Search This Blog

Search This Blog

Thursday, January 8, 2015

LAPORAN SEMENTARA (DRAFF) PENYUSUNAN KONSEP PENANGANAN PMKS WILAYAH PRUMPUNG - JAKARTA TIMUR


Oleh
Tim Enam STKS Bandung

DINAS SOSIAL
KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR
TAHUN 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A.  PENYAKIT SOSIAL KOTA.
         DKI Jakarta sebagai kota besar dengan jumlah penduduk hampir 9,5 juta (BPS,2010) saat ini kondisinya sedang menghadapi penyakit “kangker sosial” yang ditandai dengan munculnya berbagai permasalahan berkenaan dengan pertumbuhannya dibidang ekonomi, politik dan sosial.   Salah satu masalah yang timbul sebagai dampak dari kemiskinan perkotaan adalah munculnya PMKS Proyektif yang terdiri dari 4 kelompok utama yaitu fakir miskin, anak jalanan/pengamen, gelandang/pengemis, wanita tuna susila/waria.
       Pusat Data dan Informasi Departemen Sosial (Pusdatin) pada tahun 2008 mencatat PMKS Proyektif  yang beroperasi di Wilayah DKI Jakarta yaitu fakir miskin berjumlah 535.155 orang,  gelandangan/pengemis berjumlah 60.226 orang, wanita tuna susila/waria berjumlah 35.057 orang, dan anak jalanan/pengamen mencapai 109.454 orang.  Jumlah sesungguhnya jauh lebih tinggi karena data yang ada hanyalah sebagai fenomena puncak gunung es, yang mempelihatkan simtom-simtomnya saja bukan kondisi riil dan sebanarnya.
         Masalah tersebut tidak terlepas dari permasalahan lain yang ada diperkotaan seperti masalah wilayah komersial, industri, tempat umum, taman, jalan dan lalu lintas, tempat rekreasi dan olah raga, sanitasi, kesehatan, perkuburan dan sebagainya.     Disamping itu terdapat juga masalah pola pertumbuhan pemukiman pita (ribbon building) yaitu pembangunan bangunan hunian, toko-toko dan tempat-tempat berjualan, bangunan-bangunan pemerintah dan swasta serta masyarakat, toko-toko, tempat berjualan, dan lokasi aktivitas warga tepi-tepi sepanjang jalan dan jalur-jalur kereta api di perkotaan menjadi satu permasalahan sendiri yang meminta pemecahan dari pemerintah kota.
       Di daerah perkotaan ini pola pemukiman pita ini menyebabkan keruwetan dan ketidak aturan yang sudah ada menjadi lebih komplek lagi. Keruwetan ini menadai adanya gejala-gejala tidak terencananya pertumbuhan kota. Pertumbuhan kota yang tidak terencana, tidak terkoordinasi, dan terpencar di sejumlah kawasan mengakibatkan beberapa bagian kota menjadi tertinggal. Pemerintah kota akhirnya tidak mampu menyediakan prasarana dan fasilitas publik sesuai dengan harapan masyarakat.
        Akibatnya adalah semakin meningkatnya jumlah PMKS Proyektif yaitu  keluarga miskin/fakir miskin, anak jalanan, gelandang/pengemis, wanita tuna sosial/waria yang terbatas mendapatkan akses  serba minim termasuk ruang hunian atau tempat inggal yang tidak layak, tidak memenuhi derajat kesehatan dan terkesan apa adanya (Evens dan Korff, 2003). PMKS Proyektif  memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota di negara berkembang , juga tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan PMKS Proyektif sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM.
       Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan PMKS Proyektif  sebagai penyakit kangker sosial yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.     Istilah PMKS Proyektif berasal dari kata manusia yang di proyekan dan mendapat tip/uang dari kegiatan mereka di jalanan. Menurut Parsudi Suparlan (1993) disebut sebagai orang jalanan atau PMKS Jalanan artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap.  Pada umumnya para PMKS Proyektif ini adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal keluarga fakir miskin, gelandangan, pemulung, pengamen, pengemis, anak jalanan, wanita tuna susila dan waria serta yang lainnya.
                Weinberg (1990 ) menggambarkan bagaimana PMKS Proyektif ini masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal. Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. PMKS Proyektif ini pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas.
              Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 ).
       Fakta membuktikan bahwa  PMKS Proyektif yaitu fakir miskin, gelandangan/ pengemis, anak jalanan/pengamen. wanita tuna susila/waria adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok rentan ini merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut ‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan orang kampung.




B.  PELAYANAN PMKS
          Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang  Kesejahteraan Sosial menyebutkan tugas-tugas pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial adalah menentukan garis kebijakan yang diperlukan untuk memelihara, membimbing dan meningkatkan kesejahteraan sosial, melaksanaan pembinaan (memupuk, memelihara, membimbing) dan meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab sosial masyarakat, serta melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial.
      Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan  peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang/mengemis, mengamen/menjadi anak jalanan, wanita tuna susila/waria , fakir miskin dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan dan tempat-tempat umum.
           Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, RT/RW, PJKA maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan PMKS Proyektif , untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti maupun pemberdayaan sosial non panti. Namun demikian, masih saja masalah PMKS Proyektif ini masih merebak di DKI Jakarta
           Masalah PMKS Proyektif ini  merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional, sehingga memerlukan penanganan secara komprehensif, terpadu dan berkesinambungan, atas dasar kerjasama berbagai disiplin ilmu dan profesi, seperti pekerjaan sosial, dokter, psikolog, guru serta profesi lainnya. Selain itu kerjasama antar instansi terkait baik pemerintah maupun swasta di tingkat pusat maupun daerah, dengan ditunjang oleh organisasi sosial masyarakat. Dalam perkembangan pembangunan kesejahteraan sosial menunjukan bahwa kesadaran dan tanggungjawab sosial sebagian masyarakat mulai timbul, sehingga keinginan untuk berperan serta menangani masalah kesejahteraan sosial.
                Berdasarkan hal tersebut Pemerintah DKI Jakarta melalui Kantor Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Timur melaksanakan kegiatan dengan nama Penyusunan Konsep Penanganan PMKS Wilayah Prumpung. Wilayah Prumpung ini meliputi dua kelurahan yaitu Kelurahan Rawa Bunga (KRB) dan Kelurahan Cipinang Besar Utara  (CBU) di Kecamatan Jatinegara Kota Administasi Jakarta Timur.

C.  FOKUS KAJIAN
Fokus dari kajian ini adalah Penyusunan Konsep Penanganan PMKS di Wilayah Prumpung dengan kegiatan sebagai berikut:
1.     Kegiatan Observasi Lapangan
2.    Kegiatan Audiensi Dgn Para Pihak.
2.    Kegiatan Penyusunan Instrumen
3.    Kegiatan Pengumpulan Data Skunder 
4.    Kegiatan Pendataan PMKS
5.    Kegiatan Wawancara PMKS
6.    Kegiatan Diskusi Dgn RT/RW
7.    Kegiatan Pertemuan Dgn Organisasi Sosial
8.  Kegiatan Pengolahan dan Interpretasi Data
9.  Kegiatan Penyusunan Konsep Penanganan PMKS
10,Kegiatan Lokakarya dan Desiminasi Hasil

D. TUJUAN
      Penyusuan Konsep Penanganan PMKS Wilayah Prumpung ini sebagai panduan dan acuan bagi para perencana, pelaksana dan pengawas serta para pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan pelayanan, pemberdayaan  dan rehabilitasi terhadap  PMKS di Wilayah Prumpung

E.  MANFAAT.
1.  Bagi PMKS
Adalah meliputi kembali kepercayaan dan harga diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial terhadap diri, keluarga dan masyarakat, sehingga memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan fungsi sosialnya.

2.  Bagi Petugas  Sosial :
Memberikan bantuan pelayanan, pemberdayaan dan rehabilitasi sosial secara profesional untuk mengentaskan masalah sosial yang dialami oleh PMKS.
3.  Bagi Lingkungan Sosial
Ditingkatkan kemampuan keluarga untuk membantu pemulihan dan peningkatan peranan sosial dalam manempuh kehidupan yang normatif. Diperolehnya dukungan berbagi komponen masyarakat terhadap upaya penanganan PMKS.

G.  KAJIAN PERKOTAAN
1. Pelapisan Sosial .
          Apakah itu kota? Secara ringkas Kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat tinggal manusia yang dihuni secara permanen, dimana warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokannya dari  pada klan atau keluarga di daerah perdesaan (Parsudi Suparlan,2003).
           Kota juga merupakan sebuat tempat dimana terdapat adanya kesempatan kesempatan dan  permintaan-permintaan yang mewujudkan terciptanya  sistem pembagian kerja, kelas-kelas atau lapisan-lapisan  sosial yang mengakui adanya perbedaan –perbedaan dalam hal fungsi , hak , keistimewaan, dan tanggung jawab diantara golongan –golongan sosial yang ada.
           Masyarakat kota adalah masyarakat dengan ciri corak spesialisasi pembagian kerja sesuai dengan tingkat perkembangan dan macamnya kota yang sesuai dengan peranan khusus dari kota dalam kedudukan fungsionalnya  dengan daerah-daerah perdesaan dan pedalaman yang terletak disekelilingnya dan berada dalam kekuasaan kota (Mumford, 2001)
           Kompleksitas dalam struktur kehidupan ekonomi perkotaan, mempengaruhi  terwujudnya kompleksitas-kompleksitas dalam struktur perkotaan. Berbagai bentuk dan  macam spesifikasi ekonomi dan kerja berkembang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan dari yang terspesialisasi hingga yang sangat umum, dari yang sangat tergantung pada keahlian dan keterampilan pemikiran serta teknologi, sampai dengan yang menggunakan tenaga otak manusia dan dari yang digolongkan s sebagai terhormat dengan terhormat dengan penghasilan besar, sampai dengan yang tidak terhormat dengan penghasilan terbatas.
       Sistem pelapisan sosial terbentuk berdasarkan atas macam pekerjaan dan pendapatan yang coraknya sangat kompleks, dikarenakan beraneka ragamnya macam dan bentuk kerja yang ada di perkotaan. Tingkat kompleksitas sistem pelapisan sosial tersebut, tergantung dari tingkat perkembangan kota dan kedudukannya dalam sistem administrasi negara.
2. Kelompok Rentan.
         Kemiskinan tidak lahir dengan sendirinya (given) Ia tidak muncul bukan tanpa sebab. Argumen para penganut teori konservatif dan libaral telah lama dipatahkan. Orang-orang miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros , Mereka miskin bukan karena nasibnya yang sedang sial sehingga menjadi miskin.
       Mereka menjadi orang miskin karena dibuat miskin  oleh struktur ekonomi, politik dan sosial yang becirikan Kapatalisme. Mereka menjadi miskin karena memang sengaja dilestarikan  untuk menjadi miskin. Mereka menjadi kaum tertindas karena memang disengaja, direkayasa dan diposisikan sedemikian rupa  untuk ditindas.
        Mereka miskin karena dieksploitasi diperas, dijarah atau dirampok hak-haknya. Mereka miskin karena dipaksa oleh sistem ekonomi dan politik yang tidak adil. Kemiskinan penting untuk dipelihara dan dilestarikan karena besar manfaatnya, yaitu menunjang kepentingan kelompok dominan , elite dan penguasa (the rulling cities) dari kelompok kaum kapitalis.
        Kemiskinan sulit diatasi karena kaum miskin tidak memiliki daya tawar terhadap kebijakan yang selama ini tidak berpihak kepada mereka. Kaum miskin hanya menjadi alat produksi semata-mata. Pendapatan mereka hanya sekedar mencukupi kebutuhan hidup saja.
       Inilah yang selama ini membuat kaum miskin tak bedaya untuk memiliki daya tawar terhadap pengambilan keputusan dan membuat yang kaya  semakin kaya di tempat puncak. Kebijakan-kebijakan  politik yang ada selama ini sering dan  sebagian besar hanya berpihak kepada mereka yang memiliki alat produksi dan modal.
     Kaum miskin diperas tenaganya hanya sekedar menjadi buruh kasar, gelandangan/pengemis, wanita tuna sosial/waria, anak jalanan/pengamen, pedagang kaki lima, keluarga fakir miskin dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan terbatas Tetapi pemerintah disisi lain tidak mampu berbuat bagaimana seharusnya meningkatkan keterampilan mereka agar bisa berkompetisi lebih adil dengan kelompoknlainnya (Suparlan 1998)
3. Pemukiman Kumuh.
       Rumah adalah sebuah tata ruang yang paling baku dan selalu ada dalam kehidupan manusia di masyarakat manapun. Rumah berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan-kegiatan melangsungkan kehidupan manusia, yang mencakup kegiatan kegiatan untuk melangsungkan kehidupan manusia yang mencakup kegiatan reproduksi, ekonomi, pengasuhan dan pendidikan anak, perawatan terhadap anak dan orang tua, kehidupan sosial, emosi dan lain sebagainya (Suparlan 1998).
        Karena majemuknya fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan dalam rumah, maka rumah juga sebagai sebuah satuan tata ruang, juga dibagi-bagi dalam satuan satuan tata ruang yang lebih kecil yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, sebagai satu kesatuan tata ruang dalam rumah.
         Perumahan bagi keluarga miskin seringkali tidak memberikan kepastian hukum bagi penghuninya, atas tanah dan bangunan yang mereka tempati. Kampung-kampung tempat kelompok masyarakat miskin yang tinggal dapat dengan mudak beralih fungsi menjadi kawasan binis atau kawasan lainnya.
         Sebaliknya kawasan perkotaan sangat sulit menyediakan lahannya untuk keperluan perumahan masyarakat miskin. Hal ini menyebabkan keluarga miskin semakin tergusur ke kawasan pinggiran yang jauh dari kota atau pemukiman-pemukiman kumuh.
        Pemukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai suatu pemukiman yang kondisi fisik hunian dan tata ruangnya mengungkapkan kondisi kurang mampu atau miskin dari para penghuninya.Penataan ruang hunian yang semrawut yang disebabkan oleh penggunaan ruang yang tinggi tingkat kepadatan volume maupun frekuensinya, dan serba kotor atau tidak terawat dengan baik.
       Disamping itu, pemukiman kumuh juga kurang memadai fasilitas-fasilitas umumnya seperti air bersih, pembuangan air limbah, sampah, jalan dan berbagai fasilitas untuk kegiatan sosial orang dewasa dan tempat berbain bagi anak-anak.
      Rendahnya kualitas kehidupan di lingkungan permukiman kumuh ini pada gilirannya juga menghambat potensi produktivitas dan kewirausahaan para  penghuninya. Pada umumnya mereka kemudian hanya mampu  mengakses perekonomian informal kota yang utamanya dicirikan oleh status hukum yang lemah dan tingkat penghasilan yang rendah.
      Kegiatan relokasi terhadap warga korban penggusuran atau pembangunan perumahan untuk kelompok miskin biasanya dilakukan di daerah pinggiran . Hal ini menimbulkan kesulitan bagi keluarga miskin yang bekerja dalam peningkatan biaya transportasi dan berkurangnya waktu untuk mengasuh anak. Kegiatan penggusuran terhadap kelompok miskin biasanya tidak disertai dengan memberi tenggang waktu untuk membuat masyarakat  siap menempati lokasi dan rumah baru. 
4. PMKS Proyektif.
            Persoalan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya di Perkotaan terkait dengan 4 kelompok besar atau disebut PMKS Proyektif yaitu:
a.   keluarga fakir miskin, 
b.  gelandangan /pengemis,
c.   anak jalanan/pengamen,
d.  wanita tuna susila/ waria
yang  bukan semata-mata terkait dengan permasalahan permodalan, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri.
        Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali lagi mendiami kota. Mereka berpandangan bahwa dengan bekerja di sektor informal  mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok  sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.
         Permasalahan PMKS Proyektif yang terdiri dari 4 kelompok utama yaitu : keluarga miskin, gelandangan/pengemis, anak jalanan/pengamen, wanita tuna susila/waria, memiliki dimensi yang sangat kompleks. Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program penanganan yang disusun mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend penanganan.Bahwa masalah PMKS Proyektif adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah PMKS Proyektif di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan PMKS Proyektif adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder dari Dinas/Instansi Sosial terkait.
       Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus munculnya PMKS Proyektif pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).
         Kaum urban yang datang ke kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai ’Anak’ (client). Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur.
          Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk PMKS Proyektif di Stasiun Jatinegara, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar.
             Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut sayuran, anak jalanan/pengamen, gelandang/ pengemis, wanita tuna susila/waria, keluarga fakirmiskin.
            Permasalahan menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.
            PMKS Proyektif sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengais uang untuk hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik PMKS. Layanan yang diberikan kepada PMKS  juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus PMKS dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat.
           Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan program keluarga harapan (PKH) yang dilaunching Departemen Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk PMKS  perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal mereka.
H. METODA KAJIAN
   1.Disain Kajian
Kajian ini menggunakan metode penelitian deskriptif baik dengan pendekatan  kuantitatif maupun kualitatif.  Metode deskriptif merupakan metode penelitian untuk menggambarkan fenomena sosial seperti apa adanya terkait dengan penanganan PMKS di wilayah Prumpung. Kajian ini menggunakan perspektif pekerjaan sosial untuk melihat latar belakang dan waktu serta konteks sesuai dengan pengalamanan dan kehidupan PMKS.
Terkait dengan kajian ini, maka metode kajian berperspektif pekerjaan sosial  dirasakan lebih sesuai untuk mendapatkan data yang shahih dan reliabel tentang aspek-aspek yang dikaji yakni mengamati dan memahami penanganan PMKS . Apalagi metode kajian dalam pekerjaan sosial ini  akan diperoleh penjelasan apa adanya fakta fenomena yang ada dilapangan.  

     2. Lokasi Kajian
          Kajian ini  dilaksanakan di Kelurahan Rawa Bunga pada RW-03-04-05 dan Keluruhan Cipinang Besar Utara pada RW-03-04 dan O7 Kecamatan Jatinegara Kota Administasi Jakarta Timur. 

     3.Subyek Kajian.
Mengajak kepada subyek kajian yang mau bekerja sama dalam kajian ini secara terbuka, menuju kepada orang yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengutarakan pengalaman-pengalaman masa lalu dan sekarang, merujuk pada siapa saja yang dianggap menarik.
      Subyek dalam kajian ini terdiri dari:
a.  PMKS:
fakir miskin, gelandangan/pengemis, anak jalanan/pengamen, wanita tuna susila/waria sebanyak 50 orang
b.  Pengurus Lingkungan:
Pengurus RT/RW, Pengurus Karang Taruna, Pengurus PKK,  Petugas Kelurahan dan Kecamatan sebanyak 30 orang
c.   Petugas Lainnya.
Koordinator PMKS di masing-masing lokasi sebanyak 10 orang

     4. Jenis Data Kajian,
         Data pokok yang diperlukan untuk menggali informasi dari subyek yang menjadi tujuan kajian difokuskan pada penyusunan konsep penanganan PMKS di Wilayah Prumpung. Yang meliputi:
a.    Gambaran Umum Lokasi
b.    Karakteristik dan Pekerjaan Informan
c.    Permasalahan dan Sumber Daya Informan
d.    Penyusunan Konsep Penanganan PMKS
e.    Pelaksanaan Program Penanganan PMKS
f.    Harapan –harapan PMKS

      5.   Pengumpulan Data Kajian.
   Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini adalah:
a.  Observasi :
Yaitu mengamati secara langsung aktivitas kehidupan PMKS dalam hubungannya dengan teman, hubungannya dengan keluarga, dan hubungannya dengan lingkungan kemasyarakatannya.
b.  Wawancara:
Yaitu melakukan wawancara kepada PMKS mengenai gambaran kehidupan PMKS untuk mengungkap permasalahannya dan proses kegiatan mereka yang dilaksanakannya dengan informasi lain yang mendukung.
c.   Studi Dokumentasi:
Yaitu pengumpulan data skunder dengan menggali dan menelaah beberapa informasi dan dokumen yang terkait secara langsung maupun tidak langsung.

      6.Teknik Analisis Kajian.
Teknik analisa kajian akan dilakukan dengan analisis data  melalui tahapan sebagai berikut :
a.Reduksi data
Data yang terkumpul diberkaskan  menggunakan alat analisis data kuantitatif dan kualitatif. Data tersebut didukung dokumen transkrip,  dan catatan lapangan.
    b. Klasifikasi/Thematik data
Data yang sudah diberkaskan disunting berdasarkan klasifikasi maupun topik-topik pertanyaan kajian. Tahapan ini merupakan tahapan pengorganisasian data, penajaman, dan seleksi data yang relevan dengan kajian sehingga data dapat diverifikasi dan ditarik kesimpulan.
c. Umpan balik/Klarifikasi Data
Data yang sudah dianalisis diserahkan kembali kepada  PMKS untuk mengecek keabsahan dan kecocokan data dengan makna-makna yang disampaikan mereka. Dengan demikian, data yang dikumpulkan mencapai validasi yang dapat diterima.
d. Pelaporan dan Penyajian data
Data yang sudah diklasifikasikan dan diklarifikasikan kemudian dinterpretasikan dan dianalisis untuk diambil kesimpulan dan disajikan secara sistematik baik dalam bentuk narasi, gambar, maupun tabel dan penyajian dalam bentuk lainnya. Kemudian hasilnya di buat laporan untuk disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil kajian ini


   7. Tenaga Ahli.
Untuk melaksanakan Penyusunan Konsep Penanganan PMKS di Wilayah Prumpung ini dibutuhkan tenaga ahli dan tenaga pendukung :
1.     Tenaga Ahli.
a.    Ahli Kemiskinan Kota
b.    Ahli Gender Pembangunan
c.    Ahli Kesejahteraan Sosial
d.    Ahli Kebijakan Publik
e.    Ahli Rehabilitasi Sosial
f.    Ahli  Pengembangan Masyarakat
2.    Tenaga Pendukung.
a.    Sekretaris
b.    Programer computer
c.    Surveyor  Data dan Pengolah Data
d.    Pembantu/Sopir

8.  Rincian Kegiatan.
a.    Kegiatan Observasi dan Audiensi Para Pihak.
Kegiatan yang dilakukan untuk melakukan pengamatan kepada PMKS yang beroperasi  dan mengadakan aktivitas di wilayah Prumpung dan sekitarnya. Selain itu juga bertemu dengan pihak Kecamatan, Kelurahan, RT/RW serta organisasi sosial diwilayah itu


b.    Kegiatan Penyusunan Instrumen dan Pengumpulan Data 
Kegiatan ini meliputi pembuatan daftar pertanyaan dan pedoman wawancara serta diskusi dengan para PMKS dan organisasi sosial serta pengumpulan data skunder maupun primer baik data kuantitatif dan kualitatif.

c.    Kegiatan Wawancara/Diskusi Dgn PMKS dan Organisasi Sosial
Kegiatan untuk melakukan wawancara/diskusi untuk melakukan check dan re-check kepada para PMKS dan organisasi sosial serta para tokoh masyarakat untuk melihat permasalahan, kebutuhan dan harapan mereka.

d.    Kegiatan Pengolahan dan Interpretasi Data
Kegiatan untuk melakukan pengolahan data dari data yang telah dikumpulkan untuk kemudian dilakukan analisis dan interprestasi data guna mendukung penyusunan konsep penanganan PMKS.
e.    Kegiatan Penyusunan Konsep dan Laporan.
Kegiatan untuk melakukan rancangan konsep pada program ke depan terkait dengan penanganan PMKS sebagai acuan kebijakan public bagi pemerintah dan dapat digunakan kepada PMKS dan masyarakat  serta selanjutnya disusun laporan.
f.    Kegiatan Lokakarya dan Desiminasi Hasil.
Kegiatan untuk melakukan lokakarya dan desiminasi hasil penyusunan konsep pengananan PMKS yang ditujukan kepada para pihak yang akan menggunakan konsep ini.

BAB II
PROFIL WILAYAH
KOMUNITAS PRUMPUNG

           Prumpung menurut pengakuan warga asal mulanya adalah wilayah yang terdiri dari lima wilayah, yaitu Prumpung Pasar, Prumpung Sawah, Prumpung Tegalan, Prumpung Kuburan, dan Prumpung Pemukiman. Letak wilayahnya berada di pinggir Jalan D.I Panjaitan (Timur) dan di belakang Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Secara administrative wilayah tersebut termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Cipinang Besar Utara (CPU). Secara spesifik berada di wilayah RW 03, RW 04, dan RW 07.
      Seiring dengan mobilitas social yang tinggi, warga Prumpung kemudian menciptakan Prumpung-prumpung lain dengan sebutan Halte Prumpung, Pintu Tol Prumpung, Taman Viaduck Prumpung,  Pasar Malam Prumpung, dan Pela-Pela Prumpung. Wilayah tersebut terletak di depan Statiun Jatinegara,  pinggir rel Jatinegara, JL. D.I Panjaitan (Barat), Jl. Bekasi Timur, depan Pasar Rawa Bening, dan belakang kantor Wali Kota Jakarta Timur (lama). Secara administrative  wilayah tersebut termasuk dalam Kelurahan Rawa Bunga (KRB) dan secara spesifik berada di RW 03, RW 04, dan RW 05.



     Kelurahan CBU dan KRB secara administrative termasuk kecamatan Jatinegara Kota Administrasi Jakarta Timur dan memiliki 8 Kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Bali Mester
2. Kelurahan Kampung Melayu
3. Kelurahan Bidaracina
4. Kelurahan Cipinang Cempedak
5. Kelurahan Rawa Bunga
6. Kelurahan Cipinang Besar Utara
7. Kelurahan Cipinang Besar Selatan
8. Kelurahan Cipinang Muara











A. KELURAHAN CIPINANG BESAR UTARA

1. Kondisi Geografi

            Secara geografis luas Kelurahan Cipinang Besar Utara adalah 115,20 Ha, yang terdiri atas 14 Rukun Warga dan 192 Rukun Tetangga. Kelurahan Cipinang Besar Utara berbatasan :
 a. Sebelah Utara dengan Kelurahan Pisangan Baru
b. Sebelah Timur  dengan Jln. Cipinang Jaya dan Kelurahan Muara
c. Sebelah Selatan dengan Kelurahan Cipinang Besar  Selatan
d. Sebelah Barat dengan Jln. D.I Panjaitan Kelurahan Rawa Bunga.

2. Demografi

            Dilihat dari aspek demografi, jumlah penduduk Kelurahan Cipinang Besar berjumlah  52.032 jiwa yang terdiri dari :
Laki laki      11.426  jiwa 
prempuan    23.801 jiwa,
Jumlah Kepala Keluarga 13.535 Kepala Keluarga (KK) dengan rincian :
Laki laki       11.426 KK
Perempuan     2.109 KK.



Sebaran penduduk di setiap RW bisa dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 1
Jumlah Penduduk di setiap RW di Kelurahan Cipinang Besar Utara

    RW
    Laki laki
      Perempuan
          Jumlah
    001
      1.628
         1.452
           3.080
    002
      1.830
         1.560
           3.390
    003
      1.864
         1.601
           3.465
   004
      2.232
         1.872
           4.104
   005
      1.929
         1.649
           3.578
   006
      1.886
         1.632
           3.518
   007
      2.001
         1.635
           3.636
   008
      2.054
         1.746
           3.800
   009
      1.962
         1.632
           3.594
    010
      1.997
         1.716
           3.771
    011
      1.906
         1.634
           3.540
    012
      2.348
         1.925  
           4.270
    013
      2.288
         1.876
           4.164
    014
      2.317
         1.865
           4.182

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebaran penduduk di setiap RW relatif merata dan rata-rata penduduk lebih dari 1.600 jiwa. Jumlah tersebut tentu saja memiliki kepadatan yang cukup tinggi dan berpotensi untuk menimbulkan permasalahan sosial yang cenderung menyertainya.

Gambaran jumlah RT untuk setiap RW bisa dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 2
Jumlah RT di setiap RW

 NO
      RW
       RT
          Keterangan
  1
       01
       12

  2
       02
       12

  3
       03
       17

  4
       04
       15

  5
       05
       11

  6
       06
       11

  7
       07
       15

  8
       08
       12

  9
       09
       15

10
     010
       14

11
     011
       15

12
     012
       15

13
     013
       15

14
     014
       13


Jumlah
     192


Tabel di atas nampak bahwa RW yang paling banyak RT nya adalah RW 04 dengan jumlah 17 RT dan paling sedikit RW 05 dan RW 06 dengan jumlah masing-masing 11 RT. Banyaknya jumlah RT dalam setiap RW menunjukkan wilayah yang memang pemukimannya padat. Kepadatan pendudukan bisa merupakan suatu potensi bagi suatu wilayah, apalagi apabila jumlah tersebut ditunjang dengan kualitas penduduknya. Salah satu kualitas penduduk bisa dilihat dari tingkat pendidikan.

Tabel berikut menyajikan jumlah penduduk Cipinang Besar Utara dilihat dari tingkat pendidikan.


Tabel 3
Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan

No
 Pendidikan
      Laki laki
       Perempuan
       Jumlah
  1
Tidak Sekolah
        6.872
           5.866
       12..738
  2
Tidak Tamat SD
        4.082
           4.150
         8.232
  3
Tamat SD
        4.323
           3.816
         8.139
 4
Tamat SLTP
        6.594
           5.043
        11.637
 5
Tamat SLTA
        5.523
           4.180
         9.703
6
Tamat PT/Akademi
           861
              767
        1.638

 J U M L A H
      28.255
         23.822
      52.077

Tabel di atas menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan jumlah lulusan antara laki-laki dan perempuan. Mulai yang tamat SD sampai dengan perguruan tinggi didominasi oleh laki-laki. Sebagian besar penduduk Cipinang Besar Utara pada umumnya berpendidikan tingkat SLTP. Tingkat pendidikan tersebut termasuk dalam katagori tingkat pendidikan dasar dan digolongkan rendah. Hal ini cenderung berdampak pada penghidupan mereka terutama terkait dengan jenis pekerjaan dan berdampak pada status ekonominya.

Gambaran status ekonomi penduduk salah satunya bisa dilihat dari aspek pekerjaannya. Berikut ini digambarkan mata pencaharian pendudukan Kelurahan Cipinang Besar Utara :

Tabel 4
Mata Pencaharian Penduduk

 No
 Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
   1
Tani
       17 Orang  
   2
Karyawan/Pegawai/ABRI
17.336 Orang
   3
Pedagang
10.319 Orang
  4
Buruh Tani
        4 Orang
  5
Pensiun
  3.662 Orang
  6
Pertukangan
  4.143 Orang
  7
Pengangguran
  5.744 Orang
  8
Fakir Miskin
  4.236 Orang
  9
Lain lain
  6.577 Orang

Apabila memperhatikan jenis mata pencaharian penduduk melalui tabel di atas, nampak sebagian besar penduduk berstatus sebagai karyawan/pegawai/ABRI dan pedagang. Jenis mata pencaharian tersebut di masyarakat termasuk dalam pekerjaan relatif baik. Namun nampa juga angka pengangguran dan fakir miskin yang cukup tinggi. Suatu wilayah yang berdasarkan angka di atas adanya kesenjangan status pekerjaan.


B. KELURAHAN RAWA BUNGA

1. Geografi

            Luas Kelurahan Rawa Bunga 87.65 Ha, yang terdiri 9 Rukun Warga dan 109 Rukun Tetangga, dan Kelurahan Rawa Bunga berbatasan dengan :
a. Sebelah  Utara berbatasan dengan Kelurahan Pisangan Baru
b. Sebelah Timur  berbatasan dengan Cipinang Besar Utara
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Cipinang Cempedak
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Balimester

2. Demografi
            Jumlah penduduk Kelurahan Rawa Bunga adalah 22.731 jiwa yang terdiri dari :
Laki laki      11.369  jiwa 
prempuan    11.352 jiwa,
Jumlah Kepala Keluarga 4.553 Kepala Keluarga (KK) dengan rincian. Untuk melihat sebaran penduduk di setiap RW bisa dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 5
Jumlah Penduduk di setiap RW

    RW
    Laki laki
      Perempuan
          Jumlah
    01
      1.548
         2.020
           3.568
    02
         930
         1.274
           2.204
    03
         974
         1.303
           2.277
    04
      1.756
         1.110
           2.866
    05
      1.014
         1.380
           2.394
    06
      1.121
         1.685
           2.806
    07
      1.495
            842
           2.337
    08
         978
            628
           1.606
    09
      1.553
         1.110
           2.663
 Jumlah  
     11.369
         11.352
         22.721

Tabel di atas menunjukkan bahwa RW 1 memiliki jumlah penduduk terbanyak dibanding dengan RW yang lain dan yang paling sedikit terdapat di RW 08.  Seperti halnya di Kelurahan CPU, jumlah penduduk kelurahan Rawa Bungan yang tinggi juga bisa dipandang sebagai potensi apalagi apabila diimbangi dengan tingkat pendidikan yang tinggi.
Tingkat pendidikan penduduk keluraha Rawa Bungan bisa dilihat dalam tabel berikut :


Tabel 6
Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan

No
 Pendidikan
      Laki laki
       Perempuan
       Jumlah
  1
Tidak Sekolah
         891
           799
      1.690
  2
Belum Tamat SD
      1.326
           957
      2.283  
  3
Tamat SD
      1.882
         1.447
      3.329  
 4
Tamat SLTP
      2.765
         2.684
      5.449 
 5
Tamat SLTP
      2.434
         1.672
      4.106  
6
Tamat PT/Akademi
         469
            197
         666 

 J U M L A H
      7.333
         7.756        
    15.089

Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk pada umumnya SLTP. Tingkatan tersebut bisa dikatagorikan dalam katagori pendidikan dasar atau rendah. Bahkan berdasarkan data yang tersedia di Kelurahan terdapat warga yang drop out dari tingkat SD sampai perguruan tinggi kurang lebih berjumlah 7.542 orang.
Tingkat pendidikan sebuah penduduk cenderung berdampak pada jenis pekerjaan yang ditekuninya. Hal ini bisa dilihat dari tabel berikut yang akan menyajikan tentang mata pencaharian penduduk Kelurahan Rawa Bunga :


Tabel 7
Mata Pencaharian Penduduk

 No
 Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
   1
Pegawai Negri Sipil
      876 Orang  
   2
Karyawan swasta
      532 Orang
   3
ABRI
   1.164 Orang
   4
Pedagang
   2.600 Orang
   5
Buruh
       491 Orang
   6
Pensiun
       503 Orang
   8
Pelajar
    7.439 Orang
   9
Mahasiswa
    1.435 Orang
 10
Lain lain
    4.241 Orang
 
 Jumlah
  22.731 Orang

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai pelajar. Sedangkan yang bekerja mencari nafkah sebagain besar adalah pedagang.



3. Kondisi sosiografis kedua kelurahan

            Dua kelurahan  yang termasuk wilayah Prumpung adalah Kelurahan Rawa Bunga dan Kelurahan Cipinang Besar Utara, yang lebih tepatnya adalah  Rw 1, Rw 2, Rw 3, Rw 4 dan Rw 7 dan untuk Kelurahan Rawa Bunga adalah Rw 03, 04 dan Rw 05

1. Perumahan
            Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di beberapa Rw yang termasuk wilayah prumpung status rumah yang mereka tempati adalah tanah Negara dengan status Hak Garap dan Jual Beli di atas segel dan hak milik dan hak guna bangunan dengan bukti kepemilikan berupa sartifikat maupun girik. Warga yang ditemui umumnya menempati rumah sewaan.

              

            Kondisi rumah jika diperhatikan sulit dinilai melalui kriteria rumah sehat karena letaknya yang berdempetan, berjejer menghadap ke gang sebagai jalan utama lalu lintas masyarakat. Lingkngan kurang terawat, banyak tercium aroma yang kurang enak yang bersumber dari selokan, got dll, rumah banyak yang berlantai kramik, rumahnya petak petak hampir sulit melihat antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya, karena letak rumah saling sambung menyambung kesamping kiri kanan dan atas, untuk menjangkau rumah di lantai atas sangat menghawatirkan, dengan melalui tangga kecil, tangganya sangat curam dan tidak kokoh.
  

  
            Rumah rumah petak yang ukuran rata rata 4 X 4 atau 4 X 6 meter diisi oleh penghuni yang banyak dari mulai ibu, bapak, anak yang rata rata berjumlah lebih dari 4 orang ditambah menantu, cucu sehingga terlihat padat dan semraut, berbagai kegiatan rumah tangga dilakukan di tempat yang sama, banyak yang menggunakan jalan yang mereka anggap halaman rumah sebagai dapur, dengan menggunakan kompor dan menempel ke dinding rumah,

            Untuk keperluan MCK, menggunakan MCK umum dan ada beberapa yang di rumahnya ada kamar mandi, untuk minum dan memasak mereka menggunaakan air yang dibeli seharga Rp. 1.000 satu jerigen ukuran 20 liter, atau ada juga yang menggunakan air yang ada. Banyak terlihat yang melakukan cuci piring dll di sepanjang jalan yang terlalui. Dan terlihat ada jompo 2 orang yang kondisi rumahnya sangat menghawatirkan, menempati rumah yang sangat tidak layak, lantai tanah terlihat becek, karena semua giatan dia lakukan di ruangan itu, dan tercium bau yang sangat menyengat.

            Rumah seperti yang tergambar di atas di sewakan antara Rp. 200.000 sampai Rp. 500.000 per bulan, pemilik rumah ada yang memiliki rumah 2 sampai 9 rumah yang disewakan, harga rumah sesuai dengan kondisi dan luas rumah. Dan rata rata rumah tidak memiliki dapur. Penyewa umumnya tidak permanen karena berdasarkan keterangan yang di dapat mereka bebas memilih dan pindah kapan saja kalau di rasa sudah tidak betah atau kurang cocok, pindah sewa bisa dilingkungan yang sama atau keluar lingkungan.

2. Situasi komunitas Prumpung

            Keadaan penduduk terlihat cukup padat, di gang yang terlalui terlihat banyak anak balita dan anak anak, gang yang digunakan sebagai halaman, umumnya mereka duduk duduk di depan rumah bercengkrama dengan sesama warga. Banyak terlihat yang berjualan di depan rumah maupun yang berkeliling.

            Solidaritas sosial diantara mereka terlihat cukup tinggi, hal ini karena interaksi yang mereka lakukan cukup baik karena komunikasi diantara mereka terjadi setiap saat, bahkan dapat dikatakan tidak terbatas waktu, dari pagi sampai pagi lagi mereka terus burhubungan. Jika ada warga yang terkena masalah cepat tanggap dan mereka saling membantu terutama kalau ada yang sakit atau mengalami kecelakaan. Dan dalam hal tertentu mereka juga saling menutupi, misalnya kalau di tanya apakah disini ada wanita tuna susila mereka serentak menjawab tidak ada. Jadi kalau ada pertanyaan yang menjurus kepada hal hal yang mereka anggap akan mengancam keberadaannya atau penghidupannya mereka saling menutupi.

            Solidaritas sosial terlihat cukup tinggi hal ini diikuti juga oleh kecemburuan sosial diantara mereka juga cukup tinggi, mereka tidak mau di bedakan antara yang satu dengan yang lainnya terutama yang berkait dengan sumbangan atau fasilitas fasilitas tertentu, seperti yang terasa selama berada di lingkunagn mereka, mereka menanyakan kenapa sianu di wawancara, kenapa saya tidak, akan ada bantuan apa setelah di wawancara. Kesulitan untuk melakukan wawancara secara pribadi karena pasti yang lain ikut nimbrung dan pertanyaan di jawab bukan oleh yang di tanya tetapi semua yang hadir berkomentar dan menjawab.

            Sistem nilai yang berkembang di daerah itu sudah tidak jelas, rata rata masyarakat beragama islam, tetapi tidak melaksanakan ibadah. Dan kebetulan tidak bertemu dengan yang beragama lain selain Islam. Dan ada yang mengatakan tidak sholat karena tidak ada tempatnya sambil menunjukkan rumahnya yang sempit dan semraut.

            Pakaian yang terlihat di gunakan, wanita rata rata menggunakan celana pendek, dengan blus, atau daster yang terlihat lusuh begitu juga anak anak banyak yang menggunakan celana dalam dengan singlet anak laki dan perempuan sama pakaiannya, apakah hal ini karena Jakarta panas atau kebiasaan. Tidak terlihat kerapihan dalam berpakaian, apakah hal ini karena di rumah, kerapihan hanya untuk pergi saja.  












BAB III
KONDISI DAN SITUASI PMKS
 DI WILAYAH PRUMPUNG

 A. POPULASI DAN SEBARAN
         PMKS yang dimaksud dalam kajian ini adalah PMKS proyektif, yaitu Fakir miskin, gelandangan dan pengemis, anak jalanan/pengamen, WTS/Waria.   Masalah ini banyak ditemukan di wilayah Prumpung. Namun masyarakat terlihat tidak merasakannya sebagai suatu masalah. Hal ini terjadi karena warga Prumpung sudah  sejak lama akrab dengan kehidupan PMKS yang ada di sekitarnya. PMKS sendiri nampak wajar tidak menunjukkan bahwa perilaku mereka mengganggu ketertiban, mengganggu lingkungan, dan gangguan lain yang dirasakan oleh masyarakat luar lingkungan mereka.
Tabel 8
Populasi PMKS di Kelurahan Rawa Bunga

No
Jenis PMKS
Jumlah
 
1.
Fakir Miskin
179
2
WTS/waria
29
3.
Anak Jalanan
4
4.
Gelandangan /Pengemis
5

      Table di atas menunjukkan bahwa PMKS terbanyak jumlahnya adalah fakir miskin  yaitu 179.  Mereka tersebar di RW 03, RW 04, dan RW 05. Tabel di atas juga menunjukkan tidak sedikit jumlah WTS /Waria.  Gambaran masalah tersebut juga tidak jauh berbeda dengan jumlah yang terdapat di Kelurahan Cipinang Besar Utara. Gambaran tersebut disajikan dalam table berikut :


Tabel 9
Populasi PMKS di Kelurahan Cipinang Besar Utara

No
Jenis PMKS
Jumlah
1.
Fakir Miskin
229
2
WTS/waria
25
3.
Anak Jalanan
35
4.
Gelandangan /Pengemis
50

      Populasi PMKS di Kelurahan CBU ternyata lebih banyak dibanding dengan populasi PMKS yang ada di Kelurahan Rawa Bunga. PMKS tersebut tersebar di RW 03, RW 04, dan RW 07.  Kompleksitas permasalahan social sebenarnya tidak ditentukan besarnya jumlah PMKS. Apalagi dengan jumlah yang relative besar, jumlah yang sedikitpun permasalahan social bisa mengganggu keamanan dan ketentraman warga yang ada di sekitarnya.  


B. SITUASI DAN KONDISI
    
    1. Keluarga Miskin     
          Berdasarkan informasi dan hasil wawancara dengan beberapa penyandang masalah, banyak di antara mereka yang berasal dari luar Jakarta. Mereka mengadu nasib di Jakarta untuk memperoleh keberuntungan hidup, namun yang mereka temukan di Jakarta adalah kemiskinan dalam bentuk yang lain yang
permasalahannya jauh lebih kompleks dari pada kemiskinan yang mereka alami di kampong asalnya. Baik di Kelurahan Rawa Bunga maupun Kelurahan Cipinang Besar Utara keluarga miskin jumlahnya cukup tinggi dan paling banyak diantara PMKS yang lainnya.
Box 1 :
Keluarga Miskin :

1.     Nama                                                 : Tuminah
2.     Usia                                                  : 52 tahun
3.     Agama                                               : Islam
4.     Status Marital                                              : Sudah menikah
5.     Pendidikan                                                  : Tidak sekolah
6.     Asal Daerah                                      : Indramayu
7.     Tempat Tinggal di Daerah Sekarang                : RT 18 RW 04
8.     Lama Tinggal di Daerah Sekarang                                : 23 bulan
9.     Pekerjaan / kegiatan yang yang di lakukan saat ini   : Ibu rumah tangga

Ibu tuminah sudah lebih 5 tahun tinggal di Jakarta, dari indramayu bu tuminah bersama teman langsung ke Jakarta untuk bekerja, ibu tuminah punya suami yang asli orang betawi dan bekerja sebagai serabutan, sejak punya suami ibu tuminah tidak bekerja lagi dan sekarang menjadi ibu rumah tangga dan mengasuh cucu. Tempat tanggal ibu tuminah sekarang adalah rumah sendiri. Ibu tuminah mendaptkan bantuan dari pemerintah seperti raskin tapi jarang di ambil karena tidak mempunyai uang. Ibu tuminah tidak mempunyai keterampilan apapun karena ibu tuminah tidak sekolah. Ibu tuminah tidak ada rencana pulang ke indramayu karena tidak ada rumah dan saudara. Harapan ibu tuminah adalah ingin bekerja supaya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan memperbaiki rumah yang bocor.

 
    













2. Gelandangan dan Pengemis
     Tempat tinggal merupakan salah satu permasalahan yang cuku pelik di perkotaan. Bagi keluarga miskin yang datang dari kampong dengan hanya berbekal nekad mengadu nasib, tanpa tujuan dan tanpa sanak saudara di Jakarta, maka kecenderungan untuk hidup menggelandang peluangnya lebih besar.
            Di kampung,  mereka masih memiliki tempat tinggal, walaupun sederhana, namun di kota mereka hidup menggelandang karena tidak    memiliki tempat tinggal, kalaupun ada tempat tinggal namun jauh dari kondisi layak. Di kampung mereka masih memiliki sanak saudara yang masih mau berbagi, namun di Jakarta berbagi tidak ada yang cuma-cuma melainkan harus dibayar dengan uang atau bentuk lain sebagai imbalan.
Rounded Rectangle: Box 2 : Gelandangan

1. Nomor Urut    : Dada
2. Usia     : 60 tahun
3. Agama     : Islam
4. Status Marital    : Sudah menikah
5. Pendidikan                                                  : SLTP
6. Asal Daerah     : Yogyakarta
7. Tempat Tinggal di Daerah Sekarang   : RT 15 RW 04
8. Lama Tinggal di Daerah Sekarang    : 15 tahun
9. Pekerjaan / kegiatan yang yang di lakukan saat ini   : berdagang di jalanan

Bapak Dada mempunyai 2 orang anak yang sedang kuliah di Akbid dan AKI yogyakarta. Bapak Dada berada di Jakarta sudah 15 tahun. Dulu pak Dada di ajak oleh saudara dan bolak balik dari Jakarta ke denpasar, sejak itu pak slamet memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta bekerja sebagai pedangang di jalanan. Bapak Dada mempunyai orang tua tapi beliau tidak pernah ketemu sama sekali. Bapak slamet ke Jakarta untuk bekerja. Bapak Dada mempunyai KTP Jakarta yang tinggal di RT 15 RW 04 Kelurahan Rawa Bunga tapi beliau tidur dijalan dan dimana saja dan beliau bekerja dari pagi sampai pagi lagi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari bantuan pemerintah bapak slamet tidak pernah mendapatkan bantuan dan keterampilan yang dimiliki oleh bapak slamet tidak ada. Bapak slamet tidak ada rencana pulang ke kampung halaman  karena kalau di yogyakarta tidak ada lahan untuk bekerja dan harapan beliau adalah pas usaha tidak ada razia.
 


















                                            
       Di samping masalah tempat tinggal, mereka juga tidak terserap dalam pekerjaan formal karena tidak cukup keterampilan, sehingga terpaksa bekerja hanya berdasarkan kekuatan otot atau bahkan menjadi pengemis meminta belas kasihan orang lain.
    
3. Anak Jalanan

 Kemiskinan orang tua juga berdampak pada kehidupan anak-anaknya. Oleh karena itu tidak sedikit anak-anak mereka berada di jalanan hanya untuk membantu dan meringankan beban ekonomi orang tuanya. Banyak di antara mereka yang drop out sekolah, sehingga kesempatan mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi menjadi terbatas dan cenderung kehilangan masa depannya yang lebih baik.
   

Keberadaan mereka di jalanan bukan hanya merendahkan martabat mereka sebagai anak harapan bangsa, tetapi kehidupan mereka tidak aman, rawan akan eksploitasi ekonomi, seksual, trafiking,  kecelakaan lalu lintas yang setiap saat mengancam keselamatan mereka.







Text Box: Box 3 : Anak jalanan

Kelompok anak jalanan ini menyebut diri mereka “Kelompok Penyanyi Jalanan” yang beranggotakan anak-anak jalanan/ pengamen yang beroperasi sepanjang jalan Bekasi – Jatinegara. Kelompok tersebut memiliki kepengurusan yang diketuai oleh Bang ML. Bang ML adalah pemilik sebuah warung di pinggir jalan Bekasi – Jatinegara. Warung tersebut menjadi basecamp anak-anak jalanan. Fungsi kelompok tersebut sebagai kelompok solidaritas anak jalanan yang memiliki mekanisme pengaturan ‘operasi’ mengamen. Kelompok tersebut sekaligus menjadi naungan anak jalanan dari petugas trantib. 
Kelompok tersebut memiliki pengaturan mengamen bergilir yang dicatat oleh pengurus yang terdiri dari anak jalanan itu sendiri. Mereka juga sepakat untuk mengumpulkan uang ‘jimpitan’ sebesar Rp. 500,- per hari yang dikelola bersama untuk kepentingan bersama, misal sebagai dana sosial, dana snatunan, dan dana tebusan untuk petugas yang melakukan razia. Pungutan tersebut bersifat sukarela untuk kepentingan bersama.
Setiap harinya anak jalanan yang tercatat di warung Bang ML tersebut dapat mencapai sekitar 150 anak (dalam putaran 24 jam).
Berdasarkan keterangan bang ML, motivasi ia dalam mendirikan kelompok tersebut adalah untuk mewadahi anak jalanan dan mengubah image anak jalanan agar lebih baik. Selain itu Bang ML dan kawan-kawan berniat menertibkan anak-anak jalanan di wilayah tersebut. Bang ML sendiri mengaku bahwa sebelumnya ia memiliki pengalaman di sebuah LSM, dan ia ingin menerapkan ilmu yang ia peroleh tersebut.

 Observasi :
Anak-anak jalanan memiliki markas di warung Bang ML yang berjualan makanan. Anak-anak jalanan  makan di warung tersebut. Warung Bang ML merupakan warung tenda tidak permanen.

 






. manusia, tetapi juga sangat mengganggu ketertiban, keindahan, dan kebersihan kota. Oleh karena itu mereka sering terkena razia petugas keamanan dan ketertiban.
      Masalah 



a.    Program / kebijakan
b.    Sumber yang tersedia
c.    Harapan  masyarakat,  PMKS,  dan pemberi  pelayanan






4. Pekerja Seks Komersial (Wanita Tuna Susila/waria)
yang lebih menyulitkan, yaitu menerjunkan diri dalam kehidupan Situasi yang tidak berpihak sering kali membuat seseorang terjebak dengan kehidupan prostitusi. Terdapat 54 orang PSK yang ada di kedua kelurahan. Jumlah tersebut tentu saja tidak sedikit, mengingat dampak yang ditimbulkannya. Mereka beroperasi secara liar di sepanjang rel kereta api dan pinggir jalan sepanjang jalan di depan Stasiun Jatinegara sampai LP Cipinang. 
Keberadaan mereka sangat mudah dijangkau oleh para lelaki hidung belang bahkan anak-anak yang ingin coba-coba yang berada di sekitarnya. 
      Masyarakat di sekitarnya sudah mengetahui  titik-titik yang sering dijadikan tempat mesum, namun mereka juga tidak bisa beruat apa-apa. Buktinya tempat-tempat tersebut tetap ada dan sering “bergoyang” di malam hari.
Text Box: Bok 4 : PSK
1. Nomor Urut        : Kartini
2. Usia         : 39 tahun
3. Agama        : Islam
4. Status Marital       : Sudah menikah
5. Pendidikan                                                                 : Tidak sekolah
6. Asal Daerah        : Indramayu
7. Tempat Tinggal di Daerah Sekarang    : RT 18 RW 04
8. Lama Tinggal di Daerah Sekarang     : 23 tahun
9. Pekerjaan / kegiatan yang yang di lakukan saat ini   : WTS

Ibu kartini sudah 23 tahun bekerja di Jakarta dan mempunyai 3 orang anak. Dari Indramayu ibu kartini sendiri langsung ke Jakarta atas kemauan sendiri karena di kampung halaman ibu kartini tidak punya kerjaan dan pergi ke Jakarta untuk bekerja. Ibu kartini sekarang tinggal di rumah kontrak. Ibu kartini tidak mempunyai pekerjaan tambahan dan beliau kerja dari jam 10 malam sampai pagi. Keterampilan yang di miliki ibu kartini tidak ada dan beliau juga tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Penghasilan ibu kartini hanya pas-pasan. Beliau belum ada rencana buat pulang ke kampung halaman karena tidak ada uang dan harapan beliau adalah ingin mempunyai pekerjaan yang tetap supaya dapat menyekolahkan anak-anak beliau dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
 


                          













Text Box: Box 5 : Waria
1. Nama    : WN 
2. Usia    : 34
3. Agama    : Islam
4. Pendidikan   : SMA 
5. Asal    : WN Palembang
6. Tempat tinggal skarang : RW 03 Cipinang Besar Utara
7. Lama tinggal   : ± 10 tahun
8. Kegiatan yang dilakukan : Waria/wirausaha


WN
WN berasal dari Palembang. WN sudah 10 tahun tinggal di Jakarta. Sebelumnya dia pernah bekerja di Batam pada sebuah PT dan berhenti akibat PHK. WN datang ke Jakarta pada tahun 2000 diajak saudara di Bekasi. WN datang ke Jakarta dengan tujuan memperoleh pengahasilan lebih. WN tinggal di rumah kos dengan sewa Rp. 500.000,-.  Penghasilan WN setiah hari sekitar Rp. 20.000,-. WN masih sering pulang ke Palembang setiap 1 tahun sekali. Menurut WN yang menarik ia untuk datang ke Jakarta adalah wawasan, pengalaman, dan mencari rizki. Akan tetapi menurut WN Jakarta adalah keindahan di angan-angan tapi kenyataan hidup di Jakarta sebenarnyapahit.
WN tinggal di komplek kos bersama 5 waria yang lain. Mereka memiliki solidaritas yang tinggi. Selain itu WN dan kawan-kawannya sesame waria dinaungi oleh yayasan Srikandi Indonesia yang member berbagai pelayanan pada mereka, seperti layanan sharing, konseling, layanan kesehatan, dan ketrampilan. Selain dari Srikandi Indonesia, WN pernah memperoleh pelatihan ketrampilan dari Dinas Sosial, yaitu salon dan tata boga.
WN merasa masyarakat selama ini belum sepenuhnya bisa menerima mereka. WN merasa dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Menurut WN masyarakat masih memandang waria dari sisi buruknya saja. WN tinggal di dalam lingkungan perempuan di RW 03 yang dapat menerima mereka. Diantara perempuan-perempuan tersebut adalah PSK.
Dalam kegiatan sehari-hari WN bergabung dengan masyarakat sekitar dan menjadi bagian dari masyarakat sekitar. Harapan ke depan, WN berharap dapat membuka usaha seperti kantin. Akan tetapi kendala terdapat pada modal.
 





















C. Usulan Warga
Warga Prumpung sendiri menyadari bahwa di lingkungannya ada masalah PMKS. Bagi mereka PMKS adalah bagian dari warganya yang terpaksa melakukan aktivitas di jalanan hanya untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu keberadaan mereka perlu diperhatikan bukan dimusuhi, melainkan diberi keterampilan dan disiapkan lapangan kerjanya.  
Melalui pertemuan warga, mereka mengusulkan beberapa penanganan yang terkat dengan masalah PMKS yang ada di lingkungannya. Hal tersebut adalah :
1. Anak Jalanan :

a.    Beri pendidikan yang sifatnya kontinyu
b.    Dibebaskan dari operasi satpol PP
c.    Pendampingan oleh tokoh masyarakat
d.    Diberi penyuluhan tentang tatakrama / sopan santun
e.    Dinerikan modal untuk menunjang pekerjaan mereka, agar mereka tidak lagi ke jalanan
f.    Diorganisir oleh masyarakat di wilayah mereka beroperasi, jangan oleh yayasan.
g.    Dipermudah administrasi kependudukannya, seperti dalam membuat KTP bagi yang berusia sudah 17 tahun.
  
                                                     
  2.  PSK/Waria
a.      Mereka harus diakui
b.     Tidak dibiarkan berkelompok dan tidak sendiri-sendiri
c.      Diberikan penyadaran tentang bahaya HIV/AIDS
d.      Disalurkan sebagai tenaga kerja di bidang apapun
e.      Diberi keterampilan dan diberi pembinaan agar mereka tidak kembali ke profesi lama
f.      Diperhatikan kesehatannya agar tidak menu;arkan penyakit pada orang lain
g.      Adanya pendampingan dari tokoh masyarakat atau kader
                                            
  3. Gelandangan dan Pengemis
a.    Sekolah terbuka
b.    Pengadan buku / perpustakaan
c.    Disediakan pemukiman yang terjangkau / murah





  4.  Fakir Miskin
a.    Diberi modal usaha
b.    Pembinaan
c.    Tunjangan kesehatan
d.    Raskin gratis
e.    Pendampingan dari tokoh masyarakat











BAB IV
KONSEP PENANGANAN PMKS

       Berdasarkan pada potensi dan permasalahan seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka di dalam upaya untuk menjadikan Wilayah Prumpung Kecamatan Jatinegara Kota Administrasi Jakarta Timur sebagai kota yang indah, tertib, dan nyaman, berikut ini uraian secara garis besar beberapa konsep penanganannya.

A, KONSEP PENANGANAN.

  1. Model “Self Advocacy and Empowering” (SAE)
Merupakan penangan PMKS yang berfokus kepada diri PMKS untuk meningkatkan keberfungsian sosial dan kemandian mereka agar mampu hidup secara normal dan diterima masyarakatnya.

a, Sasaran : 
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang terdiri atas fakir miskin , anak jalanan/ pengamen, gelandangan/pengemis, dan pekerja seks komersial (WTS/Waria).
.
b.Tujuan  :  
kegiatan para PMKS lebih terbuka, terorganisasi, dan tertib.

c.Dasar pemikiran : 
mereka (PMKS) adalah manusia yang memiliki hak untuk hidupdan mencari nafkah.

d.Strategi  :
 me”legal”kan atau mengakui keberadaan mereka dan kegiatan mencari nafkah seperti yang mereka lakukan sekarang.

e.Kegiatan  :
1)  Sosialisasi program kegiatan.
2)   Pendataan dan pemetaan fakir miskin, anak jalanan/pengamen, gelandang/ pengemis, dan pekerja seks komersial (WTS/Waria).
3)   Pengorganisasian masing-masing jenis PMKS agar mudah melakukan pembinaan terhadap mereka.
4)   Pembinaan secara rutin dan berkesinambungan terhadap PMKS sesuai kebutuhan dan potensi yang mereka miliki. Tujuan dari pembinaan ini adalah agar mereka secara perlahan namun pasti mengubah cara mereka mencari nafkah atau pulang ke kampung halaman.
5) Khusus untuk anak jalanan diarahkan agar mereka mematuhi ketentuan wajib belajar sembilan tahun.

2.Model “Community Based Information Network” (Combine)
Merupakan penanganan PMKS yang berfokus kepada kekuatan dan potensi masyarakat termasuk organisasi sosial dan kelompok warga peduli lainnya.

a. Sasaran  : 
RT/RW, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda.

b.Tujuan   :  
pemberdayaan masyarakat agar peka dan mampu mengatasi masalah sendiri dan masalah sosial yang ada di daerahnya.

c.Dasar pemikiran  : 
setiap orang memiliki potensi yang perlu dikembangkan.

d.Kegiatan  : 
1) Sosialisasi program kegiatan.
2)   pelatihan dan bimbingan yang berkelanjutan agar mereka memiliki kemampuan:
3)   Melakukan identifikasi dan asessmen.
4)   Melakukan analisa terhadap hasil identifikasi dan asessmen.
5)   Menentukan dan melaksanakan jalan keluar dari permasalahan sosial yang mereka hadapi.
    
  1. Model Public Partnership Centre (PPC)
Merupakan penanganan PMKS dengan melibat aparatur pemerintah dan pihak lainnya yang mempunyai kepentingan dan bersinggungkan dengan aktivitas PMKS.

a.Sasaran  : 
RT/RW, Camat, PJKA, Kepolisian, Dinas Pertamanan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan instansi lain yang terkait.

b.  Tujuan  : 
terjalinnya hubungan kerja yang terintegrasi antar instansi terkait.

c. Kegiatan  :
1) Sosialisasi program kegiatan.
2)   Melakukan rapat koordinasi secara rutin dan berkesinambungan.
3)   Masing-masing instansi melakukan kegiatan sesuai tugas pokok dan fungsinya secara tegas dan terbuka dengan mengedepankan sinergisitas kegiatan.

B. METODE PENANGANAN PMKS

1.Metode Rehabilitasi.
Rehabilitasi sosial PMKS didasarkan pada kaidah-kaidah pekerjaan sosial profesional, hak asasi PMKS, keterpaduan, aksesibilitas, partisipasi, dan keberlanjutan. Prinsip-prinsip pelayanan dan rehabilitasi sosial tersebut merupakan nilai-nilai dasar yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan melengkapi, serta diyakini sebagai suatu kebenaran dalam memberikan pelayanan terbaik bagi kesejahteraan sosial PMKS
    a.Destigmatisasi
Mengusahakan penghilangan stigma yang dihadapi klien baik internal maupun eksternal.
    b.Desensitiasi
Mengatasi sensitivitas berlebihan sehingga klien mampu melihat realitas secara obyektif.
    c.Deisolasi
Menghindari pelayanan yang bersifat membatasi atau mengisolasi klien dan lingkungan sosialnya.
     d.Defragmentasi
Menerapkan pelayanan yang utuh, terarah, bertahap menuju penanganan masalah secara tuntas dan menghindari fragmentasi pelayanan.
2. Metode Konseling
Konseling merupakan proses interpersonal yang keberhasilannya tergantung pada sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang dibawa konselor pada saat berinteraksi dalam konseling. Oleh karena itu, konselor harus memiliki karakteristik personal dan profesional sebagai berikut :
a. Keyakinan bahwa klien adalah individu unik yang memiliki nilai tertentu.
b. Keyakinan bahwa klien memiliki kemampuan untuk berubah.
c..Pengetahuan tentang fungsi individu efektif.
d,Pengertahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam membantu individu mengatasi keterbatasan fungsional.
3. Bimbingan Sosial Individu
Bimbingan sosial individu merupakan pelayanan sosial yang paling banyak diberikan pekerjaan sosial . Bimbingan ini diarahkan untuk mengatasi berbagai permasalahan unik yang dialami oleh masing-masing klien, yang memerlukan keahlian khusus dari seseorang pekerja sosial profesional. Dalam pelaksanaanya, pelayanan bimbingan sosial yang dilakukan pekerja sosial akan memerlukan dukungan dari tenaga profesional lain yang bekerja, dn sebaliknya juga akan mendukung pelayanan yang diberikan profesi lain yang menangani klien. Bimbingan sosial individu diberikan kepada klien di panti sebagai jawaban terhadap keunikan klien  secara umum berkaitan dengan isi kemiskinan, akan tetapi secara realitas permasalahanya bisa sangat bervariasi pada setiap klien, tergantung kepribadian, situasi spesifik yang dihadapi klien dan faktor-faktor penentu atau faktor pengaruh lainya.

 4. Bimbingan Sosial Kelompok.
Bimbingan sosial kelompok merupakan suatu metode intervensi pekejaan sosial dimana sejumlah klien/orang berkumpul dan berbagi isu-isu (topik-topik yang mereka minati atau masalah-masalah yang mereka hadapi). Kelompok ini bertemu secara teratur dan kegiatan di dalam kelompok ini dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah disusun. Tujuan bimbingan sosial kelompok termasuk pertukaran informasi pengembangan kemampuan anggota kelompok, perubahan nilai-nilai orientasi dan perubahan sikap antisosial ke sikap produktif. Topik yang dibicarakan juga bervariasi, tidak terbatas pada diskusi tentang terapi kontrol (The Social Work Dictionary, Robert L. Barker, 2nd Edition). Untuk komposisi kelompok, jumlah anggota kelompok berkisar antara 4-7 orang, dengan adanya variasi latar belakang masalah umur, jenis kelamin maupun pendidikan diantara anggota kelompok.

5,  Bimbingan Sosial Masyarakat
Bimbingan sosial masyarakat adalah suatu istilah yang digunakan pekerja sosial untuk metode pelayanan yang diarahkan kepada masyarakat atau komunitas. Istilah ini digunakan sebagai terjemahan dari community work, yang belakangan banyak digunakan untuk dapat merangkul berbagai pendekatan yang digunakan pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebelumnya, orang dengan sangat fantastis membedakan apa yang disebut sebagai pengembangan masyarakat dan pengorganisasian masyarkat. Memang belum ada kesepakatan mengenai apa yang disebut dengan community work atau bimbingan sosial dengan masyarakat.

6. Bimbingan Keterampilan
Terdapat dua alasan mengapa diadakan bimbingan keterampilan. Pertama, berkaitan dengan etika kerja, menilik pekerjaan bagi seseorang merupakan harga diri dan dirinya dianggap layak seperti manusia lainnya dan dapat menigkatkan status. Kedua, bimbingan keterampilan terutama yang berkaitan dengan keterampilan kerja harus didasarkan pada suatu kegiatan operasional yang bersifat konkrit, rutin dan terstruktur. Untuk pelaksanaanya, diperlukan demonstrasi yang bersifat visual serta penguatan-penguatan yang bersifat dapat dirasakan (tangible reinforcement).

7. Bimbingan Motivasi
Motivasi ialah kegiatan pengenalan program kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial untuk menumbuhkan kemauan/keinginan dan semangat untuk menjadi klien pelayanan. Motivasi dimaksudkan guna terciptanya kelancaran pelaksanaan kegiatan operasional terutama dalam rangka mendapatkan calon klien yang mempunyai kesadaran untuk memperbaiki kualitas hidupnya, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

8. Bimbingan Fisik
Sehubungan dengan kerawanan para PMKS akan beberapa penyakit yang berkaitan dengan sifat pekerjaan yang mereka lakukan, maka bimbingan fisik termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan, sangat penting diberikan kepada klien (PMKS : berkaitan dengan penyakit kulit, saluran pernafasan dan juga penyakit menular seks dan HIV/AIDS). Selain itu, telah sejak lama juga diakui banyak orang bahwa bimbingan fisik, baik berupa pelayanan kesehatan maupun bimbingan kesegaran jasmani dan rekreasi fisik dianggap sangat penting bagi klien-klien rehabilitasi. Banyak keterampilan, termasuk keterampilan pengambilan keputusan justru bisa dikembangkan dalam kegiatan-kegiatan rekreatif. Hal ini sangat signifikan bagi pembentukan rasa tanggung jawab sosial klien dalam masyarakat.

9. Bimbingan Mental Spiritual
Pengahayatan spiritual merupakan kebutuhan setiap insan untuk mencapai ketenangan jiwa dalam kehidupanya. Bagi klien, perasaan bersalah (guilty feeling) dan terhina atau tercampakkan menghantui kehidupannya. Mereka tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang tidak disukai oleh banyak orang dan dianggap menggangu serta menyimpang dari norma sosial. Terlebih, perasaan seperti ini ditambah dengan perasaan tertekan karena adanya stigma dari masyarakat atas apa yang dilakukannya, tidaklah mungkin menambah beban tersendiri bagi mereka. Untuk itu, bimbingan mental spiritual tampaknya sangat diperlukan. Selain itu, seringkali seseorang melakukan suatu tindakan tidak saja karena suatu keterpaksaan, namun bisa saja berhubungan dengan mental spiritualnya. Misalnya, seseorang PMKS didorong oleh faktor kemalasan untuk hidup mapan atau tidak mau bekerja keras sebagainya. Hal ini menuntut adanya suatu upaya untuk melakukan perubahan terhadap sikap mental tersebut.

10.Bimbingan Sosial  Keluarga

Latihan hidup dalam lingkungan keluarga juga merupakan hal yang penting dilakukan di pusat-pusat rehabilitasi bagi PMKS. Menempatkan klien secara berkelompok di dalam suatu tempat yang benuansa rumah, dilakukan untuk melatih mereka mengembangkan keterampilan-keterampilan dan norma-norma hidup berkeluarga secara baik. Melalui interaksi antar anggota kelompok dalam tempat yang sama diharapkan dapat mengurangi atau mengoreksi perilaku yang kurang mendukung dan dapat mengembangkan perilaku-perilaku baru yang lebih bersifat positif. Dalam program rehabilitasi di masa lalu program pelayanan ini dikenal dengan pelayanan residensial, tetapi sekarang lebih disukai dengan nama program latihan keterampilan hidup di dalam rumah/keluarga. Hal ini bukan sekedar perubahan nama program latihan keterampilan hidup didalam keyakinan bahwa rehabilitasi tidak sama dengan pelayanan residensial, walaupun rehabilitasi sosial juga bisa termasuk dalam kategori pelayanan residensial, karena program bimbingan hidup di dalam rumah dapat diterapkan dalam setting masyarakat.

11. Metode Assesmen
Pekerja sosial merupakan kegiatan profesional yang ditujukan untuk membantu individu, kelompok maupun masyarakat atau yang sering di sebut dengan klien, meningkatkan fungsi sosialnya. Dengan kata lain, pekerja sosial membantu klien memecahkan masalah yang ada, sehingga mereka dapat kembali melaksanakan peran dan fungsi sosialnya sebagaimana yang diharapkan. Tentunya, peran yang dimaksud berkaitan pula dengan perannya terhadap lingkungan terdekat, khususnya peran yang berkaitan dengan peran diri pribadi, seperti sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan dan perlindungan, pendidikan, dimilikinya identitas diri dan adanya pengakuan akan diri, serta adanya cinta kasih sayang. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan suatu model intervensi yang sifatnya menyeluruh. Seringkali, akar permasalahan berada pada diri pribadi klien  (untuk masalah yang sifatnya individu). Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa akar masalah ada pada pihak luar diri pribadi klien, seperti keluaga bahkan masyarakat sekitar. Sebaliknya, banyak pula permasalahan yang akar masalahnya berada pada kedua belah pihak. Artinya, akar masalah berada pada diri pribadi klien maupun lingkungannya.

12. Konferensi Kasus.
Konferensi kasus adalah suatu forum permufakatan yang dihadiri oleh para ahli dalam rangka pembahasan kasus yang disertai pula dengan penetapan alternatif kebijaksanaan dan langkah bagi kepentingan si penyandang masalah yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat.
  1. Terciptanya suatu wadah kerjasama multi disipliner atau multi profesional dan lintas sektoral secara terpadu didalam penyelenggaraan program pelayanan dan rehabilitasi sosial PMKS.
  2. Terciptanya suatu mekanisme kerja yang bersendikan semangat kolektifitas profesional yang berperan di bidang seleksi, pemastian sistem pelayanan, pengungkapan dan pemecahan masalah, penggalian dan pengolahan data permasalahan, menetapkan rumusan pelayanan dan rehabilitasi atau rencana program bimbingan, pembinaan dan penyantunan, menyelenggarakan program pemantauan, penilaian asesmen dan evaluasi antara lain terhadap ketepatan program, ketepatan pelaksanaan dan ketepatan sasaran perkembangan klien, dan peningkatan motivasi keluarga dan masyarakat.

12.Metode Manajemen Kasus
Manajemen kasus merupakan suatu pendekatan dalam pemberian pelayanan yang ditujukan untuk menjamin agar klien yang mempunyai masalah ganda dan kompleks dapat memperoleh semua pelayanan yang dibutuhkannya secara tepat.
    Manajer kasus melaksanakan peranan-peranan :
1)     Pialang sosial; menguasai sumber dan kebutuhan pelayanan.
2)                     Advokat sosial; mewakili kepentingan klien dalam menghadapi
      berbagai penyedia pelayanan.
3)    Pengembangan sumber yang dibutuhkan klien.
4)                     Mengupayakan tersedianya pelayanan yang sangat dibutuhkan klien
      tetapi belum ada di dalam masyarakat .

13.Supervisi
Supervisi adalah suatu proses bimbingan kerja di antara pekerja sosial dan supervisor untuk mencapai tujuan organisasi dan tujuan profesional demi tercapainya kemampuan, kepercayaan dan penguatan dukungan pelaksanaan kegiatan.      
a.    Untuk menjamin pekerja mendapat kejelasan mengenai tugas- tugas dan tanggung jawabnya.
b.    Untuk memprtemukan pekerja dengan tujuan panti.
c.    Untuk menjamin kualitas pelayanan terhadap klien.
d.    Untuk menciptakan suasana kerja dengan baik.
e.    Untuk membantu mengembangkan profesionalitas.
f.    Untuk menurunkan stres di kalangan pekerja.
g.    Untuk menjamin para pekerja mendapatkan sumber yang dibutuhkan






14.Rujukan
                            
Rujukan dalam penanganan PMKS  adalah proses untuk membantu PMKS dan keluarganya memperoleh simber-sumber yang dibutuhkan secara optimal. PMKS kemungkinan dirujuk kepada institusi atau pelayanan lain yang tidak dapat di berikan oleh pekerja sosial maupun panti sosial.
a.  Pemberian informasi
Pekerja sosial dapat mengindentifikasi, menginterprestasikan atau meminta perhatian    lembaga-lembaga yang menyediakan pelayanan yang dibutuhkan PMKS dan keluarganya. Berdasarkan hal itu, pekerja sosial kemudian memberikan informasi pada PMKS  atau keluarganya yang membutuhkan.
b. Memberikan bantuan langsung dalam memperoleh akses terhadap sumber-     sumber sosial Hal ini meliputi kegiatan pekerja sosial mengontak berbagai lembaga untuk mengklarifikasi sifat dan jenis pelayanan yang tersediadi lembaga tersebut, eligibilitasnya serta permohonan pelayanan untuk PMKS yang akan di rujuk. Bila diperlukan, pekerja sosial perlu mengisi berbagai formulir dan mengirim berkas rujukan, persyaratan/eligibilitas dan prosedur dari lembaga yang akan menerima rujukan untuk diinformasikan kepada klien. PMKS harus sudah mulai dikenalkan dengan lembaga baru yang akan membantu PMKS  tersebut.
 c. Advokasi kasus Kegiatan ini mencakup mengupayakan adanya perhatian dari masyarakat atau lembaga pelayanan kesejahteraan sosial tentang tidak terpenuhinya kebutuhan PMKS. Tujuan lainnya adalah mengoreksi ketidakadilan atau melindungi PMKS dari pelanggaran hak-haknya. Kegiatan ini harus dibedakan dari reformasi sosial atau advokasi kebijakan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat umum atau mengatasi masalah populasi tertentu.

15. Penjangkauan
Penjangkauan adalah kegiatan kunjungan pekerja sosial panti ke kantong-kantong PMKS untuk menjangkau PMKS sebagai upaya menciptakan kontak pendahuluan dan persahabatan dengan mereka.   

16.Jaringan Kerja  
Jaringan kerja merupakan mekanisme kerja sama pada setiap tingkatan wilayah (nasional, propinsi, kabupaten/kota) yang memadukan secara sinergis semua pemilik sumber (pemerintah dan masyarakat) demi terwujudnya berbagai bentuk pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS. Jariangan kerja dapat dikembangkan melalui jaringan yang sudah ada (seperti : Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial/DNIKS, Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial/BKKKS dan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial/KKKS) atau membentuk jaringan baru sesuai dengan kondisi objektif setiap wilayah. Susunan keanggotaan dan tata kerja juga ditentukan berdasarkan kondisi objektif setempat.



C, PERAN PEKERJA SOSIAL
1.  Sebagai Advocate
Pekerja sosial berfungsi membantu memecahkan masalah. Artinya, pekerja sosial harus siap menerima keluhan dan kemungkinan hambatan-hambatan yang dihadapi kelompok, untuk selanjutnya membantu mencari alternatif pemecahan masalah atau mencari narasumber lain/ahli yang berkompeten yang dapat mencari jalan keluar yang maksimal.

2.  Sebagai Moderator
Didasarkan pada situasi, terdapat 5 (lima) tingkah laku yang diharapkan dilakukan dalam memerankan peranan sebagai mediator yaitu :
a.  Mengidentifikasi latar belakang keterpisahan antara dua orang yang mempunyai persepsi yang bebeda atau mengalami self interest yang komplek, yang sebelumnya bisa dipertemukan.

b.  Mengidentifikasi hambatan-hambatan/rintangan dan mencari jalan atau saluran yang bisa mengatasi hambatan tersebut agar kedua hal terpisah tadi bisa ketemu.

c.  Menentukan batas-batas situasi.

d.  Memberikan proyeksi image dari seseorang sebagai orang yang berdiri untuk kesejahteraan kedua orang terpisah tadi.



3.  Sebagai Broker
Dalam fungsinya sebagai broker (penghubung sumber), pekerja sosial bertugas untuk menjadi penghubung. Pekerja sosial juga harus menjalin kemitraan guna mewujudkan kerja sama, serta membina kelangsungan kerja sama tersebut. Untuk itu, pekerja sosial selaku broker harus dapat memerankan perannya yaitu :
  1. Mengetahui sumber-sumber.
  2. Menghemat sumber-sumber.
  3. Menciptakan sumber-sumber yang tidak ada.

4.  Sebagai Fasilitator
Seseorang pekerja sosial bertugas untuk memfasilitasi kesenjangan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dihadapi penerima pelayanan, juga bertugas untuk melakukan evaluasi dan monitoring terhadap berbagai indikator capaian program bimbingan spiritual. Dalam hal ini pekerja sosial harus melakukan-kegiatan-kegiatan :
  1. Memberikan gambaran singkat pada instruktur tentang gambaran umum klien.
  2. Memeberikan keempatan kepada insturktur untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan bimbingan spiritual.
  3. Kepada klien diminta untuk menyampaikan secara cermat dan mencatat.
  4. Fasilitator memberikan catatan tentang perkembangan klien.


5.  Sebagai Motivator

Seseorang pekerja sosial bertugas untuk dapat menggugah, menggerak dan membuat klien dinamis. Dia juga harus berani mengambil resiko dan mau membuat terobosan, sehingga klien mampu mengembangkan profesinya.

No comments:

Post a Comment