Oleh
Tim Enam STKS Bandung
DINAS SOSIAL
KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR
TAHUN 2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENYAKIT SOSIAL KOTA.
DKI Jakarta sebagai
kota besar dengan jumlah penduduk hampir 9,5 juta (BPS,2010) saat ini
kondisinya sedang menghadapi penyakit “kangker sosial” yang ditandai dengan
munculnya berbagai permasalahan berkenaan dengan pertumbuhannya dibidang
ekonomi, politik dan sosial. Salah satu
masalah yang timbul sebagai dampak dari kemiskinan perkotaan adalah munculnya
PMKS Proyektif yang terdiri dari 4
kelompok utama yaitu fakir miskin, anak jalanan/pengamen, gelandang/pengemis,
wanita tuna susila/waria.
Pusat Data dan
Informasi Departemen Sosial (Pusdatin) pada tahun 2008 mencatat PMKS Proyektif yang beroperasi di Wilayah DKI Jakarta yaitu
fakir miskin berjumlah 535.155 orang,
gelandangan/pengemis berjumlah 60.226 orang, wanita tuna susila/waria
berjumlah 35.057 orang, dan anak jalanan/pengamen mencapai 109.454 orang. Jumlah sesungguhnya jauh lebih tinggi karena
data yang ada hanyalah sebagai fenomena puncak gunung es, yang mempelihatkan
simtom-simtomnya saja bukan kondisi riil dan sebanarnya.
Masalah
tersebut tidak terlepas dari permasalahan lain yang ada diperkotaan seperti
masalah wilayah komersial, industri, tempat umum, taman, jalan dan lalu lintas,
tempat rekreasi dan olah raga, sanitasi, kesehatan, perkuburan dan
sebagainya. Disamping itu terdapat
juga masalah pola pertumbuhan pemukiman pita (ribbon building) yaitu pembangunan bangunan hunian, toko-toko dan
tempat-tempat berjualan, bangunan-bangunan pemerintah dan swasta serta
masyarakat, toko-toko, tempat
berjualan, dan lokasi aktivitas warga tepi-tepi sepanjang jalan dan jalur-jalur
kereta api di perkotaan menjadi satu permasalahan sendiri yang meminta
pemecahan dari pemerintah kota.
Di daerah
perkotaan ini pola pemukiman pita ini menyebabkan keruwetan dan ketidak aturan
yang sudah ada menjadi lebih komplek lagi. Keruwetan ini menadai adanya
gejala-gejala tidak terencananya pertumbuhan kota. Pertumbuhan kota yang tidak
terencana, tidak terkoordinasi, dan terpencar di sejumlah kawasan mengakibatkan
beberapa bagian kota menjadi tertinggal. Pemerintah kota akhirnya tidak mampu
menyediakan prasarana dan fasilitas publik sesuai dengan harapan masyarakat.
Akibatnya adalah
semakin meningkatnya jumlah PMKS Proyektif
yaitu keluarga miskin/fakir miskin, anak
jalanan, gelandang/pengemis, wanita tuna sosial/waria yang terbatas mendapatkan
akses serba minim termasuk ruang hunian
atau tempat inggal yang tidak layak, tidak memenuhi derajat kesehatan dan
terkesan apa adanya (Evens dan Korff, 2003). PMKS Proyektif memang telah
menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota di negara berkembang ,
juga tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan PMKS Proyektif sebenarnya telah lama
mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah
maupun LSM.
Evers & Korf
(2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan PMKS Proyektif sebagai penyakit
kangker sosial yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu
keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam
penanggulangannya. Istilah PMKS Proyektif berasal dari kata manusia yang
di proyekan dan mendapat tip/uang dari kegiatan mereka di jalanan. Menurut
Parsudi Suparlan (1993) disebut sebagai orang jalanan atau PMKS Jalanan artinya
selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap. Pada umumnya para PMKS Proyektif ini adalah
kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota,
namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan
spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja
serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal keluarga
fakir miskin, gelandangan, pemulung, pengamen, pengemis, anak jalanan, wanita
tuna susila dan waria serta yang lainnya.
Weinberg (1990 ) menggambarkan
bagaimana PMKS Proyektif ini masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan
sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam
kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa
pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat
normal. Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke
kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka
hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter
area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. PMKS Proyektif ini pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena
takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak
mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas.
Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari
pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak
keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte
kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan
kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh
dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi
anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial
(Rohman, 2004 ).
Fakta membuktikan
bahwa PMKS Proyektif yaitu fakir miskin, gelandangan/ pengemis, anak jalanan/pengamen.
wanita tuna susila/waria adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan
inti (core of poverty) di perkotaan.
Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang
tersulit. Kelompok rentan ini merupakan kelompok khusus yang memiliki
karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas
dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya
jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di
kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut
‘Kampung Besar’ (the big village),
mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan orang kampung.
B. PELAYANAN PMKS
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kesejahteraan Sosial menyebutkan tugas-tugas
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembangunan Bidang Kesejahteraan
Sosial adalah menentukan garis kebijakan yang diperlukan untuk memelihara,
membimbing dan meningkatkan kesejahteraan sosial, melaksanaan pembinaan
(memupuk, memelihara, membimbing) dan meningkatkan kesadaran serta tanggung
jawab sosial masyarakat, serta melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan
usaha-usaha kesejahteraan sosial.
Pemerintah DKI
Jakarta telah mengeluarkan peraturan
daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI
No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang/mengemis,
mengamen/menjadi anak jalanan, wanita tuna susila/waria , fakir miskin dan
melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan dan tempat-tempat umum.
Pemerintah
DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai
instansi seperti Tramtib, Kepolisian, RT/RW, PJKA maupun Dinas Sosial melalui
operasi yustisi dalam penanganan PMKS Proyektif
, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti
maupun pemberdayaan sosial non panti. Namun demikian, masih saja masalah PMKS Proyektif ini masih merebak di DKI
Jakarta
Masalah PMKS Proyektif ini merupakan
masalah yang kompleks dan multidimensional, sehingga memerlukan penanganan
secara komprehensif, terpadu dan berkesinambungan, atas dasar kerjasama
berbagai disiplin ilmu dan profesi, seperti pekerjaan sosial, dokter, psikolog,
guru serta profesi lainnya. Selain itu kerjasama antar instansi terkait baik
pemerintah maupun swasta di tingkat pusat maupun daerah, dengan ditunjang oleh
organisasi sosial masyarakat. Dalam perkembangan pembangunan kesejahteraan
sosial menunjukan bahwa kesadaran dan tanggungjawab sosial sebagian masyarakat
mulai timbul, sehingga keinginan untuk berperan serta menangani masalah
kesejahteraan sosial.
Berdasarkan hal tersebut
Pemerintah DKI Jakarta melalui Kantor Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta
Timur melaksanakan kegiatan dengan nama Penyusunan Konsep Penanganan PMKS Wilayah
Prumpung. Wilayah Prumpung ini meliputi dua kelurahan yaitu Kelurahan
Rawa Bunga (KRB) dan Kelurahan Cipinang Besar Utara (CBU) di Kecamatan Jatinegara Kota
Administasi Jakarta Timur.
C. FOKUS KAJIAN
Fokus dari kajian ini adalah Penyusunan
Konsep Penanganan PMKS di Wilayah Prumpung dengan kegiatan sebagai berikut:
1.
Kegiatan Observasi Lapangan
2.
Kegiatan Audiensi Dgn Para Pihak.
2.
Kegiatan Penyusunan Instrumen
3.
Kegiatan Pengumpulan Data
Skunder
4.
Kegiatan Pendataan PMKS
5.
Kegiatan Wawancara PMKS
6.
Kegiatan Diskusi Dgn RT/RW
7.
Kegiatan Pertemuan Dgn Organisasi
Sosial
8. Kegiatan
Pengolahan dan Interpretasi Data
9. Kegiatan
Penyusunan Konsep Penanganan PMKS
10,Kegiatan Lokakarya dan Desiminasi Hasil
D. TUJUAN
Penyusuan Konsep
Penanganan PMKS Wilayah Prumpung ini sebagai panduan dan acuan bagi para
perencana, pelaksana dan pengawas serta para pihak yang ditunjuk untuk
melaksanakan pelayanan, pemberdayaan dan
rehabilitasi terhadap PMKS di Wilayah
Prumpung
E. MANFAAT.
1. Bagi PMKS
Adalah meliputi kembali kepercayaan dan harga
diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial terhadap diri, keluarga dan
masyarakat, sehingga memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan fungsi
sosialnya.
2. Bagi Petugas Sosial :
Memberikan bantuan pelayanan, pemberdayaan dan rehabilitasi
sosial secara profesional untuk mengentaskan masalah sosial yang dialami oleh
PMKS.
3. Bagi Lingkungan Sosial
Ditingkatkan kemampuan keluarga untuk
membantu pemulihan dan peningkatan peranan sosial dalam manempuh kehidupan yang
normatif. Diperolehnya dukungan berbagi komponen masyarakat terhadap upaya
penanganan PMKS.
G. KAJIAN PERKOTAAN
1. Pelapisan Sosial .
Apakah itu kota? Secara ringkas Kota
dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat tinggal manusia yang dihuni secara
permanen, dimana warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan kehidupan
yang lebih besar pengelompokannya dari
pada klan atau keluarga di daerah perdesaan (Parsudi Suparlan,2003).
Kota juga merupakan sebuat tempat
dimana terdapat adanya kesempatan kesempatan dan permintaan-permintaan yang mewujudkan
terciptanya sistem pembagian kerja,
kelas-kelas atau lapisan-lapisan sosial
yang mengakui adanya perbedaan –perbedaan dalam hal fungsi , hak , keistimewaan,
dan tanggung jawab diantara golongan –golongan sosial yang ada.
Masyarakat kota adalah masyarakat
dengan ciri corak spesialisasi pembagian kerja sesuai dengan tingkat
perkembangan dan macamnya kota yang sesuai dengan peranan khusus dari kota
dalam kedudukan fungsionalnya dengan
daerah-daerah perdesaan dan pedalaman yang terletak disekelilingnya dan berada
dalam kekuasaan kota (Mumford, 2001)
Kompleksitas
dalam struktur kehidupan ekonomi perkotaan, mempengaruhi terwujudnya kompleksitas-kompleksitas dalam
struktur perkotaan. Berbagai bentuk dan
macam spesifikasi ekonomi dan kerja berkembang sesuai dengan kebutuhan
dan permintaan dari yang terspesialisasi hingga yang sangat umum, dari yang
sangat tergantung pada keahlian dan keterampilan pemikiran serta teknologi,
sampai dengan yang menggunakan tenaga otak manusia dan dari yang digolongkan s
sebagai terhormat dengan terhormat dengan penghasilan besar, sampai dengan yang
tidak terhormat dengan penghasilan terbatas.
Sistem pelapisan sosial terbentuk
berdasarkan atas macam pekerjaan dan pendapatan yang coraknya sangat kompleks,
dikarenakan beraneka ragamnya macam dan bentuk kerja yang ada di perkotaan.
Tingkat kompleksitas sistem pelapisan sosial tersebut, tergantung dari tingkat
perkembangan kota dan kedudukannya dalam sistem administrasi negara.
2. Kelompok Rentan.
Kemiskinan tidak lahir dengan
sendirinya (given) Ia tidak muncul
bukan tanpa sebab. Argumen para penganut teori konservatif dan libaral telah
lama dipatahkan. Orang-orang miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros
, Mereka miskin bukan karena nasibnya yang sedang sial sehingga menjadi miskin.
Mereka menjadi orang miskin karena
dibuat miskin oleh struktur ekonomi,
politik dan sosial yang becirikan Kapatalisme. Mereka menjadi miskin karena
memang sengaja dilestarikan untuk
menjadi miskin. Mereka menjadi kaum tertindas karena memang disengaja,
direkayasa dan diposisikan sedemikian rupa
untuk ditindas.
Mereka miskin karena dieksploitasi
diperas, dijarah atau dirampok hak-haknya. Mereka miskin karena dipaksa oleh
sistem ekonomi dan politik yang tidak adil. Kemiskinan penting untuk dipelihara
dan dilestarikan karena besar manfaatnya, yaitu menunjang kepentingan kelompok
dominan , elite dan penguasa (the rulling
cities) dari kelompok kaum kapitalis.
Kemiskinan sulit diatasi karena kaum
miskin tidak memiliki daya tawar terhadap kebijakan yang selama ini tidak
berpihak kepada mereka. Kaum miskin hanya menjadi alat produksi semata-mata.
Pendapatan mereka hanya sekedar mencukupi kebutuhan hidup saja.
Inilah yang selama ini membuat kaum
miskin tak bedaya untuk memiliki daya tawar terhadap pengambilan keputusan dan
membuat yang kaya semakin kaya di tempat
puncak. Kebijakan-kebijakan politik yang
ada selama ini sering dan sebagian besar
hanya berpihak kepada mereka yang memiliki alat produksi dan modal.
Kaum miskin diperas tenaganya hanya
sekedar menjadi buruh kasar, gelandangan/pengemis, wanita tuna sosial/waria,
anak jalanan/pengamen, pedagang kaki lima, keluarga fakir miskin dengan
memiliki pengetahuan dan keterampilan terbatas Tetapi pemerintah disisi lain
tidak mampu berbuat bagaimana seharusnya meningkatkan keterampilan mereka agar
bisa berkompetisi lebih adil dengan kelompoknlainnya (Suparlan 1998)
3. Pemukiman Kumuh.
Rumah adalah sebuah tata ruang yang
paling baku dan selalu ada dalam kehidupan manusia di masyarakat manapun. Rumah
berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan-kegiatan melangsungkan kehidupan
manusia, yang mencakup kegiatan kegiatan untuk melangsungkan kehidupan manusia
yang mencakup kegiatan reproduksi, ekonomi, pengasuhan dan pendidikan anak,
perawatan terhadap anak dan orang tua, kehidupan sosial, emosi dan lain
sebagainya (Suparlan 1998).
Karena majemuknya fungsi-fungsi yang
harus dilaksanakan dalam rumah, maka rumah juga sebagai sebuah satuan tata
ruang, juga dibagi-bagi dalam satuan satuan tata ruang yang lebih kecil yang
saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, sebagai satu kesatuan tata
ruang dalam rumah.
Perumahan bagi keluarga miskin
seringkali tidak memberikan kepastian hukum bagi penghuninya, atas tanah dan
bangunan yang mereka tempati. Kampung-kampung tempat kelompok masyarakat miskin
yang tinggal dapat dengan mudak beralih fungsi menjadi kawasan binis atau
kawasan lainnya.
Sebaliknya kawasan perkotaan sangat
sulit menyediakan lahannya untuk keperluan perumahan masyarakat miskin. Hal ini
menyebabkan keluarga miskin semakin tergusur ke kawasan pinggiran yang jauh
dari kota atau pemukiman-pemukiman kumuh.
Pemukiman kumuh dapat didefinisikan
sebagai suatu pemukiman yang kondisi fisik hunian dan tata ruangnya
mengungkapkan kondisi kurang mampu atau miskin dari para penghuninya.Penataan
ruang hunian yang semrawut yang disebabkan oleh penggunaan ruang yang tinggi
tingkat kepadatan volume maupun frekuensinya, dan serba kotor atau tidak
terawat dengan baik.
Disamping itu, pemukiman kumuh juga
kurang memadai fasilitas-fasilitas umumnya seperti air bersih, pembuangan air
limbah, sampah, jalan dan berbagai fasilitas untuk kegiatan sosial orang dewasa
dan tempat berbain bagi anak-anak.
Rendahnya kualitas kehidupan di
lingkungan permukiman kumuh ini pada gilirannya juga menghambat potensi
produktivitas dan kewirausahaan para
penghuninya. Pada umumnya mereka kemudian hanya mampu mengakses perekonomian informal kota yang
utamanya dicirikan oleh status hukum yang lemah dan tingkat penghasilan yang
rendah.
Kegiatan relokasi terhadap warga korban
penggusuran atau pembangunan perumahan untuk kelompok miskin biasanya dilakukan
di daerah pinggiran . Hal ini menimbulkan kesulitan bagi keluarga miskin yang
bekerja dalam peningkatan biaya transportasi dan berkurangnya waktu untuk
mengasuh anak. Kegiatan penggusuran terhadap kelompok miskin biasanya tidak
disertai dengan memberi tenggang waktu untuk membuat masyarakat siap menempati lokasi dan rumah baru.
4. PMKS Proyektif.
Persoalan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya di Perkotaan terkait dengan 4 kelompok
besar atau disebut PMKS Proyektif
yaitu:
a.
keluarga fakir miskin,
b. gelandangan
/pengemis,
c.
anak jalanan/pengamen,
d. wanita
tuna susila/ waria
yang bukan semata-mata terkait dengan permasalahan
permodalan, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah
mentalitas diri.
Terbukti dari tingkat kegagalan layanan
yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti
ataupun layanan transmigrasi, namun kembali lagi mendiami kota. Mereka
berpandangan bahwa dengan bekerja di sektor informal mereka bisa memperoleh uang tanpa harus
bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti
maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang
makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya
manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok sendiri dengan baik. Bagi yang
bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke
tetangganya maupun ke penduduk setempat.
Permasalahan PMKS Proyektif yang terdiri dari 4 kelompok utama yaitu : keluarga
miskin, gelandangan/pengemis, anak jalanan/pengamen, wanita tuna susila/waria,
memiliki dimensi yang sangat kompleks. Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila
program penanganan yang disusun mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan
trend penanganan.Bahwa masalah PMKS
Proyektif adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi
dapat diminimalisir, maka jumlah PMKS
Proyektif di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena
itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan PMKS Proyektif adalah melalui upaya
preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan
penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini
bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara
langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder
dari Dinas/Instansi Sosial terkait.
Bahwa jumlah kaum urban meningkat
dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya
cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya
penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya
preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota.
Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota.
Hal ini dikarenakan modus munculnya PMKS
Proyektif pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib,
yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula
yang dikarenakan keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).
Kaum urban yang datang ke kota-kota,
karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang,
akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron)
dan berperan sebagai ’Anak’ (client).
Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa survive
(mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju adalah
pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir
stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian
terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur.
Studi yang dilakukan Rohman (2004)
menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota
yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’
dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk PMKS Proyektif di Stasiun Jatinegara,
petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus
yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah
Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah kota diharapkan dapat secara
konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar.
Persoalan kemudian muncul manakala
kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai
pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang
todong, pencuri, pemungut sayuran, anak jalanan/pengamen, gelandang/ pengemis,
wanita tuna susila/waria, keluarga fakirmiskin.
Permasalahan menjadi mengemuka
manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan
terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal.
anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi
seksual. Kejadian tindak kekerasan
juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.
PMKS
Proyektif sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk
dalam kategori cacat dan mengais uang untuk hidup, dan mereka yang dalam
keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi ataupun layanan
sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik PMKS. Layanan
yang diberikan kepada PMKS juga terkesan
setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus
PMKS dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat.
Itulah sebabnya pemerintah kota
cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan
program keluarga harapan (PKH) yang dilaunching Departemen Sosial pada tahun
2008 tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk PMKS perlu melibatkan para patron, pihak
kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal mereka.
H. METODA KAJIAN
1.Disain Kajian
Kajian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif baik dengan pendekatan
kuantitatif maupun kualitatif.
Metode deskriptif merupakan metode penelitian untuk menggambarkan
fenomena sosial seperti apa adanya terkait dengan penanganan PMKS di wilayah
Prumpung. Kajian ini menggunakan perspektif pekerjaan sosial untuk melihat
latar belakang dan waktu serta konteks sesuai dengan pengalamanan dan kehidupan
PMKS.
Terkait dengan kajian ini,
maka metode kajian berperspektif pekerjaan sosial dirasakan lebih sesuai untuk mendapatkan data
yang shahih dan reliabel tentang aspek-aspek yang dikaji yakni mengamati dan
memahami penanganan PMKS . Apalagi metode kajian dalam pekerjaan sosial
ini akan diperoleh penjelasan apa adanya
fakta fenomena yang ada dilapangan.
2. Lokasi
Kajian
Kajian ini dilaksanakan di Kelurahan Rawa Bunga pada
RW-03-04-05 dan Keluruhan Cipinang Besar Utara pada RW-03-04 dan O7 Kecamatan
Jatinegara Kota Administasi Jakarta Timur.
3.Subyek
Kajian.
Mengajak
kepada subyek kajian yang mau bekerja sama dalam kajian ini secara terbuka,
menuju kepada orang yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengutarakan
pengalaman-pengalaman masa lalu dan sekarang, merujuk pada siapa saja yang
dianggap menarik.
Subyek dalam kajian ini terdiri
dari:
a.
PMKS:
fakir
miskin, gelandangan/pengemis, anak jalanan/pengamen, wanita tuna susila/waria
sebanyak 50 orang
b.
Pengurus
Lingkungan:
Pengurus
RT/RW, Pengurus Karang Taruna, Pengurus PKK,
Petugas Kelurahan dan Kecamatan sebanyak 30 orang
c.
Petugas
Lainnya.
Koordinator
PMKS di masing-masing lokasi sebanyak 10 orang
4. Jenis Data
Kajian,
Data pokok yang diperlukan untuk
menggali informasi dari subyek yang menjadi tujuan kajian difokuskan pada
penyusunan konsep penanganan PMKS di Wilayah Prumpung. Yang meliputi:
a. Gambaran Umum Lokasi
b. Karakteristik dan Pekerjaan
Informan
c. Permasalahan dan Sumber Daya
Informan
d. Penyusunan Konsep Penanganan
PMKS
e. Pelaksanaan Program Penanganan
PMKS
f. Harapan –harapan PMKS
5. Pengumpulan Data Kajian.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian
ini adalah:
a.
Observasi :
Yaitu
mengamati secara langsung aktivitas kehidupan PMKS dalam hubungannya dengan
teman, hubungannya dengan keluarga, dan hubungannya dengan lingkungan
kemasyarakatannya.
b.
Wawancara:
Yaitu
melakukan wawancara kepada PMKS mengenai gambaran kehidupan PMKS untuk
mengungkap permasalahannya dan proses kegiatan mereka yang dilaksanakannya
dengan informasi lain yang mendukung.
c.
Studi
Dokumentasi:
Yaitu
pengumpulan data skunder dengan menggali dan menelaah beberapa informasi dan
dokumen yang terkait secara langsung maupun tidak langsung.
6.Teknik Analisis Kajian.
Teknik analisa kajian akan dilakukan dengan analisis data melalui tahapan sebagai berikut :
a.Reduksi data
Data yang terkumpul
diberkaskan menggunakan alat analisis
data kuantitatif dan kualitatif. Data tersebut didukung dokumen transkrip, dan catatan lapangan.
b.
Klasifikasi/Thematik data
Data yang sudah diberkaskan
disunting berdasarkan klasifikasi maupun topik-topik pertanyaan kajian. Tahapan
ini merupakan tahapan pengorganisasian data, penajaman, dan seleksi data yang
relevan dengan kajian sehingga data dapat diverifikasi dan ditarik kesimpulan.
c. Umpan
balik/Klarifikasi Data
Data yang sudah dianalisis
diserahkan kembali kepada PMKS untuk
mengecek keabsahan dan kecocokan data dengan makna-makna yang disampaikan
mereka. Dengan demikian, data yang dikumpulkan mencapai validasi yang dapat
diterima.
d. Pelaporan dan
Penyajian data
Data yang sudah
diklasifikasikan dan diklarifikasikan kemudian dinterpretasikan dan dianalisis
untuk diambil kesimpulan dan disajikan secara sistematik baik dalam bentuk
narasi, gambar, maupun tabel dan penyajian dalam bentuk lainnya. Kemudian
hasilnya di buat laporan untuk disampaikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dengan hasil kajian ini
7. Tenaga Ahli.
Untuk
melaksanakan Penyusunan Konsep Penanganan PMKS di Wilayah Prumpung ini
dibutuhkan tenaga ahli dan tenaga pendukung :
1. Tenaga Ahli.
a. Ahli Kemiskinan
Kota
b. Ahli Gender
Pembangunan
c. Ahli
Kesejahteraan Sosial
d. Ahli Kebijakan
Publik
e. Ahli
Rehabilitasi Sosial
f. Ahli Pengembangan Masyarakat
2. Tenaga
Pendukung.
a. Sekretaris
b. Programer
computer
c. Surveyor Data dan Pengolah Data
d. Pembantu/Sopir
8.
Rincian
Kegiatan.
a. Kegiatan
Observasi dan Audiensi Para Pihak.
Kegiatan
yang dilakukan untuk melakukan pengamatan kepada PMKS yang beroperasi dan mengadakan aktivitas di wilayah Prumpung
dan sekitarnya. Selain itu juga bertemu dengan pihak Kecamatan, Kelurahan,
RT/RW serta organisasi sosial diwilayah itu
b. Kegiatan
Penyusunan Instrumen dan Pengumpulan Data
Kegiatan
ini meliputi pembuatan daftar pertanyaan dan pedoman wawancara serta diskusi
dengan para PMKS dan organisasi sosial serta pengumpulan data skunder maupun
primer baik data kuantitatif dan kualitatif.
c. Kegiatan
Wawancara/Diskusi Dgn PMKS dan Organisasi Sosial
Kegiatan
untuk melakukan wawancara/diskusi untuk melakukan check dan re-check kepada
para PMKS dan organisasi sosial serta para tokoh masyarakat untuk melihat
permasalahan, kebutuhan dan harapan mereka.
d. Kegiatan
Pengolahan dan Interpretasi Data
Kegiatan
untuk melakukan pengolahan data dari data yang telah dikumpulkan untuk kemudian
dilakukan analisis dan interprestasi data guna mendukung penyusunan konsep
penanganan PMKS.
e. Kegiatan
Penyusunan Konsep dan Laporan.
Kegiatan
untuk melakukan rancangan konsep pada program ke depan terkait dengan penanganan
PMKS sebagai acuan kebijakan public bagi pemerintah dan dapat digunakan kepada
PMKS dan masyarakat serta selanjutnya
disusun laporan.
f. Kegiatan
Lokakarya dan Desiminasi Hasil.
Kegiatan
untuk melakukan lokakarya dan desiminasi hasil penyusunan konsep pengananan
PMKS yang ditujukan kepada para pihak yang akan menggunakan konsep ini.
BAB II
PROFIL WILAYAH
KOMUNITAS PRUMPUNG
Prumpung menurut pengakuan warga asal mulanya
adalah wilayah yang terdiri dari lima wilayah, yaitu Prumpung Pasar, Prumpung
Sawah, Prumpung Tegalan, Prumpung Kuburan, dan Prumpung Pemukiman. Letak
wilayahnya berada di pinggir Jalan D.I Panjaitan (Timur) dan di belakang
Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Secara administrative wilayah tersebut
termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Cipinang Besar Utara (CPU). Secara spesifik
berada di wilayah RW 03, RW 04, dan RW 07.
Seiring
dengan mobilitas social yang tinggi, warga Prumpung kemudian menciptakan
Prumpung-prumpung lain dengan sebutan Halte Prumpung, Pintu Tol Prumpung, Taman
Viaduck Prumpung, Pasar Malam Prumpung, dan Pela-Pela Prumpung.
Wilayah tersebut terletak di depan Statiun Jatinegara, pinggir rel Jatinegara, JL. D.I Panjaitan
(Barat), Jl. Bekasi Timur, depan Pasar Rawa Bening, dan belakang kantor Wali
Kota Jakarta Timur (lama). Secara administrative wilayah tersebut termasuk dalam Kelurahan
Rawa Bunga (KRB) dan secara spesifik berada di RW 03, RW 04, dan RW 05.
Kelurahan CBU dan KRB secara administrative termasuk kecamatan
Jatinegara Kota Administrasi Jakarta Timur dan memiliki 8 Kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Bali Mester
2. Kelurahan Kampung Melayu
3. Kelurahan Bidaracina
4. Kelurahan Cipinang Cempedak
5. Kelurahan Rawa Bunga
6. Kelurahan Cipinang Besar
Utara
7. Kelurahan Cipinang Besar
Selatan
8. Kelurahan Cipinang Muara
A. KELURAHAN
CIPINANG BESAR UTARA
1. Kondisi
Geografi
Secara geografis luas Kelurahan
Cipinang Besar Utara adalah 115,20 Ha, yang terdiri atas 14 Rukun Warga dan 192
Rukun Tetangga. Kelurahan Cipinang Besar Utara berbatasan :
a. Sebelah Utara dengan Kelurahan Pisangan
Baru
b. Sebelah Timur dengan Jln. Cipinang Jaya dan Kelurahan
Muara
c. Sebelah Selatan dengan
Kelurahan Cipinang Besar Selatan
d. Sebelah Barat dengan Jln.
D.I Panjaitan Kelurahan Rawa Bunga.
2. Demografi
Dilihat dari aspek demografi,
jumlah penduduk Kelurahan Cipinang Besar berjumlah 52.032 jiwa yang terdiri dari :
Laki laki 11.426
jiwa
prempuan 23.801 jiwa,
Jumlah Kepala Keluarga 13.535
Kepala Keluarga (KK) dengan rincian :
Laki laki 11.426 KK
Perempuan 2.109 KK.
Sebaran penduduk di setiap RW bisa dilihat dalam tabel
berikut :
Tabel 1
Jumlah Penduduk di setiap RW
di Kelurahan Cipinang Besar Utara
RW
|
Laki
laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
001
|
1.628
|
1.452
|
3.080
|
002
|
1.830
|
1.560
|
3.390
|
003
|
1.864
|
1.601
|
3.465
|
004
|
2.232
|
1.872
|
4.104
|
005
|
1.929
|
1.649
|
3.578
|
006
|
1.886
|
1.632
|
3.518
|
007
|
2.001
|
1.635
|
3.636
|
008
|
2.054
|
1.746
|
3.800
|
009
|
1.962
|
1.632
|
3.594
|
010
|
1.997
|
1.716
|
3.771
|
011
|
1.906
|
1.634
|
3.540
|
012
|
2.348
|
1.925
|
4.270
|
013
|
2.288
|
1.876
|
4.164
|
014
|
2.317
|
1.865
|
4.182
|
Tabel di atas menunjukkan
bahwa sebaran penduduk di setiap RW relatif merata dan rata-rata penduduk lebih
dari 1.600 jiwa. Jumlah tersebut tentu saja memiliki kepadatan yang cukup
tinggi dan berpotensi untuk menimbulkan permasalahan sosial yang cenderung
menyertainya.
Gambaran jumlah RT untuk setiap RW bisa dilihat dalam
tabel berikut :
Tabel 2
Jumlah RT di setiap RW
NO
|
RW
|
RT
|
Keterangan
|
1
|
01
|
12
|
|
2
|
02
|
12
|
|
3
|
03
|
17
|
|
4
|
04
|
15
|
|
5
|
05
|
11
|
|
6
|
06
|
11
|
|
7
|
07
|
15
|
|
8
|
08
|
12
|
|
9
|
09
|
15
|
|
10
|
010
|
14
|
|
11
|
011
|
15
|
|
12
|
012
|
15
|
|
13
|
013
|
15
|
|
14
|
014
|
13
|
|
|
Jumlah
|
192
|
|
Tabel di atas nampak bahwa RW
yang paling banyak RT nya adalah RW 04 dengan jumlah 17 RT dan paling sedikit
RW 05 dan RW 06 dengan jumlah masing-masing 11 RT. Banyaknya jumlah RT dalam
setiap RW menunjukkan wilayah yang memang pemukimannya padat. Kepadatan
pendudukan bisa merupakan suatu potensi bagi suatu wilayah, apalagi apabila
jumlah tersebut ditunjang dengan kualitas penduduknya. Salah satu kualitas
penduduk bisa dilihat dari tingkat pendidikan.
Tabel berikut menyajikan
jumlah penduduk Cipinang Besar Utara dilihat dari tingkat pendidikan.
Tabel 3
Jumlah Penduduk Menurut
Pendidikan
No
|
Pendidikan
|
Laki
laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
1
|
Tidak Sekolah
|
6.872
|
5.866
|
12..738
|
2
|
Tidak Tamat SD
|
4.082
|
4.150
|
8.232
|
3
|
Tamat SD
|
4.323
|
3.816
|
8.139
|
4
|
Tamat SLTP
|
6.594
|
5.043
|
11.637
|
5
|
Tamat SLTA
|
5.523
|
4.180
|
9.703
|
6
|
Tamat PT/Akademi
|
861
|
767
|
1.638
|
|
J U M L A
H
|
28.255
|
23.822
|
52.077
|
Tabel di atas menunjukkan
bahwa masih ada ketimpangan jumlah lulusan antara laki-laki dan perempuan.
Mulai yang tamat SD sampai dengan perguruan tinggi didominasi oleh laki-laki.
Sebagian besar penduduk Cipinang Besar Utara pada umumnya berpendidikan tingkat
SLTP. Tingkat pendidikan tersebut termasuk dalam katagori tingkat pendidikan
dasar dan digolongkan rendah. Hal ini cenderung berdampak pada penghidupan
mereka terutama terkait dengan jenis pekerjaan dan berdampak pada status
ekonominya.
Gambaran status ekonomi
penduduk salah satunya bisa dilihat dari aspek pekerjaannya. Berikut ini
digambarkan mata pencaharian pendudukan Kelurahan Cipinang Besar Utara :
Tabel 4
Mata Pencaharian Penduduk
No
|
Jenis Mata
Pencaharian
|
Jumlah
|
1
|
Tani
|
17
Orang
|
2
|
Karyawan/Pegawai/ABRI
|
17.336 Orang
|
3
|
Pedagang
|
10.319 Orang
|
4
|
Buruh Tani
|
4
Orang
|
5
|
Pensiun
|
3.662
Orang
|
6
|
Pertukangan
|
4.143
Orang
|
7
|
Pengangguran
|
5.744
Orang
|
8
|
Fakir Miskin
|
4.236
Orang
|
9
|
Lain lain
|
6.577
Orang
|
Apabila memperhatikan jenis
mata pencaharian penduduk melalui tabel di atas, nampak sebagian besar penduduk
berstatus sebagai karyawan/pegawai/ABRI dan pedagang. Jenis mata pencaharian
tersebut di masyarakat termasuk dalam pekerjaan relatif baik. Namun nampa juga
angka pengangguran dan fakir miskin yang cukup tinggi. Suatu wilayah yang
berdasarkan angka di atas adanya kesenjangan status pekerjaan.
B. KELURAHAN
RAWA BUNGA
1. Geografi
Luas Kelurahan Rawa Bunga 87.65 Ha,
yang terdiri 9 Rukun Warga dan 109 Rukun Tetangga, dan Kelurahan Rawa Bunga
berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Pisangan
Baru
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Cipinang Besar Utara
c. Sebelah Selatan berbatasan
dengan Kelurahan Cipinang Cempedak
d. Sebelah Barat berbatasan
dengan Kelurahan Balimester
2. Demografi
Jumlah penduduk Kelurahan Rawa
Bunga adalah 22.731 jiwa yang terdiri dari :
Laki laki 11.369
jiwa
prempuan 11.352 jiwa,
Jumlah Kepala Keluarga 4.553
Kepala Keluarga (KK) dengan rincian. Untuk melihat sebaran penduduk di setiap
RW bisa dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 5
Jumlah Penduduk di setiap RW
RW
|
Laki
laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
01
|
1.548
|
2.020
|
3.568
|
02
|
930
|
1.274
|
2.204
|
03
|
974
|
1.303
|
2.277
|
04
|
1.756
|
1.110
|
2.866
|
05
|
1.014
|
1.380
|
2.394
|
06
|
1.121
|
1.685
|
2.806
|
07
|
1.495
|
842
|
2.337
|
08
|
978
|
628
|
1.606
|
09
|
1.553
|
1.110
|
2.663
|
Jumlah
|
11.369
|
11.352
|
22.721
|
Tabel di atas menunjukkan
bahwa RW 1 memiliki jumlah penduduk terbanyak dibanding dengan RW yang lain dan
yang paling sedikit terdapat di RW 08.
Seperti halnya di Kelurahan CPU, jumlah penduduk kelurahan Rawa Bungan
yang tinggi juga bisa dipandang sebagai potensi apalagi apabila diimbangi
dengan tingkat pendidikan yang tinggi.
Tingkat pendidikan penduduk
keluraha Rawa Bungan bisa dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 6
Jumlah Penduduk Menurut
Pendidikan
No
|
Pendidikan
|
Laki
laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
1
|
Tidak Sekolah
|
891
|
799
|
1.690
|
2
|
Belum Tamat SD
|
1.326
|
957
|
2.283
|
3
|
Tamat SD
|
1.882
|
1.447
|
3.329
|
4
|
Tamat SLTP
|
2.765
|
2.684
|
5.449
|
5
|
Tamat SLTP
|
2.434
|
1.672
|
4.106
|
6
|
Tamat PT/Akademi
|
469
|
197
|
666
|
|
J U M L A
H
|
7.333
|
7.756
|
15.089
|
Tabel di atas menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan penduduk pada umumnya SLTP. Tingkatan tersebut bisa
dikatagorikan dalam katagori pendidikan dasar atau rendah. Bahkan berdasarkan
data yang tersedia di Kelurahan terdapat warga yang drop out dari tingkat SD
sampai perguruan tinggi kurang lebih berjumlah 7.542 orang.
Tingkat pendidikan sebuah
penduduk cenderung berdampak pada jenis pekerjaan yang ditekuninya. Hal ini
bisa dilihat dari tabel berikut yang akan menyajikan tentang mata pencaharian
penduduk Kelurahan Rawa Bunga :
Tabel 7
Mata Pencaharian Penduduk
No
|
Jenis Mata
Pencaharian
|
Jumlah
|
1
|
Pegawai Negri Sipil
|
876
Orang
|
2
|
Karyawan swasta
|
532
Orang
|
3
|
ABRI
|
1.164
Orang
|
4
|
Pedagang
|
2.600
Orang
|
5
|
Buruh
|
491
Orang
|
6
|
Pensiun
|
503
Orang
|
8
|
Pelajar
|
7.439
Orang
|
9
|
Mahasiswa
|
1.435
Orang
|
10
|
Lain lain
|
4.241
Orang
|
|
Jumlah
|
22.731
Orang
|
Tabel di atas menunjukkan
bahwa sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai pelajar. Sedangkan
yang bekerja mencari nafkah sebagain besar adalah pedagang.
3. Kondisi
sosiografis kedua kelurahan
Dua kelurahan yang termasuk wilayah Prumpung adalah
Kelurahan Rawa Bunga dan Kelurahan Cipinang Besar Utara, yang lebih tepatnya
adalah Rw 1, Rw 2, Rw 3, Rw 4 dan Rw 7
dan untuk Kelurahan Rawa Bunga adalah Rw 03, 04 dan Rw 05
1. Perumahan
Berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara di beberapa Rw yang termasuk wilayah prumpung status rumah yang
mereka tempati adalah tanah Negara dengan status Hak Garap dan Jual Beli di
atas segel dan hak milik dan hak guna bangunan dengan bukti kepemilikan berupa
sartifikat maupun girik. Warga yang ditemui umumnya menempati rumah sewaan.


Kondisi rumah jika diperhatikan
sulit dinilai melalui kriteria rumah sehat karena letaknya yang berdempetan,
berjejer menghadap ke gang sebagai jalan utama lalu lintas masyarakat.
Lingkngan kurang terawat, banyak tercium aroma yang kurang enak yang bersumber
dari selokan, got dll, rumah banyak yang berlantai kramik, rumahnya petak petak
hampir sulit melihat antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya, karena
letak rumah saling sambung menyambung kesamping kiri kanan dan atas, untuk
menjangkau rumah di lantai atas sangat menghawatirkan, dengan melalui tangga
kecil, tangganya sangat curam dan tidak kokoh.


Rumah rumah petak yang ukuran rata
rata 4 X 4 atau 4 X 6 meter diisi oleh penghuni yang banyak dari mulai ibu,
bapak, anak yang rata rata berjumlah lebih dari 4 orang ditambah menantu, cucu
sehingga terlihat padat dan semraut, berbagai kegiatan rumah tangga dilakukan
di tempat yang sama, banyak yang menggunakan jalan yang mereka anggap halaman
rumah sebagai dapur, dengan menggunakan kompor dan menempel ke dinding rumah,
Untuk keperluan MCK, menggunakan
MCK umum dan ada beberapa yang di rumahnya ada kamar mandi, untuk minum dan
memasak mereka menggunaakan air yang dibeli seharga Rp. 1.000 satu jerigen
ukuran 20 liter, atau ada juga yang menggunakan air yang ada. Banyak terlihat yang
melakukan cuci piring dll di sepanjang jalan yang terlalui. Dan terlihat ada
jompo 2 orang yang kondisi rumahnya sangat menghawatirkan, menempati rumah yang
sangat tidak layak, lantai tanah terlihat becek, karena semua giatan dia
lakukan di ruangan itu, dan tercium bau yang sangat menyengat.
Rumah seperti yang tergambar di
atas di sewakan antara Rp. 200.000 sampai Rp. 500.000 per bulan, pemilik rumah
ada yang memiliki rumah 2 sampai 9 rumah yang disewakan, harga rumah sesuai
dengan kondisi dan luas rumah. Dan rata rata rumah tidak memiliki dapur.
Penyewa umumnya tidak permanen karena berdasarkan keterangan yang di dapat
mereka bebas memilih dan pindah kapan saja kalau di rasa sudah tidak betah atau
kurang cocok, pindah sewa bisa dilingkungan yang sama atau keluar lingkungan.
2. Situasi
komunitas Prumpung
Keadaan penduduk terlihat cukup
padat, di gang yang terlalui terlihat banyak anak balita dan anak anak, gang
yang digunakan sebagai halaman, umumnya mereka duduk duduk di depan rumah
bercengkrama dengan sesama warga. Banyak terlihat yang berjualan di depan rumah
maupun yang berkeliling.
Solidaritas sosial diantara mereka
terlihat cukup tinggi, hal ini karena interaksi yang mereka lakukan cukup baik
karena komunikasi diantara mereka terjadi setiap saat, bahkan dapat dikatakan
tidak terbatas waktu, dari pagi sampai pagi lagi mereka terus burhubungan. Jika
ada warga yang terkena masalah cepat tanggap dan mereka saling membantu
terutama kalau ada yang sakit atau mengalami kecelakaan. Dan dalam hal tertentu
mereka juga saling menutupi, misalnya kalau di tanya apakah disini ada wanita
tuna susila mereka serentak menjawab tidak ada. Jadi kalau ada pertanyaan yang
menjurus kepada hal hal yang mereka anggap akan mengancam keberadaannya atau
penghidupannya mereka saling menutupi.
Solidaritas sosial terlihat cukup
tinggi hal ini diikuti juga oleh kecemburuan sosial diantara mereka juga cukup
tinggi, mereka tidak mau di bedakan antara yang satu dengan yang lainnya terutama
yang berkait dengan sumbangan atau fasilitas fasilitas tertentu, seperti yang
terasa selama berada di lingkunagn mereka, mereka menanyakan kenapa sianu di
wawancara, kenapa saya tidak, akan ada bantuan apa setelah di wawancara.
Kesulitan untuk melakukan wawancara secara pribadi karena pasti yang lain ikut
nimbrung dan pertanyaan di jawab bukan oleh yang di tanya tetapi semua yang
hadir berkomentar dan menjawab.
Sistem nilai yang berkembang di
daerah itu sudah tidak jelas, rata rata masyarakat beragama islam, tetapi tidak
melaksanakan ibadah. Dan kebetulan tidak bertemu dengan yang beragama lain
selain Islam. Dan ada yang mengatakan tidak sholat karena tidak ada tempatnya
sambil menunjukkan rumahnya yang sempit dan semraut.
Pakaian yang terlihat di gunakan,
wanita rata rata menggunakan celana pendek, dengan blus, atau daster yang
terlihat lusuh begitu juga anak anak banyak yang menggunakan celana dalam
dengan singlet anak laki dan perempuan sama pakaiannya, apakah hal ini karena Jakarta
panas atau kebiasaan. Tidak terlihat kerapihan dalam berpakaian, apakah hal ini
karena di rumah, kerapihan hanya untuk pergi saja.
BAB III
KONDISI DAN SITUASI PMKS
DI WILAYAH
PRUMPUNG
A. POPULASI DAN SEBARAN
PMKS yang dimaksud dalam kajian ini adalah
PMKS proyektif, yaitu Fakir miskin, gelandangan dan pengemis, anak
jalanan/pengamen, WTS/Waria. Masalah ini banyak ditemukan di wilayah
Prumpung. Namun masyarakat terlihat tidak merasakannya sebagai suatu masalah. Hal
ini terjadi karena warga Prumpung sudah
sejak lama akrab dengan kehidupan PMKS yang ada di sekitarnya. PMKS
sendiri nampak wajar tidak menunjukkan bahwa perilaku mereka mengganggu
ketertiban, mengganggu lingkungan, dan gangguan lain yang dirasakan oleh
masyarakat luar lingkungan mereka.
Tabel 8
Populasi PMKS di
Kelurahan Rawa Bunga
No
|
Jenis PMKS
|
Jumlah
|
1.
|
Fakir Miskin
|
179
|
2
|
WTS/waria
|
29
|
3.
|
Anak Jalanan
|
4
|
4.
|
Gelandangan /Pengemis
|
5
|
Table di atas menunjukkan bahwa PMKS
terbanyak jumlahnya adalah fakir miskin
yaitu 179. Mereka tersebar di RW
03, RW 04, dan RW 05. Tabel di atas juga menunjukkan tidak sedikit jumlah WTS
/Waria. Gambaran masalah tersebut juga
tidak jauh berbeda dengan jumlah yang terdapat di Kelurahan Cipinang Besar
Utara. Gambaran tersebut disajikan dalam table berikut :
Tabel 9
Populasi PMKS di
Kelurahan Cipinang Besar Utara
No
|
Jenis PMKS
|
Jumlah
|
1.
|
Fakir Miskin
|
229
|
2
|
WTS/waria
|
25
|
3.
|
Anak Jalanan
|
35
|
4.
|
Gelandangan /Pengemis
|
50
|
Populasi PMKS di Kelurahan CBU ternyata
lebih banyak dibanding dengan populasi PMKS yang ada di Kelurahan Rawa Bunga.
PMKS tersebut tersebar di RW 03, RW 04, dan RW 07. Kompleksitas permasalahan social sebenarnya
tidak ditentukan besarnya jumlah PMKS. Apalagi dengan jumlah yang relative besar,
jumlah yang sedikitpun permasalahan social bisa mengganggu keamanan dan
ketentraman warga yang ada di sekitarnya.
B. SITUASI DAN KONDISI
1. Keluarga Miskin

permasalahannya
jauh lebih kompleks dari pada kemiskinan yang mereka alami di kampong asalnya.
Baik di Kelurahan Rawa Bunga maupun Kelurahan Cipinang Besar Utara keluarga
miskin jumlahnya cukup tinggi dan paling banyak diantara PMKS yang lainnya.
|
2.
Gelandangan dan Pengemis
Tempat tinggal merupakan salah satu
permasalahan yang cuku pelik di perkotaan. Bagi keluarga miskin yang datang
dari kampong dengan hanya berbekal nekad mengadu nasib, tanpa tujuan dan tanpa
sanak saudara di Jakarta, maka kecenderungan untuk hidup menggelandang
peluangnya lebih besar.

![]() |

Di samping masalah tempat tinggal,
mereka juga tidak terserap dalam pekerjaan formal karena tidak cukup
keterampilan, sehingga terpaksa bekerja hanya berdasarkan kekuatan otot atau
bahkan menjadi pengemis meminta belas kasihan orang lain.
3. Anak Jalanan
Kemiskinan orang tua juga berdampak pada
kehidupan anak-anaknya. Oleh karena itu tidak sedikit anak-anak mereka berada
di jalanan hanya untuk membantu dan meringankan beban ekonomi orang tuanya.
Banyak di antara mereka yang drop out sekolah, sehingga kesempatan mereka untuk
memperoleh pendidikan yang lebih tinggi menjadi terbatas dan cenderung
kehilangan masa depannya yang lebih baik.


Keberadaan mereka di jalanan
bukan hanya merendahkan martabat mereka sebagai anak harapan bangsa, tetapi
kehidupan mereka tidak aman, rawan akan eksploitasi ekonomi, seksual,
trafiking, kecelakaan lalu lintas yang
setiap saat mengancam keselamatan mereka.

. manusia, tetapi juga sangat
mengganggu ketertiban, keindahan, dan kebersihan kota. Oleh karena itu mereka
sering terkena razia petugas keamanan dan ketertiban.
Masalah
a. Program / kebijakan
b. Sumber yang tersedia
c. Harapan masyarakat,
PMKS, dan pemberi pelayanan
4. Pekerja Seks Komersial
(Wanita Tuna Susila/waria)
yang lebih menyulitkan, yaitu
menerjunkan diri dalam kehidupan Situasi yang tidak berpihak sering kali
membuat seseorang terjebak dengan kehidupan prostitusi. Terdapat 54 orang PSK
yang ada di kedua kelurahan. Jumlah tersebut tentu saja tidak sedikit, mengingat
dampak yang ditimbulkannya. Mereka beroperasi secara liar di sepanjang rel
kereta api dan pinggir jalan sepanjang
jalan di depan Stasiun Jatinegara sampai LP
Cipinang.

Keberadaan mereka sangat mudah
dijangkau oleh para lelaki hidung belang bahkan anak-anak yang ingin coba-coba
yang berada di sekitarnya.
Masyarakat di sekitarnya sudah
mengetahui titik-titik yang sering
dijadikan tempat mesum, namun mereka juga tidak bisa beruat apa-apa. Buktinya
tempat-tempat tersebut tetap ada dan sering “bergoyang” di malam hari.
![]() |
![]() |

Warga
Prumpung sendiri menyadari bahwa di lingkungannya ada masalah PMKS. Bagi mereka
PMKS adalah bagian dari warganya yang terpaksa melakukan aktivitas di jalanan
hanya untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu keberadaan mereka perlu
diperhatikan bukan dimusuhi, melainkan diberi keterampilan dan disiapkan
lapangan kerjanya.

1. Anak
Jalanan :
a. Beri pendidikan yang sifatnya
kontinyu
b. Dibebaskan dari operasi satpol
PP
c. Pendampingan oleh tokoh
masyarakat
d. Diberi penyuluhan tentang
tatakrama / sopan santun
e. Dinerikan modal untuk menunjang
pekerjaan mereka, agar mereka tidak lagi ke jalanan
f. Diorganisir oleh masyarakat di
wilayah mereka beroperasi, jangan oleh yayasan.
g. Dipermudah administrasi
kependudukannya, seperti dalam membuat KTP bagi yang berusia sudah 17 tahun.
2.
PSK/Waria
a.
Mereka
harus diakui
b.
Tidak
dibiarkan berkelompok dan tidak sendiri-sendiri
c.
Diberikan
penyadaran tentang bahaya HIV/AIDS
d. Disalurkan sebagai tenaga kerja
di bidang apapun
e. Diberi keterampilan dan diberi
pembinaan agar mereka tidak kembali ke profesi lama
f. Diperhatikan kesehatannya agar
tidak menu;arkan penyakit pada orang lain
g. Adanya pendampingan dari tokoh
masyarakat atau kader

3. Gelandangan dan Pengemis
a. Sekolah terbuka
b. Pengadan buku / perpustakaan
c. Disediakan pemukiman yang
terjangkau / murah

4.
Fakir Miskin
a. Diberi modal usaha
b. Pembinaan
c. Tunjangan kesehatan
d. Raskin gratis
e. Pendampingan dari tokoh
masyarakat
BAB IV
KONSEP PENANGANAN PMKS
Berdasarkan
pada potensi dan permasalahan seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
maka di dalam upaya untuk menjadikan Wilayah Prumpung Kecamatan Jatinegara Kota
Administrasi Jakarta Timur sebagai kota yang indah, tertib, dan nyaman, berikut
ini uraian secara garis besar beberapa konsep penanganannya.
A, KONSEP PENANGANAN.
- Model “Self Advocacy
and Empowering” (SAE)
Merupakan penangan PMKS yang berfokus kepada diri PMKS untuk
meningkatkan keberfungsian sosial dan kemandian mereka agar mampu hidup secara
normal dan diterima masyarakatnya.
a, Sasaran :
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang terdiri
atas fakir miskin , anak jalanan/ pengamen, gelandangan/pengemis, dan pekerja
seks komersial (WTS/Waria).
.
b.Tujuan :
kegiatan para PMKS lebih terbuka, terorganisasi, dan tertib.
c.Dasar pemikiran :
mereka (PMKS) adalah manusia yang memiliki hak untuk hidupdan
mencari nafkah.
d.Strategi :
me”legal”kan atau
mengakui keberadaan mereka dan kegiatan mencari nafkah seperti yang mereka
lakukan sekarang.
e.Kegiatan :
1) Sosialisasi program
kegiatan.
2)
Pendataan dan pemetaan fakir
miskin, anak jalanan/pengamen, gelandang/ pengemis, dan pekerja seks komersial
(WTS/Waria).
3)
Pengorganisasian masing-masing
jenis PMKS agar mudah melakukan pembinaan terhadap mereka.
4)
Pembinaan secara rutin dan
berkesinambungan terhadap PMKS sesuai kebutuhan dan potensi yang mereka miliki.
Tujuan dari pembinaan ini adalah agar mereka secara perlahan namun pasti
mengubah cara mereka mencari nafkah atau pulang ke kampung halaman.
5) Khusus
untuk anak jalanan diarahkan agar mereka mematuhi ketentuan wajib belajar
sembilan tahun.
2.Model “Community Based
Information Network” (Combine)
Merupakan penanganan PMKS yang berfokus kepada kekuatan dan
potensi masyarakat termasuk organisasi sosial dan kelompok warga peduli
lainnya.
a. Sasaran :
RT/RW, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh
pemuda.
b.Tujuan :
pemberdayaan masyarakat agar peka dan mampu mengatasi masalah
sendiri dan masalah sosial yang ada di daerahnya.
c.Dasar pemikiran :
setiap orang memiliki potensi yang perlu dikembangkan.
d.Kegiatan :
1) Sosialisasi program kegiatan.
2)
pelatihan dan bimbingan yang
berkelanjutan agar mereka memiliki kemampuan:
3)
Melakukan identifikasi dan
asessmen.
4)
Melakukan analisa terhadap hasil
identifikasi dan asessmen.
5)
Menentukan dan melaksanakan jalan
keluar dari permasalahan sosial yang mereka hadapi.
- Model Public
Partnership Centre (PPC)
Merupakan penanganan PMKS dengan melibat aparatur pemerintah
dan pihak lainnya yang mempunyai kepentingan dan bersinggungkan dengan
aktivitas PMKS.
a.Sasaran :
RT/RW, Camat, PJKA, Kepolisian, Dinas Pertamanan, Dinas
Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan instansi lain yang terkait.
b. Tujuan :
terjalinnya hubungan kerja yang terintegrasi antar instansi
terkait.
c. Kegiatan :
1) Sosialisasi program kegiatan.
2)
Melakukan rapat koordinasi secara
rutin dan berkesinambungan.
3)
Masing-masing instansi melakukan
kegiatan sesuai tugas pokok dan fungsinya secara tegas dan terbuka dengan
mengedepankan sinergisitas kegiatan.
B. METODE PENANGANAN PMKS
1.Metode Rehabilitasi.
Rehabilitasi sosial PMKS didasarkan pada
kaidah-kaidah pekerjaan sosial profesional, hak asasi PMKS, keterpaduan,
aksesibilitas, partisipasi, dan keberlanjutan. Prinsip-prinsip pelayanan dan
rehabilitasi sosial tersebut merupakan nilai-nilai dasar yang satu dengan yang
lainnya saling terkait dan melengkapi, serta diyakini sebagai suatu kebenaran
dalam memberikan pelayanan terbaik bagi kesejahteraan sosial PMKS
a.Destigmatisasi
Mengusahakan penghilangan stigma yang
dihadapi klien baik internal maupun eksternal.
b.Desensitiasi
Mengatasi sensitivitas berlebihan sehingga
klien mampu melihat realitas secara obyektif.
c.Deisolasi
Menghindari pelayanan yang bersifat membatasi
atau mengisolasi klien dan lingkungan sosialnya.
d.Defragmentasi
Menerapkan pelayanan yang utuh, terarah,
bertahap menuju penanganan masalah secara tuntas dan menghindari fragmentasi
pelayanan.
2. Metode Konseling
Konseling merupakan proses interpersonal yang
keberhasilannya tergantung pada sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
dibawa konselor pada saat berinteraksi dalam konseling. Oleh karena itu,
konselor harus memiliki karakteristik personal dan profesional sebagai berikut
:
a. Keyakinan bahwa klien adalah individu unik yang
memiliki nilai tertentu.
b. Keyakinan bahwa klien memiliki kemampuan untuk
berubah.
c..Pengetahuan tentang fungsi individu efektif.
d,Pengertahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam
membantu individu mengatasi keterbatasan fungsional.
3. Bimbingan Sosial Individu
Bimbingan sosial individu merupakan pelayanan sosial yang
paling banyak diberikan pekerjaan sosial . Bimbingan ini diarahkan untuk
mengatasi berbagai permasalahan unik yang dialami oleh masing-masing klien,
yang memerlukan keahlian khusus dari seseorang pekerja sosial profesional.
Dalam pelaksanaanya, pelayanan bimbingan sosial yang dilakukan pekerja sosial
akan memerlukan dukungan dari tenaga profesional lain yang bekerja, dn
sebaliknya juga akan mendukung pelayanan yang diberikan profesi lain yang
menangani klien. Bimbingan sosial individu diberikan kepada klien di panti
sebagai jawaban terhadap keunikan klien
secara umum berkaitan dengan isi kemiskinan, akan tetapi secara realitas
permasalahanya bisa sangat bervariasi pada setiap klien, tergantung
kepribadian, situasi spesifik yang dihadapi klien dan faktor-faktor penentu
atau faktor pengaruh lainya.
4.
Bimbingan Sosial Kelompok.
Bimbingan sosial kelompok
merupakan suatu metode intervensi pekejaan sosial dimana sejumlah klien/orang
berkumpul dan berbagi isu-isu (topik-topik yang mereka minati atau
masalah-masalah yang mereka hadapi). Kelompok ini bertemu secara teratur dan
kegiatan di dalam kelompok ini dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah disusun. Tujuan bimbingan sosial kelompok termasuk pertukaran informasi
pengembangan kemampuan anggota kelompok, perubahan nilai-nilai orientasi dan
perubahan sikap antisosial ke sikap produktif. Topik yang dibicarakan juga bervariasi,
tidak terbatas pada diskusi tentang terapi kontrol (The Social Work Dictionary, Robert L. Barker, 2nd Edition). Untuk
komposisi kelompok, jumlah anggota kelompok berkisar antara 4-7 orang, dengan
adanya variasi latar belakang masalah umur, jenis kelamin maupun pendidikan
diantara anggota kelompok.
5,
Bimbingan Sosial Masyarakat
Bimbingan sosial masyarakat
adalah suatu istilah yang digunakan pekerja sosial untuk metode pelayanan yang
diarahkan kepada masyarakat atau komunitas. Istilah ini digunakan sebagai
terjemahan dari community work, yang
belakangan banyak digunakan untuk dapat merangkul berbagai pendekatan yang
digunakan pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sebelumnya, orang dengan sangat fantastis membedakan apa yang disebut sebagai
pengembangan masyarakat dan pengorganisasian masyarkat.
Memang belum ada kesepakatan mengenai apa yang disebut dengan community work atau bimbingan sosial
dengan masyarakat.
6. Bimbingan
Keterampilan
Terdapat dua
alasan mengapa diadakan bimbingan keterampilan. Pertama, berkaitan dengan etika
kerja, menilik pekerjaan bagi seseorang merupakan harga diri dan dirinya
dianggap layak seperti manusia lainnya dan dapat menigkatkan status. Kedua,
bimbingan keterampilan terutama yang berkaitan dengan keterampilan kerja harus
didasarkan pada suatu kegiatan operasional yang bersifat konkrit, rutin dan
terstruktur. Untuk pelaksanaanya, diperlukan demonstrasi yang bersifat visual
serta penguatan-penguatan yang bersifat dapat dirasakan (tangible reinforcement).
7. Bimbingan
Motivasi
Motivasi
ialah kegiatan pengenalan program kepada penyandang masalah kesejahteraan
sosial untuk menumbuhkan kemauan/keinginan dan semangat untuk menjadi klien
pelayanan. Motivasi dimaksudkan guna terciptanya kelancaran pelaksanaan
kegiatan operasional terutama dalam rangka mendapatkan calon klien yang
mempunyai kesadaran untuk memperbaiki kualitas hidupnya, sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaannya.
8. Bimbingan Fisik
Sehubungan dengan kerawanan
para PMKS akan beberapa penyakit yang berkaitan dengan sifat pekerjaan yang
mereka lakukan, maka bimbingan fisik termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan,
sangat penting diberikan kepada klien (PMKS : berkaitan dengan penyakit kulit,
saluran pernafasan dan juga penyakit menular seks dan HIV/AIDS). Selain itu,
telah sejak lama juga diakui banyak orang bahwa bimbingan fisik, baik berupa
pelayanan kesehatan maupun bimbingan kesegaran jasmani dan rekreasi fisik
dianggap sangat penting bagi klien-klien rehabilitasi. Banyak keterampilan,
termasuk keterampilan pengambilan keputusan justru bisa dikembangkan dalam
kegiatan-kegiatan rekreatif. Hal ini sangat signifikan bagi pembentukan rasa
tanggung jawab sosial klien dalam masyarakat.
9. Bimbingan Mental Spiritual
Pengahayatan
spiritual merupakan kebutuhan setiap insan untuk mencapai ketenangan jiwa dalam
kehidupanya. Bagi klien, perasaan bersalah (guilty
feeling) dan terhina atau tercampakkan menghantui kehidupannya. Mereka tahu
bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang tidak disukai oleh banyak orang
dan dianggap menggangu serta menyimpang dari norma sosial. Terlebih, perasaan
seperti ini ditambah dengan perasaan tertekan karena adanya stigma dari
masyarakat atas apa yang dilakukannya, tidaklah mungkin menambah beban
tersendiri bagi mereka. Untuk itu, bimbingan mental spiritual tampaknya sangat
diperlukan. Selain itu, seringkali seseorang melakukan suatu tindakan tidak
saja karena suatu keterpaksaan, namun bisa saja berhubungan dengan mental
spiritualnya. Misalnya, seseorang PMKS didorong oleh faktor kemalasan untuk
hidup mapan atau tidak mau bekerja keras sebagainya. Hal ini menuntut adanya
suatu upaya untuk melakukan perubahan terhadap sikap mental tersebut.
10.Bimbingan Sosial
Keluarga
Latihan
hidup dalam lingkungan keluarga juga merupakan hal yang penting dilakukan di
pusat-pusat rehabilitasi bagi PMKS. Menempatkan klien secara berkelompok di
dalam suatu tempat yang benuansa rumah, dilakukan untuk melatih mereka
mengembangkan keterampilan-keterampilan dan norma-norma hidup berkeluarga
secara baik. Melalui interaksi antar anggota kelompok dalam tempat yang sama
diharapkan dapat mengurangi atau mengoreksi perilaku yang kurang mendukung dan
dapat mengembangkan perilaku-perilaku baru yang lebih bersifat positif. Dalam
program rehabilitasi di masa lalu program pelayanan ini dikenal dengan
pelayanan residensial, tetapi sekarang lebih disukai dengan nama program
latihan keterampilan hidup di dalam rumah/keluarga. Hal ini bukan sekedar
perubahan nama program latihan keterampilan hidup didalam keyakinan bahwa
rehabilitasi tidak sama dengan pelayanan residensial, walaupun rehabilitasi
sosial juga bisa termasuk dalam kategori pelayanan residensial, karena program
bimbingan hidup di dalam rumah dapat diterapkan dalam setting masyarakat.
11. Metode
Assesmen
Pekerja sosial merupakan kegiatan profesional yang
ditujukan untuk membantu individu, kelompok maupun masyarakat atau yang sering
di sebut dengan klien, meningkatkan fungsi sosialnya. Dengan kata lain, pekerja
sosial membantu klien memecahkan masalah yang ada, sehingga mereka dapat
kembali melaksanakan peran dan fungsi sosialnya sebagaimana yang diharapkan.
Tentunya, peran yang dimaksud berkaitan pula dengan perannya terhadap
lingkungan terdekat, khususnya peran yang berkaitan dengan peran diri pribadi,
seperti sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan dan perlindungan,
pendidikan, dimilikinya identitas diri dan adanya pengakuan akan diri, serta
adanya cinta kasih sayang. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan suatu
model intervensi yang sifatnya menyeluruh. Seringkali, akar permasalahan berada
pada diri pribadi klien (untuk masalah
yang sifatnya individu). Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa akar
masalah ada pada pihak luar diri pribadi klien, seperti keluaga bahkan masyarakat
sekitar. Sebaliknya, banyak pula permasalahan yang akar masalahnya berada pada
kedua belah pihak. Artinya, akar masalah berada pada diri pribadi klien maupun
lingkungannya.
12. Konferensi Kasus.
Konferensi kasus
adalah suatu forum permufakatan yang dihadiri oleh para ahli dalam rangka
pembahasan kasus yang disertai pula dengan penetapan alternatif kebijaksanaan
dan langkah bagi kepentingan si penyandang masalah yang bersangkutan, keluarga
dan masyarakat.
- Terciptanya suatu wadah kerjasama multi disipliner
atau multi profesional dan lintas sektoral secara terpadu didalam
penyelenggaraan program pelayanan dan rehabilitasi sosial PMKS.
- Terciptanya suatu mekanisme kerja yang bersendikan
semangat kolektifitas profesional yang berperan di bidang seleksi, pemastian
sistem pelayanan, pengungkapan dan pemecahan masalah, penggalian dan
pengolahan data permasalahan, menetapkan rumusan pelayanan dan
rehabilitasi atau rencana program bimbingan, pembinaan dan penyantunan,
menyelenggarakan program pemantauan, penilaian asesmen dan evaluasi antara
lain terhadap ketepatan program, ketepatan pelaksanaan dan ketepatan
sasaran perkembangan klien, dan peningkatan motivasi keluarga dan
masyarakat.
12.Metode Manajemen Kasus
Manajemen kasus merupakan suatu pendekatan dalam pemberian
pelayanan yang ditujukan untuk menjamin agar klien yang mempunyai masalah ganda
dan kompleks dapat memperoleh semua pelayanan yang dibutuhkannya secara tepat.
Manajer kasus melaksanakan peranan-peranan
:
1)
Pialang
sosial; menguasai sumber dan kebutuhan pelayanan.
2)
Advokat
sosial; mewakili kepentingan klien dalam menghadapi
berbagai
penyedia pelayanan.
3)
Pengembangan
sumber yang dibutuhkan klien.
4)
Mengupayakan
tersedianya pelayanan yang sangat dibutuhkan klien
tetapi belum
ada di dalam masyarakat .
13.Supervisi
Supervisi adalah suatu proses bimbingan kerja di antara
pekerja sosial dan supervisor untuk mencapai tujuan organisasi dan tujuan
profesional demi tercapainya kemampuan, kepercayaan dan penguatan dukungan
pelaksanaan kegiatan.
a.
Untuk menjamin
pekerja mendapat kejelasan mengenai tugas- tugas dan tanggung jawabnya.
b.
Untuk
memprtemukan pekerja dengan tujuan panti.
c.
Untuk
menjamin kualitas pelayanan terhadap klien.
d.
Untuk
menciptakan suasana kerja dengan baik.
e.
Untuk
membantu mengembangkan profesionalitas.
f.
Untuk
menurunkan stres di kalangan pekerja.
g.
Untuk
menjamin para pekerja mendapatkan sumber yang dibutuhkan
14.Rujukan
Rujukan dalam penanganan
PMKS adalah proses untuk membantu PMKS
dan keluarganya memperoleh simber-sumber yang dibutuhkan secara optimal. PMKS
kemungkinan dirujuk kepada institusi atau pelayanan lain yang tidak dapat di
berikan oleh pekerja sosial maupun panti sosial.
a. Pemberian
informasi
Pekerja sosial dapat mengindentifikasi, menginterprestasikan
atau meminta perhatian lembaga-lembaga
yang menyediakan pelayanan yang dibutuhkan PMKS dan keluarganya. Berdasarkan
hal itu, pekerja sosial kemudian memberikan informasi pada PMKS atau keluarganya yang membutuhkan.
b. Memberikan bantuan langsung dalam memperoleh akses terhadap
sumber- sumber sosial Hal ini meliputi kegiatan pekerja sosial mengontak
berbagai lembaga untuk mengklarifikasi sifat dan jenis pelayanan yang
tersediadi lembaga tersebut, eligibilitasnya serta permohonan pelayanan untuk
PMKS yang akan di rujuk. Bila diperlukan, pekerja sosial perlu mengisi berbagai
formulir dan mengirim berkas rujukan, persyaratan/eligibilitas dan prosedur
dari lembaga yang akan menerima rujukan untuk diinformasikan kepada klien. PMKS
harus sudah mulai dikenalkan dengan lembaga baru yang akan membantu PMKS tersebut.
c. Advokasi kasus
Kegiatan ini mencakup mengupayakan adanya perhatian dari masyarakat atau
lembaga pelayanan kesejahteraan sosial tentang tidak terpenuhinya kebutuhan
PMKS. Tujuan lainnya adalah mengoreksi ketidakadilan atau melindungi PMKS dari
pelanggaran hak-haknya. Kegiatan ini harus dibedakan dari reformasi sosial atau
advokasi kebijakan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat umum
atau mengatasi masalah populasi tertentu.
15. Penjangkauan
Penjangkauan adalah kegiatan
kunjungan pekerja sosial panti ke kantong-kantong PMKS untuk menjangkau PMKS
sebagai upaya menciptakan kontak pendahuluan dan persahabatan dengan
mereka.
16.Jaringan
Kerja
Jaringan kerja merupakan mekanisme kerja sama pada setiap
tingkatan wilayah (nasional, propinsi, kabupaten/kota) yang memadukan secara
sinergis semua pemilik sumber (pemerintah dan masyarakat) demi terwujudnya
berbagai bentuk pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS. Jariangan kerja dapat
dikembangkan melalui jaringan yang sudah ada (seperti : Dewan Nasional
Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial/DNIKS, Badan Koordinasi Kegiatan
Kesejahteraan Sosial/BKKKS dan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial/KKKS)
atau membentuk jaringan baru sesuai dengan kondisi objektif setiap wilayah.
Susunan keanggotaan dan tata kerja juga ditentukan berdasarkan kondisi objektif
setempat.
C, PERAN
PEKERJA SOSIAL
1.
Sebagai Advocate
Pekerja
sosial berfungsi membantu memecahkan masalah. Artinya, pekerja sosial harus
siap menerima keluhan dan kemungkinan hambatan-hambatan yang dihadapi kelompok,
untuk selanjutnya membantu mencari alternatif pemecahan masalah atau mencari
narasumber lain/ahli yang berkompeten yang dapat mencari jalan keluar yang
maksimal.
2.
Sebagai Moderator
Didasarkan pada situasi, terdapat 5 (lima) tingkah laku
yang diharapkan dilakukan dalam memerankan peranan sebagai mediator yaitu :
a. Mengidentifikasi
latar belakang keterpisahan antara dua orang yang mempunyai persepsi yang
bebeda atau mengalami self interest
yang komplek, yang sebelumnya bisa dipertemukan.
b. Mengidentifikasi
hambatan-hambatan/rintangan dan mencari jalan atau saluran yang bisa mengatasi
hambatan tersebut agar kedua hal terpisah tadi bisa ketemu.
c. Menentukan
batas-batas situasi.
d. Memberikan
proyeksi image dari seseorang sebagai
orang yang berdiri untuk kesejahteraan kedua orang terpisah tadi.
3.
Sebagai Broker
Dalam
fungsinya sebagai broker (penghubung
sumber), pekerja sosial bertugas untuk menjadi penghubung. Pekerja sosial juga
harus menjalin kemitraan guna mewujudkan kerja sama, serta membina kelangsungan
kerja sama tersebut. Untuk itu, pekerja sosial selaku broker harus dapat memerankan perannya yaitu :
- Mengetahui
sumber-sumber.
- Menghemat
sumber-sumber.
- Menciptakan
sumber-sumber yang tidak ada.
4.
Sebagai Fasilitator
Seseorang
pekerja sosial bertugas untuk memfasilitasi kesenjangan pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang dihadapi penerima pelayanan, juga bertugas untuk melakukan
evaluasi dan monitoring terhadap berbagai indikator capaian program bimbingan
spiritual. Dalam hal ini pekerja sosial harus melakukan-kegiatan-kegiatan :
- Memberikan
gambaran singkat pada instruktur tentang gambaran umum klien.
- Memeberikan
keempatan kepada insturktur untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan
dengan kegiatan bimbingan spiritual.
- Kepada klien
diminta untuk menyampaikan secara cermat dan mencatat.
- Fasilitator
memberikan catatan tentang perkembangan klien.
5.
Sebagai Motivator
Seseorang
pekerja sosial bertugas untuk dapat menggugah, menggerak dan membuat klien
dinamis. Dia juga harus berani mengambil resiko dan mau membuat terobosan,
sehingga klien mampu mengembangkan profesinya.
No comments:
Post a Comment