaan ketika klien telah merasa siap untuk diwawancarai.
3). Biarkan klien untuk memutuskan kapan untuk memulai wawancara dan kapan  dia membutuhkan istirahat.  Pekerja sosial harus mengeksplorasi persepsi klien tentang bagaimana budayanya akan melihat kejadian itu. Bagaimana perasaan klien tentang dirinya sendiri dan keluarganya. Dia mungkin berbicara tentang mimpi buruk, ketakutan, kilas balik, gangguan pikiran, kesedihan, perasaan kehilangan atau khawatir. Soal pola tidur, nafsu makan dan perawatan diri juga harus dipertimbangkan. Hal lain  juga perlu dicatat, misalnya ekspresi klien (marah, bingung, dan menangis). Apakah ada perbedaan antara yang dia katakan dengan ekspresi muka yang tampak? Apabila  pekerja sosial tidak yakin atau merasa  kurang pengetahuan dan  pengalaman untuk membuat semacam penilaian, maka rujukan harus dibuat kepada pihak lain seperti psikiater.
Dalam kaitan inilah dukungan keluarga diperlukan. Klien kadang-kadang tidak dapat melaporkan atau  mengungkapkan perkosaan kepada keluarga atau teman mereka karena takut disalahkan atau diasingkan. Hal seperti itu adalah stigma yang melekat pada kasus pemerkosaan di beberapa kebudayaan. Hal ini dapat menyebabkan masalah di mana seorang perempuan menunjukkan tanda-tanda  yang berbahaya secara psikologis, seperti berteriak di malam hari.
Beberapa perempuan melaporkan harus meninggalkan anak-anak mereka di tempat  asal ketika mereka pergi, karena mereka berpikir akan lebih aman. Namun hal ini dapat menambah perasaan kecemasan dan rasa bersalah, terutama jika dia  telah pergi selama beberapa tahun. Klien juga mungkin khawatir tentang anggota keluarga yang  masih di tempat asal atau sedang melakukan perjalanan. Mereka mungkin telah kehilangan kontak dengan keluarga mereka dan khawatir untuk keselamatan mereka.
Oleh karena itu, dengan memiliki jaringan dukungan yang kuat dapat menjadi faktor pelindung  bagi perempuan. Tetapi perlu dipahami bahwa betapa penting dukungan jaringan tersebut. Namun apakah dia merasa dapat mengakses dukungan tersebut? Keluarga sangat penting untuk memberi dukungan. Tetapi dalam situasi yang sebaliknya bisa uga menambah masalah, misalnya dengan  menyalahkan perempuan korban  pemerkosaan itu  atau dengan tidak mempercayai kisahnya.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah  memperhatikan  apa yang dilakukan klien di siang hari. Dengan begitu diharapkan dapat mengungkapkan lebih jauh tentang bagaimana mereka dipengaruhi oleh  pengalamannya. Seorang perempuan yang sangat jarang pergi keluar dan menghabiskan sepanjang hari di tempat tidur mungkin merasa tertekan dan cemas diserang rasa traumatis lagi. Namun seorang wanita yang suka mengalami tidur dengan mimpi buruk, dengan masih  mampu mengikuti kursus bahasa Inggris setiap hari misalnya, mungkin akan menghadapi hal yang  lebih baik dan menunjukkan tanda-tanda  ketahanan  atau kapasitas kepribadian yang tidak terlalu terpengaruh oleh kejadian traumatik.
Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mendorong klien agar lebih aktif setiap 
hari dan melaksanakan apa yang ingin mereka lakukan, misalnya dengan belajar atau menjadi  sukarelawan. Hal ini  dapat memupuk ketahanan dan pemulihan dengan mengarahkan klien pada kegiatan yang positif agar aspek kepribadian mereka terselamatkan dari trauma perkosaan. Diharapkan pula dapat mendorong mereka untuk berpikir ke masa depan, tidak kembali ke masa lalu, dan dapat membantu pemulihan dari dampak peristiwa itu sendiri. Membangun kembali rutinitas normal dengan sendirinya  akan  menjadi terapi yang menguntungkan.

       D. PENANGANAN PEREMPUAN RENTAN
Kemiskinan dapat menempatkan wanita pada risiko dan kerentanan. Perumahan yang buruk atau kurangnya perumahan, dapat mempengaruhi tingkat ketahanan mental seseorang. Banyak perempuan tinggal dalam keluarga dengan rumah yang tidak memadai dan penuh sesak oleh para penghuninya. Di titik inilah terasa penting menyediakan ruang dalam rumah yang lebih nyaman dan aman melalui berbagai layanan.
Banyak kita saksikan kelompok perempuan yang mengalami kondisi seperti ini tanpa memiliki akses pada sistem sumber yang ada. Mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang permanen. Mereka terkadang tinggal bersama orang yang mereka kenal di masyarakat, atau bertemu tunawisma untuk menghabiskan beberapa malam di berbagai tempat. Hal seperti itu dikenal sebagai "sofa-surfing". Dalam kondisi seperti inilah perempuan menjadi sangat rentan, misalnya melakukan seks bebas dengan laki-laki asing dengan imbalan tempat tinggal. Mereka juga bisa menjadi korban perkosaan dengan cara ditipu dengan berpura-pura menawarkan tempat tinggal.
Kondisi ini pun mempunyai hubungan kuat dengan  kondisi psikologisnya. Apabila keinginan untuk mendapatkan perlindungannya  ditolak akan mengakibatkan kesedihan dan kecemasan yang pada tahapan tertentu dapat menjadi stres. Bagi para pekerja sosial, sangat penting memahami kondisi klien dan mengupayakan mereka untuk mendapatkan perlindungan. Sebab kalau tidak, bisa saja kelompok perempuan rentan ini mengambil  keputusan negatif yang kemudian akan memperburuk kecemasan yang telah dialaminya.
Pekerja sosial harus selalu mengeksplorasi perasaan klien, apakah dia memiliki akses ke segala bentuk dukungan keuangan? Jika tidak, apakah mereka berhak menerima bantuan? Dengan upaya-upaya yang terencana,  diharapkan klien akan dapat menerima dukungan keuangan dan akomodasi melalui program-program yang ada.
Klien disediakan ruang yang nyaman untuk mengeksplorasi perasaan mereka. Pekerja sosial berupaya menjadi pendengar yang baik, penuh empati, dan menggunakan segala keterampilannya untuk membangun kepercayaan klien. Pekerja sosial juga berupaya melakukan advokasi untuk  mendapatkan hak-hak mereka.
Dengan upaya itulah diharapkan akan tereksplorasi tentang potensi kemampuan klien untuk mengatasi dan mencari jalan keluar. Bagaimana misalnya melihat klien dari diri sebagai (misalnya) "tidak berdaya" menjadi ”berdaya”. Namun teknik tersebut harus digunakan dengan  tepat dan meletakkan persoalan pada realitas aktual.

       E. KESIMPULAN
Dewasa ini terdapat kecenderungan kian meningkatnya kelompok perempuan rentan dalam hal  ekonomi, sosial, kesehatan, psikologis, pendidikan, maupun kekerasan. Kerentanan merupakan  kondisi ketidakberdayaan yang membuat orang lebih rentan terhadap risiko dan mengalami guncangan tanpa mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Kondisi kerentanan ini sangat berdampak terhadap kemampuan keberfungsian sosial mereka.
Dalam keadaan ketidakberdayaan, tentu saja mereka menjadi kesulitan melakukan fungsi sosialnya secara efektif, menyangkut kemampuannya dalam melaksanakan peranan sosial dalam kehidupan, kemampuan menjalin relasi positif dengan orang lain, termasuk kemampuannya dalam menghargai diri sendiri.
Karena itu diperlukan model-model pendekatan yang tepat agar mereka dapat melakukan keberfungsian sosial berupa  kemampuan dalam melaksanakan peranan sosial, kemampuan  memenuhi kebutuhan, serta  kemampuan dalam memecahkan permasalahan. Dengan demikian diharapkan, mereka yang berada dalam kelompok rentan ini dapat keluar dari lingkaran ketidakberdayaannya menuju kemampuan yang diperlukan dalam menjalani kehidupan.

F. REKOMENDASI
Dalam upaya meningkatkan keberfungsian sosial kelompok rentan, terutama dalam hubungannnya dengan peningkatan kemampuan dalam melaksanakan peranan sosial, memenuhi kebutuhan, dan memecahkan permasalahan yang dihadapinya, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
a.  Bagi kelompok perempuan yang rentan terhadap masalah kesehatan, diperlukan penerapan teori self manajemen  yang berfokus pada peningkatan status kesehatan dan kualitas hidup.
b.  Bagi kelompok perempuan yang rentan terhadap masalah psikologis, diperlukan upaya untuk mendorong mereka agar lebih aktif setiap  hari dan melaksanakan apa yang ingin dilakukan, misalnya dengan belajar keterampilan atau menjadi  sukarelawan.
c.  Bagi kelompok perempuan yang rentan terhadap masalah sosial dan ekonomi, diupayakan dengan membukakan akses pada sistem sumber dan mengakomodasikannya dalam program-program yang relevan.


PUSTAKA ACUAN

Firdaus, M. dkk,  2010, More is needed (Social  Watch Report 2010), New York.

 

http://www.facs.gov.au/Pages/default.aspx

http://www.refugeecouncil.org.uk/Resources/Refugee%20Council/downloads/researchreports/RC%20Vulnerable%20Women%20GPG%20%20v2b.pdf

Primair Online, 2010

Serafica, Leonora-Guzman, de., 1983, Fundamentals of Social Work, Schools of Social Work Association of the Philipines, Manila.

Siporin, Max, 1975, Introduction to Social Work Practice, Macmillan Publishing Co, Inc, New York.

Sukoco, Dwi Heru, 1991, Profesi Pekerjaan Sosial, STKS, Bandung.

Zastrow, Charles, 1982, Introduction to Social Welfare Institutions; Social Problems, Services and Social Issues. The Dorsey Press, Illinois.





BIODATA

Drs. Aan Zainal Hafid, M. Si, lahir di Ciamis, Jawa Barat, pada 12 Desember 1966. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tahun 1991 dan S2 Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia (UI) pada 1998. Penulis yang pernah bekerja di Kanwil Depsos Provinsi Riau ini, kini mengabdikan diri di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Bandung sebagai Kepala Instalasi Laboratorium Praktikum Profesi Pekerjaan Sosial dan Media.









No comments:

Post a Comment