Search This Blog

Search This Blog

Thursday, January 8, 2015

PROPOSAL PENDAMPINGAN SOSIAL PADA WANITA RAWAN SOSIAL EKONOMI DI KELURAHAN DEPOK LAMA KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK


Peneliti:

BAMBANG RUSTANTO



A.  Latar Belakang
Masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah konvensional, namun masih relevan untuk didiskusikan karena permasalahannya yang terus meningkat dan semakin kompleks.  Data terakhir tentang keluarga miskin di Indonesia yang  digunakan Pemerintah untuk menyalurkan Subsidi Langsung Tunai (SLT) berjumlah  15,8 juta kepala keluarga miskin. Atau kurang lebih  62,8 juta jiwa. Jumlah ini baru yang  memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Boleh jadi jumlah ini masih terus bertambah, karena masih banyak penduduk miskin tidak terdata karena tidak mampu membuat KK dan KTP karena biayanya mahal. Dari total jumlah tersebut, sepertiganya atau 20 juta lebih berada pada kondisi yang sangat miskin (Sumber : Pikiran Rakyat Depok, 15 Maret 2006).

Salah satu kelompok yang termasuk dalam kemiskinan adalah perempuan. Perempuan secara statiskik di Indonesia jumlahnya lebih tinggi dari pada jumlah pria, akan tetapi akses dan kesempatan untuk menerima pembangunan berbeda. Dalam sektor pendidikan jumlah perempuan buta huruf dua kali lipat lebih besar  dibanding dengan laki-laki. Angka yang paling menyolok terlihat pada jenjang pendidikan SMU ke atas, yaitu 20,5 % laki-laki bisa mencapai pendidikan tersebut, sedangkan perempuan 14,9 %. Pada sektor kesehatan, perempuan jauh lebih rentan karena memiliki fungsi reproduksi yang berhubungan dengan hamil dan melahirkan dari pada laki-laki. Dalam sektor pekerjaan, tenaga kerja perempuan yang terserap di dunia kerja 45,6 %, sedangkan pria 73,5 % (Kementrian Pemberdayaan Perempuan : 2002). Dalam sektor ekonomi Pusdatin Departemen Sosial, mencatat data tentang jumlah WRSE terus bertambah. Pada tahun 2000 sebanyak 1.360.263 dan  pada tahun 2002 berjumlah 1.449.203, bertambah sekitar 6.53 % dalam kurun waktu 2 tahun.

Permasalahan yang dihadapi perempuan bukan hanya ketidakadilan dalam mengakses sistem sumber pada tatanan mezzo dan makro, akan tetapi perlakuan ketidakadilan yang diperoleh dalam keluarganya sendiri. Tidak sedikit kasus yang dialami perempuan karena kemiskinan yang dialami keluarganya, dia yang lebih menderita. Banyak kasus yang bersumber dari kemiskinan keluarga berdampak pada kekerasan terhadap perempuan. Pada tahun 2000 terdapat 10.392 kasus, tahun 2002 meningkat menjadi 28.562, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat bahwa sekitar 24 juta perempuan terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dalam keluarganya.

 Telah banyak program dan proyek yang berusaha ”memerangi” kemiskinan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun  belum juga membuahkan hasil yang diharapkan. Sejak tahun 1948 sampai dengan sekarang (2006), tidak kurang dari 29 jenis program (Sumber : Pikiran Rakyat, 6 Maret 2006) yang diluncurkan oleh Pemerintah untuk “memerangi” kemiskinan. Tetapi kemiskinan tetap bertahan. Ada anggapan yang muncul, mungkin memang kemiskinan terlalu tangguh bilamana ditangani dengan ketidakseriusan, penyelewengan, dan salah pengertian. Atau mungkin juga karena yang diperangi sesungguhnya bukan kemiskinan atau si miskin. Pernyataan ini sering dikenal  dengan ’sebutan salah sasaran’.

Permasalahan di atas muncul antara lain karena pendekatan yang digunakan tidak melibatkan orang miskin dalam proses perencanaan program maupun dalam pelaksanaannya. Orang miskin dianggap tidak memiliki potensi dan kekuatan sehingga mereka dianggap sebagai objek. Pendekatan ini secara tidak langsung  memperparah kondisi orang miskin, karena mengakibatkan ketergantungan baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Ketergantungan ekonomi, dia hanya menerima apa yang diberikan orang lain kepadanya tanpa ada upaya untuk memperolehnya.  Ketergantungan sosial, menyangkut ketidakmampuan untuk mengakses sistem sumber sebagai dasar produksi. Ketergantungan politik adanya ketidakberanian dalam mengambil keputusan untuk menentukan masa depan dan nasibnya sendiri. Kondisi ini yang kemudian disebut dengan ketidakberdayaan atau powerless. Menurut Hill dalam Zastrow (1995), ketidakberdayaan tersebut terutama banyak dialami oleh kaum perempuan (Feminization of Poverty).


Kelurahan Depok lama terletak 10 KM arah Utara dari ibu kota Depok. Apabila menggunakan kendaraan bermotor dapat ditempuh selama 1/2 jam. Pemerintahan Kelurahan Depok lama terdiri dari 8 RW dan 26 RT. Kelurahan tersebut dihuni oleh 4.384 dan 1.406 KK. Apabila dirinci dari segi mata pencahariannya, maka yang menonjol adalah pedagang sebanyak 26 %, buruh tani 26 %, dan petani  19 %.  Jumlah keluarga miskin di Kelurahan Depok lama berjumlah 326 KK dengan WRSE sebanyak 38 KK dan semua menerima BLT.
Kondisi sosial masyarakat Kelurahan Depok lama cukup baik. Hal ini nampak dengan adanya pranata-pranata social seperti kelompok pengajian, kelompok arisan yang mewadahi partisipasi masyarakat dan kekerabatan warga. Kelembagaan ekonomi juga tersedia dengan adanya koperasi yang beraggota 200 orang warga, 3 buah kelompok simpan pinjam yang beranggotakan 75 orang, 14 kelompok sosial yang berjumlah 100 orang. Namun lembaga-lembaga ekonomi tersebut belum dapat mewadahi seluruh warga miskin, apalagi WRSE, sehingga masih banyak WRSE yang mempunyai usaha skala mikro yang belum tersentuh program bantuan ekonomi.  Kalaupun ada namun sifatnya masih pemberian ’bantuan’, seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), infak, zakat, dan hadiah. Program tersebut tidak mengajak mereka untuk berdialog, tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan perasaannya, kebutuhannya, apalagi rencana hidupnya di masa mendatang.


      B. Permasalahan Penelitian

Program penanganan masalah kemiskinan semakin gencar, namun sifatnya masih reaktif dan tidak substansial. Oleh karena itu masalah kemiskinan bukan  berkurang, tetapi semakin kompleks. Masalah tersebut semakin dirasakan terutama oleh kelompok miskin perempuan. Perempuan yang paling merasakan dampak kemiskinan keluarganya, karena selain mengalami serba kekurangan dia juga harus mengalami tindak kekerasan. Dalam  program pengentasan kemiskinan,  perempuan miskin hampir dilupakan keberadaannya, kalaupun ada hanya sebagai pelengkap  untuk memenuhi persyaratan di dalam pengarusutamaan jender.

Sebagai kelompok masyarakat miskin perempuan juga memiliki hak untuk menjadi subjek pelaku pembangunan, terutama pembangunan yang akan berkaitan dengan kehidupannya. Pelibatan perempuan miskin dalam perencanaan dan pelaksanaan program merupakan model hipotetik  pemberdayaan perempuan yang dalam nomenklatur Departemen Sosial disebut Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE)  sekaligus sebagai kerangka dasar pengembangan kapasitas perempuan di tingkat lokal.

Berdasarkan pernyataan masalah  tersebut, maka pertanyaan pokok dalam penelitian ini adalah : Bagaimana  Pendampingan Sosial Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE). Pertanyaan tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam sub-sub pertanyaan sebagai berikut :
1.     Bagaimana gambaran lokasi penelitian ?
2.    Bagaimana Permasalahan yang dihadapi WRSE ?
3.    Bagaimana Sumber Daya yang dimiliki WRSE?
4.    Bagaimana Proses Pendampingan Sosial WRSE?
5.    Bagaimana pelaksanaan program pendampingan sosial WRSE?
6.    Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pelaksanaan  program pendampingan sosial WRSE?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
 1.  Tujuan 
Penelitian ini bertujuan untuk :
a.    Menerapkan pendampingan sosial dalam menyusun program sosial WRSE
b.    Menghasilkan program pendampingan sosial yang memberi kesempatan kepada WRSE untuk menentukan nasib dan masa depannya berdasarkan kekuatannya sendiri.
c.    Untuk mengetahui perubahan tingkat keberdayaan WRSE
2.    Manfaat 
Manfaat dalam penelitian adalah :
      a. Menghasilkan teknologi pekerjaan social yang siap pakai dalam  pengembangan masyarakat
b.  Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi semua pihak pemerhati kemiskinan dan perempuan termasuk Departemen Sosial  dalam menetapkan kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial, terutama yang terkait dengan pemberdayaan keluarga miskin khususnya pemberdayaan WRSE.



I.  TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A.  Tinjauan Pustaka
1.  Kemiskinan dan Pekerjaan Sosial
Pada awal perkembangannya usaha kesejahteraan sosial tidak dapat dilepaskan dari kegiatan-kegiatan charitatif untuk menolong orang-orang miskin baik akibat korban peperangan maupun korban persaingan industrialisasi.  Pada awal abad 17, di Eropah dikeluarkan undang-undang pengentasan kemiskinan. Undang-undang tersebut dikenal dengan nama  Elizabeth Poor Law. Sejak undang-undang tersebut muncul, kegiatan pekerjaan sosial mulai dirintis walupun sifatnya masih charitas.  Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan pekerjaan sosial   terus berkembang sampai pada akhirnya muncul  kebutuhan akan pekerjaan sosial sebagai suatu profesi yang dibangun melalui pendidikan formal.    

Sampai saat ini,   masalah kemiskinan  tetap merupakan masalah yang masih relevan untuk didiskusikan, karena walaupun program pengentasan kemiskinan sudah banyak diluncurkan, namun masalah kemiskinan bukan berkurang, melainkan terus bertambah.   Salah satu penyebab angka kemiskinan terus bertambah karena kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional.

Banyak para ahli yang menyatakan bahwa kemiskinan pada dasarnya adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sedangkan faktor penyebabnya sangat kompleks, sehingga relatif sulit untuk memeranginya.  Zastrow (1982 : 94) menyatakan banyak hal yang menyebabkan kemiskinan. Masalah tersebut terkait dengan masalah-masalah sosial yang lainnya seperti tingkat pengangguran yang tinggi, kesehatan yang rendah, masalah emosional, tingkat pendidikan rendah, dan sebagainya.  Oleh karena itu Zastrow menggambarkan bahwa kemiskinan merupakan siklus, di mana orang yang sudah masuk di dalamnya sulit untuk keluar. Seperti digambarkan dalam diagram berikut :







Oval: Keluarga miskin dengan anak-anak masih kecil Oval: Kondisi kehidup-an di bawah stan-dar
 




                                                                                          

 



Lingkaran kemiskinan
Oval: Pada umumnya orang tua tidak ter-tarik untuk menye-kolahkan anaknyamenjadi lengkap, dan
kemiskinan berlanjut ke
generasi beikutnya                                                         
Oval: Jika mereka memiliki anak kecil, dgn keuangan yg terbatas, maka mereka akan mengalami kesulitan dan terjebak  dalam kemiskinan
Oval: Anak-anak berusaha mensiasati kehidupan dengan  drop out, be-kerja dengan upah rendah atau menikah
 














                                                                                              
Oval:  Jika mereka menikah dini, maka terbatas kesempatan-nya untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan lebih lanjut
Oval: Karena  pendidikan rendah, mereka mu-lai terjebak  dalam situasi kemiskinan
Diagram 1 : Lingkaran Kemiskinan menurut Zastrow (1982 : 96)

 
 














Menurut Chamber dalam Soetrisno (1997 : 18),  ada lima ketidakberuntungan yang melingkari kehidupan orang miskin, yaitu kemiskinan itu sendiri, fisik yang lemah, kerentanan, keterisolasian, dan ketidakberdayaan . Lima kondisi dari Chamber tersebut apabila digolongkan berdasarkan perspektif kultural dan struktural menjadi 2 besaran, yaitu kultural yang memandang kemiskianan sebagai dampak dari budaya orang miskin yang malas, tidak memiliki etos kerja, memiliki pendidikan yang rendah, dan sebagainya yang berhubungan dengan perilaku orang miskin itu sendiri. Sedangkan perspektif struktural memandang bahwa seseorang miskin disebabkan karena ketidakberdayaannya dalam menembus truktur yang tidak berpihak kepadanya.

Mengingat kemiskinan bersifat multidimensional, maka penanganannya tidak hanya berorientasi pada  masalah dan bersifat reaktif, melainkan membutuhkan penanganan yang terpadu pada berbagai determinan yang mempengaruhinya. Oleh karena itu paradigma penanganan masalah kemiskinan harus mulai dirubah dari bantuan sosial yang bersifat charitas ke pemberdayaan.

2.  Pendampingan Sosial WRSE  

Arus globalisasi yang sangat kuat ternyata telah memperkokoh faham kapitalisme dalam berbagai pendekatan pembangunan di Indonesia. Faham ini ditandai dengan efisiensi, rasionalisasi, dan indikator-indikator ekonomi lainnya. Oleh karena itu faham ini telah melahirkan kritikan yang sangat tajam terhadap faham welfare state . Kritik tersebut memunculkan anggapan bahwa welfare state merupakan sistem yang boros, tidak mampu memberdayakan masyarakat, menimbulkan stigmatisasi dan bahkan jebakan kemiskinan (poverty trap) terhadap populasi sasarannya Edi Suharto (2005 : 37). Salah satu kritik yang sering dilontarkan kepada welfare state adalah terlalu dominannya peran pemerintah dalam merencanakan dan sekaligus melakukan intervensi terhadap penanganan masalah. Selain menimbulkan beban terhadap anggaran negara, pendekatan ini sering menimbulkan ketergantungan kepada penerima pelayanan. Dalam praktik pekerjaan sosial, pekerja sosial dipandang sebagai penolong yang serba bisa. Sementara klien dipandang sebagai penerima bantuan yang seakan-akan tidak memiliki kemampuan untuk menolong dirinya.

Pandangan di atas saat ini mulai bergeser. Selain globalisasi yang berdampak pada faham kapitalisme,  lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata juga telah membawa atmosfir baru dalam pendekatan pembangunan termasuk pembangunan kesejahteraan sosial. Pemerintah telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri. Atmosfir ini kemudian oleh Jim Ife disebut sebagai Change from Below. Atmosfir ini telah memberi kesempatan kepada penerima pelayanan untuk mengambil keputusan dalam rangka menentukan nasibnya sendiri. Mereka  dipandang sebagai aktor yang memiliki potensi dan kemampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri.

Pernyataan di atas sesuai dengan pandangan Jim Ife tentang pemberdayaan. Ife mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu proses pendistribusian kekuasaan dari yang ’memiliki’ kepada yang ’tidak/kurang memiliki’  baik secara individu, kelompok, maupun masyarakat. Dengan pendistribusian tersebut terkandung makna adanya   suatu keyakinan bahwa pihak yang menerima pendistribusian kekuasaan memiliki potensi dan kekuatan serta sumber-sumber untuk mengambil keputusan dalam menentukan nasibnya sendiri.

Pandangan Jim Ife di atas diperkuat dengan pandangan Priyono dan Pranarka (1997), bahwa  pemberdayaan selain pendistribusian kekuasaan (Distribution of Power), juga merupakan proses perubahan  pola relasi dari subjek-objek  menjadi subjek-subjek.  Dalam pengembangan masyarakat relasi demikian dikenal dengan pendekatan partisipatif.

Pengembangan masyarakat dengan pendekatan partisipatif dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menganalisis permasalahan yang dihadapainya dan merencanakan pemecahannya. Dengan demikian masyarakat  dengan kekuatannya sendiri mampu mengupayakan pembangunan untuk dirinya sendiri yang berkelanjutan dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan secara  otonom.

Pendekatan partisipatif dalam pengembangan masyarakat mengarahkan komunitas/masyarakat lokal untuk menyadari adanya prinsip hubungan kesetaraan dan kebersamaan antara dirinya dengan pihak luar seperti pemerintah, pengusaha, dan LSM. Aspek penyadaran inilah yang membedakan antara proses pendekatan pengembangan masyarakat yang mengandalkan pola hubungan subjek-objek (masyarakat pasif) dengan proses pendekatan partisipatif yang mengedepankan pola hubungan subjek-subjek (masyarakat aktif). Pendekatan tersebut akan mengurangi terjadinya proses marjinalisasi masyarakat, sehingga hubungan masyarakat dengan pihak luar (pemerintah, pengusaha, LSM) akan menjadi lebih sepadan dan egaliter, dan tidak lagi ada hubungan searah dan otoriter. Proses ini memberi kepercayaan kepada masyarakat untuk mampu mempertahankan kehidupannya sesuai dengan kemampuan, sumber daya, dan  budaya yang mereka miliki.



Proses Pendampingan sosial  tersebut mengakomodir prinsip pemberdayaan Jim Ife tentang penghargaan akan (1). Pengetahuan lokal; ( 2). Budaya lokal; (3) Sumber daya lokal; (4) Keterampilan lokal; (5) Proses lokal, dan (6) Bekerja dalam suasana kebersamaan. Melalui Pendampingan Sosial telah terjadi pendistribusian kekuasaan, di mana WRSE yang selama ini dianggap powerless diberi kepercayaan untuk  mengambil keputusan dalam menentukan masa depan dan nasibnya sendiri melalui kekuatannya tersebut.  Dengan demikian melalui proses penelitian WRSE diharapkan berdaya. Keberdayaan tersebut ditandai dengan peningkatan kemampuan yang dikemukaan oleh Lorrancaine Gitierrez dalam Jenkins Marry Bricker (1991:199) yaitu kemampun secara personal, interpersonal dan politik. Kemampuan personal adalah kemampuan individu dalam mengidentifikasi dan memahami kekuatan yang dimilikinya. Kemampuan interpersonal adalah kemampuan individu dalam mempengaruhi orang lain dengan menggunakan kekuatan sosialnya. Kekuatan politik adalah kemampuan dalam pengambilan keputusan bersama dan kemampuan dalam mengalokasikan sumber di dalam organisasi atau masyarakat, baik secara formal maupun informal.

II.  Metode Penelitian

1. Disain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif baik dengan pendekatan  kualitatif maupuan pendekatan kuantitatif. Metode penelitian deskriptif merupakan metode penelitian untuk menggambarkan fenomena sosial seperti apa adanya terkait dengan pendampingan sosial bagi wrse. Penggunaan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif  tersebut digunakan untuk saling melengkapi dalam penjaringan data dari berbagai sumber.

2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Depok Kecamatan Pancoran Mas Kelurahan Depok Lama..

      3.      Teknik Sampel
  Teknik sampel yang digunakan pada tahap pertama dalam penelitian ini yaitu stratified random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak berdasarkan stratum/lapisan sosial dalam masyarakat di setiap Desa atau Kelurahan (Suhartono, 2005). Sampel dihitung berdasarkan data lapisan/strata sosial yang tersedia, yaitu data keluarga sejahtera dari BKKBN/PL-KB dengan klasifikasi sebagai berikut :
a.  Keluarga Pra Sejahtera
b. Keluarga Sejahatera 1
c.  Keluarga Sejahtera 2
Dikarenakan jumlah populasi di setiap klasifikasi  proporsional maka diambil sampel dengn menggunakan  random sampling, sesuai dengan tingkatan dalam komunitas sebesar 10% dari populasi (Sarantakos, 2002).
       
4.    Informan Penelitian
Selanjutnya setelah diketahui jumlah sampel dari masing-masing strata sosial, ditentukan jumlah keluarga yang akan dijadikan informan penelitian. Untuk mendapatkan keterwakilan keluarga, dibutuhkan wakil dari keluarga utuh dan keluarga dengan orang tua tunggal. Selanjutnya dipilih lagi keluarga sebanyak 5% dari sampel (Sarantakos,2002) yang akan mewakili kelompok sample untuk wawancara mendalam

4.    Teknik Analisis Data
Teknik analisa data akan dilakukan dengan analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif melalui tahapan sebagai berikut :

a. Reduksi data
Data yang terkumpul diberkaskan  menggunakan alat analisis SPSS untuk data kuantitatif dan V-Info untuk data kualitatif. Data tersebut didukung dokumen transkrip,  dan catatan lapangan.

b. Klasifikasi/Thematik data
Data yang sudah diberkaskan disunting berdasarkan klasifikasi maupun topik-topik pertanyaan penelitian. Tahapan ini merupakan tahapan pengorganisasian data, penajaman, dan seleksi data yang relevan dengan penelitian sehingga data dapat diverifikasi dan ditarik kesimpulan.

c.  Umpan balik/Klarifikasi Data
Data yang sudah dianalisis diserahkan kembali kepada responden dan informan untuk mengecek keabsahan dan kecocokan data dengan makna-makna yang disampaikan mereka. Dengan demikian, data yang dikumpulkan mencapai validasi yang dapat diterima.

d. Pelaporan dan Penyajian data
Data yang sudah diklasifikasikan dan diklarifikasikan kemudian dinterpretasikan dan dianalisis untuk diambil kesimpulan dan disajikan secara sistematik baik dalam bentuk narasi, gambar, maupun tabel dan penyajian dalam bentuk lainnya. Kemudian hasilnya di buat laporan untuk disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian ini.












1.6.9. Tahapan dan Waktu Penelitian            
No
Tahap
Waktu/Bulan
1
Persiapan
a. kerangka penelitian
b. ruang lingkup dan fokus penelitian
c. metodologi penelitian .
Mei  2010 (2 Hari Orang Kerja-HOK)
2
Review konsep dan Data lapangan serta menentuan sampel/responden/informan
 Mei 2010 (3 HOK)
3
Penyusunan Instrument
a. Instrument Survey
b. Instrument Observasi
c. Instrument Wawancara mendalam
d. Instrument FGD
e. Instrumen Assesment
Mei 2010 (7 HOK)
4
Pelatihan Penelitian dan Uji Coba Instrumen  di Lapangan untuk peneliti local
Juni 2010 (7 HOK)
5
Pengumpulan data/verifikasi/ dan analisa serta rekomendasi
Juni  2010 (15 HOK)
6
Penulisan Laporan
Juli   2010 (5 HOK)
7
Review dan Umpan balik/Validasi
 Juli 2010  (6 HOK)
8
Desiminasi / Penyebarluasan hasil
Agustus 2010  (3 HOK)
9
Penulisan Akhir/Finalisasi
Agustus 2010 (5 HOK)

Total
55 hari kerja











PUSTAKA ACUAN
Bambang Rustanto & Tuti Kartika. Metode Musyawarah Perencanaan Pembangunan Partisipatif (MP3L). STKS Depok : tidak dipublikasikan.
Bambang Rustanto, 2002, Metode Partisipatori Assesment dan Rencana Tindak Dalam Pengembangan Masyarakat, STKS Depok : tidak dipublikasikan
Burkey Stan, 1993, People First A guide to Self-Reliant, Participatory Rural Development, London : New Jersey
Dubois Brenda & Milley. 1997. Social Work An Empowering Profession . Boston : Allyn & Bacon 
Elison, Kenneth ,1997 : Technology of Participation (TOP) basic Group Fasilitation Methods Manual, Manila  : ARD/Gold
.
Ife Jim. 2002. Community Development Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Australia : Person Education Australia
Ilham Cendekia. 2002. Metode Fasilitasi Pembuatan Keputusan Partisipatif. Jakarta : PATTIRO
Jenkins Marry Bricker, dkk. 1991. Feminist Social Work Practice in Clinical Settings. New Delhi : Sage Publication.
Moleong Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Depok : Remaja Rosdakarya.

Mukerje Nilanjana, 1999: Methodology Particiapatory Assesment (MPA)  for Rurat   Development, New Delhi  : New Era  

Prijono S. Ony, 1996, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic and International Studies
Sarantakos S. 1993. Social Research. Melbourne : Macmillan Education Australia.
Schwandt A. Thomas. 1997. Dictionary of Qualitative inquiry. London : Sage Publications
Suharto Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Depok : ALPABETA.
Zulminarni & arifin Junaidi ,Ed, 1994, Panduan Tenaga Pendamping Lapangan (TPL) Perempuan, Jakarta : PPSW
Zastrow Charles. 1982. Introduction to Social Welfare Institutions Social Problems, Services, and Current Issues. USA : The Dorsey Press.

Wadsworth Yoland. 1991. Everyday Evaluation On The Run. Melbourne : Action Research Issues Association (Incorporated)




No comments:

Post a Comment