Oleh: Dr.Carolina Nitimihardjo
ABSTRAKS
Kasus penderita
HIV/AIDS di kalangan perempuan meningkat secara drastis. Perilaku berisiko
suami atau pasangan merupakan penyebab utama penularan. HIV/AIDS yang merupakan
penyakit menakutkan dan mematikan itu kian menghantui banyak negara. Indonesia
tak luput pula dari ancaman itu. Program Aksi The International Conference on Population and Development (ICPD)
yang telah mengumandangkan pentingnya pencegahan HIV/AIDS sejak 1994, nampaknya
belum mampu secara bermakna menekan angka prevalensi penderita HIV/AIDS di
dunia. Setiap hari diperkirakan sebanyak 16.000
orang terinfeksi HIV. Dalam hitungan waktu, setiap enam detik setidaknya
terdapat penambahan kasus baru HIV/AIDS di seluruh dunia.
A. PENDAHULUAN
Dari 16.000 infeksi baru yang
terjadi setiap hari, sebanyak 60 persen terjadi pada perempuan. Dari 17,5 juta
orang dengan HIV/AIDS (Odha) yang meninggal, 52 persennya ialah perempuan. Di
Afrika Selatan, sebanyak 60 persen kasus HIV/AIDS terjadi pada perempuan dengan
prevalensi di setiap 10 orang laki-laki yang mengidap HIV, terdapat 13 orang
perempuan yang juga mengalami HIV positif. Demikian halnya dengan Thailand,
sebanyak 40 persen perempuan berstatus menikah dan monogami tertular HIV di
dalam pernikahan mereka, dan 90 persen di antaranya merupakan penularan HIV
dari suami kepada istri.
Di Asia, 90 persen dari 1,7
juta perempuan hidup dengan HIV tertular dari suami atau pasangan dalam
hubungan jangka panjang. Dari penelitian
regional mengenai HIV AIDS di Asia, diketahui perempuan merupakan orang dewasa
yang paling rentan terkena HIV. Pada 2008, 35 persen orang dewasa yang
terinfeksi HIV di Asia terdiri dari perempuan. Separuh dari jumlah ODHA di
seluruh dunia adalah perempuan. Hasil studi menunjukkan, bahwa perempuan dan
remaja putri rentan terhadap HIV, karena lebih mudah tertular 2,5 kali dari
pada laki-laki dan remaja putra.
Kerentanan
perempuan tertular HIV umumnya karena kurangnya pengetahuan mereka tentang
bahaya HIV/AIDS dan kurangnya akses untuk mendapatkan layanan pencegahan HIV. Secara
biologis perempuan lebih berisiko tertular HIV jika melakukan hubungan seksual
tanpa kondom, dibanding laki-laki. Ironisnya, di banyak daerah perempuan sulit
melindungi dirinya dari infeksi HIV karena pasangan seksualnya enggan
menggunakan kondom.
Selain itu
kerentanan perempuan tertular HIV/AIDS ini juga karena organ reproduksi yang
tersembunyi sehingga tidak mudah terdeteksi bila ada keluhan. Organ reproduksi
perempuan sangat sensitif dan bentuk anatominya yang cenderung terbuka sehingga
memudahkan bakteri berkembang di sana, memiliki selaput mukosa yang luas, mudah
luka atau iritasi, sehingga bila terjadi penetrasi penis dengan keras atau
paksaan ataupun dengan IMS (infeksi menular seksual) akan lebih memudahkan
terjadinya penularan. Terlebih lagi jumlah virus HIV di dalam sperma juga lebih
banyak dibandingkan jumlah virus HIV di dalam cairan vagina, sehingga perempuan
sebagai pihak penampung sperma lebih besar kemungkinannya untuk terinfeksi.
Masih banyak
orang yang menganggap bahwa HIV/AIDS sebagai masalah yang hanya dialami oleh orang
yang mempunyai perilaku seksual menyimpang, para pendosa dan pengguna narkoba.
Akan tetapi perkembangan kasus HIV/AIDS belakangan ini semakin banyak dialami
oleh mereka yang dianggap aman dan tidak beresiko HIV/AIDS. Angka infeksi
menular seksual yang tinggi terdapat pada perempuan non-PSK (Pekerja Seks
Komersial), seperti ibu rumah tangga dan remaja putri (Kompas, 23/3/2006). Cara pandang yang menempatkan HIV-AIDS hanya masalah mereka yang
berperilaku seks menyimpang atau terkait "tidak bermoral",
"pendosa", dan sebagainya, tidak memberikan solusi untuk mencegah
ancaman HIV dan AIDS, bahkan sebaliknya cenderung memperburuk masalah.
C. KERENTANAN PEREMPUAN
Ketidakadilan gender
yang dialami perempuan, mengakibatkan perempuan dianggap tidak perlu mengetahui
hak-haknya, termasuk seksualitas dan kesehatan reproduksi, serta kerentanan
terhadap HIV-AIDS. Pandangan tentang ibu rumah tangga atau perempuan
"baik-baik" tidak akan tertular HIV-AIDS, ditambah kuatnya resistensi
terhadap kampanye penggunaan kondom, serta pandangan bahwa KB hanya urusan
perempuan, turut menyumbang kompleksnya penanggulangan HIV-AIDS.
Pria pembeli
seks dikenali sebagai kelompok populasi terinfeksi tertinggi. Kebanyakan mereka
telah menikah atau merencanakan menikah. Akibatnya perempuan yang dianggap
berisiko rendah justru berisiko tinggi setelah melakukan hubungan seksual
dengan suami atau pasangan yang berisiko tersebut. Perempuan baik-baik atau ibu
rumah tangga yang berkelakuan baik, belum tentu tidak tertular HIV/AIDS. Oleh
karena itu, memperkuat hak azasi reproduksi perempuan juga sebagai cara
mencegah penularan virus mematikan tersebut. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan
cara, sebelum menuju jenjang pernikahan (pra-nikah), hendaknya pasangan
memeriksakan darahnya ke medis. Pemeriksaan tersebut tujuannya tidak untuk mengetahui tertular HIV/AIDS
saja, akan tapi juga untuk mengetahui ada tidaknya penyakit lain seperti hepatitis,
kolestrol dan lainnya. Hal ini dimaksudkan demi masa depan anak-anak mereka nantinya.
Budaya
patriarki (posisi perempuan di bawah pria) yang kuat di negara-negara Asia
menyebabkan tidak bisa didiskusikannya seks kepada pasangannya. Terutama perempuan
baik-baik kepada suaminya. Pembicaraan tentang penggunaan kondom pun sangat
tabu. Budaya patriaki ini membuat perempuan khususnya ibu rumah tangga memiliki
posisi tawar yang lebih rendah dalam menegosiasikan seks dengan pasangan.
Bahkan, posisi tawar ibu rumah tangga lebih rendah daripada pekerja seks yang
masih bisa memilih. Apalagi posisi tawar perempuan pengidap beragam penyakit
seksualitas termasuk HIV/AIDS.
Indonesia yang
merupakan salah satu negara berkembang rentan terhadap ancaman HIV/AIDS. Sejak kasus
pertama ditemukan di tahun 1987 belum menampakkan hasil positif atas berbagai
program penanggulangan HIV/AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, telah
memasukkan Indonesia dari kelompok low menjadi
concentrated sejak 2000 ketika
Indonesia memasuki fase epidemi HIV/AIDS yang begitu merisaukan. Prevalensi
HIV/AIDS telah berada di atas angka 5 persen di beberapa wilayah/kelompok
masyarakat. Para pengiap HIV/AIDS di Indonesia tersebar diseluruh provinsi, dengan jumlah terbesar di DKI
Jakarta, diikuti Papua, Jawa Timur, Bali, Riau, Jawa Barat dan Kalimantan
Barat. Proporsi kasus
HIV/AIDS pada perempuan semakin lama
semakin meningkat.
Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional dan Departemen Kesehatan mengestimasi sekitar 300
ribu orang dewasa usia 15-49 tahun hidup dengan HIV pada 2009.
Peningkatan infeksi tertinggi adalah pada perempuan. Berdasarkan data dari
Kementerian Kesehatan RI, pada akhir 2009 jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia
mencapai 19.973 jiwa dengan kecepatan penularan tercepat di kawasan Asia
Tenggara. Persentase penularan HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual,
mencapai 50,3 persen dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3 : 1.
Berdasarkan
laporan dari 32 provinsi di Indonesia, sekitar 88 persen kasus HIV/AIDS berasal
dari kelompok usia produktif (20-49 tahun). Separuh dari jumlah ODHA di seluruh
dunia adalah perempuan. Hasil studi menunjukkan, bahwa perempuan dan remaja
putri rentan terhadap HIV, karena lebih mudah tertular 2,5 kali dibanding
laki-laki dan remaja putra. UNAIDS melaporkan bahwa 67 persen kasus baru
HIV/AIDS di negara berkembang adalah kalangan usia muda 15-24 tahun. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 54 persen adalah perempuan dan remaja putri.
Melalui
kampanye Perempuan, Remaja Putri, dan HIV/AIDS di tahun 2004, sejalan dengan
target Deklarasi Komitmen PBB tentang AIDS (UNGASS, 2001), pemerintah
negara-negara dunia, termasuk Indonesia, bertekad untuk meningkatkan kemampuan
perempuan dan remaja putri dalam melindungi dirinya dari infeksi HIV serta
mampu menghadapi segala konsekuensi yang timbul.
Upaya yang
dilakukan adalah melalui peningkatan kesadaran dan kemandirian perempuan dalam
mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya.
Dengan demikian hak-hak reproduksinya
terpenuhi dan dapat menuju pada peningkatan kualitas hidup. Selain itu,
dilakukan juga upaya memberdayakan perempuan secara individu maupun
organisatoris dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta peran serta
mereka dalam advokasi, KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), motivasi dan
bimbingan dalam pencegahan penularan HIV/AIDS. Secara spesifik dapat
ditambahkan pula pentingnya meningkatkan pendidikan kesehatan remaja putri,
meningkatkan akses ARV untuk ODHA perempuan, menghindari dari narkoba, maupun
menciptakan keadilan dan kesetaraan gender.
Selain kelompok
perempuan yang rentan terhadap virus HIV/AIDS, masyarakat kelas bawah juga rawan terinfeksi. Misalnya ketika mereka
mendapatkan pengobatan dari tempat pengobatan umum, biasanya ketika mereka
harus mendapatkan suntikan maka pihak dokter menggunakan jarum suntik bekas,
dan dengan jarum bekas tersebut mungkin saja itu bekas dipakai oleh orang yang
terinfeksi virus HIV.
Dari masyarakat
kelas bawah yang paling rentan terhadap virus HIV/AIDS adalah kaum
perempuannya. Kondisi ekonomi dapat
mendorong perempuan ke dalam perilaku yang beresiko tinggi seperti menjadi PSK
(pekerja seks komersial), terjebak dalam perkawinan yang penuh kekerasan,
menjadi korban trafficking. Semuanya merupakan
kondisi yang menjerumuskan perempuan dalam hubungan seksual dengan laki-laki
yang HIV positif tanpa perlindungan.
Hak perempuan
untuk mendapatkan seks yang aman dan untuk menentukan hal-hal yang berhubungan
dengan seksualitas tidak dihormati hampir dimana pun, terutama di tempat-tempat
di mana perempuan menukar seks untuk kelangsungan hidup sebagai cara hidupnya. Hal tersebut lebih pada berhubungan
erat dengan perekonomian dari pada masalah pelacuran. Artinya lebih pada membicarakan
tentang persetujuan ekonomi dan sosial yang mendasar antara pria dan wanita. Pada
satu sisi tentang kemiskinan yang mempengaruhi laki-laki dan perempuan, dan pada
sisi lain tentang pengendalian yang dimiliki pria atas kehidupan wanita terkait
dengan kemiskinan.
Pada umumnya
kebanyakan laki-laki, betapa pun miskinnya, bisa memilih kapan bersanggama,
dengan siapa, dan dengan perlindungan apa jika ada. Adapun kebanyakan perempuan tidak sebebas laki-laki
dalam hal memilih. Apabila demikian keadaannya, maka dasar pemikiran di dalam
mengatasi masalah perempuan dan HIV/AIDS adalah memperluas bidang hak asasi
manusia sampai kepada keamanan perekonomian. Artinya, hak untuk tidak hidup
dalam kemiskinan dan hak untuk hidup dalam dunia yang sangat kaya. Dengan
demikian kaum perempuan akan mendapatkan hak untuk seksualitas yang aman.
Perlu diketahui
bahwa penularan HIV/AID terjadi melalui dengan hubungan seks, jarum suntik yang
telah dipakai oleh orang yang terkena HIV/AIDS, dan melalui transfusi
darah. Mereka yang menggunakan drug atau narkotik itu menjadi kelompok yang
mudah terinfeksi oleh virus HIV apabila menggunakan jarum suntik secara
bergantian. Namun kalau jarum suntiknya itu tidak bergantian atau menggunakan
jarum suntik baru, maka tidak dimungkinkan virus HIV/AIDS itu akan masuk dan
menjalar pada seluruh tubuhnya. HIV/AIDS tidak menular melalui salaman,
menggunakan WC bareng, menggunakan gelas bareng, keringat, dan bersin.
Seperti telah
dikemukakan di atas, perempuan yang aktif secara seksual dan menikah adalah
kelompok perempuan yang paling rentan terhadap penyakit seksual menular,
termasuk penyakit karena virus HIV/AIDS. Oleh karena itu, riskannya perilaku
seksual laki-laki atau suami yang berganti-ganti pasangan secara diam-diam.
Perilaku yang banyak terjadi di masyarakat sebagai akibat dari konstruksi
sosial masyarakat yang cenderung menerima sikap laki-laki yang memiliki banyak
pasangan. UNAIDS menyebutkan bahwa penyebab meningkatnya jumlah perempuan yang
terinfeksi HIV/AIDS adalah karena terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan
gender yang menyebabkan perempuan tidak bisa memilih dengan siapa dia menikah,
kapan, dengan siapa dan bagaimana dia melakukan hubungan seksual, perempuan
tidak bisa menolak atau tidak bisa meminta suaminya menggunakan kondom ketika
memaksakan hubungan seksual yang tidak aman. Bahkan perempuan juga cenderung
tidak bisa menolak hubungan seksual meskipun ia mengetahui bahwa suaminya
memiliki hubungan dengan sejumlah perempuan lain di luar perkawinannya.
C. DAMPAK KEKERASAN THDP PEREMPUAN
Fenomena ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender tersebut cenderung membuahkan kekerasan terhadap perempuan
berbasis gender (KTPBG). Diseluruh dunia diperkirakan antara 13 persen hingga
61 persen perempuan yang pernah menikah atau memiliki pasangan pernah mengalami
kekerasan fisik dari pasangannya. Sebanyak 6 persen (Jepang, Serbia,
Montenegro) hingga 59 persen (provinsi Ethiopia) perempuan pernah mengalami
kekerasan seksual dari pasangan intimnya. Sementara antara 15 persen hingga 71
persen perempuan pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual atau kedua-duanya
dari pasangan intimnya. (Moreno, et.al, WHO: 2005).
Di Indonesia sendiri prevalensi
kekerasan terhadap perempuan diperkirakan sekitar 11 persen perempuan yang
pernah menikah pernah mengalami kekerasan fisik dari pasangannya (IDHS: 2003).
Penelitian SEHATI di Purworejo memperkirakan 27 persen atau 1 dari 4 perempuan
yang pernah menikah pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual dari
suaminya. Lebih banyak perempuan yang melaporkan mengalami kekerasan seksual
(20 persen) dibandingkan dengan kekerasan fisik (11 persen), sedangkan 34
persen atau 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan psikis dari suaminya
(Hakimi, dkk. 2001).
Tingginya angka kekerasan seksual
terhadap perempuan ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bagi penyebaran
HIV/AIDS yang semakin banyak dialami oleh perempuan. Studi WHO tentang KTP
(kekerasan terhadap perempuan) dan HIV/AIDS menunjukkan bahwa perempuan yang
mengalami kekerasan fisik dari pasangan hidupnya lebih rentan terhadap infeksi
HIV dibandingkan dengan perempuan dalam keluarga tanpa kekerasan. Perempuan
yang secara emosional didominasi pasangannya cenderung terkena infeksi HIV,
hingga 52 persen lebih tinggi di Afrika. Resiko terinfeksi HIV/AIDS tinggi pada
anak perempuan yang menjadi yatim piatu karena orang tuanya penderita AIDS. Di
Zambia mereka menjadi anak-anak tanpa harapan dan tanpa dukungan emosional dan
finansial. Bahkan banyak anak yang menjadi yatim piatu karena epidemi AIDS
mengalami pelecehan seksual oleh keluarga besarnya, atau orang yang bertanggung
jawab terhadap kelangsungan hidup anak-anak tersebut. Studi di berbagai negara
tentang pengalaman seksual remaja, hubungan seksual pertama kali dilakukan
karena terpaksa.
Anak perempuan menghadapi risiko khusus terkait
dengan masalah HIV/AIDS, menjadikan sebagai salah satu tantangan dalam
penanggulangan HIV dan AIDS. Perempuan sangat rentan terinfeksi pada usia muda.
Mereka berkemungkinan besar menghadapi tekanan dari teman sebaya untuk melakukan hubungan seksual dini dan masalah
tersembunyi dari hubungan seksual paksaan, pemerkosaan, inses, dan kekerasan
rumah tangga yang harus ditanggungnya. Anak perempuan juga dihadapkan pada
kekerasan dan eksploitasi seksual, umumnya dihubungkan dengan kemiskinan dan
keluarga yang tidak harmonis. Mereka yang mengalami kekerasan seksual, umumnya
kehilangan harga diri dan perasaan kendali atas kehidupan, sehingga
meningkatkan risiko penyalahgunaan NAPZA, hubungan seksual lebih dini, dan
berganti-ganti pasangan. Keadaan yang sangat memprihatinkan ini, memerlukan
upaya kongkret dari pengambil kebijakan agar dapat melindungi masyarakat dari
risiko tertular HIV.
Menurut Saparinah Sadli, 2006, (http://www.who.int/inf-fs/en/fact247.html)
mengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan semakin diakui sebagai
pendorong terjadinya epidemi HIV/AIDS, maka perlu adanya suatu strategi baru
untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan mengurangi infeksi
HIV dan AIDS pada perempuan, diantaranya melalui:
(1) Pelibatan laki-laki dalam menghentikan
KTP dan HIV/AIDS.
(2) Memperhatikan dan mengubah persepsi
laki-laki itu sendiri tentang maskulinitasnya dan memberikan pemahaman tentang
bagaimana hal tersebut berkontribusi pada KTP dan transmisi HIV.
(3) Melakukan advokasi dan informasi
tentang kaitan antara KTP dan HIV/AIDS dengan tujuan memberdayakan perempuan
dalam melakukan hubungan seksual dan memperoleh hak-hak dan kesehatan seksual
dan reproduksinya.
(4) Meningkatkan kualitas layanan
kesehatan, terutama di kamp-kamp pengungsian yang mempertimbangkan kemungkinan
meningkatnya KTP dan kerentanan perempuan terhadap KTP dan infeksi HIV/AIDS.
(5) Perlunya sosialisasi tujuan MDGs yang
mencantumkan tentang penyebaran HIV dan AIDS serta penyakit menular lainnya
sebagai salah satu tujuan yang harus dihentikan pada tahun 2015 dalam rangka
memerangi kemiskinan dan kelaparan.
Perempuan
yang terkena HIV/AIDS, secara psikologis, akan mengalami berbagai masalah,
mulai dari kecemasan, keraguan, stress dan depresi. Tekanan lingkungan yang
mencerminkan stigma negatif akan membuat perempuan kehilangan penghargaan
terhadap dirinya. Ditambah lagi, sifat menular sangat cepat dari penyakit ini
menyebabkan perempuan mengalami kekhawatiran dan keterkejutan yang tinggi.
Stigma
negatif yang menumbuhkan perasaan rendah diri perempuan menjadikan: (1) mereka
sering mengalami kesulitan untuk melihat hal positif tentang apa yang
dilakukan, (2) khawatir akan hidup, dan tidak ingin mengambil resiko, (3)
cenderung tidak mendapat pujian karena suksesnya, (4) mengira kegagalan
merupakan tanggung jawab mereka, dan bukti baginya telah berbuat dengan kurang
baik, (5) merasakan lebih rendah dari orang lain, (6) tidak termotivasi untuk
meningkatkan diri, tetapi bertahan dan melawan terhadap kegagalan dari semua
perbuatannya, (7) mereka tidak bahagia dan tidak merasa cukup dengan diri
sendiri, dan tidak menyesuaikan diri dengan baik, (8) mengalami tekanan,
keputusasaan dan bunuh diri (William Stewart, 2000).
Upaya
untuk meningkatkan rasa percaya diri menurut Lilian Kantz ( 2000) dengan cara:
(1) Membongkar pikiran dan
perasaan negatif yang telah memicu pikiran salah dan menyiksa diri, menghapus segala bentuk prasangka. Perempuan yang telah divonis terserang
HIV/AIDS harus mampu memelihara pikiran dan perasaan negatif akan tubuhnya, dan
berusaha sekuat tenaga menerima diri apa-adanya. Penerimaan diri tersebut akan
menuntunnya untuk menghindarkan diri dari perasaan destruktif yang akan melukai
tubuh dan perasaannya. Dengan menerima kenyataan dan meyakini akan pertolongan Tuhan, maka makin
memudahkan perempuan melakukan perawatan dan pengobatan di rumah sakit.
(2) Memahami cara berkembang secara
maksimal dan belajar mencapai yang terbaik. Perempuan yang terkena virus
HIV/AIDS berhak menjalani kehidupan yang layak sebagaimana perempuan sehat
lainnya. Mereka juga memiliki potensi mencapai perkembangan hidup maksimal.
Menggali potensi diri merupakan tuntutan manusia agar merasa lebih hidup, tidak
larut pada penderitaan dan terperosok pada perasaan tidak berharga. Membangun penghargaan diri pada perempuan yang terjangkit
HIV/AIDS berarti memberikan kesempatan lebih besar bagi perempuan untuk
mengembangkan bakat-bakat yang dimilikinya tanpa terganggu oleh penderitaannya.
Perempuan terinfeksi
HIV/AIDS tidak boleh dikucilkan guna membantu meringankan beban mereka meraih
keamanan dan kebebasannya. Tuhan telah mengisyaratkan agar manusia harus saling
menghargai sesama.
Ikatan Perempuan Positif Indonesia (2008) menyatakan, perempuan yang hidup
dengan HIV-AIDS kebanyakan tidak mengetahui hak-haknya, sehingga mereka tidak
mendapat kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak, termasuk
pelayanan kesehatan untuk diri sendiri dan anak mereka. Selain itu, mereka juga
tidak mengetahui informasi tepat mengenai kesehatan perempuan, termasuk
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, serta tidak mempunyai pekerjaan
layak yang dapat menjamin kehidupan, termasuk bagi anak-anak mereka.
Oleh karena itu perspektif gender perlu
diintegrasikan atau harus diutamakan dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS. Hal
ini meliputi aspek pemberdayaan perempuan, di mana perempuan diberdayakan untuk
mengetahui hak dan informasi mengenai kesehatan perempuan termasuk pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak, sehingga mendapat kesempatan untuk pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak, agar dapat memperkuat ketahanan
keluarga.Aspek advokasi, berupa upaya sistematis untuk lahirnya kebijakan, baik
di tingkat pusat maupun daerah.
Peraturan daerah yang lebih bersifat lokal diperlukan untuk menjawab
kebutuhan praktis dan strategis masyarakat. Kebijakan tersebut diperlukan untuk
menjamin adanya program dan anggaran yang tepat kelompok sasaran, memastikan
pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di daerah.
Sebagai contoh, di Provinsi Jawa Barat penekanan
perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) harus terintegrasi dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS. Di Provinsi Jawa Barat, masalah yang seolah terlupakan
adalah masalah yang berkaitan dengan besarnya jumlah buruh migran/tenaga kerja
Indonesia (TKI) dan kelompok yang sering bepergian. Kelompok ini merupakan
kelompok yang rentan terpapar virus HIV. Jumlah mereka tidak bisa dibilang
kecil. Penularan HIV-AIDS di
kalangan buruh migran kian sulit dibendung. TKI, khususnya perempuan (TKW)
rentan terinfeksi virus HIV, karena lemahnya perlindungan,termasuk keterbatasan
akses terhadap informasi dan layanan kesehatan. Mereka kerap terabaikan dalam
penanggulangan penyebaran HIV.
Perempuan mempunyai hak akan
seksualitas yang tidak membahayakan hidup mereka yang dapat dijadikan asas
utama untuk pekerjaan yang berhubungan dengan perempuan, HIV/AIDS dan PMS.
Masalah utama yang berkaitan dengan hak
akan seksualitas yang membahayakan diantaranya:
(1) Kurang
pengendalian atas seksualitas diri sendiri dan hubungan seks.
(2) Kesehatan
reproduksi dan seksual yang buruk, yang mengakibatkan kesakitan dan kematian.
(3)
Pengabaian kebutuhan akan kesehatan, gizi, perawatan
kesehatan, dan sebagainya. Sumber daya keluarga hampir selalu dipakai untuk
merawat para pria. Wanita, bahkan
terinfeksi sendiri, memberikan semua perawatannya.
(4)
Semua
bentuk seks terpaksa, mulai dari perkosaan dengan penganiayaan sampai pada
kewajiban secara ekonomi/budaya untuk berhubungan seks yang tidak diinginkan,meningkatkan
risiko penyebaran luka yang berdampak pada infeksi PMS dan HIV.
(5)
Stigma
dan perlakuan tidak adil yang berhubungan dengan AIDS dan semua PMS lebih keras
terhadap perempuan dan yang berisiko penganiayaan, tertinggal, terabaikan akan kebutuhan
materi dan kesehatannya, kemiskinan, serta
pengasingan dari keluarga dan masyarakat.
Perempuan seringkali disalahkan atas penyebaran penyakit, seringkali
dianggap sebagai "penular",
walaupun kebanyakan telah terinfeksi oleh pasangan tunggal atau suaminya.
(6)
Pengungkapan
status, pemberitahuan pasangan dan kerahasiaan pada perempuan merupakan masalah
yang lebih sulit dibandingkan pada laki-laki. Terutama apabila perempuan
tersebut terinfeksi pasangan tunggal atau suaminya.
Berdasarkan pada masalah utama di atas, maka dipandang perlu
untuk mengadakan kegiatan konseling dan tes dalam rangka melakukan perawatan
dan pencegahan. Perlu juga diperhatikan perlindungan terhadap kaum perempuan
yang mengungkapkan status dan permasalahannya.
Disamping terkait dengan hak akan seksualitas yang aman bagi
perempuan, masalah HAM juga terkait dengan penularan penyakit dari ibu ke bayi
(Mother to Child Transmission / MTCT).
Kebanyakan Odha perempuan yang kemudian hamil tidak memahami permasalahan yang
dihadapinya dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya demi kelangsungan
hidup diri dan anaknya. Oleh karena itu
perlu adanya kegiatan yang bertujuan untuk memberikan konseling atau memberikan
informasi, baik mengenai apa yang harus dilakukan dan obat apa yang harus
dikonsumsi agar bayi tidak tertular serta memotivasi agar selalu konsultasi
dengan dokter kandungan yang berpengetahuan dan berpengalaman di dalam
pengobatan yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Di samping itu, sejak
awal kehamilan kaum perempuan disarankan untuk melakukan tes HIV sebagai
kegiatan rutin dari standar perawatan kehamilan. Harapannya, tidak semakin banyak perempuan menjadi korban
keganasan HIV-AIDS.
Semua orang termasuk Odha perempuan berhak untuk menikah dan
mendapatkan keturunan. Menjadi HIVpositif tidak mengurangi hak
tersebut. Namun tanggung jawab menjadi semakin lebih besar. Berusaha bagaimana
agar anak yang dikandung tidak terinfeksi HIV, dan bagaimana agar ibu tetap
sehat sehingga dapat membesarkan anaknya. Ada
beberapa cara untuk mengurangi risiko ini. Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi tidak
terinfeksi dan ibu tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral
(ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat
antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan
terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi
semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak.
Manfaat ART tidak sekadar untuk kesehatan ibu saja, namun
juga untuk mengurangi risiko bayi terinfeksi HIV menjadi hampir nol. Tanpa terapi
ART, kurang lebih satu dari empat bayi yang terlahir dari ibu terinfeksi HIV
akan terinfeksi saat lahir. Walaupun ini berarti tiga dari empat tidak
terinfeksi, risiko ini terlalu tinggi, terutama karena dengan ART hampir semua
bayi tersebut dapat bebas HIV waktu lahir.
D. KESIMPULAN
Kompleksnya
pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS memerlukan upaya dan kerja sama lintas
dimensi dan sektor. Oleh karena itu, membatasi HIV-AIDS
sebagai masalah kesehatan semata merupakan langkah yang kurang strategis. Upaya
penanggulangan penyakit tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,
tetapi semua pihak harus menyadari bahwa hal itu merupakan persoalan bangsa
yang harus diselesaikan secara bersama-sama, holistik, dan berkesinambungan.
E. REKOMENDASI
Tidak kalah pentingnya, pemerintah sebagai pemegang kebijakan perlu
mengambil tindakan yang intensif melalui strategi nasional yang melibatkan para
stakeholder dan masyarakat hingga di tingkat desa. Peraturan daerah yang lebih
bersifat lokal diperlukan guna menjawab kebutuhan praktis dan strategis
masyarakat, menjamin adanya program dan anggaran yang tepat kelompok sasaran,
serta memastikan pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di daerah sudah atau
belum dirasakan masyarakat.
PUSTAKA ACUAN
BIOGRAFI PENULIS
Carolina
Nitimiharja, Saat ini bekerja sebagai Dosen STKS Bandung
No comments:
Post a Comment