"Seandainya
Kemiskinan Berwujud Seorang Manusia,
Niscaya Aku Akan Membunuhnya"
(Ali
bin Abi Thalib)
I.
PENDAHULUAN
Kemiskinan
tak akan pernah usai dibicarakan. Diskusi tentang kemiskinan terus dilakukan
dan diseminarkan baik ditingkat lokal
sampai tataran internasional, bertempat diwarung kopi sampai di hotel-hotel
berbintang. Selama bertahun-tahun, isu kemiskinan menjadi perhatian serius dan
fokus kajian para sarjana dan perumus kebijakan publik. Bahkan tidak sedikit
konsultan yang dihadirkan, manajer program dan para pegiat kemiskinan yang
dilibatkan untuk menanggulangi kemiskinan malah berlimpah kekayaan. Kalau boleh
penulis katakan bahwa kemiskinan merupakan tragedy kemanusiaan dan sekaligus
menjadi “peluang usaha” yang menjanjikan.
Berbagai
teori,
konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan
misteri kemiskinan ini. Kemiskinan memang menjadi masalah global dan tak
satupun Negara yang kebal terhadap permasalahan ini. Karenanya seluruh negara
di dunia ini sepakat bahwa kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang
menghambat kesejahteraan dan peradaban serta harus ditanggulangi secara
komprehensif, integral dan berkelanjutan.
Berkait
dengan hal tersebut, pada Tahun 2000 para pemimpin negara sedunia melakukan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Millenium di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York. Pertemuan itu berhasil
menetapkan kesepakatan dalam upaya mengurangi separuh dari kemiskinan di dunia
sebagai “Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals)” bagi
negara negara anggota
PBB yang harus dicapai pada tahun 2015 melalui 8 (delapan) jalur sasaran,
yaitu: (1) Mengurangi separuh proporsi penduduk dunia yang berpenghasilan
kurang dari 1 dollar AS per hari dan proporsi penduduk yang menderita
kelaparan; (2) Mengurangi separuh proporsi jumlah penduduk yang tidak memiliki
akses pada air minum yang sehat; (3) Menjamin semua anak, lakilaki dan
perempuan, menyelesaikan sekolah dasar; (4) Menurunkan hingga 2/3 kematian bayi
dan anak dibawah usia lima tahun; (5) Menghentikan penyebaran penyakit
HIV/AIDS, malaria, dan jenis penyakit menular lainnya; (6) Menghilangkan
ketidaksetaraan gender di sekolah; (7) Menerapkan dengan konsekuen kebijakan
pembangunan berkelanjutan; dan (8) Mengembangkan kemitraan untuk pembangunan di
semua tingkatan.
Komitmen
semua bangsa di dunia untuk menghapus kemiskinan dari muka bumi ini ditegaskan
dan dikokohkan kembali dalam “Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan
Berkelanjutan” yang disepakati oleh para Kepala Negara/Pemerintahan dari 165
negara yang hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan
Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002,
dan kemudian dituangkan dalam dokumen “Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan,”
yang juga telah ditandatangani oleh Presiden RI, untuk menjadi acuan dalam
melaksanakan pembangunan di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia telah membuat
komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan, dimana pemerintah dan semua perangkat negara bersama
dengan berbagai unsure masyarakat memikul tanggung jawab utama untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan dan sekaligus pengentasan kemiskinan tersebut, paling
lambat tahun 2015.
Di Indonesia, masalah kemiskinan
menjadi isu sentral pasca krisis multidimensional pada Tahun 1997 lalu. Pada
saat itu jumlah orang miskin meningkat tajam. Sebelum krisis yaitu pada Tahun
1996, orang miskin mencapai 11.3 persen. Namun pasca krisis yaitu pada akhir
Tahun 1999 mencapai 66,3 persen atau 129,6 juta orang dari jumlah penduduk
Indonesia saat itu (BPS,1999). Namuan data terakhir dari BPS menyebutkan bahwa Jumlah penduduk miskin ( penduduk yang berada di bawah
Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15
persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 yang
berjumlah 34,96 juta (15,42 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun
sebesar 2,43 juta.
Penanggulanan kemiskinan merupakan tanggung jawa semua
pihak dan lintas sektoral. Bukan hanya institusi pemerintah namun masyarakat
luas baik LSM, Perusahaan, lingkungan pendidikan maupun unsure keagamaan
memiliki tanggung jawab yang sama. Pekerjaan social sebagai salah satu elemen
bangsa yang turut andil dalam upaya penanggulangan tersebut. Pekerjaan sosial merupakan
profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat
agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan
peranannya.
II.
KONSEPSI
KEMISKINAN
Kemiskinan memiliki banyak
definisi. Selama ini sebenarnya sudah banyak
dilakukan studi dan kajian tentang kemiskinan, akan tetapi jawaban atas
pertanyaan apa kemiskinan dan apa pula factor penyebab sehingga kemiskinan
sulit diberantas, pada umumnya masih belum ada kesepahaman. Antara ahli yang
satu dan dengan ahli yang lain memberikan definisi yang berbeda-beda. Berikut
beberapa definisi kemiskinan :
1. Konsepsi Ekonomi
Dimata sebagian ahli, kemiskinan seringkali
didefinisikan semata-mata hanya sebagai fenomena ekonomi. Tolak ukur yang
digunakan biasanya melihat dari perspektif income
poverty yaitu pendapatan sebagai satu-satunya indicator “garis kemiskinan”.
Hal ini bisa kita lihat pada pendapatnya Emil Salim ( dalam Suyanto 2005 )
menyebutkan bahwa kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang pokok. Definisi dari sisi pendapatan juga disampaikan oleh
Bank
Dunia (1990) yaitu mendefinisikan
kemiskinan adalah tidak tercapainya
kehidupan yang
layak dengan penghasilan US$ 1 per hari. Begitu juga definisi yang diberikan oleh BPS dan Depsos ( dalam edi
Suharto, 2004 ) bahwa :
kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada
dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non
makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (
poverty treshoold ). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan
oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kalori
per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan,
pakaian,i dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian,
kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.
Pendapat lainnya disampaikan oleh Ali Khomsan dkk, Miskin : 3,6 x daging
sapi per bulan. Dan Ahluwalia menetapkan garis
kemiskinan internasional sebesar US $ 75 per kapita
pertahun untuk negara maju dan US $ 50 per kapita pertahun untuk
negara berkembang.
Banyaknya pendapat ahli yang bermatra ekonomi harus kita
akui sebagai bagian dari upaya
memperjelas tentang apa yang disebut kemiskinan. Bisa jadi mereka mungkin
benar, tetapi diakui atau tidak bahwa pendapat mereka tidak mencerminkan kondisi
nyata keluarga yang mengalami kemiskinan. Sejatinya kemiskinan bukan semata-mata karena
factor ekonomi belaka namun lebih dari itu bahwa kemiskinan seharusnya melihat
dimensi lain yang terkait seperti social, budaya dan politik.
2. Konsepsi Agama Islam
Perhatian
agama Islam terhadap masalah kemiskinan tersebut sangat besar. Hal ini bisa kita lihat dalam
al-Qur'an dimana kata
miskin dan masakin disebut sampai 25 kali, sementara faqir dan fuqoro sampai 14 kali (Muhammad Abdul Baqi'). Allah
SWT berfirman "berikanlah makan kepada orang yang lagi faqir"
(QS. AL-Hajj, 22 : 8).
Nabi
Muhammad SAW sendiri berdo'a "aku berlindung kepada-Mu dan kefakiran dan
kekufuran ".(H.R Abu Daud). Mengapa demikian,hadits lain
menyebutkan bahwa kefakiran yang menimpa seseorang atau suatu bangsa cenderung akan berperilaku kufur (Kadal
Faqru An Yakuuna Kufran). Kufur disini tidak hanya
lawan dari iman, melainkan juga lawan dari syukur atas nikmat- nikmat yang dianugrahkan Allah SWT.
Menurut
Yusuf Al-Qardawy1, akibat negatif dari kefakiran dan kemiskinan itu bisa merusak aqidah,
moral dan retaknya keluarga serta masyarakat dan negara. Dalam Islam ada dua Madzhab dalam
menjelaskan tentang siapa sebenarnya yang disebut
miskin itu. Pertama, madzhab Hanafi dan Maliki yang berpendapat miskin
itu adalah "orang yang
tidak mempunyai sesuatupun juga". Kedua, madzhab Hambali dan
Syafi'i yang menyatakan miskin itu
adalah "orang yang mempunyai seperdua dari keperluannya atau lebih tetapi tidak mencukupi".
Dalam
kehidupan kita, biasanya kata miskin dijadikan kata majemuk dengan faqir2, sehingga menjadi
faqir miskin yang artinya kurang lebih sama. Menurut
hemat saya,
faqir dapat disamakan dengan kemiskinan absoulut dan miskin dengan kemiskinan relatif. Hal ini terdapat beberapa pendirian
terhadap masalah kemiskinan. Pertama, pendirian yang menyucikan kemiskinan. Bagi
golongan ini kemiskinan bukan masalah yang harus dipecahkan,
tetapi harus dibiarkan, karena dengan demikian manusia manusia bisa berkonsentrasi berhubungan dengan
Tuhannya, tidak di ganggu dengan urusan duniawi. Kedua, pendirian para fatalis yang
menganggap bahwa kemiskinan itu merupakan taqdir Allah dan manusia harus sabar dengan ujian itu. Ketiga,
pendirian ketiga sama dengan fatalis, namun
mereka maju selangkah. Yaitu secara perorangan mereka harus membantu orang-orang miskin.
Madzhab ini dikenal sebagai "kebajikan Pribadi". Keempat, kaum
kapitalis memandang kemiskinan
adalah menimbulkan problem yang harus diselesaikan dengan orang miskin sendiri, sedangkan orang kaya
bebas dalam mempergunakan hartanya. Kelima, Kaum Marxis yang menyatakan bahwa kemiskinan
itu bisa diatasi kalau kaum borjuis dan kekayaannya
tidak dimusnahkan, tetapi lalu ditata kelas-kelas baru.
3. Konsepsi Multidimensional
Konsep
kemiskinan jika dipandang secara multidimensional dianggap akan lebih tepat dan
dapat mencakup keseluruhan aspek dari masalah kemiskinan serta dapat manjadi
pisau analisis dalam merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan. Beberapa ahli
yang menganut matra multidimensional seperti Friedman (1979) sebagaimana
dikutip Suyanto (2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk
mengakumulasi basis kekuasaan social yang meliputi: (a). Modal produktif atas
asset (tanah,perumahan,peralatan dan kesehatan. (b) Sumber keuangan (income dan
kredit yang memadai. (c) organisasi social dan politik yang dapat digunakan
untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi). (d). Network atau jaringan
social untuk memperoleh pekerjaan,barang-barang, pengetahuan dan ketrampilan
yang memadai. (e) Informasi-informasi yang
berguna untuk kehidupan.
Sedangkan
Komisi Eropa, 1984 ”Kemiskinan harus dimaknai: orang, keluarga,
dan sekelompok masyarakat
yang memiliki
keterbatasan sumber daya,material, sosial, dan budaya sehingga menghalangi mereka untuk dapat hidup layak menurut ukuran paling
minimal di suatu negara tempat mereka bermukim”. Definisi lainnya
disampaikan oleh Nasikun (1995),
ia mengatakan bahwa kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai
kemiskinan:
“ Kemiskinan adalah sebuah fenomenamulti asset,
multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam
kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan
seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya
dan asset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain :
informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan capital. Lebih dari itu, hidup dalam
kemiskinan seringkali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah
terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan
pengap”.
Ekonom
Amartya Sen juga mengenalkan makna kemiskinan secara lebih luas, yakni ketidakmampuan manusia, yang ditandai
pendidikan rendah, tak berpengetahuan, tak berketerampilan,
tak berdayaan. Bahkan, Sen menyentuh dimensi politik: ketiadaan kebebasan dan keterbatasan ruang partisipasi, yang
menghalangi warga untuk terlibat proses pengambilan kebijakan publik. Dalam situasi demikian,
masyarakat ada dalam posisi tidak setara untuk mendapatkan
akses ke sumber-sumber ekonomi produktif sehingga terhalang untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak mereka (
Development as Freedom, 1999).
Ekonom
lainnya yaitu Penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2006, dalam
bukunya Bank Kaum Miskin
(Grameen Bank), Profesor
Muhammad
Yunus (2007: 274) menjelaskan
bahwa
“ Kemiskinan
tercipta karena kita membangun kerangka teoritis berdasarkan
asumsi-asumsi yang merendahkan kapasitas manusia, dengan merancang
konsep-konsep yang terlampau sempit (seperti konsep bisnis,
kelayakan kredit, kewirausahaan, lapangan kerja) atau mengembangkan
lembaga-lembaga yang belum matang (seperti lembaga-lembaga keuangan
yang tidak mengikutsertakan kaum miskin). Kemiskinan disebabkan
oleh kegagalan pada tataran konseptual, dan bukan kurangnya kapabilitas
di pihak rakyat”.
Berdasarkan
dari beberapa pendapat ahli sebagaimana dituturkan diatas, maka diketahui bahwa
konsepsi kemiskinan memiliki banyak matra dan bukan melulu karena factor
ekonomi saja. Kemiskinan juga menunjuk pada situasi yang tidak mengenakkan,
kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang dialami oleh individu, baik karena
ketidak-mampuannya memenuhi kebutuhan hidup, maupun akibat ketidak-mampuan
masyarakat atau Negara dalam memberikan perlindungan social kepada warganya.
4. Konsepsi Pekerjaan Sosial
Konsepsi
kemiskinan yang bersifat multidimensional juga sangat dekat dengan perspektif
pekerjaan social yang memfokuskan pada konsep keberfungsian social dan
senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya. Berkait
dengan pekerjaan social dalam penanganan kemiskinan, diakui belum banyak
pekerja social yang focus terhadap upaya merumuskan konsep dan indicator
kemiskinan yang genuine dan sesuai dengan paradigma pekerjaan social. Definisi
kemiskinan dalam perspektif pekerjaan social menurut Edi Suharto ( 2005:148 ) “ secara konseptual
pekerjaan social memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan
multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-strktural.
ekonomi-sosial dan individual-strktural”. Berdasarkan perspektif ini, maka ada
tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan social, yaitu :
1. Kelompok
yang paling miskin (destitute) atau
sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki
pendapatan dibawah garis kemiskinan
(umumnya tidak memiliki pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses
terhadap pelayanan sosial.
2. Kelompok
miskin (poor). Kelompok ini memiliki
pendapatan dibawah garis kemiskinan, namun secara relatif memiliki akses
terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber
finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta huruf).
3. Kelompok
rentan (vulnerable group). Kelompok
ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang
relatif lebih baik, daripada kelompok destitute
maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “nearpoor” (agak miskin) ini, masih
rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali
berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi
dan tidak mendapat pertolongan sosial.
III.
PENYEBAB
KEMISKINAN
Selama ini belum pernah menemukan kemiskinan disebabkan
oleh factor tunggal, pasti ada penyebab lainnya. Menurut
Ala (1981), penyebab kemiskinan dibedakan atas faktor internal (endogen) dan faktor eksternal
(eksogen). Faktor Internal Menurut
Ala (1981), adalah aktor (individu) itu sendirilah
yang menyebabkan kemiskinan bagi dirinya sendiri. Menurut
Alkostar (dalam Mahasin,1991), faktor internal yang menyebabkan kemiskinan adalah: sifat
malas (tidak mau bekerja), lemah mental,
cacat fisik dan cacat psikis (kejiwaan). Menurut Friedman (1979), secara internal masyarakat miskin adalah
karena malas mengakumulasikan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
Sedangkan Faktor Eksternal adalah terjadinya kemiskinan disebabkan
oleh-oleh factor-faktor
yang berada di luar diri si aktor tersebut. Faktor eksternal terdiri dari :
a.
Faktor Alamiah
Ada
beberapa faktor alamiah yang menyebabkan kemiskinan, antara lain: keadaan alam yang miskin,
bencana alam, keadaan iklim yang
kurang menguntungkan. Kemiskinan alamiah dapat juga ditandai dengan semakin menurunnya kemampuan
kerja anggota keluarga karena
usisa bertambah dan sakit keras untuk waktu yang cukup lama.
b.
Faktor Buatan (struktural)
Faktor buatan yaitu
terjadinya masyarakat miskin karena tidak mempunyai
kemampuan untuk beradaptasi secara cepat (dalam arti yang menguntungkan) terhadap
perubahan-perubahan teknologi maupun
ekonomi, mengakibatkan kesempatan kerja yang dimiliki mereka semakin tertutup. Mereka tidak
mendapatkan hasil yang proporsional
dari keuntungan-keuntungan akibat dari perubahan-perubahan itu. Menurut Frans Seda (Ala, 1981),
kemiskinan buatan (struktural) itu adalah
buatan manusia, dari manusia dan terhadap manusia pula. Kemiskinan yang timbul oleh dan dari
struktur-struktur (buatan manusia), dapat
mencakup baik struktur ekonomi, politik, social dan kultur. Struktur-struktur ini
terdapat pada lingkup nasional maupun internasional. Hal ini senada dengan pendapat Soedjatmoko
(1980, dalam Prisma, 1989), “Pola
ketergantungan, pola kelemahan dan eksploitasi golongan miskin berkaitan juga dengan pola organisasi
institusional pada tingkat nasional dan
internasional”.
Hal yang
sama juga disampaikan oleh Kartasasmita, 1997 : 235 dan
Baswir, 1997 : 23,
bahwa Faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan), seperti (1) kemiskinan natural, (2)
kemiskinan kultural, dan (3) kemiskinan struktural.
a. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok
masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya yang
memadai baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya
pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya
mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir (1997 : 21) kemiskinan
natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti
karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan
seperti ini menurut Kartasasmita (1997 : 235) disebut sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang
telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan
daerah yang kritis sumber daya alamnya atau daerah yang terisolir.
b. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang
disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya dimana mereka merasa
hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini
tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha
untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat
pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997 : 21) bahwa ia miskin karena
faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros, dan lain sebagainya.
c. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan
manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi
yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang
cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997 : 21).
Munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena adanya upaya menanggulangi
kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan
kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya
tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat
menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang
timpang. Menurut Kartasasmita (1997 : 236) hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan
karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat.
Masalah-masalah kemiskinan tersebut diatas disebut sebagai suatu
“lingkaran setan kemiskinan” yang meliputi enam unsur, yaitu : keterbelakangan,
kekurangan modal, investasi rendah, tabungan rendah, pendapatan rendah, dan
produksi rendah.
Lain halnya dengan pendapat Chambers yang mengatakan bahwa inti
dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, apa yang disebut dengan “deprivation trap” atau
jebakan kemiskinan yang
terdiri dari lima unsur yaitu : kemiskinan, kelemahan jasmani,
isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut saling kait
mengkait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi (dalam Suyanto,2005:10).
Menurut
Bank Dunia (2003), penyebab
dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2)
terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan
dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4)
adanya perbedaan kesempatan di
antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan
perbedaan antara sektor ekonomi
(ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan
modal dalam masyarakat; (7) budaya
hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola
sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good
governance); (9) pengelolaan sumber
daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Sedangkan faktor penyebab kemiskinan dalam perspektif
pekerjaan social yaitu berkait struktur atau system yang tidak adil, tidak
sensitive dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok
orang menjadi miskin ( Edi Suharto.2009 ). Lebih jauh Suharto juga mengatakan penyebab
yang lain yaitu faktor Individual, faktor social dan factor cultural.
IV.
INDIKATOR
Dari
berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu
pangan; (2) terbatasnya akses dan
rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya
akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya
kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan
terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya
akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya
kepastian kepemilikan dan penguasaan
tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses
masyarakat terhadap sumber
daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban
kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan
inefektivitas dalam pelayanan
publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Sementara
itu Indikator
utama kemiskinan menurut BAPPENAS dapat dilihat dari; (1) kurangnya
pangan, sandang dan perumahan yang
tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca
dan menulis; (4) kurangnya
jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan
ekonomi; (6) ketakberdayaan atau
daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas.
Jika
melihat Indikator
utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah 1). kepemilikan tanah dan modal yang
terbatas, 2.) terbatasnya
sarana dan prasarana yang
dibutuhkan, 3.) pembangunan
yang bias kota, 4.) perbedaan
kesempatan di antara anggota
masyarakat, 5.) perbedaan
sumber daya manusia dan sektor
ekonomi, 6.) rendahnya
produktivitas, 7.) budaya
hidup yang jelek, 8.) tata pemerintahan yang buruk, dan 9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
Sedangkan indicator
kemiskinan menurut perspektif pekerjaan social menurut Edi Suharto 2005
difokuskan pada :
1.) kemampuan
keluarga miskin memperoleh mata pencaharian ( livelihood capabilities), 2.)
memenuhi kebutuhan dasar ( basic needs fulfillment ), 3.) mengelola asset (
asset management ), 4.) menjangkau sumber-sumber ( access to resources ), 5.)
berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan ( access to social capital ),
serta 6.) kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan ( cope with shocks
and stresses ). Sedangkan indicator kunci untuk mengukur jaringan social dapat
mencakup kemampuan lembaga-lembaga social memperoleh sumber daya (SDM,
Finansial ), menjalankan peran atau fungsi utamanya, mengelola asset,
menjangkau sumber, berpartisipasi dalam program anti kemiskinan, dan menghadapi
goncangan dan tekanan social.
V.
PENDEKATAN
Untuk mewujudkan hak-hak
dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan
beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan
dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan
dasar (human capability approach)
dan pendekatan objective and subjective. Pendekatan
kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan
(lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain
pangan, sandang, papan,
pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan
air bersih dan sanitasi.
Menurut pendekatan
pendapatan, kemiskinan disebabkan
oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif
seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan,sehingga secara langsung
mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat.
Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan
seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar
menilai kemiskinan sebagai keterbatasan
kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis
untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan
tertutupnya kemungkinan bagi
orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut
sebagai pendekatan kesejahteraan (the
welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar
dari kemiskinan. Pendekatan subyektif
menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F.
Stepanek, (ed), 1985).
Pendekatan kemiskinan menurut versi pekerjaan social
mestinya ditambahkan dengan konsep keberfungsian social. Hal ini dikarenakan
konsep keberfungsian social lebih bermatra demokrasi-sosial ketimbang
neo-liberalisme. Secara konseptual pekerjaan social memandang kemiskinan
merupakan permasalahan multidimensional yang bermatra ekonomi-sosial dan
individual-struktural. Paradigm baru lebih menekankan pada “ apa yang dimiliki
si miskin’, ketimbang “ apa yang tidak dimiliki si miskin”. Menurut Edi
Suharto,2005 menyebutkan bahwa “ Pendekatan keberfungsian sosia dapat
menggambarkan karakteristik dan dinamika kemiskinan yang lebih realistis dan
komprehensif. Ia dapat menjelaskan bagaimana keluarga miskin merespon dan
mengatasi permasalahan social-ekonomi yang terkait situasi kemiskinannya”.
VI.
AKIBAT
KEMISKINAN
Menitikberatkan pada
konsepsi keberfungsian social yang sejatinya adalah cara yang dilakukan
individu-individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi
kebutuhannya, maka akibat dari kemiskinan tersebut adalah ketidakmampuan
individu-individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi
kebutuhannya. Dengan kata lain individu atau kelompok tersebut mengalami
ketidakberfungsian social yang meliputi:
1. Ketidakmampuan melaksanakan peranan social
Dalam keberfungsian social, pelaksanaan peranan sangat diharapkan
sebagai anggota suatu koletivitas. Peranan social mencakup beberapa aspek seperti
status social ( sebagai orangtua, suami, pencari nafkah, pejabat dll ),
Interaksional ( berinteraksi dengan pasangan, keluarga, anak, tetangga maupun
masyarakat luas ), tuntutan dan harapan ( dapat mendidik anak, melakukan
sosialisasi ), tingkah laku ( dengan status sosialnya diharapkan berperan
maksimal dalam lingkungannya ), situasional ( pelaksanan status sosialnya
tergantung pada situasi ). Ketika
individu tidak mampu melaksanakan peranan sosialnya maka dia dinyatakan
bermasalah. Dalam konteks kemiskinan,
biasanya individu atau kelompok seperti ini mengalami disfungsi peran sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan sosialnya. Disfungsi peran terkait dengan
tingkah laku/perananya tidak sesuai dengan peran yang diharapkan masyarakat
sesuai status sosialnya.
2. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan.
Orang selalu dihadapkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh
karena itu, keberfungsian social juga mengacu kepada cara-cara yang digunakan
oleh individu maupun kelompok dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Maslow dalam
Dwi Heru Sukoco,1991 membagi kebutuhan manusia menjadi 5 yaitu : (1.)
physiological needs, (2.) safety needs, (3.) Love and belonging needs, (4.)
esteem needs ( need for achievement and recognition ), (5.) Self-actualization
needs. Kemiskinan mengakibatkan ketidakmampuan individu atau kelompok dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya.
3. Ketidakmampuan untuk memecahkan permasalahan social
yang dialaminya.
Individu
atau kelompok dalam usahanya memenuhi kebutuhan dan melaksanakan tugas-tugas
kehidupannya dan mewujudkan aspirasinya tidaklah mudah. Ia dihadapkan oleh
keterbatasan, hambatan dan kesulitan yang ada. Akibat dari kemiskinannya maka
individu atau kelompok tersebut tidak mampu mengatasi dan memecahkan
permasalahan yang dihadapinya.
VII.
JARINGAN
SOSIAL
Konsep
keberfungsian social pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities)
individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran social di
lingkungannya. Kapabilitas dalam hal ini mengacu pada kemampuan untuk menjalin hubungan
atau berinteraksi dengan berbagai elemen sehingga terbentuk jaringan sosial. Ketika
seseorang atau kelompok mengalami ketidakberfungsian social maka pekerja social
melakukan intervensi terhadap klien semacam ini. Sesuai dengan system dasar
praktek pekerjaan social maka ada beberapa partisipan yang harus dilibatkan
dalam pemecahan masalah, dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi :
1. Mengidentifikasi system inisiator ( sumber dalam
pemecahan masalah )
2. Mengidentifikasi system agen perubahan ( berkait pihak
yang dapat membantu menyelesaikan masalah, seperti pekerja social, LSM, LPM,
LKMD, PSM, PNPM, KUT, KSP, Masjid/Gereja, dll )
3. Mengidentifikasi system klien
4. Mengidentifikasi system pendukung ( baik formal seperti
perangkat desa, kecamatan, puskesmas, RSU maupun informal seperti tokoh
masyarakat )
5. Mengidentifikasi system implementasi ( klien,
kelompok, tetangga, tokoh masyarakat, dan lain-lain yang dianggap mampu )
6. Mengidentifikasi system sasaran ( target system )
dalam upaya mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam keberpihakan terhadap
kemiskinan dan upaya pemecahannya.
7. Mengidentifikasi system kegiatan. ( membuat perencanaan ).
Setelah
teridentifikasi, kemudian dianalisis sejauhmana hubungan dan interaksi klien
dengan berbagai elemen tersebut. Sejauh mana potensi dan sumber yang ada dapat
untuk membantu meningkatkan keberfungsian klien.
VIII. STRATEGI PENANGANAN KEMISKINAN
Pekerjaan
sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang memfokuskan pada upaya
peningkatan keberfungsian sosial seseorang dalam lingkungan keluarga,
masyarakat atau situasi sosial tertentu. Konsep
keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau
masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini
mengedepankan nilai bahwa target group
adalah subjek pembangunan, bahwa target
group memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses
pertolongan, bahwa target group
memiliki dan atau dapat menjangkau, memanfaatkan dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di
sekitarnya.
Pekerjaan
sosial merupakan aktivitas kemanusiaan yang sejak kelahirannya sekian abad yang
lalu, telah memiliki perhatian yang mendalam pada pengembangan masyarakat
miskin. Prinsip utama pekerjaan sosial dalam
pengembangan masyarakat miskin adalah meningkatkan kemampuan masyarakat
tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, menjangkau dan mengelola
sumber-sumber dan mengorganisasikan aspirasi-aspirasi sosialnya.
Sesuai
dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan
oleh pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam
menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas
kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi wajah, maka
intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin)
tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip ini
dikenal dengan pendekatan “person-in-environment
dan person-in situation”. Selain itu, motto pekerjaan sosial seperti “to help people to help themselves”
(menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri), “self determination” (penentuan nasib sendiri) dan “working with people, not working for people”
(bekerja dengan masyarakat bukan bekerja untuk masyarakat) menunjukkan betapa
pekerjaan sosial memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberdayaan masyarakat dalam kerangka penanggulangan kemiskinan.
Ada dua pendekatan pekerjaan social
yang dapat dilakukan yaitu pendekatan pertama melihat penyebab kemiskinan dan
sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan
individu tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok, pertemanan, maupun
masyarakat. Pendekatan kedua adalah melihat si miskin dalam konteks situasinya,
strategi pekerjaan social berpijak pada prinsip-prinsip individualization dan
self determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah
dan kemampuan unik.
Berkait keberfungsian social, maka
strategi penanggulangan dikaitkan dengan bagaimana pelaksanaan peranan social
klien, bagaimana kemampuan untuk memenuhi kebutuhan klien dan bagaimana
kemampuan untuk pemecahan masalah klien. Ketika peranan social bermasalah maka
pekerja social membantu meningkatkan kemampuan dan kemauan klien untuk memahami
norma atau nilai masyarakat, meningkatkan kemampuan klien dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, meningkatkan kemampuan klien dalam berinteraksi.
Jika kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya bermasalah maka intervensi pekerja social adalah menggali dan
memanfaatkan system sumber yang ada, terlibat dalam kegiatan untuk mempengaruhi
peraturan, kebijakan atau program-program yang dapat menjamin pemerataan akses
bagi klien. Jika yang bermasalah adalah kemampuan memecahkan masalah maka perlu
melibatkan dukungan masyarakat, sumber dan peraturan-peraturan yang dapat
membantu memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah. Biasanya masyarakat mengembangkan
system pertolongan alamiah sukarela. Bentuk dukungan masyarakat yaitu adanya
institusi kesejahteraan social yang melakukan berbagai kegiatan dan program
Program kesejahteraan social dalam
penanganan kemiskinan dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Strategi Kedaruratan misalnya bantuan uang, barang,
tenaga bagi korban bencana alam.
2. Strategi kesementaraan atau residual seperti bantuan
stimulus untuk usaha-usaha produktif, pelatihan usaha ekonomi produktif,
pembentukan pasar sosil dan koperasi.
3. Strategi Pemberdayaan misalnya pelatihan dan pembinaan
keluarga mandiri, pembinaan partisipasi social masyrakat, pembinaan anak remaja
4. Pemberian bantuan social dan rehabilitasi social yang
diselenggarakan oleh panti-panti social.
5. Program jaminan social, perlindungan dan asuransi
kesejahteraan social
6. Program penanganan bagian yang hilang. Strategi yang
oleh Carolina Moser disebut “ the missing piece strategy” ini meliputi
program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui aspek
kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek
yang lainnya. Misal kredit lunak, KUBE, bantuan stimulant.
Peran
yang dapat dilakukan oleh pekerja social seperti:
![]() |

![]() |
IX.
PENUTUP
Kemiskinan
merupakan masalah yang terjadi segala penjuru dunia. Tidak ada Negara satupun
yang kebal terhadap kemiskinan walaupun dalam keprbibadian yang berbeda. Kemiskinan
dikaji dan dianalisis dari berbagai sudut pandang guna memperoleh kesepemahaman
yang menyeluruh. Kemiskinan tidak
bisa dipandang secara sederhana, juga bukan hanya berkait masalah ekonomi
semata tetapi saling terkait dengan dimensi lain yang amat kompleks.
Sebagai
masalah yang kompleks, Kemiskinan memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas
profesi dan lintas lembaga. Departemen social merupakan salah satu lembaga
pemerintah yang aktif menangani masalah kemiskinan. Tentunya dalam penanganan
tersebut harus berpijak pada teori dan pendekatan pekerjaan social.
Intervensi
pekerjaan social hendaknya diarahkan tidak hanya pada dimensi ekonomi, namun
lebih dari itu harus melihat pula dimensi keberfungsian social. Si miskin
dilihat bukan sebagai korban pasif dan menjadi objek penelitian akan tetapi
sebagai “manusia” ( human being ) yang memiliki sesuatu yang dapat digunakannya
baik dalam melakukan identifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha
perbaikan yang dilakukan mereka sendiri. Peran yang dapat dilakukan oleh pekerja
social adalah fasilitator, konselor, pembela, broker, mediator, aktivis dan
analis kebijakan social.
Akhirnya
agar mampu merespon dan menanggulangi kemiskinan beserta akibat yang
ditimbulkannya, pembangunan kesejahteraan social dan para pekerja social di
Indonesia membutuhkan komitmen yang tinggi untuk meredefinisi keahlian
profesionalnya. Penguatan keter.libatan pekerja social dalam lembaga-lembaga
profesi baik nasional maupun internasional, badan-badan PBB serta peningkatan
kelembagaan pencetak pekerja social yang berwawasan internasional merupakan
isu-isu strategis yang perlu mendapat perhatian bersama.
No comments:
Post a Comment