Search This Blog

Search This Blog

Thursday, January 8, 2015

PEREMPUAN DAN HIV/AIDS


Oleh: Dr.Carolina Nitimihardjo

ABSTRAKS
Kasus penderita HIV/AIDS di kalangan perempuan meningkat secara drastis. Perilaku berisiko suami atau pasangan merupakan penyebab utama penularan. HIV/AIDS yang merupakan penyakit menakutkan dan mematikan itu kian menghantui banyak negara. Indonesia tak luput pula dari ancaman itu. Program Aksi The International Conference on Population and Development (ICPD) yang telah mengumandangkan pentingnya pencegahan HIV/AIDS sejak 1994, nampaknya belum mampu secara bermakna menekan angka prevalensi penderita HIV/AIDS di dunia.  Setiap hari diperkirakan sebanyak 16.000 orang terinfeksi HIV. Dalam hitungan waktu, setiap enam detik setidaknya terdapat penambahan kasus baru HIV/AIDS di seluruh dunia.
 
A.   PENDAHULUAN
           Dari 16.000 infeksi baru yang terjadi setiap hari, sebanyak 60 persen terjadi pada perempuan. Dari 17,5 juta orang dengan HIV/AIDS (Odha) yang meninggal, 52 persennya ialah perempuan. Di Afrika Selatan, sebanyak 60 persen kasus HIV/AIDS terjadi pada perempuan dengan prevalensi di setiap 10 orang laki-laki yang mengidap HIV, terdapat 13 orang perempuan yang juga mengalami HIV positif. Demikian halnya dengan Thailand, sebanyak 40 persen perempuan berstatus menikah dan monogami tertular HIV di dalam pernikahan mereka, dan 90 persen di antaranya merupakan penularan HIV dari suami kepada istri. 
                Di Asia, 90 persen dari 1,7 juta perempuan hidup dengan HIV tertular dari suami atau pasangan dalam hubungan jangka panjang.  Dari penelitian regional mengenai HIV AIDS di Asia, diketahui perempuan merupakan orang dewasa yang paling rentan terkena HIV. Pada 2008, 35 persen orang dewasa yang terinfeksi HIV di Asia terdiri dari perempuan. Separuh dari jumlah ODHA di seluruh dunia adalah perempuan. Hasil studi menunjukkan, bahwa perempuan dan remaja putri rentan terhadap HIV, karena lebih mudah tertular 2,5 kali dari pada laki-laki dan remaja putra.
Kerentanan perempuan tertular HIV umumnya karena kurangnya pengetahuan mereka tentang bahaya HIV/AIDS dan kurangnya akses untuk mendapatkan layanan pencegahan HIV. Secara biologis perempuan lebih berisiko tertular HIV jika melakukan hubungan seksual tanpa kondom, dibanding laki-laki. Ironisnya, di banyak daerah perempuan sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV karena pasangan seksualnya enggan menggunakan kondom.
Selain itu kerentanan perempuan tertular HIV/AIDS ini juga karena organ reproduksi yang tersembunyi sehingga tidak mudah terdeteksi bila ada keluhan. Organ reproduksi perempuan sangat sensitif dan bentuk anatominya yang cenderung terbuka sehingga memudahkan bakteri berkembang di sana, memiliki selaput mukosa yang luas, mudah luka atau iritasi, sehingga bila terjadi penetrasi penis dengan keras atau paksaan ataupun dengan IMS (infeksi menular seksual) akan lebih memudahkan terjadinya penularan. Terlebih lagi jumlah virus HIV di dalam sperma juga lebih banyak dibandingkan jumlah virus HIV di dalam cairan vagina, sehingga perempuan sebagai pihak penampung sperma lebih besar kemungkinannya untuk terinfeksi.
Masih banyak orang yang menganggap bahwa HIV/AIDS sebagai masalah yang hanya dialami oleh orang yang mempunyai perilaku seksual menyimpang, para pendosa dan pengguna narkoba. Akan tetapi perkembangan kasus HIV/AIDS belakangan ini semakin banyak dialami oleh mereka yang dianggap aman dan tidak beresiko HIV/AIDS. Angka infeksi menular seksual yang tinggi terdapat pada perempuan non-PSK (Pekerja Seks Komersial), seperti ibu rumah tangga dan remaja putri (Kompas, 23/3/2006). Cara pandang yang menempatkan HIV-AIDS hanya masalah mereka yang berperilaku seks menyimpang atau terkait "tidak bermoral", "pendosa", dan sebagainya, tidak memberikan solusi untuk mencegah ancaman HIV dan AIDS, bahkan sebaliknya cenderung memperburuk masalah.
     
C. KERENTANAN PEREMPUAN

Ketidakadilan gender yang dialami perempuan, mengakibatkan perempuan dianggap tidak perlu mengetahui hak-haknya, termasuk seksualitas dan kesehatan reproduksi, serta kerentanan terhadap HIV-AIDS. Pandangan tentang ibu rumah tangga atau perempuan "baik-baik" tidak akan tertular HIV-AIDS, ditambah kuatnya resistensi terhadap kampanye penggunaan kondom, serta pandangan bahwa KB hanya urusan perempuan, turut menyumbang kompleksnya penanggulangan HIV-AIDS.
Pria pembeli seks dikenali sebagai kelompok populasi terinfeksi tertinggi. Kebanyakan mereka telah menikah atau merencanakan menikah. Akibatnya perempuan yang dianggap berisiko rendah justru berisiko tinggi setelah melakukan hubungan seksual dengan suami atau pasangan yang berisiko tersebut. Perempuan baik-baik atau ibu rumah tangga yang berkelakuan baik, belum tentu tidak tertular HIV/AIDS. Oleh karena itu, memperkuat hak azasi reproduksi perempuan juga sebagai cara mencegah penularan virus mematikan tersebut. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara, sebelum menuju jenjang pernikahan (pra-nikah), hendaknya pasangan memeriksakan darahnya ke medis. Pemeriksaan tersebut tujuannya  tidak untuk mengetahui tertular HIV/AIDS saja, akan tapi juga untuk mengetahui ada tidaknya penyakit lain seperti hepatitis, kolestrol dan lainnya. Hal ini dimaksudkan demi masa depan anak-anak mereka nantinya.
Budaya patriarki (posisi perempuan di bawah pria) yang kuat di negara-negara Asia menyebabkan tidak bisa didiskusikannya seks kepada pasangannya. Terutama perempuan baik-baik kepada suaminya. Pembicaraan tentang penggunaan kondom pun sangat tabu. Budaya patriaki ini membuat perempuan khususnya ibu rumah tangga memiliki posisi tawar yang lebih rendah dalam menegosiasikan seks dengan pasangan. Bahkan, posisi tawar ibu rumah tangga lebih rendah daripada pekerja seks yang masih bisa memilih. Apalagi posisi tawar perempuan pengidap beragam penyakit seksualitas termasuk HIV/AIDS.
Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang rentan terhadap ancaman HIV/AIDS. Sejak kasus pertama ditemukan di tahun 1987 belum menampakkan hasil positif atas berbagai program penanggulangan HIV/AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, telah memasukkan Indonesia dari kelompok low menjadi concentrated sejak 2000 ketika Indonesia memasuki fase epidemi HIV/AIDS yang begitu merisaukan. Prevalensi HIV/AIDS telah berada di atas angka 5 persen di beberapa wilayah/kelompok masyarakat. Para pengiap HIV/AIDS di Indonesia tersebar diseluruh  provinsi, dengan jumlah terbesar di DKI Jakarta, diikuti Papua, Jawa Timur, Bali, Riau, Jawa Barat dan Kalimantan Barat. Proporsi kasus HIV/AIDS pada perempuan  semakin lama semakin meningkat.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Departemen Kesehatan mengestimasi sekitar 300 ribu orang dewasa usia 15-49 tahun hidup dengan HIV pada 2009.  Peningkatan infeksi tertinggi adalah  pada perempuan. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, pada akhir 2009 jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia mencapai 19.973 jiwa dengan kecepatan penularan tercepat di kawasan Asia Tenggara. Persentase penularan HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual, mencapai 50,3 persen dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3 : 1.
Berdasarkan laporan dari 32 provinsi di Indonesia, sekitar 88 persen kasus HIV/AIDS berasal dari kelompok usia produktif (20-49 tahun). Separuh dari jumlah ODHA di seluruh dunia adalah perempuan. Hasil studi menunjukkan, bahwa perempuan dan remaja putri rentan terhadap HIV, karena lebih mudah tertular 2,5 kali dibanding laki-laki dan remaja putra. UNAIDS melaporkan bahwa 67 persen kasus baru HIV/AIDS di negara berkembang adalah kalangan usia muda 15-24 tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 54 persen adalah perempuan dan remaja putri.
Melalui kampanye Perempuan, Remaja Putri, dan HIV/AIDS di tahun 2004, sejalan dengan target Deklarasi Komitmen PBB tentang AIDS (UNGASS, 2001), pemerintah negara-negara dunia, termasuk Indonesia, bertekad untuk meningkatkan kemampuan perempuan dan remaja putri dalam melindungi dirinya dari infeksi HIV serta mampu menghadapi segala konsekuensi yang timbul.
Upaya yang dilakukan adalah melalui peningkatan kesadaran dan kemandirian perempuan dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya. Dengan demikian  hak-hak reproduksinya terpenuhi dan dapat menuju pada peningkatan kualitas hidup. Selain itu, dilakukan juga upaya memberdayakan perempuan secara individu maupun organisatoris dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta peran serta mereka dalam advokasi, KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), motivasi dan bimbingan dalam pencegahan penularan HIV/AIDS. Secara spesifik dapat ditambahkan pula pentingnya meningkatkan pendidikan kesehatan remaja putri, meningkatkan akses ARV untuk ODHA perempuan, menghindari dari narkoba, maupun menciptakan keadilan dan kesetaraan gender.
Selain kelompok perempuan yang rentan terhadap virus HIV/AIDS, masyarakat kelas bawah juga  rawan terinfeksi. Misalnya ketika mereka mendapatkan pengobatan dari tempat pengobatan umum, biasanya ketika mereka harus mendapatkan suntikan maka pihak dokter menggunakan jarum suntik bekas, dan dengan jarum bekas tersebut mungkin saja itu bekas dipakai oleh orang yang terinfeksi virus HIV. 
Dari masyarakat kelas bawah yang paling rentan terhadap virus HIV/AIDS adalah kaum perempuannya.  Kondisi ekonomi dapat mendorong perempuan ke dalam perilaku yang beresiko tinggi seperti menjadi PSK (pekerja seks komersial), terjebak dalam perkawinan yang penuh kekerasan, menjadi korban trafficking. Semuanya merupakan kondisi yang menjerumuskan perempuan dalam hubungan seksual dengan laki-laki yang HIV positif tanpa perlindungan.
Hak perempuan untuk mendapatkan seks yang aman dan untuk menentukan hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas tidak dihormati hampir dimana pun, terutama di tempat-tempat di mana perempuan menukar seks untuk kelangsungan hidup sebagai cara hidupnya. Hal tersebut lebih pada berhubungan erat dengan perekonomian dari pada masalah pelacuran. Artinya lebih pada membicarakan tentang persetujuan ekonomi dan sosial yang mendasar antara pria dan wanita. Pada satu sisi tentang kemiskinan yang mempengaruhi laki-laki dan perempuan, dan pada sisi lain tentang pengendalian yang dimiliki pria atas kehidupan wanita terkait dengan kemiskinan.
Pada umumnya kebanyakan laki-laki, betapa pun miskinnya, bisa memilih kapan bersanggama, dengan siapa, dan dengan perlindungan apa jika ada. Adapun  kebanyakan perempuan tidak sebebas laki-laki dalam hal memilih. Apabila demikian keadaannya, maka dasar pemikiran di dalam mengatasi masalah perempuan dan HIV/AIDS adalah memperluas bidang hak asasi manusia sampai kepada keamanan perekonomian. Artinya, hak untuk tidak hidup dalam kemiskinan dan hak untuk hidup dalam dunia yang sangat kaya. Dengan demikian kaum perempuan akan mendapatkan hak untuk seksualitas yang aman.
Perlu diketahui bahwa penularan HIV/AID terjadi melalui dengan hubungan seks, jarum suntik yang telah dipakai oleh orang yang terkena HIV/AIDS, dan melalui  transfusi darah. Mereka yang menggunakan drug atau narkotik itu menjadi kelompok yang mudah terinfeksi oleh virus HIV apabila menggunakan jarum suntik secara bergantian. Namun kalau jarum suntiknya itu tidak bergantian atau menggunakan jarum suntik baru, maka tidak dimungkinkan virus HIV/AIDS itu akan masuk dan menjalar pada seluruh tubuhnya. HIV/AIDS tidak menular melalui salaman, menggunakan WC bareng, menggunakan gelas bareng, keringat, dan bersin.
Seperti telah dikemukakan di atas, perempuan yang aktif secara seksual dan menikah adalah kelompok perempuan yang paling rentan terhadap penyakit seksual menular, termasuk penyakit karena virus HIV/AIDS. Oleh karena itu, riskannya perilaku seksual laki-laki atau suami yang berganti-ganti pasangan secara diam-diam. Perilaku yang banyak terjadi di masyarakat sebagai akibat dari konstruksi sosial masyarakat yang cenderung menerima sikap laki-laki yang memiliki banyak pasangan. UNAIDS menyebutkan bahwa penyebab meningkatnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS adalah karena terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang menyebabkan perempuan tidak bisa memilih dengan siapa dia menikah, kapan, dengan siapa dan bagaimana dia melakukan hubungan seksual, perempuan tidak bisa menolak atau tidak bisa meminta suaminya menggunakan kondom ketika memaksakan hubungan seksual yang tidak aman. Bahkan perempuan juga cenderung tidak bisa menolak hubungan seksual meskipun ia mengetahui bahwa suaminya memiliki hubungan dengan sejumlah perempuan lain di luar perkawinannya.

C. DAMPAK KEKERASAN THDP PEREMPUAN
Fenomena ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender tersebut cenderung membuahkan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender (KTPBG). Diseluruh dunia diperkirakan antara 13 persen hingga 61 persen perempuan yang pernah menikah atau memiliki pasangan pernah mengalami kekerasan fisik dari pasangannya. Sebanyak 6 persen (Jepang, Serbia, Montenegro) hingga 59 persen (provinsi Ethiopia) perempuan pernah mengalami kekerasan seksual dari pasangan intimnya. Sementara antara 15 persen hingga 71 persen perempuan pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual atau kedua-duanya dari pasangan intimnya. (Moreno, et.al, WHO: 2005).
Di Indonesia sendiri prevalensi kekerasan terhadap perempuan diperkirakan sekitar 11 persen perempuan yang pernah menikah pernah mengalami kekerasan fisik dari pasangannya (IDHS: 2003). Penelitian SEHATI di Purworejo memperkirakan 27 persen atau 1 dari 4 perempuan yang pernah menikah pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual dari suaminya. Lebih banyak perempuan yang melaporkan mengalami kekerasan seksual (20 persen) dibandingkan dengan kekerasan fisik (11 persen), sedangkan 34 persen atau 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan psikis dari suaminya (Hakimi, dkk. 2001).
Tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bagi penyebaran HIV/AIDS yang semakin banyak dialami oleh perempuan. Studi WHO tentang KTP (kekerasan terhadap perempuan) dan HIV/AIDS menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan fisik dari pasangan hidupnya lebih rentan terhadap infeksi HIV dibandingkan dengan perempuan dalam keluarga tanpa kekerasan. Perempuan yang secara emosional didominasi pasangannya cenderung terkena infeksi HIV, hingga 52 persen lebih tinggi di Afrika. Resiko terinfeksi HIV/AIDS tinggi pada anak perempuan yang menjadi yatim piatu karena orang tuanya penderita AIDS. Di Zambia mereka menjadi anak-anak tanpa harapan dan tanpa dukungan emosional dan finansial. Bahkan banyak anak yang menjadi yatim piatu karena epidemi AIDS mengalami pelecehan seksual oleh keluarga besarnya, atau orang yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak-anak tersebut. Studi di berbagai negara tentang pengalaman seksual remaja, hubungan seksual pertama kali dilakukan karena terpaksa.
Anak perempuan menghadapi risiko khusus terkait dengan masalah HIV/AIDS, menjadikan sebagai salah satu tantangan dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Perempuan sangat rentan terinfeksi pada usia muda. Mereka berkemungkinan besar menghadapi tekanan dari teman sebaya  untuk melakukan hubungan seksual dini dan masalah tersembunyi dari hubungan seksual paksaan, pemerkosaan, inses, dan kekerasan rumah tangga yang harus ditanggungnya. Anak perempuan juga dihadapkan pada kekerasan dan eksploitasi seksual, umumnya dihubungkan dengan kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis. Mereka yang mengalami kekerasan seksual, umumnya kehilangan harga diri dan perasaan kendali atas kehidupan, sehingga meningkatkan risiko penyalahgunaan NAPZA, hubungan seksual lebih dini, dan berganti-ganti pasangan. Keadaan yang sangat memprihatinkan ini, memerlukan upaya kongkret dari pengambil kebijakan agar dapat melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV.
Menurut Saparinah Sadli, 2006, (http://www.who.int/inf-fs/en/fact247.html)  mengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan semakin diakui sebagai pendorong terjadinya epidemi HIV/AIDS, maka perlu adanya suatu strategi baru untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan mengurangi infeksi HIV dan AIDS pada perempuan, diantaranya melalui:
(1)     Pelibatan laki-laki dalam menghentikan KTP dan HIV/AIDS.
(2)     Memperhatikan dan mengubah persepsi laki-laki itu sendiri tentang maskulinitasnya dan memberikan pemahaman tentang bagaimana hal tersebut berkontribusi pada KTP dan transmisi HIV.
(3)     Melakukan advokasi dan informasi tentang kaitan antara KTP dan HIV/AIDS dengan tujuan memberdayakan perempuan dalam melakukan hubungan seksual dan memperoleh hak-hak dan kesehatan seksual dan reproduksinya.
(4)     Meningkatkan kualitas layanan kesehatan, terutama di kamp-kamp pengungsian yang mempertimbangkan kemungkinan meningkatnya KTP dan kerentanan perempuan terhadap KTP dan infeksi HIV/AIDS.
(5)     Perlunya sosialisasi tujuan MDGs yang mencantumkan tentang penyebaran HIV dan AIDS serta penyakit menular lainnya sebagai salah satu tujuan yang harus dihentikan pada tahun 2015 dalam rangka memerangi kemiskinan dan kelaparan. 
Perempuan yang terkena HIV/AIDS, secara psikologis, akan mengalami berbagai masalah, mulai dari kecemasan, keraguan, stress dan depresi. Tekanan lingkungan yang mencerminkan stigma negatif akan membuat perempuan kehilangan penghargaan terhadap dirinya. Ditambah lagi, sifat menular sangat cepat dari penyakit ini menyebabkan perempuan mengalami kekhawatiran dan keterkejutan yang tinggi.
Stigma negatif yang menumbuhkan perasaan rendah diri perempuan menjadikan: (1) mereka sering mengalami kesulitan untuk melihat hal positif tentang apa yang dilakukan, (2) khawatir akan hidup, dan tidak ingin mengambil resiko, (3) cenderung tidak mendapat pujian karena suksesnya, (4) mengira kegagalan merupakan tanggung jawab mereka, dan bukti baginya telah berbuat dengan kurang baik, (5) merasakan lebih rendah dari orang lain, (6) tidak termotivasi untuk meningkatkan diri, tetapi bertahan dan melawan terhadap kegagalan dari semua perbuatannya, (7) mereka tidak bahagia dan tidak merasa cukup dengan diri sendiri, dan tidak menyesuaikan diri dengan baik, (8) mengalami tekanan, keputusasaan dan bunuh diri (William Stewart, 2000).
Upaya untuk meningkatkan rasa percaya diri menurut Lilian Kantz ( 2000) dengan cara:
(1)     Membongkar pikiran dan perasaan negatif yang telah memicu pikiran salah dan menyiksa diri,  menghapus segala bentuk prasangka. Perempuan yang telah divonis terserang HIV/AIDS harus mampu memelihara pikiran dan perasaan negatif akan tubuhnya, dan berusaha sekuat tenaga menerima diri apa-adanya. Penerimaan diri tersebut akan menuntunnya untuk menghindarkan diri dari perasaan destruktif yang akan melukai tubuh dan perasaannya. Dengan menerima kenyataan dan meyakini akan pertolongan Tuhan, maka makin memudahkan perempuan melakukan perawatan dan pengobatan di rumah sakit.
(2)     Memahami cara berkembang secara maksimal dan belajar mencapai yang terbaik. Perempuan yang terkena virus HIV/AIDS berhak menjalani kehidupan yang layak sebagaimana perempuan sehat lainnya. Mereka juga memiliki potensi mencapai perkembangan hidup maksimal. Menggali potensi diri merupakan tuntutan manusia agar merasa lebih hidup, tidak larut pada penderitaan dan terperosok pada perasaan tidak berharga.  Membangun penghargaan diri pada perempuan yang terjangkit HIV/AIDS berarti memberikan kesempatan lebih besar bagi perempuan untuk mengembangkan bakat-bakat yang dimilikinya tanpa terganggu oleh penderitaannya.
Perempuan terinfeksi HIV/AIDS tidak boleh dikucilkan guna membantu meringankan beban mereka meraih keamanan dan kebebasannya. Tuhan telah mengisyaratkan agar manusia harus saling menghargai sesama. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (2008) menyatakan, perempuan yang hidup dengan HIV-AIDS kebanyakan tidak mengetahui hak-haknya, sehingga mereka tidak mendapat kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak, termasuk pelayanan kesehatan untuk diri sendiri dan anak mereka. Selain itu, mereka juga tidak mengetahui informasi tepat mengenai kesehatan perempuan, termasuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, serta tidak mempunyai pekerjaan layak yang dapat menjamin kehidupan, termasuk bagi anak-anak mereka.
Oleh karena itu perspektif gender perlu diintegrasikan atau harus diutamakan dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS. Hal ini meliputi aspek pemberdayaan perempuan, di mana perempuan diberdayakan untuk mengetahui hak dan informasi mengenai kesehatan perempuan termasuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, sehingga mendapat kesempatan untuk pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak, agar dapat memperkuat ketahanan keluarga.Aspek advokasi, berupa upaya sistematis untuk lahirnya kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah.  Peraturan daerah yang lebih bersifat lokal diperlukan untuk menjawab kebutuhan praktis dan strategis masyarakat. Kebijakan tersebut diperlukan untuk menjamin adanya program dan anggaran yang tepat kelompok sasaran, memastikan pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di daerah. 
Sebagai contoh, di Provinsi Jawa Barat penekanan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) harus  terintegrasi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Di Provinsi Jawa Barat, masalah yang seolah terlupakan adalah masalah yang berkaitan dengan besarnya jumlah buruh migran/tenaga kerja Indonesia (TKI) dan kelompok yang sering bepergian. Kelompok ini merupakan kelompok yang rentan terpapar virus HIV. Jumlah mereka tidak bisa dibilang kecil. Penularan HIV-AIDS di kalangan buruh migran kian sulit dibendung. TKI, khususnya perempuan (TKW) rentan terinfeksi virus HIV, karena lemahnya perlindungan,termasuk keterbatasan akses terhadap informasi dan layanan kesehatan. Mereka kerap terabaikan dalam penanggulangan penyebaran HIV.
Perempuan mempunyai hak akan seksualitas yang tidak membahayakan hidup mereka yang dapat dijadikan asas utama untuk pekerjaan yang berhubungan dengan perempuan, HIV/AIDS dan PMS.
Masalah utama yang berkaitan dengan hak akan seksualitas yang membahayakan diantaranya:
(1)     Kurang pengendalian atas seksualitas diri sendiri dan hubungan seks.
(2)     Kesehatan reproduksi dan seksual yang buruk, yang mengakibatkan kesakitan dan kematian.
(3)     Pengabaian kebutuhan akan kesehatan, gizi, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Sumber daya keluarga hampir selalu dipakai untuk merawat para pria. Wanita, bahkan terinfeksi sendiri, memberikan semua perawatannya.
(4)     Semua bentuk seks terpaksa, mulai dari perkosaan dengan penganiayaan sampai pada kewajiban secara ekonomi/budaya untuk berhubungan seks yang tidak diinginkan,meningkatkan risiko penyebaran luka yang berdampak pada infeksi PMS dan HIV.
(5)     Stigma dan perlakuan tidak adil yang berhubungan dengan AIDS dan semua PMS lebih keras terhadap perempuan dan yang berisiko penganiayaan, tertinggal, terabaikan akan kebutuhan materi dan kesehatannya,  kemiskinan, serta pengasingan dari keluarga dan masyarakat.   Perempuan seringkali disalahkan atas penyebaran penyakit, seringkali dianggap  sebagai "penular", walaupun kebanyakan telah terinfeksi oleh pasangan  tunggal atau suaminya.
(6)     Pengungkapan status, pemberitahuan pasangan dan kerahasiaan pada perempuan merupakan masalah yang lebih sulit dibandingkan pada laki-laki. Terutama apabila perempuan tersebut terinfeksi pasangan tunggal atau suaminya.

Berdasarkan pada masalah utama di atas, maka dipandang perlu untuk mengadakan kegiatan konseling dan tes dalam rangka melakukan perawatan dan pencegahan. Perlu juga diperhatikan perlindungan terhadap kaum perempuan yang mengungkapkan status dan permasalahannya. 
Disamping terkait dengan hak akan seksualitas yang aman bagi perempuan, masalah HAM juga terkait dengan penularan penyakit dari ibu ke bayi (Mother to Child Transmission / MTCT). Kebanyakan Odha perempuan yang kemudian hamil tidak memahami permasalahan yang dihadapinya dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya demi kelangsungan hidup diri dan anaknya.  Oleh karena itu perlu adanya kegiatan yang bertujuan untuk memberikan konseling atau memberikan informasi, baik mengenai apa yang harus dilakukan dan obat apa yang harus dikonsumsi agar bayi tidak tertular serta memotivasi agar selalu konsultasi dengan dokter kandungan yang berpengetahuan dan berpengalaman di dalam pengobatan yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Di samping itu, sejak awal kehamilan kaum perempuan disarankan untuk melakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan kehamilan. Harapannya,  tidak semakin banyak perempuan menjadi korban keganasan HIV-AIDS.
Semua orang termasuk Odha perempuan berhak untuk menikah dan mendapatkan keturunan.  Menjadi HIVpositif tidak mengurangi hak tersebut. Namun tanggung jawab menjadi semakin lebih besar. Berusaha bagaimana agar anak yang dikandung tidak terinfeksi HIV, dan bagaimana agar ibu tetap sehat sehingga dapat membesarkan anaknya. Ada beberapa cara untuk mengurangi risiko ini.  Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi tidak terinfeksi dan ibu tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak.
Manfaat ART tidak sekadar untuk kesehatan ibu saja, namun juga untuk mengurangi risiko bayi terinfeksi HIV menjadi hampir nol. Tanpa terapi ART, kurang lebih satu dari empat bayi yang terlahir dari ibu terinfeksi HIV akan terinfeksi saat lahir. Walaupun ini berarti tiga dari empat tidak terinfeksi, risiko ini terlalu tinggi, terutama karena dengan ART hampir semua bayi tersebut dapat bebas HIV waktu lahir.


 D.  KESIMPULAN
  Kompleksnya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS memerlukan upaya dan kerja sama lintas dimensi dan sektor. Oleh karena itu, membatasi HIV-AIDS sebagai masalah kesehatan semata merupakan langkah yang kurang strategis. Upaya penanggulangan penyakit tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi semua pihak harus menyadari bahwa hal itu merupakan persoalan bangsa yang harus diselesaikan secara bersama-sama, holistik, dan berkesinambungan.

  E. REKOMENDASI
Tidak kalah pentingnya, pemerintah sebagai pemegang kebijakan perlu mengambil tindakan yang intensif melalui strategi nasional yang melibatkan para stakeholder dan masyarakat hingga di tingkat desa. Peraturan daerah yang lebih bersifat lokal diperlukan guna menjawab kebutuhan praktis dan strategis masyarakat, menjamin adanya program dan anggaran yang tepat kelompok sasaran, serta memastikan pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di daerah sudah atau belum dirasakan masyarakat.

PUSTAKA ACUAN

BIOGRAFI PENULIS
Carolina Nitimiharja, Saat ini bekerja sebagai Dosen STKS Bandung




No comments:

Post a Comment