Search This Blog

Search This Blog

Thursday, January 8, 2015

HASIL PENELITIAN ASHA TENTANG PARTISIPASI ANAK


           UU RI No.23 tahun 2002 pasal 1 dan Konvensi Hak Anak Tahun 1999  pasal 12 menyatakan bahwa  partisipasi merupakan hak anak. Untuk itu keluarga, sekolah dan masyarakat serta Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Terutama terkait dengan - pendapat anak, kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul/berteman, akses terhadap informasi .
          Andy West (2009) Seorang ahli dan pemerhati anak dari Inggris  berpendapat bahwa partisipasi adalah anak memiliki kesempatan untuk : menyatakan pendapat, mempengaruhi pembuatan keputusan dan mencapai perubahan.  Selanjutnya dia juga memberikan pengertian tentang partisipasi anak merupakan keterlibatan anak berdasarkan pemahaman atas informasi dan sifatnya sukarela dari semua anak, mencakup mereka yang paling tersisihkan serta dari berbagai usia dan kemampuan, dalam hal apa pun yang berkaitan dengan mereka baik langsung maupun tak langsung. cara kerja dan prinsip penting yang berlaku lintas semua program dan terjadi di semua arena – dari keluarga, sekolah, masyarakat sampai pemerintahan, dari tingkat lokal sampai tingkat internasional.  
           Menurut Andy West  (2009) berdasarkan  kajian dan pengalaman kerjanya, maka disimpulkan bahwa  partisipasi  anak mempunyai tingkatan atau level sebagai berikut:
1.      Partisipasi Bermakna .
Partisipasi bermakna merupakan partisipasi yang berasal dari kesadaran dan inisiatif anak itu sendiri. Tergantung pada pilihan anak, keadaan dan hal-hal yang tepat dan realistis. Ini adalah kemitraan antar anak, antar anak dan remaja, dan antar anak, remaja dan orang dewasa. Partisipasi bentuk ini meliputi :
  1. Anak-anak dan remaja berbagi kuasa/kekuatan dan tanggung jawab untuk pengambilan keputusan
Ø  Bersama-sama diawali dan diarahkan oleh anak-anak dan orang dewasa. Peserta memutuskan berbagai peran dan tanggung jawab ke arah tujuan yang sama;
Ø  Diawali dan diarahkan oleh anak-anak dan remaja. Bentuk ini meliputi organisasi-organisasi anak dan remaja, yang mereka kelola dan jalankan untuk tujuan tertentu. Mereka mungkin memilih untuk melibatkan orang dewasa untuk beberapa aspek, tapi bukan membuat keputusan dan mengontrol tindakan.


  1. Anak-anak dan remaja terlibat dalam proses pengambilan keputusan
Ø  Diinisiasi oleh anak dan diinformasikan kepada orang dewasa. Anak-anak dan remaja memutuskan untuk mulai bertindak, dan berkolaborasi dengan orang dewasa untuk memutuskan bagaimana melakukan ini, dan peran dan tanggung jawab apa yang akan diemban oleh mereka yang terlibat
  1. Pandangan anak-anak dan remaja diperhitungkan
Ø  Diinisiasi oleh orang dewasa dan dinformasikan kepada anak dan remajaDisini orang dewasa memutuskan untuk bertindak, melibatkan anak-anak dan remaja dalam memutuskan apa dan bagaimana melakukannya, dan dalam peran dan tanggung jawab.
2.    Partisipasi Di dengar
Partisipasi Didengar merupakan partisipasi  yang didorong oleh orang dewasa kepada anak dan anak mengikuti kemauan  orang dewasa. Dalam arti dimana anak-anak dan remaja dapat dibimbing dan diberikan  informasi walau mereka tidak memiliki kontrol atas keputusan-keputusan.  Partisipasi bentuk Ini meliputi:
a.    Anak-anak dan remaja didukung dalam mengekspresikan pandangan-pandangan mereka
Ø  Anak-anak dan remaja dibimbing dan diinformasikan oleh orang dewasa yang mengontrol tindakan. Orang dewasa mencari dan menggunakan pandangan-pandangan dan opini-opini anak tentang apa yang harus dilakukan dan tetap terus menginformasikannya kepada mereka
b.    Anak-anak dan remaja didengar   
Ø  Anak-anak dan remaja ditugaskan tapi diinformasikan oleh orang dewasa yang memegang kontrol. Orang dewasa membuat keputusan sendiri, tapi memastikan tetap menginformasikan kepada anak-anak.
3.    Partisipasi  Manipulatif
Partisipasi manipulative mernupakan partisipasi yang direkayasa orang dewasa seolah-olah untuk kepentingan anak padahal hanya kepentingan semu saja. Dimana  orang dewasa menggunakan anak-anak untuk kepentingan dan  tujuan mereka sendiri.  Partisipasi-bentuk ini meliputi :
a. Tokenism.
Orang dewasa bertujuan untuk meningkatkan kesan kredibilitas dan ketrampilan mereka dengan membawa anak bersama mereka ke pertemuan dan perhelatan, atau menugaskan mereka ke pertemuan atau perhelatan tanpa persiapan dimana mereka tidak akan dianggap serius. Orang dewasa dapat mendorong atau memperkenankan anak untuk berbicara tapi tidak mempertimbangkan pandangan atau ide mereka
    b. Pretence
Orang dewasa mengadakan lokakarya atau perhelatan untuk menunjukkan bahwa anak-anak berbicara, tapi tidak memperhatikan apa yang mereka katakan. Orang dewasa bisa membuat forum anak tapi mengarahkannya seperti permainan dan event hiburan. Orang dewasa melakukan ini untuk kredibilitas atau karena diharuskan oleh donor, atasan atau agensi mereka.
      c. Decoration.
Orang dewasa mengambil atau mengirim anak-anak ke pertemuan atau perhelatan untuk mementaskan atau melakukan sesuatu untuk memberikan sesuatu untuk dilihat, warna, kecakapan, hiburan. Anak-anak mementaskan lagu, humor, lakon pendek atau memberikan bunga.
     d. Mouthpiece.
Orang dewasa megarahkan atau melatih anak dalam hal apa yang harus mereka katakan dan lakukan pada pertemuan dan perhelatan. Orang dewasa bisa mengambil alih atau berbicara untuk anak, menerjemahkan apa yang mereka katakan untuk tujuan kepentingan mereka sendiri.
Berdasarkan pandangan di atas, sebenarnya partisipasi anak di setiap masyarakat pasti ada, hanya secara cultural mempunyai perbedaan-perbedaan. Hal ini disebabkan adanya pandangan dan prilaku masyarakat yang dikotrol kuat oleh nilai-nilai dan norma bahkan keyakinan pada agama tertentu. Sehingga memunculkan adanya sikap egalitarian, semi egalitarian dan otoriter, baik dilingkungan rumah, sekolah maupun di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian asha dalam aspek partisipasi anak  berikut  ini :
A.Partisipasi Anak Di  Kabupaten TTU.
            Kondisi alam yang kurang subur dan gersang membawa kehidupan masyarakat di Kabupaten TTU harus berpikir dan bekerja keras memenuhi kehidupannya. Masa tanam bahan pangan seperti jagung dan ubi  dan lainnya hanya ada satu kali dalam satu tahun saat musim hujan datang dan itupun waktunya tidak terlalu lama. Sedangkan di musim kemarau yang panjang kondisi alam kering kerontang dan hanya tumbuh semak belukar, untuk kehidupan semakin sulit dan susah. Itulah sebabnya secara turun=temurun keluarga selalu mengajarkan kepada anak-anak bekerja keras dan dididik dengan keras juga.
        Selain itu tradisi dari Gereja Khatolik yang lebih mengutamakan kepatuhan umat kepada pemuka agama, membawa masyarakat di Kabupaten TTU lebih parthernalistik. Di setiap lingkungan RT/RW dibentuk persekutuan umat  atau kelompok umat basis (KUB) yang dikontrol oleh pemuka agama, yang secara langsung bersafiliasi dengan kegiatan ritual gereja sebagai sebuah koloni atau satu paroki. Kondisi alam dan cultural inilah yang membawa pengaruh hingga ketaat anak kepada orang tua atau orang dewasa sangat tinggi, dan kontrol serta kekuasaan orang dewasa sangat kuat.
        Itulah sebabnya orang tua atau orang dewasa lebih otoriter terhadap anak. Menyebabkan partisipasi anak baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat masih pada level 3 atau katagori partisipasi anak yang manipulative. Hal ini sesui dengan temuan penelilitan berikut ini:
1. Partisipasi Anak  Di rumah.
             Orang tua terutama Ayah menjadi tokoh sentral dalam keluarga di wilayah penelitian ini. Karena  pada umumnya Ayah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.  Selain itu tokoh Ayah merupakan penentu akhir dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, sedangkan mamah menjadi pendukung saja.. Sehingga kedudukan anak menjadi kurang penting dalam dalam pengambil keputusan dalam keluarga. Meskipun demikian terkadang ada beberapa orang tua juga memberi kesempatan kepada anak untuk mengajukan pendapat terkait dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan anak lainnya. Namun usulan dan pendapat anak tersebut sering tidak mendapatkan perhatian orang tua, sebagaimana pandangan anak  berikut ini: 
“Orang tua  memberikan kesempatan kepada anak untuk menyampaikan pendapat tetapi pendapat  itu tidak didengarkan” (fgd  Anak)
        Anak merasa bahwa mereka sudah ikut berpartisipasi  di rumahnya dengan cara mengemukakan pendapat dan keinginannya seperti dalam memilih makanan yang disukainya, pakaian untuk hari raya Natal, atau memilih sekolah yang diminatinya. Namun pendapat tersebut sering kali tidak direalisasikan oleh orang tuanya. Bahkan terkadang anak  marahi karena keinginannya itu tidak sesuai dengan kemauan orang tuanya sendiri.  Orang tua terutama Ayah sering tidak mau mendengarkan pendapat anak-anaknya dibandingkan dengan mama karena  Ayah terlalu sibuk bekerja di kebun maupun mencari nafkah bagi keluarga. Dan kalau pulang Ayah sudah capek dan marah bila dimintain pendapat, sebagai mana pandangan anak berikut ini:
“..kalau punya masalah bercerita sama mama. Kalau sama ayah suka tidak mau terima bahkan bisa marah”  (fgd.anak )

2.  Partisipasi Anak Di Sekolah
            Di lingkungan sekolah terutama ank SD dan SMP di wilayah penelitian, dalam system belajar mengajar  dikelas kurang bahkan jarang sekali menggunakan media diskusi sebagai sarana meningkatkan partisipasi anak di sekolah . Guru masih menggunakan model konvensional dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengajaran dan pendidikan. Guru masih satu-satunya sumber pengetahuan dan informasi bagi anak, dan anak tidak diberikan kesempatan untuk mencari sumber lain diluar guru. Guru menggangap anak perlu menerima materi belajar apa yang dikuasai guru saja, dan anak tidak  diajak diskusi di dalam kelas. Kekuasaan guru di sekolah adalah mutlak dan anak tidak boleh tau kegiatan di sekolah, selain belajar di kelas . Hal ini sesuai dengan temuan penelitian berikut ini:
“Guru kurang dan  jarang melibatkan anak dalam diskusi di kelas, apalagi kegiatan lain  diluar  kelas  tidak pernah sama sekali”. (FGD Anak)
      Anak merasakan bahwa ada guru yang memberikan pembelajaran dengan menyenangkan dan ada guru yang kurang menyenangkan, Guru yang menyenangkan biasanya guru yang mengajak anak siswanya bercerita atau mendongeng. Ini dirasakan oleh anak terutama dari guru perempuan dibandingkan dengan guru laki-laki, karena guru perempuan dianggapan menyabar dan membimbing. Sedangkan guru laki-laki dianggap mudah marah dan suka memberi hukuman kepada anak. Itulah sebabnya anak murid lebih suka mengusulkan pendapatnya kepada guru perempuan, sebagai mana pandangan berikut ini:
“Salah satu cara yang paling disukai dari guru perempuan adalah menyampaikan pelajaran dengan cara berdongeng dan bercerita dengan anak muridnya”  (fgd  anak)

3. Partisipasi Anak Di masyarakat
       Di lingkungan masyarakat, partisipasi anak semakin rendah, karena masalah sosial kemasyarakatan menjadi tanggung jawab orang dewasa terutama Ayah. Dunia di luar rumah dalam pandangan masyarakat di wilayah penelitian, merupakan wilayah yang penuh bahaya, sehingga hanya Ayah yang dianggap mampu menanganinya. Bahkan mama juga jarang dilibatkan dalam pertemuan atau pengambilan keputusan dalam masyarakat, apalagi anak yang masih dianggap terlalu muda. Sehingga ketika ada pertemuan di Lopo (tempat pertemuan) membahas persoalan masyarakat seperti musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) desa, anak belum dilibatkan karena  dianggap tidak penting. Hal ini sesuai dengan pandangan berikut ini:  
Anak tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan di tingkat RT/Kampung/Desa karena bagi mereka anak itu masih kecil dan suara anak  tidak diakomodir karena tidak penting” (FGD  Anak)
          Bagi anak  keterlibatan dalam pertemuan di masyarakat itu penting, agar anak dapat belajar dan bersosialisasi dengan orang dewasa. Namun orang dewasa masih mengganggap bukan tempatnya bagi anak terlibat dalam masalah  yang sulit-sulit. Untuk itu anak hanya dilibatkan dalam kegiatan keagamaan seperti membersihan Gereja  dan bernyanyi dalam paduan suara untuk kepentingan pelayanan umat. Hal ini sesuai dengan pandangan berikut ini:
Partisipasi anak dalam kegiatan keagamaan diantaranya sebagai putri altar, pemegang lambang kristus, anggota paduan suara, pembawa doa umat” (fgd anak)

B.Partisipasi Anak Di Kabupaten Rembang
    Kabupaten Rembang sebagian besar wilayahnya adalah daerah pesisir pantai dan pertanian sawah tadah hujan. Pekerjaan orang tua mereka pada umumnya adalah petani dan nelayan, dengan penghasilan yang berada dibawah Rp 1 juta rupiah. Meskipun mereka termasuk kelompok berpenghasilan rendah, namun masyarakatnya bersikap terbuka dalam mengemukakan pandangannya. Hal ini sebagai pengaruh dari pekerjaan mereka yang sering bekerja secara kelompok baik dalam mencari ikan maupun dalam mengelola sawah, mempengaruhi system komunikasi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
     Karena system kepercayaan dan religisitas masyarakat Kabupaten Rembang yang didominasi Kelompok Islam Nahdiyin atau Nahdatul Ulama (NU), maka mereka menganut patrimonial dimana umat sangat taat dan patuh kepada keputusan atau wejangan dari Kyai sebagai pemuka agama. Kyai merupakan panutan bagi masyarakat, sehingga petuahnya merupakan hokum tidak tertulis bagi masyarakat, bahkan bisa mengalahkan hokum Negara. Kondisi alam dan sosiokultural  masyarakat Kabupaten Rembang, kalau dilihat dalam kajian ini sebenarnya masyarakatnya tergolong semi egalitarian.
      Itulah sebabnya orang tua atau orang dewasa sudah mau memberi tempat kepada anak sebuah ruang untuk berpartisipasi baik di lingkungan ruamh, sekolah maupun masyarakat namun setengah hati. Sehingga partisipasi anak di wilayah penelitian ini  mencapai level 2 yaitu partisipasi yang didengar. Sebagaimana temuan dalam penelitian ini:
 1. Partisipasi Anak Di Rumah.
    Orang tua baik Bapak maupun ibu di wilayah penelitian ini, bahu membahu bersama bekerja mencari nafkah bagi keluarga. Orang tua terkadang melibatkan anak sebagai tenaga kerja subsisten yang tidak perlu menerima pembayaran upah. Itulah sebabnya anak dekat baik kepada Bapak maupun ibu, dan hubungan orang tua dengan anak tidak berjarak, mendorong terjadinya diskusi dan musyawarah dalam menentukan keputusan bagi kehidupan keluarga mereka. Anak juga mendapat tempat dalam musyarawarah keluarga untuk  kehidupan dan keperluan anak, sebagaimana pandangan berikut ini:
”Anak diajak musyawarah untuk memilih makanan, pakaian, pendidikan, dan keperluan anak lainnya” (FGD Anak)
        Anak merasa bahwa dirinya semakin berharga di mata keluarganya, karena selain dilibatkan dalam pekerjaan di rumah dan di sawah maupun di laut bersama-sama orang tua mereka,  Anak juga mendapat pujian atau penghargaan apabila mendapat prestasi di sekolah, meskipun mereka bekerja dengan keras namun tidak meninggalkan kepentingan dan prestasi belajar di sekolahnya. Sebagaimana pandangan berikut ini:
Orang tua wajib mengembangkan rasa bangga dan memberi penghargaan pada anak-anak mereka. Ekspresi kasih sayang dari orang tua  diwujudkan dengan memberikan pujian kepada anak yang berprestasi di sekolahnya” (fgd anak)
2. Partisipasi Anak  Di Sekolah
      Di lingkungan sekolah, guru-guru di wilayah penelitian ini telah menerapkan cara belajar siswa  aktif, Dimana guru sudah tidak menjadi sumber pembelajaran utama, tetapi muridlah yang harus mengembangkan diri sendiri dan mencari bahan belajar serta informasi sesuai kebutuhan di kelas. Ini sebagai kebutuhan murid untuk mengejar keterbatasan sumber pembelajaran yang tersedia di sekolah, sebagaimana pandangan berikut ini:
”Guru sering mengajak ngobrol dengan murid-murid untuk keperluan belajar, bahkan murid diajak mencari ditempat lainnya ”  (FGD Anak)
       Partisipasi anak di sekolah, tidak hanya itu saja, bahkan murid diajak gurunya untuk ikut memikirkan kegiatan-kegiatan sekolah yang ringan dan membawa murid untuk mampu mengorganisir diri dalam mengelola kegiatan di luar kelas yang memungkinkan menambah kemandirian murid. Sebagaimana pandangan berikut ini:
 “Murid diajak memikirkan sekolah yang ringan seperti ekstrakurikuler, mendekor ruang kelas, termasuk liburan dan rekreasi” (fgd anak)



3. Partisipasi Anak Di Masyarakat
       Di lingkungan masyarakat , anak mulai dilibatkan terutama terkait dengan  kegiatan sosial kemasyarakatan di tingkat desa. Partisipasi anak mulai meningkat terutama  dilibatkannya anak dalam pertemuan-pertemuan  tingkat rt/kampung bahkan desa. Hal ini disebabkan di wilayah penelitian sudah dibentuk lembaga perlindungan anak tingkat desa yang salah satu anggotanya adalah anak. Namun kehadiran anak dalam setiap kali pertemuan belum sepenuhnya berarti, karena mereka masih dianggap sebagai anak kecil, sebagaimana pandangan berikut ini:
”pernah dilibatkan dalam rapat rt/kampung atau desa, namun masih dianggap anak kecil (FGD Anak)
       Anak juga merasakan bahwa dirinya sudah mulai diakui keberadaannya dan dilibatkan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, sebagai bentuk pembelajaran dan sosialisasi untuk mengenal dan mengetahui aktivitas di lingkungannya. Karena wilayah penelitian ini merupakan mayoritas beragama Islam, maka kegiatan keagamaan yang lebih sering diikuti anak-anak, sebagaimana pandangan berikut ini:
anak-anaknya mengikuti kegiatan perayaan keagamaan, yang diselengarakan di masjid atau mushola
C,Partisipasi Anak  Di Kota Surabaya
       Surabaya merupakan kota terbesar ke 3 di Indonesia, merupakan kota perdagangan, jasa dan industry.  Sehingga pada umumnya orang tua mereka bekerja disektor yang terkait dengan perdagangan/jasa dan industry, hanya sedikit sekali yang bekerja disektor pertanian. Sebagai kota besar tentunya Surabaya, memiliki berbagai sarana informasi, sehingga keterbukaan masyarakatnya untuk menyampaikan pendapat juga dapat diakomodasikan diberbagai media baik cetak,elektronik, maupun media lainnya.
        Selain itu penduduk Surabaya juga berasal dari berbagai etnis dan agama meskipun mayoritasnya masih suku jawa dan beragama Islam. Keanekaragaman suku ini membawa pengaruh kepada prilaku dan interaksi antar orang, mereka lebih dapat menerima perbedaan-perbedaan. Warga Surabaya lebih mudah menerima pendapat pihak lain dan menyampaikan usulannya tanpa segan-segan (tanpa tedengalingaling), menyebabkan terjadinya keakraban dalam hubungan sosial kemasyarakatan.
       Itulah sebabnya orang tua juga mengajarkan dan mensosialisasikan kepada anak-anaknya untuk bersikap terbuka, mau menerima pendapat orang lain dan mau menerima perbedaan. Orang tua memberi kebebasan kepada anaknya untuk memilih keinginannya dan orang tua membimbingnya. Begitu juga para guru di Surabaya  mengajak anak untuk mampu berdiskusi. Berbagai kegiatn sosial kemasyarakat juga sudah mulai melibatkan anak-anak terlebih di wilayah penelitian yang sudah lama di dampingin oleh Plan. Sehingga partisipasi anak sudah hampir mendekati level 1 atau partisipasi yang bermakna, artinya kesadaran dan inisiasi anak sudah muncul. Hal ini dapat dilihat dalam temuan penelitian berikut ini:
1..  Partisipasi Anak Di Rumah.
      Orang tua dan anak  di wilayah penelitian ini sudah banyak menerima informasi tentang perlindungan anak khususnya  pemenuhan hak-hak anak baik dari Plan maupun Organisasi sosial lainnya.  Itulah sebabnya hubungan orang tua dengan anak semakin dekat dan tanpa jarak, sehingga orang tua menyadari pentingnya mendengar pendapat dan usulan dari anak baik pemenuhan kebutuhan makan, pakaian bahkan untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari pandangan berikut ini:
“Orang tua menghargai pendapat anak dan  Anak bebas memilih makanan, pakaian atau sekolah” (fgd anak)
         Anak juga merasakan bapak serta ibunya  telah menerapakan cara-cara demokratis dalam pengasuhan anak.  Setiap ada keinginan orang tua selalu didiskusikan kepada anak, begitupun sebaliknya setiap keinginan anak juga didiskusikan kepada orang tua. Hubungan timbal balik  yang baik antara orang tua dan anak ini menjadikan sarana yang baik dalam perlindungan anak.  Anak merasa dapat menentukan sendiri keinginan untuk menyalurkan hobby dan kreativitasnya, sebagaimana pandangan berikut ini:
“Orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya pada anak, dalam melukis, main musik, teater hingga band” (fgd anak)
2. Partisipasi Anak Di Sekolah
       Di lingkungan sekolah, hubungan antara guru dan muridnya juga semakin dekat. Karena guru telah mendapatkan berbagai macam penyuluhan dan pelatihan terkait dengan pembelajaran tanpa rasa takut (learning without fear) baik dari Plan maupun dari organisasi sosial lainnya. Itulah yang menyebabkan komunikasi antara guru dan muridnya sudah menemukan keakraban baik dalam kegiatan belajar mengajar di kelas maupun di luar kelas, sebagaimana pandangan berikut ini:
“Adanya kerja sama antara siswa dan guru dalam belajar mengajar dan juga  anak dilibatkan untuk kegiatan  sekolah lainnya (fgd anak)
        Anak merasa hubungan murid dan guru semakin dekat, karena guru dapat diajak berkomunikasi dengan anak. Banyak murid yang menyukai guru yang mau mendengar pendapat anak, terutama guru-guru yang mudah diajak ngobrol dan curhat dengan muridnya. Murid menjadi lebih percaya diri dan mandiri dengan diajar oleh guru-guru yang  peka terhadap kebutuhan anak. Hal ini dapat dilihat dari pandangan berikut ini:
“anak lebih menyukai guru yang bisa diajak ngobrol/curhat, sabar, ramah, tidak membosankan, telaten jika mengajar sehingga cepat dimengerti anak” (fgd anak)

3. Partisipasi Anak Di Masyarakat.
          Dilingkungan masyarakat tingkat pertisipasi anak sudah meningkat. Di mana anak selain terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang membahas soal masalah sosial kemasyarakatan, anak juga sudah diperbolehkan mengeluarkan pendapat dan usulannya. Walaupun akhirnya pendapat dan usulan tersebut tidak seluruhnya dapat diakomodir, tetapi apabila pendapat dan usulan tersebut baik dan benar, maka para pengambil keputusan akan menerimanya. Hal ini sesuai dengan pandangan berikut ini:

“Anak dilibatkan dalam pertemuan RT/RW/Kelurahan dan boleh berpendapat  asal benar pasti diterima” (fgd. Anak)

         Anak  yang sering terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakat baik tingkat RT/RW/ maupun Kelurahan, pada umumnya adalah anak-anak yang tergabung dalam forum anak kelurahan atau kelompok anak dari Joyfull Learning Group. Kelompok anak ini merupakan hasil bentukan dan pembinaan dari Plan dan organisasi sosial lainnya dari Kota Surabaya, sehingga anak-anak ini mulai berani dan mampu mengemukakan pendapatnya. Namun  dalam praktek keseharian-hariannya, anak masih ditempatkan sebagai obyek belum menjadi subyek, karena anak hanya diperintah oleh orang yang lebih dewasa. Hal ini sesuai dengan pandangan berikut ini:
“Kalaupun anak terlibat, mereka hanya membantu mengerjakan sesuatu yang diperintahkan orang dewasa” (fgd anak).










No comments:

Post a Comment