Search This Blog

Search This Blog

Thursday, January 8, 2015

KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL

"Seandainya Kemiskinan Berwujud Seorang Manusia,
Niscaya Aku Akan Membunuhnya"
(Ali bin Abi Thalib)

I.             PENDAHULUAN
           Kemiskinan tak akan pernah usai dibicarakan. Diskusi tentang kemiskinan terus dilakukan dan diseminarkan baik ditingkat lokal sampai tataran internasional, bertempat diwarung kopi sampai di hotel-hotel berbintang. Selama bertahun-tahun, isu kemiskinan menjadi perhatian serius dan fokus kajian para sarjana dan perumus kebijakan publik. Bahkan tidak sedikit konsultan yang dihadirkan, manajer program dan para pegiat kemiskinan yang dilibatkan untuk menanggulangi kemiskinan malah berlimpah kekayaan. Kalau boleh penulis katakan bahwa kemiskinan merupakan tragedy kemanusiaan dan sekaligus menjadi “peluang usaha” yang menjanjikan.

           Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan misteri kemiskinan ini. Kemiskinan memang menjadi masalah global dan tak satupun Negara yang kebal terhadap permasalahan ini. Karenanya seluruh negara di dunia ini sepakat bahwa kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan dan peradaban serta harus ditanggulangi secara komprehensif, integral dan berkelanjutan.

           Berkait dengan hal tersebut, pada Tahun 2000 para pemimpin negara sedunia melakukan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York. Pertemuan itu berhasil menetapkan kesepakatan dalam upaya mengurangi separuh dari kemiskinan di dunia sebagai “Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals)” bagi negara negara anggota PBB yang harus dicapai pada tahun 2015 melalui 8 (delapan) jalur sasaran, yaitu: (1) Mengurangi separuh proporsi penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan; (2) Mengurangi separuh proporsi jumlah penduduk yang tidak memiliki akses pada air minum yang sehat; (3) Menjamin semua anak, lakilaki dan perempuan, menyelesaikan sekolah dasar; (4) Menurunkan hingga 2/3 kematian bayi dan anak dibawah usia lima tahun; (5) Menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS, malaria, dan jenis penyakit menular lainnya; (6) Menghilangkan ketidaksetaraan gender di sekolah; (7) Menerapkan dengan konsekuen kebijakan pembangunan berkelanjutan; dan (8) Mengembangkan kemitraan untuk pembangunan di semua tingkatan.

           Komitmen semua bangsa di dunia untuk menghapus kemiskinan dari muka bumi ini ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam “Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para Kepala Negara/Pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September  2002, dan kemudian dituangkan dalam dokumen “Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan,” yang juga telah ditandatangani oleh Presiden RI, untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, dimana pemerintah dan semua perangkat negara bersama dengan berbagai unsure masyarakat memikul tanggung jawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus pengentasan kemiskinan tersebut, paling lambat tahun 2015.

           Di Indonesia, masalah kemiskinan menjadi isu sentral pasca krisis multidimensional pada Tahun 1997 lalu. Pada saat itu jumlah orang miskin meningkat tajam. Sebelum krisis yaitu pada Tahun 1996, orang miskin mencapai 11.3 persen. Namun pasca krisis yaitu pada akhir Tahun 1999 mencapai 66,3 persen atau 129,6 juta orang dari jumlah penduduk Indonesia saat itu (BPS,1999). Namuan data terakhir dari BPS menyebutkan bahwa Jumlah penduduk miskin ( penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 yang berjumlah 34,96 juta (15,42 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta.

Penanggulanan kemiskinan merupakan tanggung jawa semua pihak dan lintas sektoral. Bukan hanya institusi pemerintah namun masyarakat luas baik LSM, Perusahaan, lingkungan pendidikan maupun unsure keagamaan memiliki tanggung jawab yang sama. Pekerjaan social sebagai salah satu elemen bangsa yang turut andil dalam upaya penanggulangan tersebut. Pekerjaan sosial merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu, keluarga, kelompok dan masyarakat agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan peranannya.

II.        KONSEPSI KEMISKINAN
        Kemiskinan memiliki banyak definisi. Selama ini sebenarnya sudah banyak  dilakukan studi dan kajian tentang kemiskinan, akan tetapi jawaban atas pertanyaan apa kemiskinan dan apa pula factor penyebab sehingga kemiskinan sulit diberantas, pada umumnya masih belum ada kesepahaman. Antara ahli yang satu dan dengan ahli yang lain memberikan definisi yang berbeda-beda. Berikut beberapa definisi kemiskinan :
1.    Konsepsi Ekonomi
Dimata sebagian ahli, kemiskinan seringkali didefinisikan semata-mata hanya sebagai fenomena ekonomi. Tolak ukur yang digunakan biasanya melihat dari perspektif income poverty yaitu pendapatan sebagai satu-satunya indicator “garis kemiskinan”. Hal ini bisa kita lihat pada pendapatnya Emil Salim ( dalam Suyanto 2005 ) menyebutkan bahwa kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Definisi dari sisi pendapatan juga disampaikan oleh Bank Dunia (1990) yaitu mendefinisikan kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1 per hari. Begitu juga definisi yang diberikan oleh BPS dan Depsos ( dalam edi Suharto, 2004 ) bahwa :
kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan ( poverty treshoold ). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian,i dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.

Pendapat lainnya disampaikan oleh Ali Khomsan dkk, Miskin : 3,6 x daging sapi per bulan. Dan Ahluwalia menetapkan garis kemiskinan internasional sebesar US $ 75 per kapita pertahun untuk negara maju dan US $ 50 per kapita pertahun untuk negara berkembang.

           Banyaknya pendapat ahli yang bermatra ekonomi harus kita akui sebagai bagian dari  upaya memperjelas tentang apa yang disebut kemiskinan. Bisa jadi mereka mungkin benar, tetapi diakui atau tidak bahwa pendapat mereka tidak mencerminkan kondisi nyata keluarga yang mengalami kemiskinan.  Sejatinya kemiskinan bukan semata-mata karena factor ekonomi belaka namun lebih dari itu bahwa kemiskinan seharusnya melihat dimensi lain yang terkait seperti social, budaya dan politik.

2.    Konsepsi Agama Islam
           Perhatian agama Islam terhadap masalah kemiskinan tersebut sangat besar. Hal ini bisa kita lihat dalam al-Qur'an dimana kata miskin dan masakin disebut sampai 25 kali, sementara faqir dan fuqoro sampai 14 kali (Muhammad Abdul Baqi'). Allah SWT berfirman "berikanlah makan kepada orang yang lagi faqir" (QS. AL-Hajj, 22 : 8).
           Nabi Muhammad SAW sendiri berdo'a "aku berlindung kepada-Mu dan kefakiran dan kekufuran ".(H.R Abu Daud). Mengapa demikian,hadits lain menyebutkan bahwa kefakiran yang menimpa seseorang atau suatu bangsa cenderung akan berperilaku kufur (Kadal Faqru An Yakuuna Kufran). Kufur disini tidak hanya lawan dari iman, melainkan juga lawan dari syukur atas nikmat- nikmat yang dianugrahkan Allah SWT.
Menurut Yusuf Al-Qardawy1, akibat negatif dari kefakiran dan kemiskinan itu bisa merusak aqidah, moral dan retaknya keluarga serta masyarakat dan negara. Dalam Islam ada dua Madzhab dalam menjelaskan tentang siapa sebenarnya yang disebut miskin itu. Pertama, madzhab Hanafi dan Maliki yang berpendapat miskin itu adalah "orang yang tidak mempunyai sesuatupun juga". Kedua, madzhab Hambali dan Syafi'i yang menyatakan miskin itu adalah "orang yang mempunyai seperdua dari keperluannya atau lebih tetapi tidak mencukupi".
Dalam kehidupan kita, biasanya kata miskin dijadikan kata majemuk dengan faqir2, sehingga menjadi faqir miskin yang artinya kurang lebih sama.  Menurut hemat saya, faqir dapat disamakan dengan kemiskinan absoulut dan miskin dengan kemiskinan relatif. Hal ini terdapat beberapa pendirian terhadap masalah kemiskinan. Pertama, pendirian yang menyucikan kemiskinan. Bagi golongan ini kemiskinan bukan masalah yang harus dipecahkan, tetapi harus dibiarkan, karena dengan demikian manusia manusia bisa berkonsentrasi berhubungan dengan Tuhannya, tidak di ganggu dengan urusan duniawi. Kedua, pendirian para fatalis yang menganggap bahwa kemiskinan itu merupakan taqdir Allah dan manusia harus sabar dengan ujian itu. Ketiga, pendirian ketiga sama dengan fatalis, namun mereka maju selangkah. Yaitu secara perorangan mereka harus membantu orang-orang miskin. Madzhab ini dikenal sebagai "kebajikan Pribadi". Keempat, kaum kapitalis memandang kemiskinan adalah menimbulkan problem yang harus diselesaikan dengan orang miskin sendiri, sedangkan orang kaya bebas dalam mempergunakan hartanya. Kelima, Kaum Marxis yang menyatakan bahwa kemiskinan itu bisa diatasi kalau kaum borjuis dan kekayaannya tidak dimusnahkan, tetapi lalu ditata kelas-kelas baru.

3.    Konsepsi Multidimensional
         Konsep kemiskinan jika dipandang secara multidimensional dianggap akan lebih tepat dan dapat mencakup keseluruhan aspek dari masalah kemiskinan serta dapat manjadi pisau analisis dalam merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan. Beberapa ahli yang menganut matra multidimensional seperti Friedman (1979) sebagaimana dikutip Suyanto (2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan social yang meliputi: (a). Modal produktif atas asset (tanah,perumahan,peralatan dan kesehatan. (b) Sumber keuangan (income dan kredit yang memadai. (c) organisasi social dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi). (d). Network atau jaringan social untuk memperoleh pekerjaan,barang-barang, pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. (e) Informasi-informasi yang  berguna untuk kehidupan.
        
         Sedangkan Komisi Eropa, 1984 ”Kemiskinan harus dimaknai: orang, keluarga, dan sekelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan sumber daya,material, sosial, dan budaya sehingga menghalangi mereka untuk dapat hidup layak menurut ukuran paling minimal di suatu negara tempat mereka bermukim”. Definisi lainnya disampaikan oleh Nasikun (1995), ia mengatakan bahwa kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan:
“ Kemiskinan adalah sebuah fenomenamulti asset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan asset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain : informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan capital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”.

           Ekonom Amartya Sen juga mengenalkan makna kemiskinan secara lebih luas, yakni ketidakmampuan manusia, yang ditandai pendidikan rendah, tak berpengetahuan, tak berketerampilan, tak berdayaan. Bahkan, Sen menyentuh dimensi politik: ketiadaan kebebasan dan keterbatasan ruang partisipasi, yang menghalangi warga untuk terlibat proses pengambilan kebijakan publik. Dalam situasi demikian, masyarakat ada dalam posisi tidak setara untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber ekonomi produktif sehingga terhalang untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak mereka ( Development as Freedom, 1999).

           Ekonom lainnya yaitu Penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2006, dalam bukunya Bank Kaum Miskin (Grameen Bank), Profesor Muhammad Yunus (2007: 274) menjelaskan bahwa
“ Kemiskinan tercipta karena kita membangun kerangka teoritis berdasarkan asumsi-asumsi yang merendahkan kapasitas manusia, dengan merancang konsep-konsep yang terlampau sempit (seperti konsep bisnis, kelayakan kredit, kewirausahaan, lapangan kerja) atau mengembangkan lembaga-lembaga yang belum matang (seperti lembaga-lembaga keuangan yang tidak mengikutsertakan kaum miskin). Kemiskinan disebabkan oleh kegagalan pada tataran konseptual, dan bukan kurangnya kapabilitas di pihak rakyat.

           Berdasarkan dari beberapa pendapat ahli sebagaimana dituturkan diatas, maka diketahui bahwa konsepsi kemiskinan memiliki banyak matra dan bukan melulu karena factor ekonomi saja. Kemiskinan juga menunjuk pada situasi yang tidak mengenakkan, kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang dialami oleh individu, baik karena ketidak-mampuannya memenuhi kebutuhan hidup, maupun akibat ketidak-mampuan masyarakat atau Negara dalam memberikan perlindungan social kepada warganya.


4.    Konsepsi Pekerjaan Sosial
Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan social yang memfokuskan pada konsep keberfungsian social dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya. Berkait dengan pekerjaan social dalam penanganan kemiskinan, diakui belum banyak pekerja social yang focus terhadap upaya merumuskan konsep dan indicator kemiskinan yang genuine dan sesuai dengan paradigma pekerjaan social. Definisi kemiskinan dalam perspektif pekerjaan social menurut Edi Suharto          ( 2005:148 ) “ secara konseptual pekerjaan social memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-strktural. ekonomi-sosial dan individual-strktural”. Berdasarkan perspektif ini, maka ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan social, yaitu :
1.    Kelompok yang paling miskin (destitute) atau sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis  kemiskinan (umumnya tidak memiliki pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap pelayanan sosial.
2.    Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan, namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta huruf).
3.    Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik, daripada kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “nearpoor” (agak miskin) ini, masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.

III.       PENYEBAB KEMISKINAN
           Selama ini belum pernah menemukan kemiskinan disebabkan oleh factor tunggal, pasti ada penyebab lainnya. Menurut Ala (1981), penyebab kemiskinan dibedakan atas faktor internal (endogen) dan faktor eksternal (eksogen). Faktor Internal Menurut Ala (1981), adalah aktor (individu) itu sendirilah yang menyebabkan kemiskinan bagi dirinya sendiri. Menurut Alkostar (dalam Mahasin,1991), faktor internal yang menyebabkan kemiskinan adalah: sifat malas (tidak mau bekerja), lemah mental, cacat fisik dan cacat psikis (kejiwaan). Menurut Friedman (1979), secara internal masyarakat miskin adalah karena malas mengakumulasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
           Sedangkan Faktor Eksternal adalah terjadinya kemiskinan disebabkan oleh-oleh factor-faktor yang berada di luar diri si aktor tersebut. Faktor eksternal terdiri dari :
a.    Faktor Alamiah
Ada beberapa faktor alamiah yang menyebabkan kemiskinan, antara lain: keadaan alam yang miskin, bencana alam, keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Kemiskinan alamiah dapat juga ditandai dengan semakin menurunnya kemampuan kerja anggota keluarga karena usisa bertambah dan sakit keras untuk waktu yang cukup lama.

b.    Faktor Buatan (struktural)
Faktor buatan yaitu terjadinya masyarakat miskin karena tidak mempunyai kemampuan untuk beradaptasi secara cepat (dalam arti yang menguntungkan) terhadap perubahan-perubahan teknologi maupun ekonomi, mengakibatkan kesempatan kerja yang dimiliki mereka semakin tertutup. Mereka tidak mendapatkan hasil yang proporsional dari keuntungan-keuntungan akibat dari perubahan-perubahan itu. Menurut Frans Seda (Ala, 1981), kemiskinan buatan (struktural) itu adalah buatan manusia, dari manusia dan terhadap manusia pula. Kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur (buatan manusia), dapat mencakup baik struktur ekonomi, politik, social dan kultur. Struktur-struktur ini terdapat pada lingkup nasional maupun internasional. Hal ini senada dengan pendapat Soedjatmoko (1980, dalam Prisma, 1989), “Pola ketergantungan, pola kelemahan dan eksploitasi golongan miskin berkaitan juga dengan pola organisasi institusional pada tingkat nasional dan internasional”.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Kartasasmita, 1997 : 235 dan Baswir, 1997 : 23, bahwa Faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan),  seperti (1) kemiskinan natural, (2) kemiskinan kultural, dan (3) kemiskinan struktural.
a.    Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir (1997 : 21) kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1997 : 235) disebut sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumber daya alamnya atau daerah yang terisolir.
b.    Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997 : 21) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros, dan lain sebagainya.
c.    Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997 : 21). Munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena adanya upaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kartasasmita (1997 : 236) hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
           Masalah-masalah kemiskinan tersebut diatas disebut sebagai suatu “lingkaran setan kemiskinan” yang meliputi enam unsur, yaitu : keterbelakangan, kekurangan modal, investasi rendah, tabungan rendah, pendapatan rendah, dan produksi rendah.
         Lain halnya dengan pendapat Chambers yang mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, apa yang disebut dengan deprivation trap” atau jebakan kemiskinan yang terdiri dari lima unsur yaitu : kemiskinan, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut saling kait mengkait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi (dalam Suyanto,2005:10).

         Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.

                Sedangkan faktor penyebab kemiskinan dalam perspektif pekerjaan social yaitu berkait struktur atau system yang tidak adil, tidak sensitive dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin ( Edi Suharto.2009 ). Lebih jauh Suharto juga mengatakan penyebab yang lain yaitu faktor Individual, faktor social dan factor cultural.

IV.      INDIKATOR
            Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

           Sementara itu Indikator utama kemiskinan menurut BAPPENAS dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas.

           Jika melihat Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah 1). kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, 2.) terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, 3.) pembangunan yang bias kota, 4.) perbedaan
kesempatan di antara anggota masyarakat, 5.) perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, 6.) rendahnya produktivitas, 7.) budaya hidup yang jelek, 8.) tata pemerintahan yang buruk, dan 9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

           Sedangkan indicator kemiskinan menurut perspektif pekerjaan social menurut Edi Suharto 2005 difokuskan pada :
1.) kemampuan keluarga miskin memperoleh mata pencaharian ( livelihood capabilities), 2.) memenuhi kebutuhan dasar ( basic needs fulfillment ), 3.) mengelola asset ( asset management ), 4.) menjangkau sumber-sumber ( access to resources ), 5.) berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan ( access to social capital ), serta 6.) kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan ( cope with shocks and stresses ). Sedangkan indicator kunci untuk mengukur jaringan social dapat mencakup kemampuan lembaga-lembaga social memperoleh sumber daya (SDM, Finansial ), menjalankan peran atau fungsi utamanya, mengelola asset, menjangkau sumber, berpartisipasi dalam program anti kemiskinan, dan menghadapi goncangan dan tekanan social. 

V.       PENDEKATAN
Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain
pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.

Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan,sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.

Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).

Pendekatan kemiskinan menurut versi pekerjaan social mestinya ditambahkan dengan konsep keberfungsian social. Hal ini dikarenakan konsep keberfungsian social lebih bermatra demokrasi-sosial ketimbang neo-liberalisme. Secara konseptual pekerjaan social memandang kemiskinan merupakan permasalahan multidimensional yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-struktural. Paradigm baru lebih menekankan pada “ apa yang dimiliki si miskin’, ketimbang “ apa yang tidak dimiliki si miskin”. Menurut Edi Suharto,2005 menyebutkan bahwa “ Pendekatan keberfungsian sosia dapat menggambarkan karakteristik dan dinamika kemiskinan yang lebih realistis dan komprehensif. Ia dapat menjelaskan bagaimana keluarga miskin merespon dan mengatasi permasalahan social-ekonomi yang terkait situasi kemiskinannya”.

VI.      AKIBAT KEMISKINAN
           Menitikberatkan pada konsepsi keberfungsian social yang sejatinya adalah cara yang dilakukan individu-individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya, maka akibat dari kemiskinan tersebut adalah ketidakmampuan individu-individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain individu atau kelompok tersebut mengalami ketidakberfungsian social yang meliputi:
1.    Ketidakmampuan melaksanakan peranan social
Dalam keberfungsian social, pelaksanaan peranan sangat diharapkan sebagai anggota suatu koletivitas. Peranan social mencakup beberapa aspek seperti status social ( sebagai orangtua, suami, pencari nafkah, pejabat dll ), Interaksional ( berinteraksi dengan pasangan, keluarga, anak, tetangga maupun masyarakat luas ), tuntutan dan harapan ( dapat mendidik anak, melakukan sosialisasi ), tingkah laku ( dengan status sosialnya diharapkan berperan maksimal dalam lingkungannya ), situasional ( pelaksanan status sosialnya tergantung pada situasi  ). Ketika individu tidak mampu melaksanakan peranan sosialnya maka dia dinyatakan bermasalah. Dalam konteks  kemiskinan, biasanya individu atau kelompok seperti ini mengalami disfungsi peran sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan sosialnya. Disfungsi peran terkait dengan tingkah laku/perananya tidak sesuai dengan peran yang diharapkan masyarakat sesuai status sosialnya.

2.    Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan.
Orang selalu dihadapkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, keberfungsian social juga mengacu kepada cara-cara yang digunakan oleh individu maupun kelompok dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Maslow dalam Dwi Heru Sukoco,1991 membagi kebutuhan manusia menjadi 5 yaitu : (1.) physiological needs, (2.) safety needs, (3.) Love and belonging needs, (4.) esteem needs ( need for achievement and recognition ), (5.) Self-actualization needs. Kemiskinan mengakibatkan ketidakmampuan individu atau kelompok dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

3.    Ketidakmampuan untuk memecahkan permasalahan social yang dialaminya.
Individu atau kelompok dalam usahanya memenuhi kebutuhan dan melaksanakan tugas-tugas kehidupannya dan mewujudkan aspirasinya tidaklah mudah. Ia dihadapkan oleh keterbatasan, hambatan dan kesulitan yang ada. Akibat dari kemiskinannya maka individu atau kelompok tersebut tidak mampu mengatasi dan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

VII.     JARINGAN SOSIAL
Konsep keberfungsian social pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran social di lingkungannya. Kapabilitas dalam hal ini mengacu pada kemampuan untuk menjalin hubungan atau berinteraksi dengan berbagai elemen sehingga terbentuk jaringan sosial. Ketika seseorang atau kelompok mengalami ketidakberfungsian social maka pekerja social melakukan intervensi terhadap klien semacam ini. Sesuai dengan system dasar praktek pekerjaan social maka ada beberapa partisipan yang harus dilibatkan dalam pemecahan masalah, dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi :
1.    Mengidentifikasi system inisiator ( sumber dalam pemecahan masalah )
2.    Mengidentifikasi system agen perubahan ( berkait pihak yang dapat membantu menyelesaikan masalah, seperti pekerja social, LSM, LPM, LKMD, PSM, PNPM, KUT, KSP, Masjid/Gereja, dll )
3.    Mengidentifikasi system klien
4.    Mengidentifikasi system pendukung ( baik formal seperti perangkat desa, kecamatan, puskesmas, RSU maupun informal seperti tokoh masyarakat )
5.    Mengidentifikasi system implementasi ( klien, kelompok, tetangga, tokoh masyarakat, dan lain-lain yang dianggap mampu )
6.    Mengidentifikasi system sasaran ( target system ) dalam upaya mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam keberpihakan terhadap kemiskinan dan upaya pemecahannya.
7.    Mengidentifikasi system kegiatan.  ( membuat perencanaan ).
Setelah teridentifikasi, kemudian dianalisis sejauhmana hubungan dan interaksi klien dengan berbagai elemen tersebut. Sejauh mana potensi dan sumber yang ada dapat untuk membantu meningkatkan keberfungsian klien.

VIII.   STRATEGI PENANGANAN KEMISKINAN
         Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang memfokuskan pada upaya peningkatan keberfungsian sosial seseorang dalam lingkungan keluarga, masyarakat atau situasi sosial tertentu. Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa target group adalah subjek pembangunan, bahwa target group memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa target group memiliki dan atau dapat menjangkau, memanfaatkan dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitarnya.
         Pekerjaan sosial merupakan aktivitas kemanusiaan yang sejak kelahirannya sekian abad yang lalu, telah memiliki perhatian yang mendalam pada pengembangan masyarakat miskin. Prinsip utama pekerjaan sosial dalam pengembangan masyarakat miskin adalah meningkatkan kemampuan masyarakat tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, menjangkau dan mengelola sumber-sumber dan mengorganisasikan aspirasi-aspirasi sosialnya.
            Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan oleh pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip ini dikenal dengan pendekatan “person-in-environment dan person-in situation”. Selain itu, motto pekerjaan sosial seperti “to help people to help themselves” (menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri), “self determination” (penentuan nasib sendiri) dan “working with people, not working for people” (bekerja dengan masyarakat bukan bekerja untuk masyarakat) menunjukkan betapa pekerjaan sosial memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberdayaan masyarakat dalam kerangka penanggulangan kemiskinan.
        
         Ada dua pendekatan pekerjaan social yang dapat dilakukan yaitu pendekatan pertama melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan individu tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok, pertemanan, maupun masyarakat. Pendekatan kedua adalah melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan social berpijak pada prinsip-prinsip individualization dan self determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik.

         Berkait keberfungsian social, maka strategi penanggulangan dikaitkan dengan bagaimana pelaksanaan peranan social klien, bagaimana kemampuan untuk memenuhi kebutuhan klien dan bagaimana kemampuan untuk pemecahan masalah klien. Ketika peranan social bermasalah maka pekerja social membantu meningkatkan kemampuan dan kemauan klien untuk memahami norma atau nilai masyarakat, meningkatkan kemampuan klien dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, meningkatkan kemampuan klien dalam berinteraksi.
         Jika kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bermasalah maka intervensi pekerja social adalah menggali dan memanfaatkan system sumber yang ada, terlibat dalam kegiatan untuk mempengaruhi peraturan, kebijakan atau program-program yang dapat menjamin pemerataan akses bagi klien. Jika yang bermasalah adalah kemampuan memecahkan masalah maka perlu melibatkan dukungan masyarakat, sumber dan peraturan-peraturan yang dapat membantu memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah. Biasanya masyarakat mengembangkan system pertolongan alamiah sukarela. Bentuk dukungan masyarakat yaitu adanya institusi kesejahteraan social yang melakukan berbagai kegiatan dan program
         Program kesejahteraan social dalam penanganan kemiskinan dapat dibedakan sebagai berikut:
1.    Strategi Kedaruratan misalnya bantuan uang, barang, tenaga bagi korban bencana alam.
2.    Strategi kesementaraan atau residual seperti bantuan stimulus untuk usaha-usaha produktif, pelatihan usaha ekonomi produktif, pembentukan pasar sosil dan koperasi.
3.    Strategi Pemberdayaan misalnya pelatihan dan pembinaan keluarga mandiri, pembinaan partisipasi social masyrakat, pembinaan anak remaja
4.    Pemberian bantuan social dan rehabilitasi social yang diselenggarakan oleh panti-panti social.
5.    Program jaminan social, perlindungan dan asuransi kesejahteraan social
6.    Program penanganan bagian yang hilang. Strategi yang oleh Carolina Moser disebut “ the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek yang lainnya. Misal kredit lunak, KUBE, bantuan stimulant.

Peran yang dapat dilakukan oleh pekerja social seperti:
 






 
 







IX.      PENUTUP
Kemiskinan merupakan masalah yang terjadi segala penjuru dunia. Tidak ada Negara satupun yang kebal terhadap kemiskinan walaupun dalam keprbibadian yang berbeda. Kemiskinan dikaji dan dianalisis dari berbagai sudut pandang guna memperoleh kesepemahaman yang menyeluruh. Kemiskinan tidak bisa dipandang secara sederhana, juga bukan hanya berkait masalah ekonomi semata tetapi saling terkait dengan dimensi lain yang amat kompleks.

Sebagai masalah yang kompleks, Kemiskinan memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas profesi dan lintas lembaga. Departemen social merupakan salah satu lembaga pemerintah yang aktif menangani masalah kemiskinan. Tentunya dalam penanganan tersebut harus berpijak pada teori dan pendekatan pekerjaan social.

Intervensi pekerjaan social hendaknya diarahkan tidak hanya pada dimensi ekonomi, namun lebih dari itu harus melihat pula dimensi keberfungsian social. Si miskin dilihat bukan sebagai korban pasif dan menjadi objek penelitian akan tetapi sebagai “manusia” ( human being ) yang memiliki sesuatu yang dapat digunakannya baik dalam melakukan identifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha perbaikan yang dilakukan mereka sendiri. Peran yang dapat dilakukan oleh pekerja social adalah fasilitator, konselor, pembela, broker, mediator, aktivis dan analis kebijakan social.

Akhirnya agar mampu merespon dan menanggulangi kemiskinan beserta akibat yang ditimbulkannya, pembangunan kesejahteraan social dan para pekerja social di Indonesia membutuhkan komitmen yang tinggi untuk meredefinisi keahlian profesionalnya. Penguatan keter.libatan pekerja social dalam lembaga-lembaga profesi baik nasional maupun internasional, badan-badan PBB serta peningkatan kelembagaan pencetak pekerja social yang berwawasan internasional merupakan isu-isu strategis yang perlu mendapat perhatian bersama.


No comments:

Post a Comment