A.
Latar Belakang
Kemiskinan
merupakan masalah utama yang dihadapi oleh setiap negara khususnya Indonesia.
Kemiskinan di Indonesia secara klasifikasi tersebar di tiga wilayah, yaitu
perkotaan, perdesaan dan pesisir. Kemiskinan di Indonesia dari data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru
tahun 2006, mencapai 60 juta jiwa dari total penduduk atau sekitar 25 persen.
Dengan asumsi pendapatan perbulan hanya RP 150 ribu perbulan. Padahal standar
Bank Dunia orang miskin memiliki pendapatan US$2 perkapita per hari. Maka jika
standar ini digunakan maka jumlah keluarga miskin di Indonesia lebih fantastik
lagi. Kemiskinan sebuah kondisi kekurangan yang dialami seseorang atau suatu
keluarga. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kronis karena berkaitan dengan
kesenjangan dan pengangguran.
Walaupun
kemiskinan dapat dikategorikan sebagai persoalan klasik, tetapi sampai saat ini
belum ditemukan strategi yang tepat untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan
merumuskan kebijakan anti kemiskinan, sementara jumlah penduduk miskin tiap
tahunnya meningkat. Ketidakberhasilan itu kiranya bersumber dari cara pemahaman
dan penanggulangan kemiskinan yang selalu diartikan sebagai sebuah kondisi
ekonomi semata-mata. Sedikit dari para ahli pembangunan yang memahami bahwa
problema kemiskinan juga bersumber dari tata politik yang timpang.
Mengatasi
kemiskinan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan orang miskin untuk dapat
mandiri, baik dalam pengertian ekonomi, budaya dan politik. Penanggulangan
kemiskinan tidak hanya dengan pemberdayaan ekonomi, akan tetapi juga dengan
pemberdayaan politik bagi lapisan miskin merupakan sesuatu yang tidak dapat
terelakkan kalau pemerataan ekonomi dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat
yang berkeadilan sosial seperti yang dikehendaki.
Pekerjaan sosial sebagai profesi utama
dalam usaha kesejahteraan sosial memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
mengatasi masalah kemiskinan. Tugas dan
tanggung jawab pekerjaan sosial adalah memperbaiki dan meningkatkan kemampuan
masyarakat miskin, agar mereka dapat berfungsi sosial atau dapat menjalankan
tugas-tugas kehidupannya dengan baik, yakni tugas dalam memenuhi kebutuhan
pokok keluarganya. Selain itu, pekerjaan sosial juga memiliki tugas dan
tanggung jawab untuk menciptakan situasi-situasi sosial yang kondusif bagi
kehidupan mereka. Situasi-situasi sosial yang dimaksud adalah terciptanya
peluang dan kesempatan usaha, terbukanya akses dan jaringan usaha/kerja, adanya
jaminan usaha dan informasi pasar.
B.
Defenisi
Kemiskinan

|
Kemiskinan tidak
hanya dipahami sebagai ketidakmampuan ekonomi tetapi juga kegagalan dalam
pemenuhan hak-hak dasar manusia untuk dapat hidup layak dan bermartabat. Dari perspektif manapun kita melihat
kemiskinan, satu hal yang harus disadari adalah bahwa kemiskinan merupakan
fenomena multidimensi. Kemiskinan bukan hanya soal ekonomi, tetapi menyangkut
kehidupan orang dengan mata pencahariannya (internal)
dan sistem di luar dirinya (eksternal)
yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Maka ketika kita akan melakukan
pertolongan bagi orang miskin, semua aspek kehidupan mereka harus disentuh
mulai dari aspek personal hingga aspek global, mulai dari dimensi ekonomi
hingga dimensi politik, sosial, teknologi serta psikologi. Dengan demikian,
uang saja tidak cukup untuk menghapuskan kemiskinan. Diperlukan upaya lebih
besar yang menyangkut aspek lain dalam kahidupan seperti kesehatan, pendidikan,
kemandirian, pengembangan jaringan, penguatan jaringan dan lain-lain.
Pendekatan kebutuhan dasar melihat kemiskinan
sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga
dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum antara lain kebutuhan pangan,
sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan
sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya
penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian
atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang
dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar
pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.
Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan
dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal
dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya
kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan
obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the
welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus
dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan
berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek,
(ed), 1985).
Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini,
kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi
kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa
masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar
yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami
hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar
dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami
masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang
bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak
dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman
tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik,
baik bagi perempuan maupun laki-laki.
|

Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat
multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World
Bank (2008) membagi dimensi kemiskinan ke dalam empat hal pokok,
yaitu lack of opportunity, low capabilities, low level security, dan low
capacity. Kemiskinan
dikaitkan juga dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik
sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan. Meskipun
fenomena kemiskinan itu
merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi
ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan
dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets)
untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan,
dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi.
Kemiskinan menurut Suparlan (1995) didefinisikan sebagai
suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan
materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan
yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang
rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan,
kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang
miskin.
Ellis
(1984:242-245) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi,
politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefenisikan
sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumber daya dalam
konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis
kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti
luas.
C. Faktor Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan
disebabkan oleh banyak faktor. Jarang ditemukan kemiskinan yang hanya disebakan
oleh faktor tunggal. Seseorang atau keluarga miskin bisa disebakan oleh
beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain, seperti mengalami
kecacatan, memiliki pendidikan rendah, tidak memiliki modal atau keterampilan
untuk berusaha, tidak tersedianya kesempatan kerja, terkena pemutusan hubungan
kerja (PHK), tidak adanya jaminan sosial (pensiun, kesehatan, kematian), atau
hidup di lokasi terpencil dengan sumberdaya alam dan infrastruktur yang
terbatas. Menurut Suharto, (2009:17-18), secara konseptual, kemiskinan bisa
diakibatkan oleh empat faktor, yaitu :
1. Faktor individual. Terkait dengan aspek patologis, termasuk
kondisi fisik dan psikologis si miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku,
pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi
kehidupannya.
2. Faktor sosial. Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak
seseorang menjadi miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, jender,
etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini
adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan
kemiskinan antar generasi.
3. Faktor kultural. Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan
kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep “kemiskinan
kultural” atau “budaya kemiskinan” yang menggabungkan kemiskinan dengan
kebiasaan hidup atau mentalitas. Penelitian Oscar Lewis di Amrika Latin
menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan tersendiri,
yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan (Suharto, 2008b). Sikap-sikap
“negatif seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa
wirausaha, dan kurang menghirmati etos kerja, misalnya sering ditemukan pada
orang-orang miskin.
4. Faktor struktural. Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak
adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau
sekelompo orang menjadi miskin. Sebagai contoh, sisten ekonomi neoliberalisme
yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan
pekerja sektor informal terjerat oleh, dan sulit keluar dari kemiskinan.
Sebaliknya. Stimulus ekonomi, pajak dan ilklim investasi lebih menhuntungkan
orang kaya dan pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan.
Menurut Bagong dan Karnaji
(2005:7) akar penyebab masalah kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua kategori,
yaitu:
a. Kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya
yang langka jumlahnya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang
sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi
miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada kelompok atau
individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. mungkin
saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat
perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan memperlunak
atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola hubungan
patron client, jiwa gotong royong,
dan sejenisnya fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan
sosial.
b.
Kemiskinan buatan, yakni
kemiskinan yang terjadi karena sturktur sosial yang ada membuat anggota atau
kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas
secara merata. Dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin
walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakt
tersebut bila di bagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari
kemiskinan. Dari uraian ini maka dapat disederhanakan, yang menekankan bahwa
penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi internal factor dan external
faktor.
D. Indikator Kemiskinan
Indikator
nasional dalam menghitung jumlah yang dikategorikan miskin ditentukan oleh
standard garis kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pengukuran
kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai standard kebutuhan minimum,
baik untuk makanan dan non-makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat
hidup secara layak. Penetapan nilai standard minimum ini digunakan untuk
membedakan antara penduduk miskin dan tidak miskin.
Menurut
BPS (1999) menggambarkan bahwa apabila penduduk dalam pengeluaran tidak mampu
memenuhi kecukupan konsumsi makanan setara 2100 kalori per hari ditambah
pemenuhan kebutuhan pokok minimum non makanan berupa perumahan, pakaian,
kesehatan dasar, pendidikan dasar, transportasi dan aneka barang/jasa lainnya.
Maka dapat dikategorikan miskin. Sementara itu, penduduk yang tidak mampu
memenuhi kecukupan konsumsi makanan setara 1800
kalori
per hari dikategorikan fakir miskin.

|
Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari
tahun ke tahun mengalami perubahan. Seperti menurut Indonesian Nutrition
Network (INN) (2003:2), ukuran kemiskinan untuk perkotaan dan pedesaan
dibedakan dalam besarnya pendapatan yang diperoleh dalam bentuk uang sebagai berikut, Rp. 96.956
untuk perkotaan dan Rp. 72.780 untuk pedesaan. Kemudian Departemen Sosial
menyebutkan berdasarkan indikator BPS, garis kemiskinan yang diterapkannya
adalan keluarga yang memiliki penghasilan di bawah Rp. 150.000 per bulan.
Bahkan Bappenas mendasarkan pada indikator BPS tahun 2005, bahwa batas
kemiskinan keluarga adalah yang memiliki penghasilan di bawah Rp. 180.000 per
bulan.
Dalam
penanggulangan masalah kemiskinan melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT),
BPS menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin yaitu :
1. Luas
lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang
2. Jenis
lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/rumbia/kayu murahan
3. Jenis
dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok
tanpa plester.
4. Tidak
memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber
penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber
air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan
bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah
8. Hanya
mengkonsumsi daging/susu/ayamsatu kali dalam seminggu
9. Hanya
membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya
sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari
11. Tidak
sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik
12. Sumber
penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani,
nalayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan
pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan
13. Pendidikan
tertinggi kepala keluarga rumah tangga; tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD
14. Tidak
memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp.500.000, seperti
motor (kredit/non kredit) emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya
Secara
umum, indikator kemiskinan dapat dilihat sebagai berikut :
1. Penghasilan
rendah, atau berada dibawah garis kemiskinan yang dapat diukur dari tingkat
pengeluaran perorangan per bulan berdasarkan standard BPS perwilayah provinsi
dan kabupaten/kota.
2. Ketergantungan
pada bantuan pangan kemiskinan (zakat/raskin/santunan sosial)
3. Keterbatasan
kepemilikan pakaian yang cukup setiap anggota keliuarga per tahun (hanya mampu
memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun).
4. Tidak
mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.
5. Tidak
mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya.
6. Tidak
memiliki harta benda yang dapat dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama
tiga bulan atau dua kali batas garis kemiskinan.
7. Tinggal
dirumah tidak layak huni
8. Kesuliatan
memperoleh air bersih
E.
Pekerjaan
Sosial dan Kemiskinan
Pekerjaan sosial adalah aktivitas
profesional untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam
meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan
menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan
tersebut (Zastrow, 1985 dalam Huraerah A, 2006). Dari defenisi ini dapat
diketahui bahwa fokus utama pekerjaan sosial adalah pada peningkatan
keberfungsian sosial (social fungtioning)
orang-orang di dalam situasi-situasi sosial mereka. Pekerjaan sosial merupakan
aktivitas kemanusiaan yang sejak kelahirannya sekian abad yang lalu, telah
memiliki perhatian yang mendalam pada pengembangan masyarakat miskin.
Dalam perspektif profesi pekerjaan
sosial, orang miskin adalah orang yang mengalami disfungsi sosial, karena ia
tidak mampu melakukan tugas pokoknya dengan baik, yaitu tugas dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya seperti
pangan, sandang, perumahan, kesehatan
dan pendidikan.
Dalam konteks ini, pendekatan pekerjaan
sosial dalam menangani masalah kemiskinan tidak hanya diarahkan kepada si klien
(masyarakat miskin), tetapi juga ditujukan kepada situasi-situasi sosial yang
mempengaruhi kehidupan mereka. Hal tersebut didasari oleh pendekatan pekerjaan
sosial yang senantiasa berorientasi pada
sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan
situasi yang dihadapinya (person-in-enviranment
dan person-in-situation).
Keberfungsian sosial merupakan konsepsi
yang penting bagi pekerja sosial karena merupakan pembeda antara profesi
pekerjaan sosial dengan profesi lainnya. Oleh karena itu, pendekatan pekerjaan
sosial dalam menangani kemiskinan juga
pada dasarnya harus diarahkan untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) masyarakat miskin
yang dibantu. Keberfungsian sosial seseorang secara sederhana dapat
didefenisikan sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan fungsi sosialnya
atau kapasitas seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan status sosialnya.
Konsep keberfungsian sosial pada intinya
menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat
dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini
mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek pembangunan; bahwa klien memiliki
kapabilitas dan potensi yang dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien
memiliki dan atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan
sumber-sumber yang ada disekitarnya.
Secara
konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan
persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan
individual-struktural (Suharto, 2005). Berdasarkan perspektif ini, ada tiga
kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin.
Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan
(umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki
akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan
namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya,
masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak
buta hurup,).
3. Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan,
karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute
maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih
rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah
dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila terjadi
krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
F.
Peranan
Pekerja Sosial
Peranan
merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang untuk menggunakan kemampuannya
dalam situasi tertentu. Sebagaimana Soetarso dala Huraira (2008) menegaskan
bahwa peranan dalam profesi apapun tidak ditentukan dalam kevakuman, melainkan
terkait dengan aneka ragam variabel. Peranan juga tidak berdiri sendiri, tetapi
terkait dengan peranan-peranan lain. Dengan demikian peranan bersiat dinamis
dan interaksional, dalam pengertian dapat berubah sesuai variabel dan
peranan-peranan lain yang dilaksanakan oleh pekerja sosial.
Dalam proses dan pencapaian tujuan
pemberdayaan bagi miskin, Schwartz dalam
Suharto (2009), mengemukakan 5 (lima) tugas yang dapat dilaksanakan oleh
pekerja sosial :
1.
Mencari persamaan mendasar antara persepsi masyarakat mengenai
kebutuhan mereka sendiri dan
aspek-aspek tuntutan sosial yang dihadapi mereka.
2.
Mendeteksi dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghambat banyak
orang dan membuat frustrasi usaha-usaha orang untuk mengidentifikasi
kepentingan mereka dan kepentingan orang-orang yang berpengaruh (significant others) terhadap mereka.
3.
Memberi kontribusi data mengenai ide-ide, fakta, nilai, konsep yang
tidak dimiliki oleh masyarakat, tetapi bermanfaat bagi mereka dalam menghadapi
realitas sosial dan masalah yanh dihadapi mereka.
4. Membagi visi kepada masyarakat; harapan dan
aspirasi pekerja sosial merupakan investasi bagi interaksi antara orang dan
masyarakat bagi kesejahteraan individu dan sosial.
5.
Mendefenisikan syarat-syarat dan batasan-batasan situasi dengan mana
sistem relasi antara pekerja sosial dan masyarakat dibentuk. Aturan-aturan
tersebut membentuk konteks bagi ’kontrak kerja’ yang mengikat masyarakat dan
lembaga. Batasan-batasan tersebut juga mampu menciptakan kondisi yang dapat
membuat masyarakat dan pekerja sosial menjalankan fungsi masing-masing.
Sebagaimana
Charles Zastrow (Huraira:2008), ada beberapa peranan yang dilakukan petugas
pengembangan masyarakat/pekerja masyarakat (community
worker/community organizer) anatara lain, yaitu:
· Enabler.
Peranan sebagai enabler adalah
membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan atau mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan
mereka, menjelaskan dan mengidentifikasi masalah-masalah mereka, dan
mengembangkan kemampuan mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi
secara lebih efektif. Peranan sebagi enabler ini adalah peranan klasik atau
peranan tradisional (the classic or
traditional role) dari seseorang commutity organizer / community worker.
Fokusnya adalah menolong masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri (to help people help themselves). Ada
empat fungsi utama seorang CO/CD, yaitu:
-
Membantu membangkitkan kesadaran
masyarakat
-
Mendorong dan mengembangkan
pengorganisasiandalam masyarakat
-
Memelihara relasi interpersonal yang
baik
-
Dan memfasilitasi perencanaan yang
efektif
· Broker.
Peranan seorang broker adalah
menghubungkan individu-individu dan kelompok yng membutuhkan pertolongan dengan
pelayanan masyarakat. Peranan ini dilakukan oleh seorang broker karena individu
atau kelompok tersebut kerapkali tidak mengetahui di mana dan bagaimana
mendapatkan pertolongan tersebut.
· Expert.
Sebagai seorang expert, ia berperan
menyediakan informasi dan memberikan saran-saran dalam berbagai area. Misalnya,
seorang expert menyarankan tentang
bagaimana struktur organisasi dapat dikembangkan dalam masyarakat dan
kelompok-kelompok masyarakat mana saja yang harus terwakili.
· Social Planner.
Sebagai seorang social planner
berperan mengumpulkan fakta-fakta tersebut serta menyusun alternatif tindakan
yang rasional dalam menangani masalah tersebut. Kemudian, mengembangkan
program, mencari alternatif sumber pendanaan dan mengembangkan konsensus dalam
kelompok yang mempunyai berbagai minat dan kepentingan.
· Advocate.
Peranan ini adalah peranan yang aktif dan terarah, dimana community organizer/community worker melaksanakan fungsinya sebagai
advocate yang mewakili kelompok
masyarakat yang membutuhkan pertolongan ataupun pelayanan, tetapi institusi
yang seharusnya memberikan pertolongan tersebut tidak memperdulikan ataupun
menolak tuntutan masyarakat.
· The Activist.
Sebagai seorang activist, ia
senantiasa melakukann perubahan yang mendasar dan sering kali tujuannnya adalah
pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok masayarakat yang tidak
beruntung (disadventage group).
Seorang activist menugusung tema-tema
atau isu-isu tertentu, misalnya ketidaksesuaian dengan hukum yang berlaku,
ketidakadilan, dan permapasan hak. Taktik yang dilakukan adalah melalui
konflik, konfrontasi dan negosiasi.
Ada
beberapa peran yang dapat dilakukan dalam praktik CO/CD, yaitu:
· Peranan-peranan
fasilitator (facilitative roles)
meliputi peranan: animasi sosial (social
animation), mediasi dan negosiasi (mediation
and negotiation), dukungan (support),
pembentukan konsensus (building consensus),
fasilitasi kelompok (group facilitation),
pemanfaatan sumber daya dan keterampilan (utilisation
of skill and resources), pengorganisasian (organizing), dan komunikasi personal (perconal communication).
· Peranan-peranan
pendidikan (educational roles)
terdiri dari peranan : peningkatan kesadaran (conscionsness raising), penyampaian informasi (informing), pengkonfrontasian (confrontation),
dan pelatihan (training).
· Peranan-peranan
representasional (reprensentational roles),
mencakup peranan : mendapatkan sumber (obtaining
resources), advokasi (advocacy),
pemanfaatan media (using the media),
dan hubungan masyarakat (publik relations),
jaringan kerja (networking), dan
berbagai pengetahuan dan keterampilan (sharing
knowledge and experince).
· Peranan-peranan
teknis (technical roles), meliputi
peranan : penelitian (research),
penggunaan komputer (using computers),
presentase verbal dan tertulis (verbal
and written presentation), manajemen (management)
dan pengawasan finansial.
G.
Strategi mengatasi kemiskinan
Dalam
perspektif profesi pekerjaan sosial, orang miskin adalah orang yang mengalami
disfungsi sosial. Karena ia tidak mampu melakukan tugas pokoknya dengan baik,
yaitu tugas dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, seperti: pangan,
sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan. Ketidakmampuan mereka dalam
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya itu sangat berkaitan dengan faktor
produksi. Mereka pada umumnya tidak memiliki faktor produksi yang mencakup
seperti tanah, modal, atau keterampilan hidup (life skill). Tingkat pendidikan mereka rendah, hanya tamatan
sekolah dasar, bahkan tidak sedikit pula yang tidak tamat sekolah dasar. Selain
mempunyai keterbatasan dalam faktor kepemilikan tersebut, orang miskin juga
lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatasi akses ekonominya, sehingga semakin
tertinggal jauh dari kelompok masyarakat lain yang mempunyai potensi tinggi.
Untuk
penanganan masalah kemiskinan, strategi yang dapat dilakukan adalah:
1. Karena
kemiskinan bersifat multidimensional, program pengentasan kemiskinan seyogyanya
juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi tetapi juga memperhatikan
dimensi lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat
prioritas, namun juga harus mengejar target mengatasi kemiskinan non ekonomik.
Oleh karena itu, strategi pengentasan kemiskinan hendaknya juga diarahkan untuk
mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik,
ketidakberdayaan, dan sebagainya. Apabila budaya ini tidak dihilangkan,
kemiskinan ekonomi akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah
pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang
bersifat struktural dan politis.
2. Untuk
meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, strategi yang dipilih
adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan
pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan
usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja (networking)
serta informasi pasar.
3. Melibatkan
masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, bahkan pada proses pengambilan
keputusan.
4. Strategi
pemberdayaan. Dalam kaitan ini, Ginandjar Kartasasmita menyatakan, upaya
memberdayakan masyarakat setidak-tidaknya harus dilakukan melalui tiga cara,
yaitu :
(1) Menciptakan
suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang dengan titik
tolak setiap manusia atau masyarakat memiliki potensi (daya) yang bisa
dikembangkan
(2) Memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(3) Memberdayakan
pula mengandung arti melindungi.
Artinya, proses pemberdayaan harus mengantisipasi terjadinya yang lemah menjadi
makin lemah.
Sesuai
dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan
oleh pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam
menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas
kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi wajah, maka
intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin)
tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip ini
dikenal dengan pendekatan “person-in-environment
dan person-in situation”. Selain itu, motto pekerjaan sosial seperti “to help people to help themselves”
(menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri), “self determination” (penentuan nasib sendiri) dan “working with people, not working for people”
(bekerja dengan masyarakat bukan bekerja untuk masyarakat) menunjukkan betapa
pekerjaan sosial memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberdayaan masyarakat,
di antaranya adalah kemiskinan.
Pengembangan
Masyarakat memiliki sejarah panjang dalam literatur dan praktek pekerjaan
sosial (Payne, 1995; Suharto, 2009). Menurut Johnson (1984), pengembangan
masyarakat merupakan spesilaisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang
bersifat makro (macro practice).
Pengembangan masyarakat tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup
masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta
menekankan pada prinsip partisipasi sosial. Sebagai sebuah metode pekerjaan
sosial, Pengembangan Masyarakat menunjuk pada interaksi aktif antara pekerja
sosial dan masyarakat dengan mana mereka terlibat dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi suatu program pembangunan kesejahteraan
sosial atau usaha kesejahteraan sosial.
Menurut
Jack Rothman dalam Suharto (2009: 42-47) ada tiga model dalam pengembangan
masyarakat yaitu :
1. Pengembangan masyarakat lokal (locality development), yaitu proses yang ditujukan untuk
menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi
aktif serta inisiatif angota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat
dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai
masyarakat yang unik dan memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum
sepenuhnya dikembangkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada
“tujuan proses” (process goal).
2. Perencanaan sosial (social
planning), menunjuk pada proses pragmatis untuk menentukan keputusan dan
menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu seperti kemiskinan,
pengangguran, kenakalan remaja, dll. Perencanaan sosial berorientasi pada
“tujuan tugas” (task goal).
3. Aksi sosial (social action). Tujuan dan sasaran utama aksi
sosial adalah perubahan-perubahan fundamental dalam kelembagaan dan struktur
masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan (distribution of power), sumber (distribution
resources) dan pengambilan keputusan (distribution
of decision making). Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa
masyarakat adalah sistem klien yang seringkali menjadi ‘korban’ ketidakadilan
struktur. Mereka miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan
tidak berdaya karena tidak diberdayakan, oleh kelompok elit masyarakat yang
menguasai sumber-sumber ekonomi, politik dan kemasyarakatan. Model ini
berorientasi baik pada tujuan proses dan tujuan hasil.
Pekerjaan
sosial dengan satu diantara metodenya, yaitu community development/community organization adalah metode yang
dapat dilakukan untuk membangun masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup anggota masayarakat sendiri serta untuk memperbaiki kualitas hidup
masayarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka
serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial, dengan menggunakan
alat yaitu Participatory Rural Appraisal
(PRA) yang merupakan metode yang terfokus pada proses pertukaran informasi
antara pekerja sosial dengan masyarakat dan Methode
Of Participation Assessment (MPA).
Masyarakat
terlibat secara aktif dalam mengelolah dan mengorganisasikan segala potensi yan
g mereka miliki sehingga pada tahap tertentu, barbagai aktivitas tersebut
membutuhkan pelembagaab dalam institusi yanmg lebih formal. Bekerja bersama
masyarakat (working with people) dan
menolong masyarakat untuk menolong dirinya sendiri adalah prinsip utama dalam
penerapan metode Community Development.
Sebagaimana dalam Huraira (Huraira : 2008), strategi-strategi yang digunakan
dalam metode community development,
sebagai upaya peningkatan dan pengembangan kapasitas masyarakat miskin tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Strategi
pemecahan masalah, dimaksudkan untuk mengajak warga masyarakat miskin melihat
dan menyadari permasalahan yang dihadapi, kemudian mendiskusikan bersama
bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Teknik motivating dan supporting
bisa digunakan untuk membangkitkan kepercayaan diri (self-relience) mereka, sebagai unsur penting yang harus
dikembangkan dalam meminimalisasi dampak negarif budaya kemiskinan.
2. Konfrontasi,
merupakan strategi mengonfrontasikan masyarakat miskin dengan permasalahan yang
dihadapi. Strategi ini dimaksudkan untuk dapat menimbulkan kesadaran,
menggalang persatuan, dan kekuatan mereka untuk bertindak dalam menangani
masalah tersebut.
3. Membangun
kelembagaan baru, yaitu membangun lembaga-lembaga dalam masyarakat dengan
menggunakan sumber daya masyarakat setempat, dimana masyarakat miskin
diitegrasikan kedalam lembaga tersebut. Lembaga-lembaga yang berkaitan dengan
peningkatan pendapatan masyarakat miskin senantiasa ditumbuhkembangkan,
misalnya: lembaga ekonomi prduktif (LEP), kelompok usaha bersama (KUBE), wira
usaha baru (WUB), pemberdayaan ekonomi kecil, koperasi, baitul maal, dan
lain-lain. Jika dilingkungan masyarakat sudah ada lembaga tetapi tidak
berfungsi, maka yang harus dilakukan adalah bagaimana mengaktifkan kembali lembaga
tersebut.
4. Pengembangan
dan peningkatan keterampilan hidup (life
skill), dengan mengajarkan cara-cara atau alat-alat dalam perubahan ya ng
direncanakan.
5. Terapi
pendidikan, yaitu strategi untuk mengikutsertakan masyarakat miskin dalam suatu
program penanggulangan kemiskinan, biasanya dalam bentuk latihan-latihan,
saling bekerja sama secara demokratis, dan belajar untuk menilai dan menghargai
kerjasama tersebut. Strategi ini akan memperkuat pemerintah pada tingkat lokal,
mendorong proses pembangunan serta menimbulkan perasaan sebagai anggota
masyarakat dalam satu kesatuan.
Strategi penanganan kemiskinan pekerjaan
sosial yang senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah
dari lingkungannya dianalogikan dengan strategi pemberian ikan dan kail, maka
strategi pengentasan kemiskinan tidak hanya bermatra individual, yakni dengan
memberi ikan; dan memberi kail kepada si miskin. Lebih jauh lagi, pekerja
sosial berupaya untuk mengubah struktur-struktur sosial yang tidak adil,
dengan:
1. Memberi
keterampilan memancing;
2. Menghilangkan
dominasi kepemilikan kolam ikan oleh kelompok-kelompok elit; dan
3. Mengusahakan
perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan hasil memancing tersebut.
Berdasarkan
analogi tersebut, maka ada dua pendekatan pekerjaan sosial yang satu sama lain
saling terkait, yaitu :
1. Pendekatan
pertama melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan
dalam kaitannya dengan lingkungan di mana si miskin tinggal, baik dalam konteks
keluarga, kelompok pertemanan (peer group),
maupun masyarakat.
2. Pendekatan
kedua melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial
berpijak pada prinsip-prinsip individualisation
dan self-determinism yang melihat si
miskin dalam secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik.
Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian
dan/ atau masalah-masalah yang dihadapinya.
Beberapa
bentuk program penanganan kemiskinan yang didasari dua pendekatan ini antara
lain:
1. Pemberian
bantuan sosial dan rehabilitasi sosial yanmg diselenggarakan oleh panti-panti
sosial.
2. Program
jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
3. Program
pemberdayaan masyarakat yang meliputi pembeian modal usaha, pelatihan usaha
ekonomi produktif, pembentukan pasar sosial dan koperasi, pelatihan dan
pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat,
pembinaan anak dan remaja.
4. Program
kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana
alam.
5. Program
“penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut
sebagai “the missing piece strategy”
ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan
melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan
membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit,
pembentukan kelompok usaha bersama (KUBE), bantuan stimulan untuk usaha-usaha
ekonomis produktif skala mikro.
H.
Penutup
Masalah kemiskinan merupakan
permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia dan merupakan masalah yang
kompleks, sehingga membutuhkan
keterlibatan berbagai pihak dalam penanganannya. Masalah ini dari dahulu sampai
sekarang tetap menjadi isu sentral di Indonesia.
Pekerjaan sosial merupakan profesi utama
dalam bidang kesejahteraan sosial juga mempunyai tanggung jawab dalam
penanganan permasalahan kemiskinan tersebut. Dalam penanganan masalah kemiskinan profesi
pekerjaan sosial berfokus pada peningkatan keberfungsian sosial si miskin.
Sebagaimana halnya profesi kedokteran berkaitan dengan konsepsi kesehatan,
psikolog dengan konsepsi perilaku adekwat, guru dengan konsepsi pendidikan, dan
pengacara dengan konsepsi keadilan, maka keberfungsian sosial merupakan
konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial. Keberfungsian sosial yang dimaksud
adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan fungsi sosialnya atau kapasitas
seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan status sosialnya.
Dalam penanganan masalah kemiskinan
berdasarkan perspektif pekerjaan sosial yang berfokus pada peningkatan
keberfungsian sosial, senantiasa melihat keluarga miskin dengan lingkungannya
yang berarti penanganan masalah tidak hanya pada terpusat pada individu atau
keluarga.
DAFTAR
PUSTAKA
Huraira, (2006). Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat,
Humaniora. Bandung
Jurnal
Ilmiah Pekerjaan Sosial (2006), Kemiskinan
Dalam Perspektif Pekerjaan Sosial, Instalasi Penerbitan STKS Press, Bandung
Suyanto,B. & Karnaji, (2005), Kemiskinan Dan Kesenjangan Sosial;
Ketika Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat, Surabaya, Airlangga University
Press
Suharto, Edi, (2009),
Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat;
Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama
Non Buku
Pascasarjana Sp.1 STKS
Bandung, 2009. Materi Perkuliahan
Pendekatan dan Teknologi Pekerjaan Sosial Komunitas, Bandung. 2009
No comments:
Post a Comment