Peneliti:
BAMBANG RUSTANTO
A. Latar Belakang
Masalah
kemiskinan merupakan salah satu masalah konvensional, namun masih relevan untuk
didiskusikan karena permasalahannya yang terus meningkat dan semakin kompleks. Data terakhir tentang keluarga miskin di
Indonesia yang digunakan Pemerintah
untuk menyalurkan Subsidi Langsung Tunai (SLT) berjumlah 15,8 juta kepala keluarga miskin. Atau kurang
lebih 62,8 juta jiwa. Jumlah ini baru
yang memiliki Kartu Keluarga (KK) dan
Kartu Tanda Penduduk (KTP). Boleh jadi jumlah ini masih terus bertambah, karena
masih banyak penduduk miskin tidak terdata karena tidak mampu membuat KK dan
KTP karena biayanya mahal. Dari total jumlah tersebut, sepertiganya atau 20
juta lebih berada pada kondisi yang sangat miskin (Sumber : Pikiran Rakyat Depok,
15 Maret 2006).
Salah
satu kelompok yang termasuk dalam kemiskinan adalah perempuan. Perempuan secara
statiskik di Indonesia jumlahnya lebih tinggi dari pada jumlah pria, akan
tetapi akses dan kesempatan untuk menerima pembangunan berbeda. Dalam sektor
pendidikan jumlah perempuan buta huruf dua kali lipat lebih besar dibanding dengan laki-laki. Angka yang paling
menyolok terlihat pada jenjang pendidikan SMU ke atas, yaitu 20,5 % laki-laki
bisa mencapai pendidikan tersebut, sedangkan perempuan 14,9 %. Pada sektor
kesehatan, perempuan jauh lebih rentan karena memiliki fungsi reproduksi yang
berhubungan dengan hamil dan melahirkan dari pada laki-laki. Dalam sektor
pekerjaan, tenaga kerja perempuan yang terserap di dunia kerja 45,6 %,
sedangkan pria 73,5 % (Kementrian Pemberdayaan Perempuan : 2002). Dalam sektor
ekonomi Pusdatin Departemen Sosial, mencatat data tentang jumlah WRSE terus
bertambah. Pada tahun 2000 sebanyak 1.360.263 dan pada tahun 2002 berjumlah 1.449.203,
bertambah sekitar 6.53 % dalam kurun waktu 2 tahun.
Permasalahan
yang dihadapi perempuan bukan hanya ketidakadilan dalam mengakses sistem sumber
pada tatanan mezzo dan makro, akan tetapi perlakuan ketidakadilan yang
diperoleh dalam keluarganya sendiri. Tidak sedikit kasus yang dialami perempuan
karena kemiskinan yang dialami keluarganya, dia yang lebih menderita. Banyak
kasus yang bersumber dari kemiskinan keluarga berdampak pada kekerasan terhadap
perempuan. Pada tahun 2000 terdapat 10.392 kasus, tahun 2002 meningkat menjadi
28.562, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat bahwa sekitar 24
juta perempuan terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dalam
keluarganya.
Telah banyak program dan proyek yang berusaha
”memerangi” kemiskinan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat. Namun belum juga membuahkan
hasil yang diharapkan. Sejak tahun 1948 sampai dengan sekarang (2006), tidak
kurang dari 29 jenis program (Sumber : Pikiran Rakyat, 6 Maret 2006) yang
diluncurkan oleh Pemerintah untuk “memerangi” kemiskinan. Tetapi kemiskinan tetap
bertahan. Ada anggapan yang muncul, mungkin memang kemiskinan terlalu tangguh
bilamana ditangani dengan ketidakseriusan, penyelewengan, dan salah pengertian.
Atau mungkin juga karena yang diperangi sesungguhnya bukan kemiskinan atau si
miskin. Pernyataan ini sering dikenal
dengan ’sebutan salah sasaran’.
Permasalahan
di atas muncul antara lain karena pendekatan yang digunakan tidak melibatkan
orang miskin dalam proses perencanaan program maupun dalam pelaksanaannya. Orang
miskin dianggap tidak memiliki potensi dan kekuatan sehingga mereka dianggap
sebagai objek. Pendekatan ini secara tidak langsung memperparah kondisi orang miskin, karena
mengakibatkan ketergantungan baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.
Ketergantungan ekonomi, dia hanya menerima apa yang diberikan orang lain
kepadanya tanpa ada upaya untuk memperolehnya.
Ketergantungan sosial, menyangkut ketidakmampuan untuk mengakses sistem
sumber sebagai dasar produksi. Ketergantungan politik adanya ketidakberanian
dalam mengambil keputusan untuk menentukan masa depan dan nasibnya sendiri.
Kondisi ini yang kemudian disebut dengan ketidakberdayaan
atau powerless. Menurut
Hill dalam Zastrow (1995), ketidakberdayaan tersebut terutama banyak dialami
oleh kaum perempuan (Feminization of
Poverty).
Kelurahan Depok lama terletak 10 KM arah Utara dari ibu kota Depok. Apabila
menggunakan kendaraan bermotor dapat ditempuh selama 1/2 jam. Pemerintahan
Kelurahan Depok lama terdiri dari 8 RW dan 26 RT. Kelurahan tersebut dihuni
oleh 4.384 dan 1.406 KK. Apabila dirinci dari segi mata pencahariannya, maka
yang menonjol adalah pedagang sebanyak 26 %, buruh tani 26 %, dan petani 19 %. Jumlah
keluarga miskin di Kelurahan Depok lama berjumlah 326 KK dengan WRSE sebanyak 38 KK dan semua menerima BLT.
Kondisi sosial masyarakat Kelurahan Depok lama cukup baik. Hal ini nampak
dengan adanya pranata-pranata social seperti kelompok pengajian, kelompok
arisan yang mewadahi partisipasi masyarakat dan kekerabatan warga. Kelembagaan
ekonomi juga tersedia dengan adanya koperasi yang beraggota 200 orang warga, 3
buah kelompok simpan pinjam yang beranggotakan 75 orang, 14 kelompok sosial
yang berjumlah 100 orang. Namun lembaga-lembaga ekonomi tersebut belum dapat
mewadahi seluruh warga miskin, apalagi WRSE, sehingga masih banyak WRSE yang
mempunyai usaha skala mikro yang belum tersentuh program bantuan ekonomi. Kalaupun ada namun sifatnya masih pemberian
’bantuan’, seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), infak, zakat, dan
hadiah. Program tersebut tidak mengajak mereka untuk berdialog, tidak memberi
kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan perasaannya, kebutuhannya,
apalagi rencana hidupnya di masa mendatang.
B. Permasalahan Penelitian
Program
penanganan masalah kemiskinan semakin gencar, namun sifatnya masih reaktif dan tidak
substansial. Oleh karena itu masalah kemiskinan bukan berkurang, tetapi semakin kompleks. Masalah
tersebut semakin dirasakan terutama oleh kelompok miskin perempuan. Perempuan
yang paling merasakan dampak kemiskinan keluarganya, karena selain mengalami
serba kekurangan dia juga harus mengalami tindak kekerasan. Dalam program pengentasan kemiskinan, perempuan miskin hampir dilupakan
keberadaannya, kalaupun ada hanya sebagai pelengkap untuk memenuhi persyaratan di dalam
pengarusutamaan jender.
Sebagai
kelompok masyarakat miskin perempuan juga memiliki hak untuk menjadi subjek
pelaku pembangunan, terutama pembangunan yang akan berkaitan dengan
kehidupannya. Pelibatan perempuan miskin dalam perencanaan dan pelaksanaan
program merupakan model hipotetik pemberdayaan
perempuan yang dalam nomenklatur Departemen Sosial disebut Wanita Rawan Sosial
Ekonomi (WRSE) sekaligus sebagai
kerangka dasar pengembangan kapasitas perempuan di tingkat lokal.
Berdasarkan
pernyataan masalah tersebut, maka pertanyaan
pokok dalam penelitian ini adalah : Bagaimana
Pendampingan Sosial Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE). Pertanyaan
tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam sub-sub pertanyaan sebagai berikut :
1.
Bagaimana gambaran lokasi penelitian ?
2.
Bagaimana Permasalahan yang dihadapi WRSE ?
3.
Bagaimana Sumber Daya yang dimiliki WRSE?
4. Bagaimana Proses Pendampingan
Sosial WRSE?
5. Bagaimana pelaksanaan program pendampingan
sosial WRSE?
6.
Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap
pelaksanaan program pendampingan sosial WRSE?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
ini bertujuan untuk :
a.
Menerapkan pendampingan sosial dalam menyusun program
sosial WRSE
b.
Menghasilkan program pendampingan sosial yang memberi
kesempatan kepada WRSE untuk menentukan nasib dan masa depannya berdasarkan
kekuatannya sendiri.
c.
Untuk mengetahui perubahan tingkat keberdayaan WRSE
2. Manfaat
Manfaat dalam
penelitian adalah :
a. Menghasilkan
teknologi pekerjaan social yang siap pakai dalam pengembangan masyarakat
b.
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan
bagi semua pihak pemerhati kemiskinan dan perempuan termasuk Departemen
Sosial dalam menetapkan kebijakan
pembangunan kesejahteraan sosial, terutama yang terkait dengan pemberdayaan
keluarga miskin khususnya pemberdayaan WRSE.
I. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan
Pustaka
1. Kemiskinan dan Pekerjaan Sosial
Pada awal
perkembangannya usaha kesejahteraan sosial tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan-kegiatan charitatif untuk menolong orang-orang miskin baik akibat
korban peperangan maupun korban persaingan industrialisasi. Pada awal abad 17, di Eropah dikeluarkan
undang-undang pengentasan kemiskinan. Undang-undang tersebut dikenal dengan
nama Elizabeth Poor Law. Sejak
undang-undang tersebut muncul, kegiatan pekerjaan sosial mulai dirintis walupun
sifatnya masih charitas. Tidak bisa
dipungkiri bahwa kegiatan pekerjaan sosial
terus berkembang sampai pada akhirnya muncul kebutuhan akan pekerjaan sosial sebagai suatu
profesi yang dibangun melalui pendidikan formal.
Sampai
saat ini, masalah kemiskinan tetap merupakan masalah yang masih relevan
untuk didiskusikan, karena walaupun program pengentasan kemiskinan sudah banyak
diluncurkan, namun masalah kemiskinan bukan berkurang, melainkan terus
bertambah. Salah satu penyebab angka
kemiskinan terus bertambah karena kemiskinan merupakan masalah yang
multidimensional.
Banyak
para ahli yang menyatakan bahwa kemiskinan pada dasarnya adalah suatu keadaan
di mana seseorang tidak sanggup memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sedangkan
faktor penyebabnya sangat kompleks, sehingga relatif sulit untuk
memeranginya. Zastrow (1982 : 94)
menyatakan banyak hal yang menyebabkan kemiskinan. Masalah tersebut terkait
dengan masalah-masalah sosial yang lainnya seperti tingkat pengangguran yang
tinggi, kesehatan yang rendah, masalah emosional, tingkat pendidikan rendah,
dan sebagainya. Oleh karena itu Zastrow
menggambarkan bahwa kemiskinan merupakan siklus, di mana orang yang sudah masuk
di dalamnya sulit untuk keluar. Seperti digambarkan dalam diagram berikut :
![]() |
![]() |
||

![]() |
|||
![]() |
|||
Lingkaran kemiskinan

kemiskinan berlanjut
ke
generasi
beikutnya
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||

![]() |
|||||||||
![]() |
|||||||||
![]() |
|||||||||
![]() |
|||||||||
|
Menurut
Chamber dalam Soetrisno (1997 : 18), ada
lima ketidakberuntungan yang melingkari kehidupan orang miskin, yaitu
kemiskinan itu sendiri, fisik yang lemah, kerentanan, keterisolasian, dan
ketidakberdayaan . Lima kondisi dari Chamber tersebut apabila digolongkan
berdasarkan perspektif kultural dan struktural menjadi 2 besaran, yaitu
kultural yang memandang kemiskianan sebagai dampak dari budaya orang miskin
yang malas, tidak memiliki etos kerja, memiliki pendidikan yang rendah, dan sebagainya
yang berhubungan dengan perilaku orang miskin itu sendiri. Sedangkan perspektif
struktural memandang bahwa seseorang miskin disebabkan karena
ketidakberdayaannya dalam menembus truktur yang tidak berpihak kepadanya.
Mengingat
kemiskinan bersifat multidimensional, maka penanganannya tidak hanya berorientasi
pada masalah dan bersifat reaktif,
melainkan membutuhkan penanganan yang terpadu pada berbagai determinan yang
mempengaruhinya. Oleh karena itu paradigma penanganan masalah kemiskinan harus
mulai dirubah dari bantuan sosial yang bersifat charitas ke pemberdayaan.
2.
Pendampingan Sosial WRSE
Arus
globalisasi yang sangat kuat ternyata telah memperkokoh faham kapitalisme dalam
berbagai pendekatan pembangunan di Indonesia. Faham ini ditandai dengan
efisiensi, rasionalisasi, dan indikator-indikator ekonomi lainnya. Oleh karena
itu faham ini telah melahirkan kritikan yang sangat tajam terhadap faham welfare state . Kritik tersebut
memunculkan anggapan bahwa welfare state merupakan
sistem yang boros, tidak mampu memberdayakan masyarakat, menimbulkan
stigmatisasi dan bahkan jebakan kemiskinan (poverty
trap) terhadap populasi sasarannya Edi Suharto (2005 : 37). Salah satu
kritik yang sering dilontarkan kepada welfare
state adalah terlalu dominannya peran pemerintah dalam merencanakan dan
sekaligus melakukan intervensi terhadap penanganan masalah. Selain menimbulkan
beban terhadap anggaran negara, pendekatan ini sering menimbulkan
ketergantungan kepada penerima pelayanan. Dalam praktik pekerjaan sosial,
pekerja sosial dipandang sebagai penolong yang serba bisa. Sementara klien
dipandang sebagai penerima bantuan yang seakan-akan tidak memiliki kemampuan
untuk menolong dirinya.
Pandangan
di atas saat ini mulai bergeser. Selain globalisasi yang berdampak pada faham
kapitalisme, lahirnya Undang-Undang No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata juga telah membawa atmosfir
baru dalam pendekatan pembangunan termasuk pembangunan kesejahteraan sosial.
Pemerintah telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
membangun dirinya sendiri. Atmosfir
ini kemudian oleh Jim Ife disebut sebagai Change
from Below. Atmosfir ini telah memberi kesempatan kepada penerima pelayanan
untuk mengambil keputusan dalam rangka menentukan nasibnya sendiri. Mereka dipandang sebagai aktor yang memiliki potensi
dan kemampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri.
Pernyataan
di atas sesuai dengan pandangan Jim Ife tentang pemberdayaan. Ife
mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu proses pendistribusian kekuasaan dari
yang ’memiliki’ kepada yang ’tidak/kurang memiliki’ baik secara individu, kelompok, maupun
masyarakat. Dengan pendistribusian tersebut terkandung makna adanya suatu
keyakinan bahwa pihak yang menerima pendistribusian kekuasaan memiliki potensi
dan kekuatan serta sumber-sumber untuk mengambil keputusan dalam menentukan
nasibnya sendiri.
Pandangan
Jim Ife di atas diperkuat dengan pandangan Priyono dan Pranarka (1997),
bahwa pemberdayaan selain
pendistribusian kekuasaan (Distribution
of Power), juga merupakan proses perubahan
pola relasi dari subjek-objek menjadi
subjek-subjek. Dalam pengembangan
masyarakat relasi demikian dikenal dengan pendekatan partisipatif.
Pengembangan
masyarakat dengan pendekatan partisipatif dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menganalisis permasalahan yang dihadapainya dan
merencanakan pemecahannya. Dengan demikian masyarakat dengan kekuatannya sendiri mampu mengupayakan
pembangunan untuk dirinya sendiri yang berkelanjutan dalam bidang sosial,
ekonomi, dan lingkungan secara otonom.
Pendekatan
partisipatif dalam pengembangan masyarakat mengarahkan komunitas/masyarakat
lokal untuk menyadari adanya prinsip hubungan kesetaraan dan kebersamaan antara
dirinya dengan pihak luar seperti pemerintah, pengusaha, dan LSM. Aspek
penyadaran inilah yang membedakan antara proses pendekatan pengembangan
masyarakat yang mengandalkan pola hubungan subjek-objek (masyarakat pasif)
dengan proses pendekatan partisipatif yang mengedepankan pola hubungan
subjek-subjek (masyarakat aktif). Pendekatan tersebut akan mengurangi
terjadinya proses marjinalisasi masyarakat, sehingga hubungan masyarakat dengan
pihak luar (pemerintah, pengusaha, LSM) akan menjadi lebih sepadan dan
egaliter, dan tidak lagi ada hubungan searah dan otoriter. Proses ini memberi
kepercayaan kepada masyarakat untuk mampu mempertahankan kehidupannya sesuai
dengan kemampuan, sumber daya, dan
budaya yang mereka miliki.
Proses Pendampingan
sosial tersebut mengakomodir prinsip
pemberdayaan Jim Ife tentang penghargaan akan (1). Pengetahuan lokal; (
2). Budaya lokal; (3) Sumber daya lokal; (4) Keterampilan lokal; (5) Proses lokal,
dan (6) Bekerja dalam suasana kebersamaan. Melalui Pendampingan Sosial telah
terjadi pendistribusian kekuasaan, di mana WRSE yang selama ini dianggap powerless diberi kepercayaan untuk mengambil keputusan dalam menentukan masa
depan dan nasibnya sendiri melalui kekuatannya tersebut. Dengan demikian melalui proses penelitian WRSE
diharapkan berdaya. Keberdayaan
tersebut ditandai dengan peningkatan kemampuan yang dikemukaan oleh Lorrancaine
Gitierrez dalam Jenkins Marry Bricker (1991:199) yaitu kemampun secara
personal, interpersonal dan politik. Kemampuan
personal adalah kemampuan individu dalam mengidentifikasi dan memahami
kekuatan yang dimilikinya. Kemampuan
interpersonal adalah kemampuan individu dalam mempengaruhi orang lain
dengan menggunakan kekuatan sosialnya. Kekuatan
politik adalah kemampuan dalam pengambilan keputusan bersama dan kemampuan
dalam mengalokasikan sumber di dalam organisasi atau masyarakat, baik secara
formal maupun informal.
II. Metode Penelitian
1. Disain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif
baik dengan pendekatan kualitatif
maupuan pendekatan kuantitatif. Metode penelitian deskriptif merupakan metode
penelitian untuk menggambarkan fenomena sosial seperti apa adanya terkait
dengan pendampingan sosial bagi wrse. Penggunaan pendekatan kualitatif maupun
kuantitatif tersebut digunakan untuk
saling melengkapi dalam penjaringan data dari berbagai sumber.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota
Depok Kecamatan Pancoran Mas Kelurahan Depok Lama..
3. Teknik
Sampel
Teknik sampel yang digunakan pada tahap
pertama dalam penelitian ini yaitu stratified
random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak berdasarkan
stratum/lapisan sosial dalam masyarakat di setiap Desa atau Kelurahan (Suhartono,
2005). Sampel dihitung berdasarkan data lapisan/strata sosial yang tersedia,
yaitu data keluarga sejahtera dari BKKBN/PL-KB dengan klasifikasi sebagai
berikut :
a. Keluarga
Pra Sejahtera
b. Keluarga
Sejahatera 1
c. Keluarga
Sejahtera 2
Dikarenakan jumlah populasi
di setiap klasifikasi proporsional maka
diambil sampel dengn menggunakan random
sampling, sesuai dengan tingkatan dalam komunitas sebesar 10% dari populasi
(Sarantakos, 2002).
4. Informan Penelitian
Selanjutnya setelah diketahui
jumlah sampel dari masing-masing strata sosial, ditentukan jumlah keluarga yang
akan dijadikan informan penelitian. Untuk mendapatkan keterwakilan keluarga,
dibutuhkan wakil dari keluarga utuh dan keluarga dengan orang tua tunggal.
Selanjutnya dipilih lagi keluarga sebanyak 5% dari sampel (Sarantakos,2002)
yang akan mewakili kelompok sample untuk wawancara mendalam
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data akan
dilakukan dengan analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif melalui
tahapan sebagai berikut :
a. Reduksi
data
Data yang terkumpul diberkaskan menggunakan alat analisis SPSS untuk data kuantitatif dan V-Info untuk data kualitatif. Data
tersebut didukung dokumen transkrip, dan
catatan lapangan.
b. Klasifikasi/Thematik data
Data yang sudah diberkaskan disunting berdasarkan
klasifikasi maupun topik-topik pertanyaan penelitian. Tahapan ini merupakan
tahapan pengorganisasian data, penajaman, dan seleksi data yang relevan dengan
penelitian sehingga data dapat diverifikasi dan ditarik kesimpulan.
c. Umpan
balik/Klarifikasi Data
Data yang sudah dianalisis diserahkan kembali kepada
responden dan informan untuk mengecek keabsahan dan kecocokan data dengan
makna-makna yang disampaikan mereka. Dengan demikian, data yang dikumpulkan
mencapai validasi yang dapat diterima.
d. Pelaporan dan Penyajian data
Data yang sudah diklasifikasikan dan
diklarifikasikan kemudian dinterpretasikan dan dianalisis untuk diambil
kesimpulan dan disajikan secara sistematik baik dalam bentuk narasi, gambar,
maupun tabel dan penyajian dalam bentuk lainnya. Kemudian hasilnya di buat
laporan untuk disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil
penelitian ini.
1.6.9. Tahapan dan Waktu Penelitian
No
|
Tahap
|
Waktu/Bulan
|
1
|
Persiapan
a. kerangka penelitian
b. ruang lingkup dan fokus penelitian
c. metodologi penelitian .
|
Mei 2010 (2 Hari Orang
Kerja-HOK)
|
2
|
Review konsep dan Data
lapangan serta menentuan sampel/responden/informan
|
Mei 2010 (3 HOK)
|
3
|
Penyusunan Instrument
a. Instrument Survey
b. Instrument Observasi
c. Instrument Wawancara mendalam
d. Instrument FGD
e. Instrumen Assesment
|
Mei 2010 (7 HOK)
|
4
|
Pelatihan Penelitian dan Uji Coba Instrumen di Lapangan untuk peneliti local
|
Juni 2010 (7 HOK)
|
5
|
Pengumpulan data/verifikasi/ dan analisa serta rekomendasi
|
Juni 2010 (15 HOK)
|
6
|
Penulisan Laporan
|
Juli 2010 (5 HOK)
|
7
|
Review dan Umpan balik/Validasi
|
Juli 2010 (6 HOK)
|
8
|
Desiminasi / Penyebarluasan hasil
|
Agustus 2010 (3 HOK)
|
9
|
Penulisan Akhir/Finalisasi
|
Agustus 2010 (5 HOK)
|
|
Total
|
55 hari kerja
|
PUSTAKA ACUAN
Bambang
Rustanto & Tuti Kartika. Metode
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Partisipatif (MP3L). STKS Depok : tidak dipublikasikan.
Bambang
Rustanto, 2002, Metode Partisipatori
Assesment dan Rencana Tindak Dalam Pengembangan Masyarakat, STKS Depok
: tidak dipublikasikan
Burkey Stan, 1993, People First A guide to Self-Reliant,
Participatory Rural Development, London
: New Jersey
Dubois Brenda & Milley.
1997. Social Work An Empowering
Profession . Boston
: Allyn & Bacon
Elison, Kenneth
,1997 : Technology of Participation (TOP)
basic Group Fasilitation Methods Manual, Manila
: ARD/Gold
.
Ilham Cendekia. 2002. Metode Fasilitasi Pembuatan Keputusan
Partisipatif. Jakarta
: PATTIRO
Jenkins Marry Bricker, dkk. 1991. Feminist Social Work Practice in Clinical
Settings. New Delhi : Sage Publication.
Moleong Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Depok : Remaja Rosdakarya.
Mukerje
Nilanjana, 1999: Methodology
Particiapatory Assesment (MPA) for
Rurat Development, New Delhi : New Era
Prijono S. Ony, 1996, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, dan
Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic and International
Studies
Sarantakos S.
1993. Social Research. Melbourne :
Macmillan Education Australia.
Schwandt A. Thomas. 1997. Dictionary of Qualitative inquiry. London : Sage Publications
Suharto Edi.
2005. Analisis Kebijakan Publik. Depok
: ALPABETA.
Zulminarni
& arifin Junaidi ,Ed, 1994, Panduan Tenaga Pendamping Lapangan (TPL)
Perempuan, Jakarta : PPSW
Zastrow Charles. 1982. Introduction to Social
Welfare Institutions Social Problems, Services, and Current Issues. USA : The
Dorsey Press.
Wadsworth Yoland. 1991. Everyday Evaluation On The Run. Melbourne : Action Research Issues
Association (Incorporated)
No comments:
Post a Comment